Jumat, 24 April 2015

Suami Pilihan

(Untuk suamiku)
           “Bunda, ayah mana? Kerja di mana? Dekat apa? Kapan ayah pulang? “  Masih banyak pertanyaan lain dari mulut mungil Rama. Mata beningnya menatapku penuh pertanyaan.
Tak mampu aku memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan yang terus di ulang-ulang , ku rengkuh badan anak bungsuku, kuciumi dengan  rasa bangga, tanpa terasa air mata yang tak mampu kubendung . Selalu saja pertanyaan polos dari Rama membuat hatiku bahagia.
Kecerdasan si bungsu ini sudah terlihat sejak kecil.  Bocah berusia 3 tahun ini hampir setiap saat menanyakan keberadaan ayahnya, meskipun sudah ku berikan penjelasan tentang ayahnya. Kerinduan kepada ayahnya sudah tak terbendung, membuatnya selalu  tak puas dengan jawabanku. Rama tak hanya bertanya padaku, tetapi juga kepada kedua kakaknya, Satrio dan Lintang.  Kalau kakaknya  terlihat bosan menjawab , seringkali dengan nada bercanda mengatakan ayahnya tak akan pulang, membuat Rama menjerit marah. Satrio  tertawa senang dengan kegusaran Rama. Lintang sesekali dengan sabar menjelaskan, tetapi karena Rama  terus bertanya, Lintang dengan kesal  menjawab  tanya bunda saja. Pada akhirnya aku yang harus menjelaskan.
            Sudah lima  bulan ini, mas Bayu terpaksa harus bekerja  di luar pulau untuk mengejar kebutuhan yang sangat penting bagi  kami.  Kenapa terpaksa? Karena sudah menjadi kesepakatan kami untuk bekerja di kota saja, kalaupun bekerja di luar kota yang bisa terjangkau dengan tempat tinggal kami. Setidaknya  bisa setiap hari pulang atau kalau terpaksa seminggu sekali masih bisa berkumpul dengan keluarga. Mas Bayu sangat memperhatikan perkembangan  dan pendidikan anak-anak, sehingga kami sepakat untuk  selalu bersama.
            Hanya saja, takdir berkehendak lain, sejak setengah tahun  yang lalu, kami mulai risau dengan rumah yang kami tempati. Sejak menikah 8 tahun lalu, kami hanya mampu  mengontrak rumah, penghasilan mas Bayu yang bekerja sendirian belum mampu untuk membeli  rumah. Dari tahun ke tahun  kami berpindah rumah kontrakan.  Kalau kami bernasib baik, ada uang ekstra dan pemilik rumah bersedia menyewakan rumahnya untuk dua atau tiga tahun, kami tidak terlalu repot setiap tahun pindah. Tetapi kalau kami tidak ada  uang dan terkadang pemilik rumah menaikkan uang sewa, terpaksa kami pindah mencari rumah yang harga sewanya lebih terjangkau kantong kami.
Sering pindah rumah membuat kami kurang nyaman. Hal ini merepotkan karena kami harus menambah pengeluaran untuk membayar ongkos mobil yang kami sewa membawa barang-barang. Selain itu, kalau rumahnya jauh dari sekolah anak-anak, kami harus menghabiskan waktu lebih lama di jalan. 
Meskipun mas Bayu bekerja membanting tulang dan mengambil  lemburan untuk mewujudkan impian kami, tetapi impian kami belum bisa tercapai. Tabungan yang disisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli rumah,  habis digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak-anak.
            Sebagai  istri, sudah berulang kali kutawarkan  untuk membantu bekerja. Tetapi mas Bayu belum mengijinkan, dengan alasan anak-anak butuh bimbingan langsung dari bundanya. Terpaksa aku hanya  membantu  dengan hasil yang tak seberapa, menjual makanan kecil yang ku titipkan di warung dan kantin.
            Enam  bulan yang lalu ada tawaran dari perusahaan yang sedang berkembang di luar pulau Jawa. Setelah  kami berunding, sekitar sebulan kemudian  dengan terpaksa mas Bayu  meninggalkan kami  dengan harapan akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar sehingga kami lebih cepat mempunyai rumah idaman.
            “Bunda, ayah mana? “ pertanyaan Rama memutus lamunanku. “Kok  nggak jawab? Ayah kerja di mana?”
            “Ayah kerja jauh di Papua sayang. “
            “Papua itu mana? “ tatapnya lagi sambil memainkan ujung bajuku.
            Dengan rasa sayang ku gandeng tangan mungil Rama menuju kamar Satrio. Buku atlas bersampul merah yang ku ambil dari meja belajar, ku buka lebar di lantai kamar.  Setelah kutemukan lembaran peta Papua, ku jelaskan secara perlahan ke Rama.
            “Ini pulau Papua, tempat ayah kerja ,” tanganku menunjukan gambar peta. Meskipun  Rama tak terlalu paham, tetapi dengan sabar aku menjelaskan letak kota tempat mas Bayu bekerja. Kemudian ku buka lembaran peta Indonesia, ku beritahukan letak pulau  Jawa dengan pulau Papua.
            “Khan deket tu, hanya segini. Kok ayah ngga pulang? Nih tinggal gini aja..” suara cadel Rama membuatku hampir tertawa. Rama tetap nyakin  kalau ayahnya hanya  kerja di dekat rumah saja. Tangan mungilnya menunjuk peta Jawa dan Papua  berulang  -ulang.” Nich, nik..inik..inik...dekat khan bun?”
            “Iya sayang, kalau di gambar ini memang dekat. Tapi jauh lho. Kalau ayah naik pesawat hampir seharian baru sampai. “
