Kamis, 26 Februari 2015

Menyongsong Implementasi UU Desa (Menelaah PP Nomor 43 Tahun 2014 dan PP Nomor 60 Tahun 2014)


(UU Desa)
            UU No 6/2014 tentang Desa  merupakan pengakuan dan penghormatan Negara terhadap Desa karena Desa memiliki payung pengaturan tersendiri yang terpisah dari pengaturan pemerintah pusat. Kedudukan desa bukan lagi sebagai organisasi pemerintah yang berada dalam sistim pemerintah kabupaten/kota (local state government)  tetapi sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government.
            Kehadiran UU Desa ini memperkuat desa setidaknya dilihat dari beberapa  hal. Dari sisi politik, desa menjadi  arena bagi warga untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan.  Dari sisi kewenangan, desa mempunyai kewenangan asal usul, desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berskala lokal yang ditetapkan menurut peraturan perundanga-undangan yang berlaku. Dari sisi pembangunan, desa merupakan subyek pemberi manfaat yang mampu menjalankan emansipasi lokal dalam pelayanan public dan pengembangan aset lokal. Dari sisi keuangan, Negara melakukan redistribusi anggaran desa yang bersumber dari APBN dan APBD untuk membiayai kewenangan desa dengan jumlah anggaran yang signifikan.
Penjelasan pasal 72 ayat  (2)  UU Desa tentang besaran alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa ditentukan 10% dari dan di luar dana transfer daerah (on top) secara bertahap.  Sementara pasal 72 ayat (4) menerangkan  bahwa desa juga mendapat sumber dana paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Merujuk pada dana transfer daerah  pada APBD tahun 2014 Rp 592 triliun,  DAU dan DBH sebesar Rp 454,9 T, kemudian jumlah desa ada 72. 944 desa, maka diperkirakan tahun 2014 rata-rata Pendapatan Desa dari bagian dana perimbangan  adalah 45,4 T/72.944 = Rp. 623.629.955. Jika di tambah dengan rata-rata Pendapatan Desa dari APBN on top dari Dana Transfer ke Daerah (59,25 T/72.944) = Rp. 812.404.036 . Maka diperkirakan setiap desa akan mempunyai pendapatan desa yang bersumber dari APBN sekitar  Rp. 1,4M.  Jumlah Rp 1,4 M  inilah yang selama ini disambut suka cita oleh Desa. Dalam bayangan mereka, Desa akan mengelola anggaran dengan nilai yang cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tetapi dari rapat kerja Banggar DPRRI tentang APBN TA 2015 disepakati bahwa Dana Desa sebesar Rp 9,066 triliun atau hanya 1,4 % dari total dana transfer daerah, atau jika digunakan untuk sekitar 72.944 desa, untuk TA 2015 satu desanya mendapatkan tak lebih dari Rp 150 juta/desa.
Meskipun jumlah Dana Desa TA 2015 belum sesuai dengan amanat UU Desa, tetapi Desa semestinya sudah mulai mempersiapkan diri untuk mengimplementasikannnya. Dari pemerintah pusat, sebagai implementasi pelaksanaan UU Desa, pemerintah menerbitkan PP nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber  dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kehadiran PP tersebut memang ditunggu agar UU Desa bisa dilaksanakan sebagaimana yang telah diamanatkan. Sangat disayangkan, proses penyusunan kedua PP tersebut   hampir tidak ada keterbukaan dan tanpa  ada pembahasan  publik sebagaimana dengan UU Desa yang lebih terbuka dan terpantau oleh masyarakat.  Ada beberapa pihak yang belum merasa puas dengan kedua PP tersebut, ada yang menilai PP tersebut belum mencerminkan semangat reformasi sebagaimana amanat yang dituangkan dalam UU Desa. Kekhawatiran ini sempat muncul saat UU Desa ditetapkan.  Padahal PP yang diharapkan menjabarkan amanat UU Desa dengan lebih jelas, detail dan implementatatif.

