Selasa, 30 Juni 2015

Mudik? Hati-hati Pakai Mobil Dinas

Lebaran sebentar lagi....hari yang dinanti-nanti
Lebaran ? Mudik yuk



Menjelang lebaran nanti, bisa dipastikan kita akan melihat mobil berplat merah wira wiri di jalanan. Tidak heran, para PNS akan memanfaatkan meminjam mobil dinas untuk mudik lebaran dan silaturahmi ke keluarga, saudara, kawan.

Para PNS pantas bersuka ria dengan kabar boleh meminjam mobil kantor.  Mengucapkan terimakasih atas kebijakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi.

Sabtu, 27 Juni 2015

Harga Intelektual Kita Lebih Rendah dibanding Artis

Beragam acara televisi dikemas menari dan membuat orang suka untuk menonton, sehingga rating tinggi, acara laku dijual, iklan banyak dan ujung-ujungnya duit yang masuk ke stasiun televisi pun banyak.
Menghadirkan narasumber/bintang tamu boleh jadi merupakan startegi untuk membuat acara lebih menarik lagi.

Beberapa acara yang ditayangkan seperti talkshow dengan beragam tema politik, hukum, sosial, dlll maupun infotaiment membutuhkan sejumlah bintang tamu/ narasumber.
Entah ukuran apa yang dipergunakan oleh stasiun televisi untuk memberikan imbalan jasa kepada para narasumber yang melengkapi acara yang ditayangkannya.
Mungkin kepopuleran si tokoh yang bersangkutan, kemampuan intelektualnya, jadwal terbangnya, bagi artis mungkin selain popular juga secara phisik menarik atau karena sedang menjadi topik pembahasan karena masalah tertentu.
Entahlah saya tidak tahu, karena bukan pengamat televisi.

Tetapi yang membuat saya terkejut,kemarin,  saat membaca status seorang teman yang menshare status temannya tentang honor narasumber yang masuk ketegori intelektual –cendikiawan dengan nilai yang tidak terlalu besar. Dari informasi yang dia tuliskan, honor narasumber, untuk sekali tayang ,  honor yang diberikan oleh Berita Satu TV Rp 400.000. Sementara informasi honor dari Metro TV Rp 750.000, TV One Jak TV Rp 500.000.

Wah, saya tidak menduga sama sekali kalau honor narasumber seorang tokoh intelektual dengan gelar profesor tidak cukup besar bahkan relatif kecil. Apalagi tokoh tersebut sudah biasa diundang stasiun televisi, wira wiri di layar kaca untuk memberikan pencerahan kepada publik dengan persfektif pemahaman publik.

Saya semakin prihatin jika membandingkan dengan honor artis yang diundang sebagai bintang tamu untuk sebuah acara infotaiment yang bisa berjuta-juta bahkan puluhan juta rupiah. Bahkan saya pernah mendengar dari televise, seorang yang bukan artis, hanya teman artis, tetapi ikut diundang stasiun televisi karena si artis ada ‘sebuah pemberitaan’ ia diberikan honor Rp 3 juta hanya untuk bicara-bicara yang menurut saya seperti orang gobrol biasa. Tidak perlu kemampuan intelektual khusus, tidak perlu sekolah tinggi untuk bisa bicara seperti itu. Semua orang biasa bisa saja bicara separti itu.

Belum lagi honor ustad yang sekarang banyak ustad yang mempunyai label tambahan ustad artis, bahkan konon ada yang memasang honor diatas  tigapuluh juta sekali tayang  untuk menjadi pengisi ceramah dan  lebih dari  seratus juta untuk diundang menghadiri acara tertentu/ off air.

Televisi sebagai media massa yang berfungsi juga sebagai sarana hiburan, edukasi, informasi rupanya kurang memperhatikan ‘nilai’ dari seseorang yang layak dan diundang sebagai narasumber untuk melengkapi acaranya. Penghargaan yang terkesan hanya cukup untuk bayar ongkos taxi di Jakarta p/p itu, tidak sebanding dengan nilai jual dan pundi-pundi uang yang mengalir deras dari tayangan iklan, sponsor yang menjadi tambang uang mereka.