            “Naik pesawat? Ngeng...ngeng....ngeennnnnnnnnnn.....”Rama sudah lupa dengan ayahnya. Pensil yang ku pakai untuk menjelaskan pulau Papua sudah beralih fungsi menjadi pesawat. Sesaat kemudian anak bungsuku itu sudah asyik dengan permainannya.
                                                                                 **
             Setahun  berlalu, mas Bayu belum bisa pulang. Kontrak dengan perusahaan hanya memberikan kesempatan cuti sekali dalam setahun.  Selama ini komunikasi dengan mas Bayu ku lakukan melalui telpon, SMS, email dan chating. Untung saja jaman semakin maju, tehnologi semakin canggih. Meskipun tak bisa bertemu setiap hari, tetapi setiap hari rasanya sudah bertemu paling tidak lewat SMS. Tanpa absen, mas Bayu selalu menyapa anak-anak lewat telpon. Meskipun berjauhan, tugas sebagai seorang ayah dengan mengikuti perkembangan anak-anak tak pernah dilewatkan.
            Kerinduan sudah membuncah di dada, kami tak terbiasa berpisah jauh dan lama. Meskipun sudah setahun, mas Bayu belum pulang karena bulan depan sudah  bulan ramadhan.  Tanggung kalau harus pulang sekarang, karena biaya perjalanan mahal . Menunda pulang  2 bulan lagi akan lebih membahagiakan karena bisa berlebaran bersama. Kami sepakat  untuk menunda rasa kangen yang mendalam. Mas Bayu sebenarnya sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganku, terlebih dengan anak-anak, terutama dengan Rama. Setahun yang lalu, Rama  belum suka bermain bola, mas Bayu sering mengajari  bermain bola dengan tendangan dan sundulan. Dan sekarang Rama sudah pandai  menendang bola sambil  berlari  ke sana kemari.
            Anak-anak sudah ingin sekali bertemu dengan ayahnya, rupanya  kerinduan dengan sosok ayah yang selama ini menemani mereka tiap hari sudah sedemikian besar. Awalnya mereka protes keras, bahkan Lintang sempat ngambek ketika tahu ayahnya menunda kepulangan. Dia mengurung diri di kamar dan  mogok bicara dan makan. Setelah  mas Bayu ikut membujuk lewat telpon, barulah Lintang mau makan.
**
            Untuk kesekian kalinya aku tertawa mendengar celoteh dan candaan suamiku dengan anak-anak. Rasanya tak pernah bosan  Satrio, Lintang  dan Rama mengelitik ketiak ayahnya. Dengan cepat dan tangkas,  mas Bayu menangkap  dan mengunci tangan anak-anak. Kedua tangan Satrio di kunci dengan paha kanan, tangan Rama dengan paha kiri dan tangan Lintang  di pegang kuat . Ketiga anak-anak tak mampu lagi melepaskan diri, terlebih Satrio yang  terus tertawa terbahak-bahak sehingga rasanya  tenaga sudah terkuras habis. Jeritan  riuh  membuat rumah kami  ramai dan penuh kebahagiaan, setelah setahun belakangan sepi.
            Ku pandangi mereka berempat  dengan rasa haru yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Ingin rasanya menyaksikan kebersamaan mereka setiap hari. Sebuah keutuhan keluarga  yang  tak bisa di tukar dengan materi apapun.
            “Bunda, lagi  memikirkan apa? “ tanpa ku sadari mas Bayu sudah di dekatku. Anak-anak lagi asyik  mencoba tablet  7 inci yang dibelikan mas Bayu kemarin sebagai oleh-oleh.
            “Bunda senang melihat anak-anak bahagia. Rasanya lama sekali rumah ini sepi tanpa tawa lepas  mereka , Yah.” Kusandarkan kepalaku di dada mas Bayu. Tangan lembut mas Bayu membelai rambutku. Dengan rasa sayang kecupan hangat mendarat di pipiku.
            “ Ayah ingin selalu bersama Bun. Ayah harus menahan sepi, rindu dan rasa sakit mendalam karena selalu teringat kalian. Ingin rasanya meninggalkan pekerjaan dan kembali ke rumah. Tetapi kalau teringat setiap tahun kita harus membayar kontrakan dan terkadang  kesana kemari mencari rumah kontrakan, ayah mencoba bertahan. Sedih sekali Bun, kalau ingat kita harus pindah-pindah.”
            Ku genggam erat tangan suamiku, kupandangi matanya yang telah dialiri dua sungai bening.         “ Ayah, bunda juga merasa berat. Amanah mendidik anak-anak juga sulit untuk dilakukan sendirian. Tetapi demi cita-cita kita ke depan, bunda harus ikhlas melepas ayah.”
            Mas Bayu mencium tanganku, membuatku semakin terharu. Betapa bahagianya mempunyai pahlawan keluarga yang pemurah, pengasih dan rela berkorban untuk keluarga. Betapa bersyukurnya diriku dikaruniai seorang imam keluarga yang luar biasa dan sholeh.
            Allohu Akbar...Allohu Akbar................................. terdengar  lantunan adzan magrib dari masjid dekat rumah. Alhamdulillah, puasa kami berakhir hari ini. Besok, kami  merayakan hari kemenangan bersama-sama.  Mas Bayu merangkul pundakku berjalan ke ruang makan, mengikuti  anak-anak yang berlarian dengan jeritan syukur mereka.
Bibirku membentuk senyuman,  aku nyakin ini senyum  paling manis dari senyumanku selama ini.
                                                                                      ***
(cerpen ini dimuat dalam 'Buku Fiksi Hari Pahlawan' Event Fiksiana Community, Penerbit Paramarta, Nov 2013)

