Senin, 26 Desember 2011

Daseng Pantai Sario Tumpaan Manado, tonggak perjuangan melawan penguasa




Bangunan  ruang terbuka itu terlihat gagah, menawan dan asri dipandang mata, terlihat berdiri kokoh di pinggiran pantai Sario Tumpaan.   Berdiri dengan kontruksi beton yang menancap di atas permukaan laut, alasnya dari kayu merah tertata rapi menutupi sebagian  lantai, sementara bagian lantai sebelah barat masih mengangga. Dinding sama sekali belum terpasang , meskipun direncanakan kelak akan diberikan dinding  dari bamboo.  Atapnya  terpasang dari rumbai memberikan kesan alami dan terasa sangat sejuk.  Dari jalan besar , untuk menuju ke daseng , melalui jembatan  kecil yang terbuat dari kayu  yang hanya bisa di lalui oleh satu orang saja selebar  sekitar 50 cm.  Jembatan itu disangga dengan tiang-tiang bamboo  dan kayu-kayu potongan-potongan sisa dari  lantai daseng yang terpasang. Bangunan itu belum sepenuhnya jadi, masih terlihat sisa-sisa material seperti kayu yang belum di benahi berserakan di bawah pertanda akan digunakan lagi. Meskipun selama dua bulan terhitung sejak bulan Oktober 2010 , nelayan bahu membahu siang dan malam menyelesaikan daseng tanpa kenal lelah tetapi daseng  belum selesai di bangun.

Daseng yang di bangun tersebut bukan hanya sekedar sebagi tempat peristirahatan nelayan ketika pulang melaut. Tujuan utama, menyediakan tempat sekaligus wadah bertemu nelayan yang memenuhi syarat kualitas dan kapasitas serta dapat berperan multi fungsi untuk memfasilitasi kepentingan nelayan secara berkelanjutan. Yang diharapkan dengan berdirinya daseng ini adalah tumbuhnya semangat kebersamaan dan persaudaraan antar sesama  nelayan serta semakin tumbuhnya kecintaan terhadap laut dan kuatnya jiwa kebaharian.

Jika di lihat dari jauh, memang daseng ini terlihat sederhana di bandingkan dengan bangunan sekitarnya yang terlihat megah, kokoh dan angkuh. Bangunan pusat pertokoaan, perumahan yang didirikan pengembang dengan merampas tempat tambatan perahu bagi nelayan, terlihat sangat megah. Tetapi jika di lihat lebih jauh, daseng ini menyimpan nilai sejarah yang luar biasa terutama bagi nelayan di pantai Sario Tumpaan. Daseng ini terbangun berkat perjuangan nelayan yang dengan gigih tanpa mengenal lelah dan takut  mempertahankan ruang terbuka pantai  yang akan di timbun oleh pengembang.  Sekitar bulan Mei 2009, PT Gerbang Nusa Perkasa(GNP) pengembang yang mempunyai ijin melakukan penimbunan  di pantai Sario Tumpaan mulai melakukan penimbunan laut, dan meminta nelayan untuk memindahkan perahu karena proyek penimbunan akan dimulai meskipun sebenarnya penimbunan tengah berlangsung. Nelayan menyampaikan keberatan penggusuran penambatan perahu kepada Kadis Kelautan dan Perikan Sulut pada saat acara Pelatihan Kepemimpinan yang dibuat oleh Asosiasi Nelayan Tradisional Sulut (ANTRA – Sulut pada bulan November 2009, tetapi tidak mendapatkan tanggapan pasti. Menyadari  resiko yang akan dihadapi nelayan akan kehilangan tempat tambatan perahu  dan ruang terbuka pantai  sebagai akses melaut jika penimbunan terus dilakukan, nelayan bersama ANTRA segera melakukan upaya-upaya advokasi dalam skala local maupun nasional.  Dalam skala local, pada bulan Januari 2010, diadakan pertemuan nelayan dan masyarakat Kelurahan Sario Tumpaan Lingkungan V bertempat di Food Court Boulevard, membicarakan permasalahan yang dihadapi terkait proyek reklamasi. Pada pertemuan ini merumuskan permasalahan yang ada meliputi drainase, penambatan perahu nelayan, kesehatan, dampak terhadap lingkungan hidup. Kemudian dilakukan pemetaan lahan reklamasi dan pengambilan gambar bawah air dengan titik-titik koordinat diambil dan gambar-gambar bawah air sekitar lokasi penimbunan. Warga mengirimkan surat keberatan/penolakan terhadap kegiatan reklamasi ke Pemerintah Kelurahan. Surat tersebut ditandatangani oleh 109 warga. Dalam skala nasional, upaya  yang dilakukan dengan mengirimkan Surat Permohonan Perlindungan ke Komnas HAM tentang keberatan penimbunan yang dilakukan PT GNP. Bulan Februari,warga mengadakan dialog denga  BLH  Kota Manado , Diperoleh informasi bahwa proyek reklamasi belum ada penetapan, Amdal (terpadu) yang digunakan tahun 2003 (bertentangan dengan PP 27 tahun 1999) dan BLH berjanji akan melakukan pengecekan lapangan.