Kalaupun artis lebih besar honornya dengan pertimbangan acara yang dihadiri artis biasanya banyak iklannya sehingga banyak uangnya, apakah itu menjadi alasan narasumber sekelas  intelektual/cendikiawan dihargai sangat-sangat murah?

Menurut saya, tayangan ‘ ringan’ dengan menghadirkan artis (infotaiment, musik dll) saling melengkapi dengan tayangan berat seperti berita, talkshow dll. Kalaupun yang lebih banyak iklannya saat acara ringan ( infotaiment, musik )itu karena televisi menilai acara tersebut mempunyai rating tinggi. Tetapi harap diingat, kalau saja televisi hanya mempunyai acara ringan/hiburan , tanpa mengemas acara berat misalnya berita, talkshow yg menghadirkan narasumber dengan kemampuan intelektual tertentu, belum tentu televisi tersebut diminati pemirsa. Siapa sih yang hanya butuh tayangan infotaiment, hiburan, musik? Pasti pemirsa juga butuh acara penyeimbang lainnya yang lebih berbobot, berkualitas, memberikan informasi aktual dan sukur2 banyak acara yang mendidik.

Alangkah sedihnya saat kapasitas intelektual orang-orang top di negri ini hanya dihargai sebegitu rendahnya.***


Solo, 27 Juni 2015

Jumat, 26 Juni 2015

Pak Guru Oh Pak Guru

"Berangkat Pak Guru?" tanya tetangga sebelah saat melihat Pak Mulyo yang biasa di sapa pak guru. Sejak puluhan tahun yang lalu, Pak Guru mengajar di SDN, satu-satunya sekolah dasar milik pemerintah yang terletak di sudut dusun pinggir persawahan.
gambar : www.google.co.id/search?q=gamba+pak+guru+kartun&biw=1346&bih=627&tbm


"Iya. Mau berangkat ke sawah pak?" tanya Pak Guru balas menyapa.

"Hehe.."
 "Yuk, pak. Jangan lupa nanti malam ada pertemuan di rumah."

Pak Guru mengingatkan sambil mengayuh sepeda kumbangnya meniti jalan ditengah sawah yang menghubungkan dusun tempat tinggalnya dengan sekolah. Sesekali pandangan matanya ditebarkan ke rimbunnya batang padi yang mulai menguning. Hidungnya membaui bulir padi yang tak lama lagi siap di panen. Matanya berbinar riang melihat lautan kuning dengan rimbunnya mulai menunduk, sarat bulir padi gemuk.

Meskipun ia mendengar sudah sejak dua tahun lalu ada penghargaan lebih untuk pengabdian guru dengan mendapatkan sertifikasi, tetapi ia dan teman-temannya yang tinggal jauh di pelosok negri hanya menikmati kesenangan rekan guru lainnya yang tinggal di kota besar.

Entah, ia sama sekali tidak mengerti atau lebih tepatnya tidak mau mengerti kenapa ia dan rekannya belum juga mendapatkan hak sertifikasi itu. Soal jam mengajar, mereka yang mengajar di tempat terpencil jauh melebih jam mengajar yang disyaratkan pemerintah. Bagaimana tidak, satu sekolah rata-rata hanya mempunyai 2-3 guru, mau tidak mau harus bisa mengajar bergantian untuk enam kelas. Sejak puluhan tahun yang lalu sekolah tempatnya mengajar memang sulit mendapatkan guru yang betah mengajar lama. Guru datang silih berganti dari kota tetapi tidak ada yang bertahan lama. Terpaksa ia dan 2 guru lainnya yang berasal dari dusun terdekat berjibaku mengemban tugas negara. **


"Pak Mul, saya mau minta ijin beberapa hari tidak masuk," kata Pak Andi sambil memberesi meja kerjanya.

Pak Guru memandang rekannya dengan pandangan bertanya," Ada perlu apa Pak?"

"Saya ingin mengurus sertifikasi. Semua berkas sudah lama dikirim ke kota tetapi tidak ada kabarnya. Saya ingin mengurus sendiri."

"Nggak bisa ditunda, Pak?"

 "Sepertinya sudah terlalu lama. Saya mendengar tunjangan sertifikasi cukup besar untuk ukuran orang seperti kita. Kalau tidak diurus takutnya tidak cair. Uang itu bisa saya pergunakan untuk biaya sekoah anak-anak dan menambah keperluan lainnya," kata Pak Andi panjang lebar.