Piwulang Urip

Crito Cekak 

            Narimo mesam mesem sajak seneng atine. Ora maido, sedhelo meneh bakdho  qurban.  Sasi sing  tansah diarep-arep, sakliyane sasi poso. Narimo pancen bunggah amargo wedhuse sing cacah pitu wes lemu-lemu tur awake sehat.  Sapine cacah loro yo wis cukup umur. Kabeh wedhuse wes poel, tanpo cacat tur awake ginuk-ginuk. Ora maido, wong saben ndinone diculake neng kebon sing sukete dhuwur, ijo tur subur. Narimo pancen sregep, kanggo wedhuse direwangi nandur suket neng kebon tur ajeg nyirami amargo kethigone pancen dhowo ora ono udan.
            Karo nyawang wedhuse sing podho nggayemi suket, Narimo mbayangke bakalan nyekel duwit sing akeh cacahe. Menowo wedhus siji diregani  sejutapitungatus seket, wedhus limo cacahe bakalan payu wolungyuto pitungatus seket. Durung menowo sapine yo payu.  Duwit sing akeh banget cacahe tumrap Narimo sing rung tau nyekel duit akeh. Narimo pancen wes duweni rencana ameh ngedhol wedhus lanang sing cacahe limo. Wedhus wadhone loro bakalan di openi maneh, kanggo jagan bodho qurban tahun ngarep.
            “Mo..Mo….Narimo….le..?” Mboke Narimo  cincing jarit  marani anake lanang sing lagi mesam-mesem nyawang wedhus sing isih mangan suket. “Bocah kok di celuk ora nyauri. Mo….”
            Narimo njondel. Kaget krugu suworo  mboke sing banter. Mripate nyawang mboke sing isih cincing jarit karo plerak pleruk sajak muntap.
            “Kowe ki ngopo? Koyo wong ra ngenep. Mesam mesem dhewekan karo nyawang wedhus. “  simbok  mentheleng weruh anake lanang ora ngrewes babarblas.
            PLAK…!
            “Aduh! Simbok ki ngopo tho. Salahku ki opo kok di sabet,” Narimo ora trimo, arep nesu ning ora sido mergo weruh mboke isih ngowo kayu ceklekan uwit munggur sing dowone sak lengen bocah. Tangane ngelus-ngelus  pupune sing semburat abang mergo disabet kayu garing.
            “Salahku opo? Lha bocah kok ra ngenah. Diceluki wong tuwo kok ra ngrewes. Kowe ki ngopo nguya nguyu koyo bocah kenthir?”
            Narimo mesem,” Woalah mbok. Aku ki jek nyawang wedhus-wedhusku  kui lho. Kok sajak enak temen mangene. Coba simbok gatekke. Wedhusku  lemu-lemu tur sehat. Bakalan dadi duwit gedhe kui mbok.” Wangsulane Narimo karo ngematake wedhuse sing saiki wiwit podho turon amargo kewaregan.
            “Wis, rasah kakean caturan. Kono simbok dijupukke kayu . Simbok arep olah-olah, kayune ra cukup.”
            “Sedhelo meneh wae yo mbok. Aku sik ngematke wedhus ki lho,”
            “Lha kowe nek isoh nahan luwe yo rapopo. Rasah dijupukke kayu.”Wangsulane simbok  banter karo klepat, menyat. Simbok mangkel tenan amargo ora digagas.
            “Yo..yo, mbok. Tak jupukke.” Narimo mlaku karo mecucu. Wedi menowo mboke tambah nesu. Ciloko. Iso  ora bakalan mangan sore.
*
            “Pripun pak Kaji?”
            “Ngaten  Yu Parti. Kulo mriki amargi badhe wonten perlu. Tahun meniko ingkang badhe daftar kurban naming wonten lembu, tur ming setunggal mawon. Lha meniko malah tasih kirang tiyang setunggal. Amargi nembe pikanthuk tiyang enem. Mendho nggih mboten wonten. Kulo mireng Narimo kaliyan panjenengan  badhe dherek kurban. Menawi saestu, ngapunten menawi saged mbok dherek urunan kurban lembu kemawon. Kersanipun genep tiyang pitu.”
            Yu Parti nyawang pak Kaji Iral kanthi kebak pitakon. Dhewekan jan-jane orapatiyo mudheng sing dikarepke tamune.  Ngerti pak kaji ora rumongso nek sing duwe omah binggung, simbok nyawang Narimo. Dhelalah pas Narimo ya lagi nyawang simbok kanthi kebak pitakonan. 