            Ada beberapa  hal  yang  mestinya  kita cermati ulang sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Desa.
Pertama, tentang pengangkatan pejabat kepala desa. Pasal 55 menjelaskan  bahwa dalam hal sisa masa jabatan kepala Desa yang berhenti tidak lebih dari satu tahun karena diberhentikan sebagaimana   dalam pasal 54, bupati/walikota mengangkat Pegawai Negeri Sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai pejabat kepala Desa sampai terpilihnya kepala Desa yang baru. Dalam PP dimungkinkan PJ kepala Desa diangkat dari kalangan PNS. Hal ini tidak relevan, sebaiknya   tokoh masyarakat atau salah seorang perangkat desa bukan PNS boleh sebagai PJ kepala Desa. Dilain pihak,   Pemkab kemungkinan keberatan jika harus menempatkan PNS sebagai PJ kepala Desa karena keterbatasan sumberdaya manusia baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Kedua, Musyawarah Desa sebagaimana dalam pasal 80 ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan musyawarah Desa diatur dengan Peraturan Menteri. Hal ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut, mestinya  musyawarah desa tidak perlu diatur sampai detail. Pengaturan musyawarah desa sebaiknya hanya pada hal-hal tehnis saja, tidak sampai mengatur hal subtansi karena musyawarah Desa merupakan representasi demokrasi lokal yang harus dihormati dan diakui. Hampir semua desa mempunyai kearifan lokal yang mampu mengatur desanya sendiri.
Ketiga, pembatalan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa. Dalam pasal 87 disebutkan bahwa Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan oleh bupati/walikota. Kedudukan peraturan Desa dengan peraturan di atasnya masih dapat dikatakan lemah. Dari pengalaman yang ada, banyak Raperdes yang dibatalkan oleh Pemkab karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Dari sisi desa, Raperdes yang tidak disetujui Pemkab setelah dikonsultasikan sangat menyulitkan pelaksanaan karena penyusunan Raperdes memakan waktu dan pada dasarnya sudah disetujui warga masyarakat melalui musyawarah Desa  dengan Badan Permusyawaratan Desa. Sebaiknya, kedepan pemerintah daerah dapat menjembatani agar proses penyusunan Perdes berjalan lancar, memastikan sinkronisasi Perdes dengan peraturan di tingkat daerah dan nasional sehingga desa tidak dirugikan.
Keempat, tentang pelaksanaan pembangunan desa. Dalam pasal 122 PP 43/2014 dijelaskan bahwa  pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan program sektoral dan program daerah yang masuk ke desa. Pasal ini tidak menganut asas subsidiaritas di mana urusan skala desa diselesaikan oleh desa, tidak melibatkan pemerintahan supra desa.
Kelima, tentang pemberdayaan masyarakat dan pendampingan masyarakat Desa. Pasal 126 ayat(2), pemberdayaan masyarakat Desa dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, Pemerintah Desa dan pihak ketiga. Ayat ini bisa dimaknai sebagai intervensi pemerintah terhadap kedaulatan desa. Sementara untuk tenaga pendamping (pasal 129) harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, social, budaya dan/atau teknik, perlu dipertimbangkan. Faktanya untuk orang-orang desa sulit mempunyai sertifikasi.  Kemungkinan hanya fasilitator PNPM yang telah mempunyai sertifikasi, sehingga menutup peluang orang-orang lokal desa.  Seharusnya tenaga pendamping perlu mengedepankan mobilisasi masyarakat desa sendiri dan tenaga pendamping tidak dibatasi syarat administrasi tetapi disesuaikan dengan kebutuhan desa dan tidak harus mempunyai sertifikasi.  Kedepan, desa melalui Perdes bisa mengatur apakah desa membutuhkan pendamping , desa menolak pendamping, juga jangka waktu pendamping.
Keenam, khusus dalam PP 60/2014, Bab V tentang penggunaan Dana Desa. Pasal 20 dan 21 kontradiktif karena menteri  yang menangani Desa menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa (pasal 21) sementara pasal 20 mengemukakan penggunaan dana desa mengacu pada RPJM Desa dan RKP Desa. Dari pasal ini menunjukkan pemerintah supra desa masih meng-intervensi desa, padahal desa sudah memiliki kewenangan skala lokal yang dapat dikelolanya. Mestinya program yang direncanakan dan tertuang dalam RPJM Desa sudah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan desa. Kedepan, Desa perlu melakukan penguatan kapasitas desa dalam  mengelola dana desa secara mandiri agar pemerintah supra desa tidak meng-intervensi penggunaan dana dan jenis program yang dilaksanakan di desa
Ketujuh, tentang pelaporan Dana Desa, pasal 25 ayat (2), dijelaskan bahwa dalam hal bupati/walikota tidak atau terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (3), Menteri dapat menunda penyaluran Dana Desa sampai dengan disampaikannya laporan konsolidasi realisasi penyaluran dan penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya. Pasal ini mengandung konsekwensi Dana Desa akan tertunda pencairannya jika bupati/walikota terlambat melaporkan. Dikhawatirkan bila semua Desa sudah melaporkan sesuai waktu yang ditentukan sementara kabupaten terlambat melaporkan, Desa yang terkena imbasnya. Untuk itu perlu diusulkan mekanisme transparansi proses pelaporan Dana Desa ke pusat, sehingga Desa bisa mendorong pemerintah kabupaten untuk melakukan pelaporan sesuai dengan waktu yang ditentukan.