Konsolidasi-konsolidasi terus dilakukan masyarakat dan nelayan di Daseng membahas tentang undangan pertemuan di Kantor Kecamatan Sario. Nelayan memutuskan untuk minta penambatan perahu dan drainase yang akan di bangun PT GNP harus baik dan memenuhi standart. Sementara itu aparat keamanan mulai minta warga untuk mengeluarkan perahu dari lahan reklamasi, tetapi nelayan tetap menolak.  Pertemuan berikutnya di kecamatan Sario didatangi oleh perwakilan PT GNP, kecamatan, lurah Sario dan perwakilan warga untuk membicarakan drainase dan tambahan perahu. Hasil dialogis forum tersebut memutuskan, pertama tentang Drainase: pengembang setuju membuat dengan sebaik mungkin. Harus ada perjanjian tertulis bahwa pengembang akan bertanggungjawab apabila terjadi masalah di kemudian hari seperti banjir – kesepakatan belum dibuat. Kedua, pengembang mengusulkan tambatan perahu di sebelah luar (batas dengan laut) dengan panjang 35 meter; masyarakat belum sepakat karena harus dibicarakan terlebih dahulu. Ketiga, nelayan melaporkan terjadinya pemutusan tali jangkar oleh pihak pengembang; disepakati bahwa pengembang akan melakukan pengecekan tali-tali yang diputuskan dan akan menggantinya. Keempat, Warga meminta agar kegiatan reklamasi dihentikan sebelum ada kesepakatan – tidak ditanggapi oleh pengembang. Kelima, Warga menolak menandatangani Surat Perjanjian yang sudah disiapkan pengembang karena belum dibicarakan dengan warga. Hasil pertemuan yang difasilitasi pihak kecamatan tersebut, kemudian di diskusikan dengan masyarakat keesokan harinya, yang kemudian memutuskan bahwa masyarakat menolak usulan penambatan perahu di laut dan tetap mempertahkan penambatan perahu di tempat semula, sekaligus melindungi agar drainase tetap terbuka. Kearoganan pengembang tidak berhenti, pada bl Maret ada tali jangkar perahu milik nelayan diputuskan oleh sekuriti Mantos(milik PT GNP) dengan  dikawal oleh 3 orang petugas Polsek Sario. Melihat kesewenangan tersebut, nelayan melakukan dialog dengan pihak legislatif (DPRD Kota Manado) yang juga dihadir Kadis Tata Kota Manado, kemudian  pengurus ANTRA Sulut Masyarakat dan Pengurus ANTRA  Kota Manado membuat pengaduan ke Badan Lingkungan Hidup Provinsi. Warga mendapat penjelasan bahwa memang banyak masalah dengan proyek reklamasi, dan sebenarnya ada alokasi/tempat untuk penambatan perahu nelayan.

Upaya advokasi terus dilakukan nelayan  dengan melakukan aksi pada tanggal 12 Mei 2010 berkekuatan sekitar 500 orang. Aksi jalan kaki ke kantor Walikota dengan membawa perahu sebagai bukti keseriusan penolakan terhadap penimbunan laut.  Atas campurtangan Komnas HAM akhirnya semua pihak bersedia menyelesaikan sengketa dengan melakukan dialog yang dipimpin langsung oleh Ketua Mediasi Komnas HAM, Ridha Saleh. Proses mediasi memutuskan kesepakatan  pemberian lahan pantai terbuka kepada nelayan  dan jaminan kontruksi  drainase yang baik.