            “Nggih pun, yu. Kulo tak pamit riyin. Mangke menawi pun wonten keputusan, panjenengan kabari mawon njih. Ten Nanang, ketua panitiane  ngih saged.” Simbok karo Narimo nguntapke kondure Kaji Iral tekan teras.
            “Asem tenan ki. Aku di kerjai  Afin  karo  Hafid. Awas nek mengko ketemu, sido tak mamah-mamah  gundule,” Narimo katon getem-getem, anyel. Dheweke kelingan telung dino kepungkur jagongan karo Afin lan Hafid. Kawit SD Narimo pancen konco kenthel karo Afin lan Hafid. Sedino-dino senengane dolan bareng. Nganti  tamat SMA cah telu iku isih kerep dolan bareng.  Pas lagi gojekan kae, Afin cen nyindir Narimo dadi jurangan wedhus ning kok pelit, ora gelem melu kurban.  Dhelalahe si Hafid yo melu nambahi omongane Afin. Narimo pancen kembrongot atine, trus sesumbar nek arep kurban. “Asem tenan ki. Aku dudu wong cethil yo cah. Titenono mbesuk aku arep kurban. Ben kowe melek mripatmu, ora nuduh aku uthil.” Omongane Narimo karo mencak-mencak. Afin, Hafid ora nesu malah nguyu lakak-lakak sajak ora percoyo karo nguneme Narimo.
            “Kowe ameh kurban tho, le? Kok ra ngomong karo simbok?”
            “Iki pokale cah-cah gendheng kae kok, mbok,” wangsulane Narimo  banter karo ngemu nesu.
            “Lho, nek iyo yo rapopo. Simbok malah seneng. Kit mbiyen simbok wis ngakon awakmu melu kurban. Wong yo sapi karo wedhusmu kui akeh tur yo apik-apik. Mbok ora didodol kabeh. Siji wae nggo kurban,” ngono pratelane simbok nguliahi anake lanang sing uthil. Senajan ingon-ingone akeh, nanging Narimo ora gampang waweh. Itungane memet tenan. Wis makaping-kaping simbok ngakon anake melu kurban, nanging Narimo ora ngrewes.
            “Simbok ki ono-ono wae. Wong wedhusku durung akeh kok kon kurban. Sih akeh wong sugih. Kae  lho mbok. Jurangan Sastro sawahe pirang-pirang hektar. Ra gelem melu kurban. Cethil tenan,” saurane Narimo karo ngemreneng.
            “Lha wong uthil mbethithil kok mbok contoni. Wong ra umume ngono kok. Rasah tiru-tiru. Nek kowe meh kurban, yo kurban wae. Nek ra gelem yo uwis, rasah kakean alesan. Dasar  cah uthil!” simbok muni-muni karo mecucu. Ora kurang-kurang lehe mbujuk Narimo.
            “Yoben,” saurane Narimo lirih, wedhi menowo simbok krugu.
*
            Seminggu meneh idhul kurban. Wis akeh sing dho moro meyang omahe Narimo kanggo ngenyang wedhuse. Durung ono sing kedaden, mergo Narimo masang rego sing luwih dhuwur soko rego pasaran. Narimo nyakin menowo wedhuse bakal payu, paling ora mengko  menowo  bodhone kurang telung dino. Saben dino Narimo tansah ngelus-ngelus wedhuse karo dijak guneman koyo ngomong karo kancane wae. Simbok nganti sepet weruh anake lanang.
                                                                         *
            “Mbok…simbok….mbok….”
            Tratap. Simbok gage-gage metu meyang mburi marani Narimo.
            “Ya Alloh, kowe ngopo, le,” ujare simbok kaget weruh Narimo gulung koming karo tuding-tuding kandhang wedhus sing kosong mlompong.  Raine pucet koyo ora ono gethihe. Awake gemeter.
            Simbok thenger-thenger  mudheng kenopo Narimo koyo wong edan. Kandhange wedhus kosong, ora ono isine babar blas. Kamongko mau bengi isih krugu suwarane wedhus gembrak gembrek.
            “Wedhusku mbok..wedhus….” suarane Narimo ilang amargo ketutup tangise sing gero-gero.
            “Mulo tho le…” simbok ora tekan nerusake guneman. Rasane ora tego weruh Narimo katon gelo.
Esuk iku omahe simbok dadi layatan. Tonggo teparo podho teko ngayem-anyemi Narimo supoyo  ikhlas lan sabar.
            Simbok  treyuh nyawang Narimo. Mugo-mugo Narimo biso sinau karo musibah sing diadhepi. ***
           
(Cerpen ini dimuat Harian Solopos, 9 Oktober 2014)

Surat Buat Ibu

(Surat buat ibu)