Pak Guru mengerutkan keningnya. Setahunya tunjangan itu untuk peningkatan kapasitas diri bukan untuk keperluan rumah tangga lain.

“Berapa hari, Pak?” tanya Bu Sri dengan pandangan khawatir. Mengajar tiga orang saja nyaris membuat mereka tidak bisa istrirahat. Bagaimana hanya dengan dua orang? Keluhnya.

“Ya paling tidak seminggu, Bu. Saya berencana mampir ke rumah saudara barang dua hari. Kalau urusan sertifikasi lancar, seminggu baru sampai dirumah.” Jelas pak Andi. Kali ini semua mejanya sudah rapi, buku paket bertumpuk disudut meja.

Pak Guru membuang pandangan ke luar jendela. Angin semilir membuat pohon-pohon dihalaman sekolah bergoyang. Halaman sekolah sudah sepi, anak-anak sudah pulang sejak beberapa waktu yang lalu. Hanya terlihat pak Bon sedang menutup semua jendela kelas.

 Tak ada gunanya menahan Pak Andi. Ia sangat maklum kalau rekannya bersikeras. Ia dan rekan-rekannya belum menerima kabar pemberkasan sertifikasi yang sudah ama mereka kumpulkan. Bukannya Pak Guru tidak mau mengurus, tetapi kalau harus meninggalkan sekolah, siapa yang akan mengajar anak-anak? Bukan pekerjaan mudah. Semua tenaga yang ada harus tota untuk anak-anak. Bahkan diusinya yang menginjak kepala tujuh, ia yang mestinya pensiun sejak imabelas tahun yang lalu masih harus mengemban tugas.

Pak Guru hanya hanya bisa menganggukkan kepala saat pak Andi pamit dan disusul Bu Sri. Pak Andi memang berhak untuk mendapatkan itu. Tidak ada alasan baginya untuk menghalangi. Kapan ia menyusul ke kota mengurus berkas-berkas itu? Batinnya kecut. Diusirnya jauh-jauh keinginan yang sempat tersirat dibenaknya. Anak-anak lebih membutuhkannya. Biarkan sertifikasi itu tertunda, entah sampai kapan. Ia tidak mau tahu. Benar-benar tidak mau tahu. Biarlah waktunya habis untuk mendidik anak-anak. Bayangan sertifikasi itu memudar. *****

Menguak 'Rahasia' Taman Balekambang Solo

Hari Kamis (7 Mei 2015) acara Masih Dunia Lain (MDL) Trans & memilih lokasi uji nyali secara live di Taman Balekambang Solo menuai protes sejumlah warga  dan seniman.

Salah satu sudut Taman Balekambang Solo (dok. Suci)
 Bagi mereka stigma gedung pertunjukan bisa jatuh karena isu arwah penasaran tersebut. Padahal secara rutin gedung tersebut digunakan sebagai tempat pementasan wayang orang/ketoprak. Selain itu pemerintah Kota Solo sedang giat-giatnya melakukan promosi mengajak warga menyaksikan pertunjukan wayang orang/ ketoprak di tempat yang sama.

MDL yang mengambil tema Arwah Sinden Penasaran berlangsung di Gedung Pertunjukan Taman Balekambang, Solo. Dari kabar yang dihembuskan, pernah ada pesinden meninggal dan sampai sekarang arwahnya penasaran.Acara yang penuh dengan nuansa mistis ini, bukan yang pertamakali mengambil lokasi shooting di Kota Solo. Bulan Juni 2014 yang lalu, MDL menggunakan lokasi alun-alun Kidul Solo dekat penyimpanan kereta keraton Solo.

Entah acara MDL itu benar-benar mistis atau tidak, peserta yang ikut uji nyali di lokasi benar-benar bisa merasakan kehadiran makhuk lain di sekitar lokasi shooting atau tidak, yang jelas penonton televisi seperti melihat kehadiran ‘penghuni lain’ seperti yang terlihat saat gamelan gong bergerak sendiri . Peserta juga ‘sepertinya’ kesurupan. Selain itu juga ada beberapa panah (penanda) dari layar televisi yang memberikan penjelasan ada sesuatu yang aneh terjadi.

