Selasa, 12 November 2013

Magnet Mencegah Bengkak Akibat Gigitan Serangga

Pernah di sengat lebah ? Wow, jangan di tanya bagaimana rasanya. Pedih, sebut-senut, gatal dan membuat badan meriang, panas dan dingin, terkadang kepala ikut pusing. Lebah merupakan sekelompok besar serangga yang dikenal karena hidupnya berkelompok meskipun sebenarnya tidak semua lebah bersifat demikian. Sebagai serangga, ia mempunyai tiga pasang kaki dan dua pasang sayap. Biasanya lebah membuat sarangnya di atas bukit, di pohon kayu dan pada atap rumah.
 
Kelihatannnya sepele, hanya digigit seekor lebah kecil yang tak sampai sejempol tangan besarnya. Tetapi kalau sudah kena gigitannya, wadehhhhhh di jamin akan lebih berhati-hati lagi ketika bertemu lebah. Beberapa hari yang lalu, tangan anak saya tanpa segaja di sengat lebah. Tentu saja anak saya yang baru berumur 4 tahun menangis menjerit-jerit. Saya percaya, pasti sakit sekali, karena beberapa bulan sebelumya,suami saya juga di sengat lebah dan luar biasa dampaknya. Selain bengkak memarah, badan suami meriang, pusing dan semalaman tidak bisa tidur karena merasakan badan yang tidak enak.
Atas saran dari saudara saya, sebuah magnet ditempelkan tepat pada tangan bengkak anak saya. Dan luar biasa, saya melihat sendiri, tangan anak saya tak sembap bengkak, hanya sedikit memerah. Rasanya masuk akal juga, karena selama ini magnet atau yang disebut besi berani ternyata tidak hanya berguna untuk kompas dan industri manufaktur saja. Ternyata magnet memiliki manfaat lain untuk membantu menyembuhkan beberapa penyakit. Dan dipasaran sudah banyak produk kesehatan yang mengatasnamakan magnet sebagai alat penyembuh.

Sebuah penelitian oleh University of Virginia membuktikan bahwa magnet dapat mengurangi pembengkakan. Ilmuwan menemukan bahwa magnet statis mampu mengurangi pembengkakan kaki belakang tikus hingga 50 persen. Teorinya adalah daerah yang terkena kalsium dalam sel otot menyebabkan pelebaran pembuluh darah arteri. Dengan memaparkan magnet, pelebaran tersebut dapat dikurangi.

Dari pengalaman saya, tak ada salahnya mencoba mengurangi bengkak akibat gigitan serangga/lebah dengan mengunakan magnet.
 

Suami Pilihan

“Bunda, ayah mana? Kerja di mana? Dekat apa? Kapan ayah pulang? “ Masih banyak pertanyaan lain dari mulut mungil Rama. Mata beningnya menatapku penuh pertanyaan. Tak mampu aku memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan yang terus di ulang-ulang , ku rengkuh badan anak bungsuku, kuciumi dengan rasa bangga, tanpa terasa air mata yang tak mampu ku bendung .

Selalu saja pertanyaan polos dari Rama membuat hatiku bahagia. Kecerdasan si bungsu ini sudah terlihat sejak kecil. Bocah berusia 3 tahun ini hampir setiap saat menanyakan keberadaan ayahnya, meskipun sudah ku berikan penjelasan tentang ayahnya. Kerinduan kepada ayahnya sudah tak terbendung, membuatnya selalu tak puas dengan jawabanku.

Rama tak hanya bertanya padaku, tetapi juga kepada kedua kakaknya, Satrio dan Lintang. Kalau kakaknya terlihat bosan menjawab , seringkali dengan nada bercanda mengatakan ayahnya tak akan pulang, membuat Rama menjerit marah. Satrio tertawa senang dengan kegusaran Rama. Lintang sesekali dengan sabar menjelaskan, tetapi karena Rama terus bertanya, Lintang dengan kesal menjawab tanya bunda saja. Pada akhirnya aku yang harus menjelaskan.

Sudah lima bulan ini, mas Bayu terpaksa harus bekerja di luar pulau untuk mengejar kebutuhan yang sangat penting bagi kami. Kenapa terpaksa? Karena sudah menjadi kesepakatan kami untuk bekerja di kota saja, kalaupun bekerja di luar kota yang bisa terjangkau dengan tempat tinggal kami. Setidaknya bisa setiap hari pulang atau kalau terpaksa seminggu sekali masih bisa berkumpul dengan keluarga. Mas Bayu sangat memperhatikan perkembangan dan pendidikan anak-anak, sehingga kami sepakat untuk selalu bersama.
Hanya saja, takdir berkehendak lain, sejak setengah tahun yang lalu, kami mulai risau dengan rumah yang kami tempati. Sejak menikah 8 tahun lalu, kami hanya bisa mengontrak rumah, penghasilan mas Bayu yang bekerja sendirian belum mampu untuk membeli rumah. Meskipun mas Bayu bekerja membanting tulang dan mengambil lemburan untuk mewujudkan impian kami, tetapi impian kami belum bisa tercapai. Tabungan yang disisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli rumah, habis digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak-anak.