Solo, 22 Desember 2013
Teruntuk ibunda tersayang
Di tempat
Assalamu’alaikum
Ibu,
Saya masih di sini, entah sudah berapa menit berlalu, tak puas  memandang wajah lembut  ibu di  pigura foto yang memberikan senyuman teduh dan penuh kasih. Rasa kangen sebenarnya tak bisa lagi dibendung, ingin rasanya segera bertemu. Suara lembut ibu lewat telpon tak mampu menghapus rindu yang membuncah di dada. Jarak yang cukup jauh memisahkan kita, membuat saya belum bisa secepatnya berkunjung ke rumah ibu.
Apa kabar ibu?
Saya selalu berdoa agar ibu selalu sehat, segar dan pernah jauh dari kelembutan yang selama ini mampu membuat ketenangan hati anakmu. Saya percaya ibu pasti sangat sibuk dengan sawah, tegalan, pengajian, menenggok orang sakit dan kegiatan social lainnya. Meskipun ibu sudah sepuh, semangat ibu luar biasa untuk selalu mengisi hari tua dengan banyak hal yang bermanfaat bagi orang lain.
Ibu tercinta,
Banyak kenangan manis yang pasti tak akan pernah saya lupakan. Sepanjang usia saya, engkau telah mengukir hal-hal baik yang menjadi tonggak dalam kehidupan saya. Bersikap baik, menghargai orang lain, ringan tangan, tidak gampang mengeluh dan sabar dalam menghadapi hidup. Sebagai istri seorang guru yang tinggal di desa, menjadi panutan orang lain tak membuat beban, justru ibu selalu berusaha menunjukkan jiwa luhur. Selalu ibu ingatkan kepada anak-anakmu , “kudu biso mikul dhuwur mendhem jero “ (menjaga nama baik keluarga).
  
Ibu sayang,
Ada kenangan luar biasa yang sangat mendalam saya rasakan. Masihkan  ibu mengingat saat ibu memeluk saya sambil menangis tersedu-sedu saat  bapak  murka dan kehilangan kontrol terhadap saya?  Kenangan manis yang tak pernah terlupakan sampai kini, terus tertanam rapi di hati. Betapa ibu dengan gagah berani, melawan kemurkaan bapak , hanya demi membela anakmu ini.
Saat itu idealisme begitu besar  tertanam di pikiran saya. Rasanya saya tak lagi memikirkan perasaan bapak, ibu dan kakak-kakak. Kondisi masyarakat yang penuh tekanan dan hidup serba kekurangan sementara pejabat tinggi negri ini bergelimang harta dengan korupsi, nepotisme dan kolusi yang begitu kental dan menyolok mata. Saya seperti teman mahasiswa lain, meski hanya segelintir mahasiswa ditengah ribuan mahasiswa terketuk hati dan tak sampai hati hanya berdiam diri.
 
 
Ibu, saya tahu perasaan ibu selalu was-was mendengar saya ikut turun ke jalan berteriak memprotes ketidakadilan. Saya tahu, setiap saat ibu selalu ketakutan luar biasa kalau sampai saya tertangkap dan dijebloskan ke hotel prodeo. Ibu selalu gundah setiap melihat tayangan televisi yang mengabarkan berita demontrasi. Ibu menyimpan ketakutan luar biasa kalau saya termasuk mahasiswa yang tak akan pernah kembali karena berani menentang penguasa. Puluhan tahun silam, siapa yang berani melawan pemerintah tanpa resiko?
Bukannya saya tidak tahu, jika air mata ibu selalu tumpah  disetiap  sholat untuk mendoakan keselamatan saya. Disetiap helaan nafas ibu, hanya doa untuk kesehatan saya.
Betapa saya rasanya tak tahu malu, hanya mengikuti kekerasan hati untuk memperjuangkan apa yang saya nyakini benar, tanpa mempertimbangkan perasaan ibu yang setiap saat tak pernah tenang. Saya hanya berkutat pada rasa egois yang tinggi untuk ikut  menentang ketidakadilan di negri ini.  Saya tak tahu terimakasih karena tak cukup menghargai rupiah demi rupiah yang kau kumpulkan untuk membiayai kuliah saya, karena saya lebih memilih menghabiskan waktu saya di jalan daripada di kampus. Saya lebih memilih membaca buku-buku revolusioner daripada membaca diktat kuliah. Kerinduan ibu yang tak tertahankan tak pernah saya perhatikan,  karena berbulan-bulan tak bisa pulang ke rumah hanya dengan alasan tak ada waktu. Yang sebenarnya  karena saya pengecut, tak berani bertemu dengan bapak dan kakak yang pasti akan memaksa saya untuk meninggalkan dunia yang penuh dengan resiko itu. Dan sebenarnya juga karena saya tak mungkin akan tahan lama berhadapan dengan ibu yang takut kehilangan anaknya.
Ibu, 
 
Kaulah seorang ibu sejati yang penuh dengan kasih dan kesabaran tiada batas. Atas  semua kekurangajaran saya, ibu tak pernah terlihat marah. Betapa  bijaksananya engkau dengan menyembunyikan dan menutup rapat-rapat semua perasaan ibu. Dengan kelembutan dan kasih sayangmu kau ceritakan keinginan bapak agar  anakmu ini kembali ke bangku kuliah. Kau ceritakan beberapa teman kecil saya sudah menyelesaikan kuliah dan menyandang gelar sarjana. Bahkan ada beberapa yang sudah menikah. Ibu tahu persis kekerasan  hati saya, hingga tak sampai hati untuk membujuk  dan mengancam saya untuk  kembali kuliah. Engkau hanya memberikan sinyal pesan  ketidaksetujuan dan kemarahan bapak dengan bahasa yang sangat halus dan tak mau menyakiti hati saya.
Ibu,  engkau  malaikatku ,
Saat kemarahan  bapak tak lagi terbendung, saat bapak murka dan tak lagi mampu mengontrol emosi, saat tangan bapak yang seumur hidup saya tak pernah melintas di kulit saya, engkau pasang badan hanya demi anakku yang tak tahu terimakasih ini. Dengan ketegaran luar biasa yang tak pernah saya lihat sebelumnya, engkau  ikhlas menerima pukulan tangan bapak yang mestinya mendarat di tubuh saya.
Ibu, tahukah ibu kenapa anakmu ini menjadi penurut dan mendengarkan  keinginanmu?
Tahulah sejak peristiwa itu saya menghilang cukup lama tanpa kabar secuilpun? 
 