Tetapi anehnya, beragam tanggapan dari beberapa warga yang merasakan ada keanehan dan kejanggalan. Mereka yang relative orang-orang yang sering berinterkasi dan tahu persis kondisi di Taman Balekambang heran kalau ada hal-hal yang dianggap ‘mistis’ di lokasi shooting tersebut.

Beragam tanggapan seperti, yang tertulis dalam status penguna FB : "Masih Dunia Lain" di Taman Balekambang itu memang gerrrr..... kok bisa-bisanya ada pernyataan "pernah ada sinden bunuh diri di sini", mbok tanya dulu sama komunitas ketoprak Balekambang yang dulu bertahun-tahun tinggal di Taman Balekambang: ada tidak sinden bunuh diri di sana? Lagian itu gedung ketopraknya kan baru, dibangun pada masa Wali Kota Joko Widodo.
Kemudian diberikan komentar oleh yang lainnya:

14313415161423302144
Beberapa percakapan di FB teman
Mereka menyatakan keheranan akan informasi perihal keangkeran gedung pertunjukan tersebut. Karena sepanjang sepengetahuan mereka tidak ada hal-hal yang aneh. Bahkan kelompok pegiat seni yang sering melakukan pentas di gedung tersebut selama bertahun-tahun tidak merasakan hal yang aneh atau hal-hal gaib.

Kalau dilihat dari sejarahnya, Taman Balekambang sebelum dibangun menjadi taman teduh yang menjadi tempat rekreasi warga dengan sejumlah fasilitas seperti gedung pertunjukan wayang orang, dulu adalah taman yang tidak terurus. Ada sebagian lahan yang digunakan sebagai pemancingan, dan bagian lain digunakan sebagai diskotik. Gedung pertunjukan terlihat tua dan kusam dengan bangunan lama. Kemudian sejumlah bangunan seperti kamar-kamar kecil melengkapi areal Taman Balekambang tersebut.

Saya sendiri secara pribadi di tahun 2002-2005 seringkali mengunjungi Taman Balekambang. Saat itu kesan saya terhadap tempat tersebut kumuh, tidak terawat dan kotor.Secara berkala saya ikut dalam pertemuan kelompok Pekerja Seks Komersial(PSK) yang saat itu saya dampingi. Para PSK tersebut sebagian beraktivitas di dalam areal Taman Balekambang dan yang lainnya beroperasi di luar areal taman. Selama kisaran waktu tersebut saya belum pernah mendengar cerita mistis dan hal-hal gaib, seperti arwah sinden penasaran, dll. Padahal saya yakin 100% kalau memang ada hal-hal seperti itu pasti akan dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut dengan bumbu sedapnya yang lebih dasyat dan mengerikan. Tetapi nyatanya saya tidak mendengarkan hal itu.

Jika dilihat dari protes para seniman penguna gedung pertunjukan yang rutin pentas bertahun-tahun di tempat tersebut, saya semakin yakin kalau acara yang ditampilkan hanya sekedar mencari sensasi dan mungkin menaikkan rating-nya saja. Entah karena protes para seniman atau bukan, rencananya shooting di tempat yg sama untuk 2 hari (Kamis dan Jum’at) akhirnya hanya berlangsung satu hari saja. Karena di hari Jum’at shooting dilakukan di bangker yang terletak di Gembongan, Kartosuro, Sukoharjo.


Taman ini selalu ramai terutama di Hari Minggu, warga kota Solo dan sekitarnya tumplek blek di sana. Berbagai event digelar, dan sebagian besar acara rutin. Bahkan hampir setiap bulan, malam hari selepas isya, ada pertunjukan live sendratari di lokasi open stage yang dipadati ratusan pengunjung. Tema pertunjukan beragam antara lain sendratari ramayana, anoman obang, dll. Saya dan keluarga salah satu penonton favorit acara tersebut.
Dan sekian lama saya dan keluarga di lokasi tersebut, tidak ada hal yang aneh-aneh. Saya kira tempat tersebut tidak wingit/ angker seperti yang telah diberitakan.**

Ini Tubuhku, Mana Rupiahmu

Puisi


Bukan berita baru,
Bukan pula isu yang baru berhembus,
Juga bukan hanya sekedar pengalihan isu. 
 