Sebagai istri, sudah berulang kali kutawarkan untuk membantu bekerja. Tetapi mas Bayu belum mengijinkan, dengan alasan anak-anak butuh bimbingan langsung dari bundanya. Terpaksa aku hanya membantu dengan hasil yang tak seberapa, menjual makanan kecil yang ku titipkan di warung dan kantin.
Enam bulan yang lalu ada tawaran dari perusahaan yang sedang berkembang di luar pulau Jawa. Setelah kami berunding, sekitar sebulan kemudian dengan terpaksa mas Bayu meninggalkan kami dengan harapan akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar sehingga kami lebih cepat mempunyai rumah idaman.
“Bunda, ayah mana? “ pertanyaan Rama memutus lamunanku . “Kok nggak jawab? Ayah kerja di mana?”
“Ayah kerja jauh di Papua sayang. “
“Papua itu mana? “ tatapnya lagi sambil memainkan ujung bajuku.
Dengan sayang ku gandeng tangan mungil Rama menuju kamar Satrio. Buku atlas bersampul merah yang ku ambil dari meja belajar, ku buka lebar di lantai kamar. Setelah kutemukan lembaran peta Papua, ku jelaskan secara perlahan ke Rama.
 “Khan deket tu, hanya segini. Kok ayah ngga pulang? Nih tinggal gini aja..” suara cadel Rama membuatku hampir tertawa. Rama tetap nyakin kalau ayahnya hanya kerja di dekat rumah saja. Tangan mungilnya menunjuk peta Jawa dan Papua berulang -ulang.” Nich, nik..inik..inik…dekat khan bun?”
“Iya sayang, kalau di gambar ini memang dekat. Tapi jauh lho. Kalau ayah naik pesawat hampir seharian baru sampai. “
“Naik pesawat? Ngeng…ngeng….ngeennnnnnnnnnn…..”Rama sudah lupa dengan ayahnya. Pensil yang ku pakai untuk menjelaskan pulau Papua sudah beralih fungsi menjadi pesawat. Sesaat kemudian anak bungsuku itu sudah asyik dengan permainannya.

 Setahun berlalu , mas Bayu belum bisa pulang. Kontrak dengan perusahaan hanya memberikan kesempatan cuti sekali dalam setahun. Selama ini komunikasi dengan mas Bayu ku lakukan melalui telpon, SMS, email dan chating. Untung saja jaman semakin maju, tehnologi semakin canggih. Meskipun tak bisa bertemu setiap hari, tetapi setiap hari rasanya sudah bertemu paling tidak lewat SMS. Tanpa absen, mas Bayu selalu menyapa anak-anak lewat telpon. Meskipun berjauhan, tugas sebagai seorang ayah dengan mengikuti perkembangan anak-anak tak pernah dilewatkan.

Kerinduan sudah membuncah di dada, kami tak terbiasa berpisah jauh dan lama. Meskipun sudah setahun, mas Bayu belum pulang karena bulan depan sudah bulan ramadhan. Tanggung kalau harus pulang sekarang, karena biaya perjalanan mahal . Menunda pulang 2 bulan lagi akan lebih membahagiakan karena bisa berlebaran bersama. Kami sepakat untuk menunda rasa kangen yang mendalam. Mas Bayu sebenarnya sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganku, terlebih dengan anak-anak, terutama dengan Rama. Setahun yang lalu, Rama belum suka bermain bola, mas Bayu sering mengajari bermain bola dengan tendangan dan sundulan. Dan sekarang Rama sudah pandai menendang bola sambil berlari ke sana kemari.
Anak-anak sudah ingin sekali bertemu dengan ayahnya, rupanya kerinduan dengan sosok ayah yang selama ini menemani mereka tiap hari sudah sedemikian besar. Awalnya mereka protes keras, bahkan Lintang sempat ngambek ketika tahu ayahnya menunda kepulangan. Dia mengurung diri di kamar dan mogok bicara dan makan. Setelah mas Bayu ikut membujuk lewat telpon, barulah Lintang mau makan.


Untuk kesekian kalinya aku tertawa mendengar celoteh dan candaan suamiku dengan anak-anak. Rasanya tak pernah bosan Satrio, Lintang dan Rama mengelitik ketiak ayahnya. Dengan cepat dan tangkas, mas Bayu menangkap dan mengunci tangan anak-anak. Kedua tangan Satrio di kunci dengan paha kanan, tangan Rama dengan paha kiri dan tangan Lintang di pegang kuat . Ketiga anak-anak tak mampu lagi melepaskan diri, terlebih Satrio yang terus tertawa terbahak-bahak sehingga rasanya tenaga sudah terkuras habis. Jeritan riuh membuat rumah kami ramai dan penuh kebahagiaan, setelah setahun belakangan sepi.
Ku pandangi mereka berempat dengan rasa haru yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Ingin rasanya menyaksikan kebersamaan mereka setiap hari. Sebuah keutuhan keluarga yang tak bisa di tukar dengan materi apapun.
“Bunda, lagi memikirkan apa? “ tanpa ku sadari mas Bayu sudah di dekatku. Anak-anak lagi asyik mencoba tablet 7 inci yang dibelikan mas Bayu kemarin sebagai oleh-oleh.
“Bunda senang melihat anak-anak bahagia. Rasanya lama sekali rumah ini sepi tanpa tawa lepas mereka , Yah.” Kusandarkan kepalaku di dada mas Bayu. Tangan lembut mas Bayu membelai rambutku. Dengan rasa sayang kecupan hangat mendarat di pipiku.
“ Ayah ingin selalu bersama Bun. Ayah harus menahan sepi, rindu dan rasa sakit mendalam karena selalu teringat kalian. Ingin rasanya meninggalkan pekerjaan dan kembali ke rumah. Tetapi kalau teringat setiap tahun kita harus membayar kontrakan dan terkadang kesana kemari mencari rumah kontrakan, ayah mencoba bertahan. Sedih sekali Bun, kalau ingat kita harus pindah-pindah.”
Ku genggam erat tangan suamiku, kupandangi matanya yang telah dialiri dua sungai bening. “ Ayah, bunda juga merasa berat. Amanah mendidik anak-anak juga sulit untuk dilakukan sendirian. Tetapi demi cita-cita kita ke depan, bunda harus ikhlas melepas ayah.”
Mas Bayu mencium tanganku, membuatku semakin terharu. Betapa bahagianya mempunyai pahlawan keluarga yang pemurah, pengasih dan rela berkorban untuk keluarga. Betapa bersyukurnya diriku dikaruniai seorang imam keluarga yang luar biasa dan sholeh.