Ibu, sesungguhnya sejak saat itu, saya tak pernah turun ke jalan lagi bersama teman-teman, saya tak kemana-mana. Ketabahan, kerelaan dan ketidakberdayaan  yang ibu  perlihatkan saat menerima pukulan bapak membuat saya termenung, terpekur dan lama merenungkan  kejadian itu. Betapa saya telah terlalu lama membangkang dan menyakiti ibu. Tanpa tersadari sudah terlalu jauh saya menjauh dari keluarga dan dari kasih sayang ibu. Betapa saya terlalu egois dan tak mau tahu  penderitaan ibu yang selalu ibu hadapi dengan tabah. Sekian tahun ibu meredam kemurkaan bapak, hanya demi menjaga perasaan saya. Ibu rela menanggung beban dan penderitaan yang luar biasa berat.  Sebutan anak durhaka, kuliah tak  kunjung selesai, perawan tua, itu pasti tak mudah ibu hadapi. Gunjingan tetangga pasti menyakitkan bagi perasaan halus ibu. Dan tatapan menyalahkan dari bapak yang setiap hari ibu terima pastilah selalu menguji kesabaran dan ketabahan ibu. Kasih ibu tetap sepanjang masa tak berubah sedikitpun.
Bukan kemarahan bapak yang membuat saya tersadar, tetapi air mata dan keikhlasan ibu-lah  yang membuat saya tak berdaya lagi untuk melanjutkan idealisme saya. Ternyata saya harus mengakui kalau saya tak berdaya melihat ketegaran ibu dibalut air mata penuh kasih seorang ibu. Banyak jalan untuk menyalurkan idealisme tanpa harus menyakiti hati ibu dan bapak. Ada harapan  tinggi dari ibu dan bapak untuk melihat anaknya berhasil menyelesaikan kuliah, bekerja dan berumah tangga. Ya,  saya telah  luruh dalam air mata tanpa batas kasih sayang dari ibu.
Ibu………………,
 
Saya baru benar-benar merasakan betapa senang dan was-wasnya menjadi seorang ibu. Kecintaan dan kasih sayang  tak bisa diukur dengan apapun untuk darah daging kita sendiri. Saya rasakan perasaan ibu pasti  sama persis dengan perasaan saya ketika anak sakit, tak menurut kata orang tua dan  menjauh dari rengkuhan kita.  Saya resapi nikmat dan sakitnya saat mengandung , membawa anak ke manapun kita pergi dan saat berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan. Oh, betapa memalukan saya selama ini tak pernah menyadari betapa beratnya tugas sebagai ibu.
Saya bersyukur meskipun terlamabat menyadari  semua ini ibu,
Bertahun-tahun telah terlalui, rasa syukur tak terhingga karena kedekatan saya sebagai anak   kembali seperti sedia kala. Saya kembali bisa bermanja-manja dan berkeluh kesah di pangkuan ibu, sementara ibu tertawa saat menceritakan hal-hal yang engkau temui setiap hari yang  penuh semangat untuk mengulurkan tangan  saat menceritakan kehidupan tetangga di desa yang dilanda paceklik. Meskipun bapak masih terasa kaku dengan sikap saya, tetapi sesungguhnya saya sangat sayang bapak. Dan saya tahu sesungguhnya di dalam  hati yang terdalam bapak juga sangat sayang dengan saya, menantunya dan  cucu-cucnya.  Bapak juga pasti bangga dengan kami semua.
Tahukah Ibu,
 
Ketika  petang itu ibu tiba ke rumah kami,  dengan wajah  sumrigah  dan berseri-seri saat kami semua mencium tangan ibu, betapa bahagianya saya. Keletihan yang tergurat di wajah sepuh ibu, nampak tersamar rasa bahagia,  ketika  ibu mendengarkan coloteh  anak-anak kami. Saya sepenuhnya kembali tersadar betapa langkah yang saya putuskan  atas kesadaran dari air mata ibu, itu tidak salah. Kebahagiaan telah terengkuh di tangan saya dengan keluarga kecil kami . Rasanya inilah akhir dari jawaban  air mata ibu selama bertahun-tahun yang lalu.
Terimakasih ibu untuk hal luar biasa yang engkau berikan selama ini kepada saya.
Semoga Alloh SWT senantiasa menjaga kesehatan, memberikan usia panjang, memelihara kelembutan dan kasih sayang serta selalu menyirami kearifan ibu. Semoga  semua kebaikan ibu bisa menurun ke saya, meneruskan siraman kasih sayang untuk cucu ibu. Amin.
Wasalam
Sungkem dari ananda
 

Puisi Untuk Kawan

Sebuah puisi lama untuk kawan-kawan saya.