            Desa yang maju, kuat, mandiri, demokratis dan sejahtera merupakan tujuan desa baru yang diamanatkan oleh UU Desa sebagai perubahan desa yang berkelanjutan dimasa yang akan datang. Dengan pemanfaatan sumber penganggaran yang relative besar , peluang   desa  semakin terbuka dalam  menjalankan program pembangunan dan  menjadi lebih berdaya dalam menjalankan demokrasi desa, kewenangan desa, pengelolaan dan penatausahaan aset desa, pengembangan ekonomi local. Tantangan terberatnya  adalah mengelola anggaran untuk kesejahteraan warganya dengan profesionan, akuntabel, dan sesuai dengan kerangka regulasi yang ada.  Dengan dana yang besar dan pengelolaan anggaran yang tepat akan membawa kesejahteraan bagi warganya.***


(tulisan ini dimuat Harian Solopos, 23 Okt 2014)



Tes Masuk SD Membuat Anak Histeris

Seperti tahun-tahun sebelumnya, meskipun tahun pelajaran baru belum dimulai, masih sekitar lima bulan lagi, tetapi sekolah swasta (SD Swasta) sudah membuka pendaftaran murid baru. Bahkan di beberapa SD swasta  favorit sudah tutup.

Bagi orangtua yang  menginginkan putra/putrinya memperoleh pendidikan di SD swasta, harus berburu sekolah sejak awal tahun kemarin. Informasi tentang pendaftaran bahkan harus di peroleh sejak akhir tahun. kalau lupa bukan tidak mungkin ‘perburuan’  SD swasta sudah ditutup dan tidak akan kebagian kursi lagi. Orangtua harus pintar mencari informasi, karena biasanya pendaftaran tidak akan secara terbuka, karena pendaftaran murid baru secara resmi (sesuai Dinas Pendidikan)  masih beberapa bulan lagi.