Allohu Akbar…Allohu Akbar…………………………… terdengar lantunan adzan magrib dari masjid dekat rumah. Alhamdulillah, puasa kami berakhir hari ini. Besok, kami merayakan hari kemenangan bersama-sama. Mas Bayu merangkul pundakku berjalan ke ruang makan, mengikuti anak-anak yang berlarian dengan jeritan syukur mereka.
Bibirku membentuk senyuman, aku nyakin ini senyum paling manis dari senyumanku selama ini.
***
(Mawar VI, akhir Okt 2013, teruntuk suamiku tercinta)





Penyesalan Mimi


[Kita harus belajar untuk bisa menerima kenyataan 
Harus di hadapi, jangan sampai di sesali ]

                Mimi  membuang nasi dan lauk buatan ibu. Mukanya cemberut, wajahnya masam tanda tak senang. Dengan kesal kakinya menendang kue yang telah jatuh dilantai. Tak dihiraukan wajah sedih ibu yang telah bersusah payah menyediakan masakan. Bahkan kekesalan Mimi dilanjutkan dengan menendang pintu kamarnya.
                “Mimi, jangan begitu nak.  Tak baik kelakukan kamu seperti itu,” tutur ibu , tangannya mengambil  nasi dan lauk yang berserakan di lantai.
                “Huh, tiap hari makan nasi thiwul  dan ikan kering. Apakah tak ada lauk lainnya? Sesekali beli ayam, daging , susu, nasi putih. Thiwul lagi, ikan kering lagi, air putih, huh bosan. “ sembur Mimi marah.
                Ibu memandang anak semata wayangnya dengan sorot mata sedih,” Ibu tidak ada uang, nak. Hanya ini yang mampu kita makan. Kita harus bersyukur karena masih bisa makan meskipun sederhana seperti ini. “
                “NGGAK MAU !! Mimi nggak mau makan kalau hanya seperti ini terus. BOSAN! Lama-lama Mimi bisa muntah.”teriak Mimi bertambah kesal.
                “Mimi sayang, ibu janji kalau ada rejeki akan membelikan ayam, daging, susu seperti keinginan kamu,” janji ibu meredakan amarah Mimi.
                “NGGAK, pokoknya kalau nggak ada ayam, Mimi nggak mau MAKAN, TITIK !”
                BRAAAAAAAAAAAAAK, pintu di banting keras. Mimi berjalan keluar  dengan luapan amarah. Ibu hanya bisa mengelus dada, tak didasari ada buliran air mata yang menetes di pipi tuanya. Ada sejumput penyesalan karena tidak mampu mendidik Mimi dengan baik. Sejak ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu, Mimi berubah menjadi anak yang sulit di atur, pemalas dan suka menang sendiri . Segala keinginannya harus dipenuhi. Mimi akan marah kalau ibunya tak bisa memenuhi  permintaan.  Tak pernah mau membantu ibu, justru selalu merepotkan. Padahal ibu sudah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua.  Ibu hanya mampu menyediakan nasi thiwul yang terbuat dari singkong. Nasi putih menjadi makanan yang mewah bagi mereka.
**

                Matahari bersinar cukup terik mengantarkan panas yang terasa menyengat di kulit. Angin siang tak berhembus seakan enggan berhadapan dengan Sang Surya.
                Mimi menyeret kakinya tak tentu arah. Badannya mulai gerah, bahkan di beberapa bagian sudah mulai basah karena keringat. Perutnya sudah keroncongan dari tadi karena sejak pagi belum ada sebutir nasipun  masuk perut.  Kerongkongan juga sudah kering dari tadi, bahkan ludahpun terasa tak ada lagi. Langkah kakinya mulai pelan dan terseok-seok. Karena  tak bisa menahan capek dan lapar, Mimi memutuskan untuk berhenti di sebuah pohon besar di pinggir desa. Sepertinya pohon itu rindang sekali, aku akan beristirahat dulu,batin Mimi. Benar saja, di bawah pohon besar dan rindang itu, Mimi bisa melepas lelah. Perutnya semakin sakit karena terasa di remas-remas. Sebersit penyesalan melintas di pikiran Mimi karena telah menolak masakan ibu. Padahal ibu sudah berbaik hati setipa hari mneyediakan makanan . Apakah aku pulang saja? Ach tidak, aku  bosan dengan makana itu itu saja. Lebih baik aku pergi saja, kata  Mimi dalam hati.
                Meskipun kelaparan, angin sepoi-sepoi  yang berhembus mampu mengantarkan kantuk. Matanya terasa berat dan tak lama kemudian Mimi tertidur. Tiba-tiba ada seorang nenek bertubuh gemuk mendatanginya. Mimi terkejut dengan kehadiran orang yang tak dikenalnya.
                “Anak, kenapa kamu  tidur di sini?”
                ‘” Saya...saya....emh saya sedang istirahat , nek,” sahut Mimi terbata-bata.
                “Ehm, kamu kabur dari rumah ya?memangnya kenapa?”tanya nenek itu seakan tahu apa yang telah terjadi.
                Mimi  tersipu malu,” Iya nek, saya kesal karena ibu tidak menyediakan makanan yang enak-enak. Setiap hari hanya nasi thiwul dan ikan asin saja,” gerutu Mimi kesal.
                “Hhehehehehe, nama kamu siapa?”
                “Mimi,Nek”
                “Baiklah Mimi, kalau kamu mau makanan yang enak , ayo ikut nenek saja.”
                Mimi memandang nenek tak percaya,” Apakah nenek bisa memberikan makanan yang enak-enak?”
                “Nggak hanya makanan, kamu juga bisa mendapatkan baju-baju bagus dan perhiasan,”terang nenek menyakinkan.
                Mimi tertarik dengan ajakan nenek yang baru dikenalnya. Mimi tak ingat lagi pesan ibu kalau harus berhati-hati dengan orang yang baru dikenalnya. Mimi hanya membayangkan mendapatkan makanan lezat dan pakaian bagus seperti yang selama ini diharapkan.