Kawan,
Aku tahu, kalian tak akan pernah bosan
Kalian tak akan pernah lelah
Kalian tak akan pernah mau berhenti
Perjuangkan nasib mereka
Aku tahu,
Setiap saat tangan pongah menyudutkan
Setiap saat teror mengangkang
Setipa saat bijih besi mengancam
Setipa saat terali besi mengangga
Aku tahu,
Selama keadilan melanda
Selama penindasan tumbuh subur
Selama kemiskinan tetap ada
Selam pembungkaman hak asasi manusia mengakar
Kalaian pantang mundur
Kawan, teruskan berjuang di barisan depan
Jalankan amanah tertindas di barisan depan
Singkirkan kapitalis primitif
Yang mengerogoti jiwa
Lumatkan pola feodalis yang mengikis nilai keadilan
Teruskan berjuang walau dalam liang pengabdian kekejaman
Selamat berjuang kawan!
Solo, Juli 1994

Berkarya Setelah Lama Tidak Menulis

Sejak SMA saya suka menulis cerpen dan puisi, tetapi nyaris tidak saya lanjutkan lagi setelah saya duduk di bangku Perguruan Tinggi.  Waktu itu saya ikut banyak kegiatan kampus dan terlalu larut dalam beberapa kegiatan yang 'bersebrangan' dan 'menantang' pemerintah Orde Baru. beberapa kali aksi saya ikuti tidak hanya di dalam kota tetapi juga sampai luar kota seperti Jakarta. Akibatnya, saya sama sekali tidak mempunyai waku. Jangankan untuk menulis, kuliah pun keteteran. Bahkan saya sempat tidak ikut ujian dan hanya minta tolong kepada teman untuk ikut mengabsenkan. Untung saja kampus saya tidak terlalu ketat sehingga  titipan absen saya lolos.

Pun saat saya bekerja, sampai berumah tangga, saya belum mulai menulis lagi. Meskipun banyak kesempatan, tetapi saya belum tergerak untuk menulis.

Baru, tahun 2014 kemarin saat kontrak kerja saya telah berakhir, saya mulai menulis. Kumcer pertama berjudul "Persimpangan Hati" sudah selesai diterbitkan sebuah penerbitan indi, kemudian antologi cerpen saya juga ada. Berikut  buku-buku antologi cerpen saya, lumayanlah untuk pemula.
Beberapa antologi cerpen saya, bersama penulis lain (dok. Suci)

Persimpangan Hati

Kumpulan cerpen ini karya pertama saya.

Judul  : Persimpangan Hati
Penulis: Suci Harjono, 2014
Editor: Kyuna Angel
Setting dan Layout: MBM-Self Publishing
Desain Sampul: Shippa Kim
ISBN: 978-602-1375-46-4
Cet. I, September 2014
 93 hlm. ; 14 x 20,5 cm
Diterbitkan Oleh:
MBM-Self Publishing
mahakambookmedia@yahoo.co.id
Harga : Rp. 37.000

Kumcer Persimpangan Hati, by Suci Harjono, 2014
 Buku ini berisi 12 cerita pendek, hampir semuanya bertemakan kritik sosial.  Seperti pada cerpen berjudul' laki-laki tua dan ambisinya' secara gamblang menceritakan  penguasa  zalim yang telah memerintah negri ini selama 32  tahun. Berbagai dosa politik tergambar jelas.  Cerita 'Sepenggal Malam' menceritakan kehidupan seorang Pekerja Seks Komersial(PSK) yang selalu tersisih dari kehidupan. Sementara dalam cerita 'Demam Capres' secara tidak langsung mengkritik fanatisme seseorang terhadap capres. Ketika nalar tidak digunakan, maka emosilah yang menguasai. 'Persimpangan Jalan' menceritakan pertentangan batin seorang aktivis ketika harus memilih jalan hidupnya dengan terus berjuang di garis yang dia nyakini atau harus memilih mengikuti keinginan orangtuanya yang tetap mengharapkan anaknya menjalani hidup seperti anak-anak pada umumnya.
.......mungkin karena sejak kecil aku hidup dalam negara kecil atau keluarga yang otoriter, tidak demokratis, tidak bisa berpendapat bebas mengakibatkan jiwaku tumbuh menjadi pembangkang, sehingga saat kuliahpun melihat kenyataan di negara yang menurutku jauh dari keadilan jiwa pembangkangku muncul dan semakin subur berkembang.  
Apalagi setelah aku menemukan kawan-kawan dan organisasi yang memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas oleh penguasa, membuatku semakin terlarut dalam semua kegiatanku......

Kamis, 23 April 2015

23 April, Perayaan Hari Buku Sedunia

Mungkin belum banyak yang tahu kalau hari ini tanggal 23 April,  adalah hari buku sedunia atau   World Book Day.