Tidak bisa dipungkiri, sudah sejak beberapa tahun yang lalu, pilihan sekolah swasta (apalagi yang favorit) menjadi idola bagi orangtua. Meskipun biaya selangit dan bahkan terkadang tidak masuk akal, tetapi orangtua  bela-belain untuk tetap menyekolahkan putra/putrinya. Alasan yang cukup masuk akal karena di sekolah swasta kualitas pendidikan lebih baik dibandingkan sekolah negri.  Selain itu pertimbangan tertentu menjadi alasannya, misalnya sekolah islam sejenis SDIT lebih menekankan pendidikan agama yang lengkap dan mendalam. Tentu berbeda jauh dari sekolah negri yang pendidikan agama hanya 1-2 jam dalam seminggu, sementara SDIT bisa lebih dari 8 jam itupun secara terperinci (bahasa arab, fikih, akidah&akhlak, sejarah islam,dll).

Saya kira sah-sah saja, setiap orangtua tentu menginginkan putra/putrinya mendapatkan pendidikan yang terbaik  sejak dini. Tetapi mungkin ada yang terlupakan orangtua yaitu proses tes masuknya membuat anak tertekan atau tidak. Saya cukup  prihatin, proses pendaftaran siswa baru melalui ujian/ tes yang meliputi calistung(membaca, menulis, berhitung).  Anak-anak yang rata-rata usinya 5-6 tahun di paksa mampu dan bisa  calistung. Tak heran jika sejak PAUD dan TK anak-anak biasanya  diajarkan oleh guru-gurunya  bisa calistung. Usia dini yang mestinya untuk bermain danbereksplorasi diri terpaksa diajak berpikir keras, celakanya karena proses belajar calistung tidak semua dengan metode permainanan.  Saat tes masuk SD, tidak semua guru (yang melakukan tes) mengunakan metode permainan. Mereka saya lihat cenderung memperlakukan anak seperti anak yang sudah besar, sudah paham tes/ujian. Sehingga anak diminta baca/menulis/berhitung selayaknya anak-anak yang sudah mampu memahami arti tes/ujian itu sendiri.

Beberapa hari yang lalu, saat saya mengantar anak tes untuk masuk SD, saya sangat prihatin saat melihat ada seorang anak usia  kurang dari 6 tahun yang sampai menangis histeris karena sudah melakukan tes ulang (tes pertama tidak lulus dan masuk cadangan)tetapi tetap saja tidak diterima. Nilai dari semua tes calistung menurut  panitia penerimaan siswa baru kurang memenuhi grade 200 point.  Si anak menangis karena tahu tidak diterima di SD yang cukup favorit di Kota Solo ini. Sementara itu ibunya marah-marah dan tidak terima karena anaknya tes sampai dua kali tetapi tetap tidak diterima. Menurut ibunya, si anak sebenarnya mampu dan bisa (saat ini masih TK dan mampu calistung dengan baik) tetapi saat tes SD tidak bisa mengeluarkan kemampuanya. Belum mengenal guru, belum paham perintah tes-nya dll kemungkinan menjadi alasan si anak tidak maximal  saat tes berlangsung. Anak  sepertinya juga tahu persis kalau tidak diterima di SD yang dia sukai sehingga sampai histeris bahkan mungkin cenderung stress ringan.

 Bagi orangtua,  hal-hal semacam itulah (kondisi psikologi) anak yang perlu dipertimbangkan orangtua saat akan memasukkan putra/putrinya ke SD favorit. Jangan sampai anak menjadi tertekan, shock bahkan depresi saat tahu arti kegagalan dan kekecewaan. Orangtua seyogyanya juga tidak terlalu berharap banyak dan melambungkan angan-angan putra/putrinya agar tidak menimbulkan kekecewaan yang mendalam.

Bagi sekolah, mestinya dipertimbangkan formulasi yang tepat dengan metode yang tepat dan sederhana saat proses tes/ujian dengan mempertimbangkan usia anak dan kondisi psikologisnya. Kalau saya secara pribadi tidak sepakat ada tes calistung untuk masuk SD, tetapi rasanya tidak mungkin, karena  hampir semua SD (terutama favorit) tetap mengunakan proses tes calistung untuk menerima siswa baru.***