                Tak berapa lama kemudian, Mimi dan nenek sudah sampai di sebuah rumah yang besar, mewah dengan halaman luas. Banyak perabotan mewah yang menghiasi  rumah besat itu. Mimi semakin kagum ketika di meja makan tersedia makana yang enak dan banyak sekali, Ada ayam goreng, opor ayam, daging empal, sate kambing, ikan bakar, dan buah-buahan.  Semua nampak lezat dan membangkitkan selera.  Nampak beberapa orang anak sebaya Mimi sedang bersiap makan juga. Setelah dipersilahkan , Mimi segara menyantap semua hidangan yang tersedia. Rasanya perut Mimi tak  bisa kenyang sehingga semua makanan di masuk ke perut. Setelah semua kenyang, Mimi dan anak sebayanya di bawa ke sebuah kamar yang luas dan penuh dengan perabotan mahal. Tanpa di minta, Mimi sudah meloncat ke tempat  tidur empuk yang membangkitkan kantuknya.
                “Eh nggak boleh tidur. Enak saja, sudah kenyang kok lanagsung tidur. Ayo kalian semua ikut ke belakang. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan,” perintah nenek dengan suara keras, tegas dan marah. Mimi menatap heran perubahan sikap nenek, tak ada lagi keramahan dan kesabaran yang sempat Mimi lihat.
                Sejak saat itu Mimi dan teman-temannya dipaksa bekerja keras siang dan malam.  Tak ada makanan lezat dan berlimpah lagi, hanya ada sedkit makanan dengan lauk garam yang dicampur oarutan kelapa. Tak ada tempat tidur mewah, mereka hanya tidur di ruang belakang sambil berdesak-desakan.
                Sekitar seminggu kemudian Mimi sudah tidak tahan lagi. Badannya  terasa remuk dan sakit sekali. Beberapa kali nenek itu memukulnya karena dianggap pemalas dan tidak becus bekerja. Tiba-tiba penyesalan muncul di hatinya. Mimi sangat menyesal telah menyakiti hati ibu. Kerinduan  untuk bertemu ibu dan menikmati masakannya semakin kuat hadir di hatinya. Mimi menangsi sedih ingin bertemu dan minta maaf kepada ibu.
                Tiba-tiba..Aduhhhhhhhhhhhhhhhhhh, Mimi terbangun saat sebuah ranting pohon jatuh dan menimpa kepalanya. Matanya tampak  kebinggungan, pandangan diarahkan ke kanan dan kiri. Mimi baru tersadar kalau dia tertidur dan bermimpi. Mimi kemudian menyadari kalau dia hanya bermimpi. Syukurlah , semu ini hanya mimpi. Tak ada orang  sebaik ibu dan tak ada rumah  seindah rumah sendiri. Ibu , Mimi minta maaf, Mimi akan  makan semua masakan ibu, tekad Mimi sambil bergegas pulang ke rumah***

Kami Sayang Pusy

(Buat Mas Afin, Mbak Alma, dek Adhan)


                Adhan  menguap lebar, matanya masih terasa berat. Semalam Adhan  sulit tidur, suara meong-meong di luar membuatnya tak bisa memincingkan mata. Entah kucing siapa yang tersesat di luar rumah, saat hujan deras menguyur bumi. Meskipun Adhan berusaha mencari suara kucing tersebut, tetapi tidak juga ditemukan. Hujan semakin deras membuat Adhan  tak melanjutkan mencari kucing, ibu minta anak bungsunya  untuk segera masuk karena khawatir sakit. Dengan berat hati Adhan masuk , dia berjanji akan mencari kucing itu besok pagi.
                Adhan  meloncat bangun teringat kucing tadi malam, seketika lenyaplah kantuk  yang tadi dirasakan.  Setengah berlari, Adhan keluar lewat pintu  belakang. Karena tergesa-gesa, hampir saja nasi goreng buatan ibu tumpah tersenggol.
                “Maaf bu, saya tergesa-gesa,” Ibu geleng-geleng kepala melihat kelakukan  Adhan.
                “Mau ke mana? Sudah siang, nanti terlambat ke sekolah,”
                “Sebentar saja bu, nanti saya segera mandi,”