Sebagai wujud tanggungjawab, nelayan memanfaatkan ruang terbuka pantai dengan mendirikan Daseng, yang mulai di bangun 12 Okt 2010.  Pembangunan daseng yang ber ukuran 13 x 18,75 meter ini dengan tetap memperhatikan kearifan social dan budaya yang telah menjadi kebiasaan turun temurun dan melekat dalam kehidupan nelayan dan masyarakat penghuni wilayah pantai di Manado. Kehadiran daseng diharapkan dapat mengangkat semangat nelayan untuk kembali memandang laut sebagai sumber kehidupan,  dan berharap ada peluang  perbaikan ekonomi. Pembangunan daseng akan dilanjutkan lagi setelah dana  dari iuran sukarela anggota ANTRA dan donator terkumpul, karena sumber dana memang  mengandalkan dari iuran anggota.(24.1.2011)



Jumat, 16 Desember 2011

Perempuan Nelayan kota Manado membentuk kelompok penguatan ekonomi



Kemiskinan dan nelayan seolah dua sisi uang yang tidak bisa dipisahkan. Fenomena ini belum hilang. Belum banyak data yang menunjukan bahwa nelayan sudah sejahtera, yang ada adalah nelayan dan berbagai kemiskinan. Berbagai studi menunjukkan, kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Studi-studi tersebut menyimpulkan, tekanan yang dialami keluarga para nelayan buruh, nelayan kecil, atau nelayan tradisional relatif lebih intensif dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di desa pertanian atau perkampungan-perkampungan kumuh di daerah perkotaan pasca merebaknya efek bawaan perubahan iklim.

Kehidupan perekonomian nelayan tradisional di kota Manado  belum bisa dikatakan sejahtera. Hasil dari melaut belum bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,  menyekolahkan anak dan kebutuhan lainnya.  Hal ini diperparah karena akhir-akhir ini perubahan iklim tidak bisa lagi diperkirakan seperti  beberapa tahun yang lalu. Ketergantungan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan sumber daya perikanan pasca perubahan iklim menghadapi kesulitan berarti. Berkurangnya hasil tangkapan setali tiga uang dengan makin terhimpitnya pola penyesuaian mereka terhadap dampak perubahan iklim.  Sementara pemerintah belum cukup responsive terhadap kesulitan yang dihadapi oleh nelayan.

Nelayan  cukup kesulitan dengan aktivitas mencari ikan dengan cuaca yang  tidak menentu, apalagi dukungan prasarana dalam menangkap ikan sangat sederhana dengan perahu kecil dan alat pancing yang sederhana. Hal tersebut berdampak kepada  tingkat pendapatan nelayan yang turun drastic. Kesulitan lainnya , selama ini belum ada mekanisme penjualan ikan hasil tangkapan yang sudah  terkontrol. Ibu-ibu nelayan menjual ikan sendiri-sendiri dan terkadang di beli oleh tengkulak dengan harga yang ditentukan sepihak oleh tengkulak dan biasanya belum cukup  dihargai dengan layak.
Kesulitan terbesar dirasakan oleh ibu-ibu istri nelayan karena merekalah yang mengelola langsung uang dari penjualan ikan hasil tangkapan nelayan. Mereka harus pintar untuk mengatur  keuangan  keluarga,  harus berhemat dan menyimpan sedikit uang yang ada untuk  simpanan ketika hasil melaut tidak bisa diandalkan. Meski itu bukan hal yang mudah.

Berangkat dari beberapa persoalan yang selama ini mereka rasakan, sekitar 40 orang perempuan nelayan tradisional di kota Manado  yang berasal dari kelurahan Malalayang I, Malalayang II, Malalayang  Los , Sario Tumpaan lingkungan 4 dan lingkungan 5 berembug untuk membentuk kelompok perempuan nelayan. Imbrio kelompok ini  mulai kelihatan bentuknya setelah ada 3 kali pertemuan yang dilakukan sejak bulan Maret 2011 lalu. Imbrio kelompok tersebut disepakati bernama Kerukunan Perempuan Nelayan  Tradisional kota Manado.  Anggota  kelompoki ini tidak hanya para nelayan perempuan  saja tetapi juga  istri nelayan, ibu-ibu rumah tangga dan juga remaja perempuan.
Mereka mempunyai harapan  bisa semakin membantu perekonomian keluarga dengan pengelolaan keuangan yang lebih baik lagi. Melalui Kerukunan Perempuan Nelayan Tradisonal ini ke depan juga akan di gagas koperasi kelompok nelayan perempuan. (27.4.2011)