Kali pertama World Book Day di rancang oleh UNESCO sebagai  sebuah perayaan buku dan literasi yang diadakan setiap tahun di seluruh dunia.
Menurut sumber pustakainfo.wordpress.com, sejarah perayaan World Book Day awalnya merupakan  sebuah tradisi pemberian bunga mawar dari laki-laki  kepada kekasihnya yang  bagian dari perayaan  Hari Saint George di wilayah Katalonia. Perayaan tersebut dilakukan  sejak  abad pertengahan. Tahujn 1923 para pedagang buku  mempengaruhi tradisi tersebut untuk  mengenang den memberikan penghormatan kepada seorang pengarang , Miguel de Cervantes, yang meninggal tanggal 23 April. Sejak tahun 1925 para perempuan menganti tradisi  pemberian bunga mawar dengan memberikan buku. Saat itu sekitar 400.000 buku terjual dan ditukar dengan 4 juta bunga mawar. Saat Konferensi Umum UNESCO tahun 1995, diputuskan tanggal 23 April sebagai World Book  Day. Tepat tanggal tersebut tokoh-tokoh  dunia seperti Shakespeare, Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla meninggal dunia sedangkan Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejía Vallejo and Halldór Laxness dilahirkan.
UNESCO merancang World Book Day  sebagai perayaan buku dan literasi yang diadakan setiap tahun di seluruh dunia. Juga sebagai penghargaan dan kemitraan penerbit, distributor, orgnaisasi perbukuan , komunitas pecinta buku juga pengarangnya. Perayaan ini juga untuk memberikan semangat kepada seluruh masyarakat terutama anak-anak agar mampu mengeksplorasi manfaat dari senang membaca buku

Buku-buku  bacaandengan mudah kita akses (dok. Suci)
Indonesia  sendiri untuk pertama kali melaksanakannya perayaan ini  di tahun 2006 dengan prakarsa Forum Indonesia Membaca yang didukung oleh berbagai pihak, baik itu pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan masyarakat umumial budaya kemanusiaan.

Mendorong minat baca anak dan rasa cinta  terhadap buku memang sangat penting dan berpengaruh positif terhadap perkembangan anak. Ibarat buku adalah jendela dunia, dengan membaca anak akan mendapatkan informasi dan pengetahuan serta imajinasi yang kuat dan luas. Efek positif lainnya mendorong anak memanfaatkan waktu dengan lebih efektif. Dan jika ada nilai plus lainnya(misalnya bisa menulis) itu adalah bonus. 


Sebagian buku-buku karya anak kedua saya Anugrah Rawiyah Salma (dok. Suci)


Seperti anak-anak saya, suka membaca sejak usia pra sekolah. Kecintaan terhadap buku luar biasa kuat, dan mendorong untuk menulis juga. Saat ini anak kedua saya, usia 14 tahun sudah mempunyai 10 buku (novel dan kumcer) yang diterbitkan penerbit mayor. Mari kita kembangkan budaya cinta buku dan membaca untuk generasi yang lebih cerdas dan berkarakter.
Selamat hari buku sedunia!!!




Rabu, 15 April 2015

Menikmati Durian Manis Di Pantai Losari Ambon

Jalan-jalan ke Ambon.
Keindahan pantai menjelang senja (dok. Suci)



Bagi penikmat durian,  tak salah jika mampir ke Pantai Losari Mardika Ambon. Di lokasi inilah setiap malam warga merasakan  nikmatnya durian manis di padu dengan bau yang ehm enak sekali. Berderet pedagang  durian memenuhi  trotoar jalan dan mengambil sebagian jalan untuk tempat  duduk-duduk para penikmat durian. 
Pembeli bebas memilih dan menawar durian yang ditawarkan pedagang (dok. Suci)


 Pantai Losari  Ambon terletak di sebelah taman Victoria yang biasa dipergunakan warga untuk bersantai. Entah mengapa di sebut pantai Losari, karena biasanya orang akan menebak pantai Losari itu di Makasar. Menurut beberepa orang, nama pantai Losari ini  karena  pemandangan pantainya mirip dengan Losari-nya Makasar.

Hampir sepanjang malam, mobil bak terbuka membawa durian yang disetorkan kepada para penjual.  Mereka pedagang yang membeli durian dari petani langsung di Ambon.  Sebagian petani yang membawanya langsung ke kota.  Selain membawa durin,  pedagang juga membawa buah pisang yang terkenal pisang berukuran besar  dan rasanya enak. Stok durian nyaris tidak pernah habis karena pasokan selalu datang. Ukuran durian besar, sedang sampai yang kecil tersedia, tinggal memilih mana yang sesuai selera. Rata-rata durian manis semua  dengan  bau yang membuat air liur menetes. Meskipun saya bukan pengemar durian tetapi melihat durian yang ranum dan berbau harum tak ayal membuat saya terpesona.

Setiap malam pedagang memasok durian  (dok. Suci)
Harga durian juga termasuk murah. Durian ukuran besar hanya di jula Rp 20.000, sementara yang sedang bisa Rp 15.000. Bagi yang tidak bisa memilih durina yang manis dan enak, tidak perlu khawatir karena pedagang jujur-jujur bisa memilihkan durian yang enak dan nikmat.
Bagi yang tidak suka durian, ada juga beberapa buah lokal lainnya yang dijual pedagang lapak. Langsa Ambon yang terkenal  besar dan manis, apel, jeruk bisa menjadi pilihan. Silahkan memilih seseuai dengan selera dengan harga terjangkau. Untuk urusan minum, tak perlu risau, banyak minuman mineral tersedia. Pokoknya tinggal datang dan melahap durian manis semanis ambon manise.***