                Mata Adhan celigukan mencari kucing di sela-sela tanaman di teras dan  halaman.  “Pus...pus....pus.....ck...ck....ck....ck....ck......pus....” Hampir semua tanaman sudah di sibakkan, tetapi tak ada sosok si Pus yang tadi malam terdengar di luar. Adhan melangkah ke depan rumah, kembali memanggil si Pus. “Pus..........pus.................”
                “Adhan...adhan....cepat mandi, nanti terlambat,” terdengar suara ibu memanggil.
                “Iya bu, sebentar lagi,” jawab Adhan sambil beranjak . Tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara lemah mengeong ..meong....meong...... Mata Adhan celigukan mencari sumber suara, dan sesaat kemudian Adhan tersenyum senang melihat kucing kecil yang duduk meringkuk seperti kedinginan di samping pot besar  pohon mangga. Bulunya berwarna putih bercampur hitam, basah oleh air hujan dan  ekornya pendek nampak bergerak dengan lamah. Matanya yang besar nampak lesu. Adhan langsung  senang sekaligus iba dengan kucing kecil itu, tangannya mengangkat badan yang basah karena kehujanan tadi malam. Tak ada penolakan dari si Pus, dengan mata berbinar lidahnya menjilat tangan Adhan.   “ Emh, aku nggak tahu namamu, ku panggil si Pusy saja ya? “. Si Kucing kecil nampaknya mengerti  pembicaraan  pincang. Adhan, dengan susah payah bangkit dan mencoba berjalan.  Ya Alloh, ternyata kaki depan sebelah kanan si Pusy  pincang. Kasian sekali, apakah tidak ada yang memelihara kamu? Aku akan membawamu pulang, tapi apakah ibu mengijinkan ya, batin Adhan. Dengan agak ragu, Adhan membawa si Pusy ke rumah, dia harus minta ijin kepada ibu sebelum memelihara kucing.
                “Bu, eng.....”
                “Hah, apa itu? Kucing? Itu kucing yang tadi malam?” tanya ibu.
                Adhan mengangguk, dengan rasa sayang dielusnya bulu  si Pusy  yang masih terasa lembab,” iya bu, kasihan sekali badannya basah. Pasti tadi malam kehujanan. Emh...bu, bolehkan si Pusy di sini? sepertinya Pusy sendirian,”
                “Memang Pusy ngga ada yang punya? “ tanya ibu.
                “Lagipula melihara binatang itu tidak gampang. Kamu harus memberi makan, membersihkan badannya dan membuat si pus jadi binatang penurut, tidak merusak. Nggak hanya ngajak main saja. Emangnya kamu sanggup?” Alma, kakak Adhan menyahut  saat  keluar dari kamar mandi.
                Adhan meleletkan lidahnya, “ Keciiiiiiiiiiiiiiiiil , masak gitu saja nggak sanggup , kak,”
                “Wek, nggak nyakin. Ngak usaha saja bu, ntar juga aku yang repot suruh ngasih makan,” sahut Alma lagi, sambil berlari masuk kamar menghindari cubitan adiknya.
                “Huh  KAKAK JELEK...........,” gerutu Adhan karena tidak berhasil mengejar kakaknya.
                “Nanti Adhan akan tanyakan ke teman-teman dan tetangga . Tetapi kalau nggak ada yang punya, Adhan boleh memeliharanya ya Bu?” tanya Adhan penuh harap.
                Ibu rupanya tak tega menolak keinginan Adhan setelah berjanji akan merawat si Pussy. Adhan segera mencari lap kain kering untuk mengeringkan bulu Pusy, kemudian memberinya susu di piring kecil. Si Pusy nampak  lahap, dalam sekejap sepiring susu kentak tandas tak tersisa. Dengan senang Adhan memberikan nasi dicampur ikan kering. Sebenarnya Adhan masih ingin bermain dengan Pusy, tetapi ibu sudah tak sabar lagi dan minta Adhan segera mandi dan sarapan.
                Beberapa hari kemudian Adhan baru tahu kalau Pusy itu milik Roni yang tinggal di komplek sebelah. Roni segaja membuang Pusy karena pincang dan tak mau merawatnya. Dengan senang hati Roni memberikan ke Adhan. Sebenarnya Adhan tidak suka dengan sikap Roni yang membuang binatang karena alasan pincang. Meskipun pincang , toh Pusy juga binatang yang berhak di sayang dan di rawat dengan baik.

**
                Sebulan berlalu, si Pusy badannya gemuk, bulunya tebal. Kalau  berjalan badannya bergoyang-goyang karena  kegendutan dan kaki  depan sebelah kanan  lebih pendek. Adhan dan Alma suka bermain dengan Pussy. Tak lupa setiap hari memberikan makanan  yang cukup. Untuk menjaga kebersihan bulu,  seminggu sekali  Pusy di mandikan. Meskipun  pincang tetapi mereka berdua  sayang Pusy.  Ibu dan ayah juga sayang Pusy karena sejak saat itu tikus-tikus jarang berkeliaran di rumah.

Rok Putih Buat Lely

Teruntuk anak-anak saya, mas Afin, mbak Alma, dik Adhan
(mawar VI, Okt 2013)

            Lely  tersenyum malu dengan pujian dari bu Tenti, guru seni suara disekolahnya. Berkali-kali dihadapan teman-teman, bu guru bertepuk tangan ketika Lely selesai menyanyikan sebuah lagu. Ya, siang ini anak kelas IV dan V sedang mengikuti  seleksi terakhir untuk bergabung menjadi group paduan suara yang akan mewakili SD  Mekarsari  dalam perlombaan  menyanyi tingkat kecamatan. Perlombaan paduan suara sudah berlangsung selama tiga tahun, dan selama ini SD Mekarsari belum pernah mendapatkan juara. Kali ini semua guru dan murid berharap akan memenangkan perlombaan dan berhak mendapatkan piala bergilir dari pak camat.
            “ Baiklah anak-anak, ibu sudah memutuskan untuk memilih 10 anak diantara kalian. Pilihan ibu ini sudah dipertimbangkan dengan baik, dengan melihat kemampuan kalian dalam bernyanyi. Bagi yang belum terpilih, ibu harap tidak berkecil hati. Mungkin saat ini belum berhasil mewakili sekolah kita, tetapi bukan berari kalian tidak bagus dalam bernyanyi. Tetapi karena hanya ada 10 anak yang mewakili sekolah, jadi mohon maaf kalau diantara kalian ada yang tidak terpilih. Nama-nama yang masuk ke tim paduan suara adalah Rina, Ika, Wati, Hana, Salsa, Alma, Zahra, Elisa, Dila dan....Lely..... Selamat untuk kalian yang terpilih”
            Lely seakan tak  percaya dengan pendengarannya sendiri. Namanya masuk dalam tim paduan suara. Sungguh Lely tak menyangka, karena banyak teman-temannya yang bersuara bagus dan layak terpilih. Dicubitnya tangan kanan untuk menyakinkan pendengarannya tak salah. Rasa sakit dan warna merah di tangan membuat Lely nyakin kalau dia memang  berhak mewakili paduan suara SD Mekarsari. Sorakan dan jeritan senang  teman-temannya juga menyadarkan Lely kalau apa yang diinginkan selama ini terwujud. Selama ini, diam-diam Lely sangat berharap bisa masuk ke tim paduan suara. Dengan bekal suara yang menurut ibunya cukup bagus, Lely menjadi percaya diri untuk menunjukan kemampuan dalam olah vokal. Hampir seminggu setelah bu guru memberikan pengumuman  seleksi tim paduan suara, Lely tak  kenal lelah untuk berlatih menghapalkan lagu. Sambil membantu ibunya membuat kue, Lely selalu bersenandung. Baginya waktu sangat berharga, karena Lely ingin menunjukan  kemampuannya.
            “Anak-anak, selain suara bagus dan kompak, dewan  juri  juga menilai kekompakan seragam kalian. Ibu dan guru-guru lainnya sudah memutuskan tim paduan suara akan memakai baju putih putih dan sepatu hitam. Untuk itu tolong kalian persiapkan seragam yang dibutuhkan ya. Masih ada waktu 2 minggu lagi . Sekian, dan terimakasih. Jangan lupa setiap hari sepulang sekolah kita akan berlatih bersama............................”
            Lely termangu mendengarkan penjelasan bu Tenti, tiba-tiba wajah cerianya berubah menjadi murung. Seandainya tak  memakai seragam apakah aku bisa mengikuti paduan suara ? Batin Lely sedih. Harapan untuk terlibat dalam paduan suara sudah membumbung tinggi. Tetapi kalau tidak memakai seragam akan terlihat lucu dan tidak kompak. Kasian teman-teman yang lain.
            “Lel? Kamu kok tiba-tiba murung, kenapa?” suara Ika, teman sebangku Lely menyadarkan lamunannya. Lely hanya tersenyum sambil mengelengkan kepala.
            “Waduh aku tidak punya rok putih. Nanti aku akan minta mamaku untuk membelikan,”sambung Ika lagi. Wajahnya ceria dan nampak gembira sekali. Tak ada raut kecemasan . Lely nyakin kalau semua kebutuhan Ika akan dipenuhi oleh orangtuanya karena mereka mampu. Lain dengan Lely yang hidup serba kekurangan. Tidak mudah mengharapkan sesuatu dari ibunya, meskipun untuk kebutuhan sekolah. “Kamu gimana Lel? Sudah punya rok putih belum?”
            Lely mengelengkan kepalanya, “ Belum Ka.”
            “Trus gimana? Masak kamu tidak pakai seragam? Eh, cari pinjaman saja gimana? “
            “Iya. Coba saja nanti. Kalau nggak ada pinjaman, ya gimana lagi...” jawab Lely lemah.
            “Ayolah, kamu harus semangat dong. Suara kamu bagus, sayang kalau kamu tak bisa memperkuat tim kita,” Ika mendorong semangat sahabatnya.
            Lely tersenyum dipaksakan, dia tak nyakin bisa mempunyai rok putih yang dibutuhkan. Tak sampai hati untuk minta ibu membelikan rok itu. Tetapi apakah Lely rela untuk tidak mengikuti paduan suara di perlombaan nanti? Bukankah selama ini dia sudah berusaha untuk lolos seleksi? Alangkah sayangnya kalau langkahnya harus terhenti karena tidak mempunyai rok putih. Lely bertekad dalam hati untuk  mendapatkan rok putih. “Iya, insya alloh aku akan berusaha Ka,” jawab Lely disambut senyuman hangat Ika.
**


            Seperti biasanya sepulang sekolah Lely mengambil tempat kue yang dititipkan di kantin sekolah dan beberapa kantin sekolah  lainnya.  Sore sebelum sholat maghrib, Lely mengambil tempat kue di beberapa warung. Pekerjaan membantu  ibu sudah dilakukan sejak duduk di kelas II  SD. Setiap hari setelah adzan subuh, Lely membantu ibu membuat kue-kue yang akan dititipkan di warung dan kantin sekolah. Sejak bapak meninggal karena kecelakaan ketika Lely kelas 1 SD, tulang punggung keluarga terpaksa di pundak  ibu. Kerja keras membanting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarga di jalani ibu tanpa mengenal lelah. Hampir setiap hari siang dan malam waktu ibu habis untuk bekerja. Sebelum tidur malam ibu sudah meracik bahan-bahan untuk membuat kue, dan sekitar jam 02.00 ibu bangun untuk memasak beraneka ragam kue. Pagi sekitar jam  05.30, semua kue sudah siap . Dengan di bantu Lely, ibu akan mengatur kue-kue, sebagaian di bawa ibu ke pasar, sebaghian lain akan dititipkan ke warung-warung dan kantin sekolah. Jam 06.00 semua kue sudah siap, ibu berangkat ke pasar dan Lely mengantar kue ke warung dan kantin  sekalian berangkat sekolah. Sebenarnya Lely ingin membantu ibu memasak kue, tetapi ibu melarang karena khawatir Lely akan mengantuk kalau harus bangun lebih dini.
            “Assalamualaikum.............”
            “ Wa’alaikumsalam........................ sudah pulang Lely?” terdengar jawaban ibu  dari dapur. Lely langsung menemui ibu, setelah meletakkan tas sekolah di meja dapur yang menjadi satu dengan rungan tengah dan sekaligus tempat Lley belajar setiap harinya.  Setelah meletakkan kotak tempat kue di ember, Lely mencium tangan ibu.”Alhamdulillah, semua kue hari ini habis terjual bu,” sejumlah uang dari kantin sekolah diberikan ke ibu. Sambil terus membersihkan sayur bayam, ibu menerima uang pemberian Lely. Tampak senyum puas terbalut letih dari bibir ibu. Tak ada kebahagiaan bagi ibu dan anak tersebut selain dagangan laku terjual. Setelah menghitung uang, selembar uang Rp 5.000 di masukkan ke celengan gajah yang terbuat dari tanah liat. Ibu sudah terbiasa menyisihkan sebagian uang dari penjualan kue. Besarnya tidak pasti, terkadang Rp 1.000, kalau kebetulan semua jualan laku bisa sampai Rp 5.000. Untuk keperluan mendadak dan kelak bisa digunakan membiayai sekolah Lely , demikian kata ibu.
            “Kamu sudah lapar nak? Ibu baru mau masak .”
            “Sayur bayam sama tempe goreng bu? Ehm, enak sekali. “ Lely berdecap membayangkan sayur bayam hangat dan tempe yang menjadi menu makan siangnya. Lely anak yang penurut dan tak banyak menuntut. Dia mau memahami kondisi ibu, semua sajian yang dimasak ibunya selalu di makan. Meskipun  setiap hari terbiasa dengan lauk pauk sederhana, tetapi Lely sudah sangat bersyukur.
            Lely minta ijin untuk menganti baju seragam, setelah 10 menit kemudian nampak tangannya sibuk membantu ibu memasak. Aroma tempe yang di goreng memenuhi dapur sederhana itu.”Bu, alhamdulillah Lely masuk ke tim paduan suara,”
            “Alhamdulillah, kerja kerasmu tak sia-sia nak. Ibu bangga padamu. Kamu harus berlatih lebih baik lagi agar tak memalukan sekolahmu ya,”
            “Iya bu. Tapi.......eng............”
            “Kenapa nak? “
            “Itu bu...Lely....” melihat raut wajah kelelahan ibunya, tak sampai hati Lely untuk mengatakan soal rok putih yang harus digunakan untuk paduan suara. Meskipun hampir setiap hari ibu menabung dari menyisihkan sedikit laba berjualan kue, tetapi uang itu akan digunakan untuk hal-hal penting lainnya.
            “Kenapa Lel?”tanya ibunya lagi
            “ Nggak apa-apa kok bu. Lely bantu bikin sambal ya bu. Ehm...baunya enak sekali, pasti tempe ini sedap.” Lely mengalihkan pembicaraan. Tangannya sibuk melumatkan cabe, bawang putih, terasi dan garam. Ibu tak mendesak dan menyelesaikan memasak sayur bayam. Semua masakan hampir selesai,sebentar lagi mereka akan menikmati makan siang.

**
            Semua uang simpanan Lely sudah dikumpulkan, tetapi tak sampai Rp 25.000. Hanya ada 15 lembar seribuan, 10 koin limaratusan , dan uang receh duaratusan , yang total semua hanya Rp 24.500. Lely sudah mengeluarkan semua ‘harta’nya tetapi tetap saja tak ada lagi. Dengan lesu Lely  mengumpulkan semua uang yang berserakan di kasur tipis kamarnya, kemudian di masukkan ke cangkir bekas air mineral. Lely berpikir keras untuk menambah simpanan uangnya. Aku harus bisa membeli rok putih, tekad Lely. Berapa harga rok putih? Apakah mahal sekali? Jangan-jangan aku tidak mampu mengumpulkan uang sampai lomba paduan suara nanti, batin Lely khawatir.
            “Lely....Lely.....”ketukan pintu membuyarkan lamunan Lely.
            “Iya, sebentar bu,”  tak sampai 2 menit Lely sudah berdiri di depan ibu.
            “Bu Gito tadi ke sini. Dia butuh teman untuk membersihkan halaman rumahnya. Kalau kamu mau, sore ini bisa membantu bu Gito,” jelas ibu. Lely hanya menganggukkan kepala, tiba-tiba dia ingat tentang rok putihnya. Mudah-mudahan ada jalan untuk menambah uang simpanannya, batin Lely.
            Setelah minta ijin, Lely segera berangkat ke rumah bu Gito yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya. Rumah bu Gito besar, tetapi halaman rumah kelihatan kotor dan kurang terawat. Maklum bu Gito hanya tinggal bersama suaminya, karena semua anaknya sudah kerja dan tinggal di kota lain. Setelah pensiun pak Gito dan istrinya lebih sering di luar kota untuk mengunjungi anak-anaknya.  Mereka tidak mempunyai pembantu rumah tangga, hanya sesekali memanggil mbok Yati untuk membersihkan rumah. Tetapi sudah seminggu ini mbok Yati sakit sehingga rumah bu Gito kelihatan kotor.
            “Syukurlah kamu bisa datang Lely. Rumah ibu sudah kotor sekali. Mbok Yati masih sakit. “ jelas bu Gito sambil memberikan penjelasan apa yang harus Lely kerjakan. Dengan senang hati Lely segera mengambil sapu. Tak lama kemudian Lely sudah kelihatan asyik membersihkan rumah, halaman rumah dan kebun belakang. Setelah semua di sapu, Lely segera  membersihkan semua debu  yang menempel di perabotan rumah dan mengepel lantai.   Peluh nampak bercucuran di dahi, tetapi Lely tetap bersemangat. Baginya membersihkan rumah sudah hal yang biasa, tak sedikitpun Lely merasa keberatan meskipun rumah bu Gito besar.
            Saat adzan magrib berkumandang, semua pekerjaan sudah selesai dilakukan. Rumah nampak rapi, bersih dan enak di pandang mata. Bu Gito tersenyum puas melihat hasil kerja Lely, demikian juga Lely nampak gembira karena semua tugas sudah diselesaikan. Yang lebih membuat Lely bahagia karena bu Gito memberikan upah yang cukup besar. Selembar uang Rp 20.000 sudah berpindah tangan masuk ke saku baju Lely.
            “ Maaf bu, apakah ibu masih membutuhkan tenaga saya? “ tanya Lely ragu-ragu.
            Bu Gito menatap Lely sambil tersenyum,” Memang kenapa nak?”
            “Eng, kalau mbok Yati belum bisa bekerja, saya masih bersedia untuk mengantikan. Tetapi setelah pulang sekolah bu.”
            “O..begitu. Ya, boleh saja. 2 hari lagi  kamu ke sini lagi ya. Rumah ibu memang  tidak setiap hari dibersihkan, cukup 2 hari sekali saja. Tetapi kalau mbok Yati sudah berangkat kerja, sepertinya ibu tidak membutuhkan tenagamu, nak“
             Setelah mengucapkan terimakasih Lely segera berpamitan.

**

            Pulang sekolah Lely segaja  berhenti di toko pakaian di dekat kecamatan. Dengan memberanikan diri Lely bertanya kepada penjaga toko harga rok putih. Harga rok putih Rp 65.000, uang simpanan Lely belum mencukupi. Masih kurang  Rp 20.500 lagi. Masih ada waktu  5 hari untuk mengumpulkan uang, batin Lely bersemangat. Setiap selesai latihan  paduan suara  disekolah, Lely  segera pulang dan membantu ibu membereskan peralatan memasak kue.  Kemarin Lely ke rumah Bu  Gito, tetapi ternyata mbok Yati sudah berangkat. Jadi Lely tidak jadi membantu membersihkan rumah. Meskipun agak kecewa, tetapi Lely senang melihat mbok Yati sudah sembuh.
            Saat masuk ke rumah, Lely agak heran karena ibu tidak menjawab salamnya. Lely segera masuk kamar dan sangat terkejut melihat ibu terbaring lemah. Badannya panas, wajahnya pucat. Ibu hanya tersenyum lemah tanpa menjawab sepatah katapun. Lely segera membuatkan teh panas, setelah itu memasak sayur bayam kesukaan ibu.
            “Ibu, makan dulu ya. Lely suapi.” Dengan penuh kasih sayang Lely menyuapi ibu. Lely sangat khawatir kalau ibu sakit keras, karena meskipun badannya panas tetapi badan ibu menginggil kedinginan. Dua lembar selimut tak mampu memberikan kehangatan.
            “Nanti sore kita ke dokter ya bu. “
            “Jangan Lely. Tidak usah. Besok ibu juga sembuh. Paling juga hanya demam”
            “Tidak bu, badan ibu panas sekali. Lely takut  kalau ibu sakit berat. Nanti sore ke dokter Herman ya.”

            Sorenya Lely memanggil becak dan mengantar ibu periksa ke praktek dokter Hari. Semua uang simpanan  yang akan digunakan untuk membeli rok putih di bawa. Ibu juga membawa uang tabungan, jumlahnya tak begitu besar, hanya Rp 135.000. Di tambah dengan uang Lely, jumlahnya Rp 179.500. Lely berharap semua uang yang di bawa cukup untuk membayar biaya pengobatan ibu.
            Dokter Hari mengatakan kalau ibu terserang tipes sehingga harus beristirahat beberapa hari. Ibu tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan berat, harus beristirahat total di rumah.
            Lely sedih sekali melihat kondisi ibunya. Setelah membayar jasa dokter, membeli obat di apotik dan membayar ongkos becak, hanya tersisa uang Rp 5000. Sisa uang terakhir dibelikan buah pisang dan bubur. Lenyap sudah harapan Lely untuk membeli rok putih yang diidamkan. Meskipun sedih, tetapi Lely lebih memikirkan kesehatan ibu. Tak apalah tidak jadi ikut paduan suara, yang penting ibu sembuh, tekad Lely ikhlas.
            Selama ibu sakit, tidak ada pemasukan sama sekali, sehingga uang modal membuat kue dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari.  Lely minta ijin selama 2 hari untuk tidak mengikuti latihan paduan suara karena harus merawat ibu, untung saja bu Tenti mau mengerti.
            Kurang dua hari sebelum pementasan, sore itu Lely singgah ke rumah bu Gito yang mengijinkan Lely untuk membantu mbok  Yati membersihkan rumah dan memasak. Bu Gito mendengar kabar kalau ibu Lely sakit sehingga tidak bisa bekerja. Dengan iba, bu Gito memberikan sejumlah uang untuk membantu Lely.  Sebelum minta ijin pulang, bu Gito memanggilnya,”Lely, ibu dengar kamu mau ikut paduan suara ya? “
            Lely  terkejut karena bu Gito bisa tahu. “ Tadi mbok Yati cerita ke ibu. Kamu juga berusaha bekerja keras mengumpulkan uang  untuk membeli rok putih ya? Hanya saja uang yang kamu kumpulkan untuk membayar  pengobatan ibumu.” Lely hanya mengangguk, tak terasa air matanya mengalir di pipi. Lely teringat usahanya selama ini untuk mengumpulkan uang dan teringat ibunya yang masih sakit.
            “Ibu punya rok putih, dulu ini kepunyaan  anak ibu. Kebetulan masih ibu simpan. Kalau kamu mau, bisa di pakai untuk ikut paduan suara.” Bu Gito mengulurkan sebuah rok yang terbungkus rapi dalam plastik. Lely hampir tak percaya dengan penglihatannya, sebuah rok putih yang selama ini diharapkan sudah ada di depan mata. Dengan gemetar dan tak hentinya mengucapkan terimakasih, Lely menerima rok yang masih berwarna putih bersih. Tak kelihatan seperti rok bekas, karena masih rapi, wangi dan warnanya belum pudar.
            Lely bertambah bahagia karena ibu sudah mulai bisa duduk dan berjalan. Rok yang diberikan bu Gito juga pas sekali di tubuh Lely. Rasanya kebahagiaan Lely berlipat-lipat. Mulai besok Lely bisa berlatih  lagi dan bisa mengikuti  tim paduan suara  karena sudah mempunyai rok putih. Terimakasih ibu, bu Gito, ucap Lely penuh rasa syukur.***