Dari bertahun-tahun yang lalu,
Sambilan seperti itu sudah bukan  barang baru,
Terus ada, sulit di lihat seakan bagai hembusan angin lalu.

Mereka hidup bergelimang kemewahan,
Takut kekurangan dan tidak punya teman,
Tak berdaya dikuasai nafsu angkara.

Mencari jalan pintas yang mudah, cepat dan asoi,
Hanya demi gengsi dan agar tak terlempar dari komunitas selebiriti,
Mengadaikan harga diri dan menghindari prestasi.

Tak perlu dedikasi dan prestasi,
Tak butuh kerja keras dan apresiasi,
Hanya perlu wajah cantik dan bodi seksi.

Hanya dengan bahasa  isyarat dan lirikan sendu,
Manja menawarkan bibir merah bergincu,
Seakan berkata, "Ini tubuhku, mana rupiahmu".

Menguar  tubuh  dari satu bodi ke bodi lainnya,
Mendesah palsu dari satu tangan ke tangan ,
Menikmati setiap rupiah yang tercetak  di rekening bank satu dan satunya.

Semua kebahagiaan gemilang harta adalah palsu,
Senyum terkembang bagaikan tertusuk sembilu,
Saat usia tak bisa dimanipulasi dan tubuh tak lagi laku,
Hanya tersisa tangisan pilu dan  sang waktu yang mengerogoti sisa nafsumu. ***

(Solo, 15 Mei 2015)

Aku dan Tuanku

Aku tersentak, bangun karena terkejut.
Anjing! Lagi enak-enak tidur mendengkur, dikejutkan suara
hingar bingar tak karuan.  Suara derung knalpot sepeda motor yang dilepas sarangannya meraung-raung dan suara bising truk memekakkkan telaingga seakan hendak memecahkan gendang telingga.
Suara bising itu ditimpali teriakan-teriakan kompak dan bersemangat terdengar gegap gempita meneriakkan yel-yel dan slogan-slogan. Semua gemuruh.

sumber  foto : https://www.google.co.id/search?q=gambar+kartun+perempuan&biw=1346&bih=627&tbm=isch&imgil=4
 
           Diiringi teriakan-teriakan yang tak kalah kerasnya dari orang-orang yang menonton keramaian itu di pinggir jalan. Di tengah teriknya panas itu seakan merasa tak pedulikan. Debu-debu beterbangan, kotor. Jalanan sesak dan akhirnya macet. Justru kemacetan itu memberi kesempatan mereka untuk berhenti dan kembali meneriakkan yel-yel yang riuh. Polisi menjadi kewalahan mengatur jalanan. Akhirnya, para pemakai jalan memilih mengalah dan memberikan kesempatan rombongan massal itu untuk lewat.
          Benar-benar bising! Dasar manusia! Dengusku kesal sambil menguap.
          Kuperhatikan keramaian itu dari pinggir jalan. Mataku membelalak lebar, tetapi kemudian menyipit karena silau melihat lautan warna merah di depan sana. Orang-orang di rombongan itu berkaos merah semua. Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata di punggung kaos mereka ada gambar kepala banteng. Ikat kepala mereka juga merah. Riuh kulihat penampilan mereka. Berani, merah menyala. Menarik, gumamku.
          Aku menjadi tertarik untuk melihatnya dari dekat. Seketika kantukku menjadi lenyap tak berbebas. Ku coba berjalan mendekati dan menyeruak di antara kaki-kaki ribuan manusia yang berdiri berdesakan di pinggir jalan. Tapi sial, aku tidak bisa menguak kerumuan itu. Tetapi kucoba nekad untuk berdekan maju.
          “Enyah kau anjing kurap,” ada kaki angkuh menyepak tubuhku.
          Kaing ... kaing, teriakku kesakitan.            
          Ku tatap orang yang menyepak tubuhku tadi, tetapi ternyata orang itu juga sedang menatapku dengan mata menakutkan. Sorot matanya mengancam. Ku lihat kakinya sedang bersiap lagi untuk menyepakku lagi, agaknya.
          Bah, geramku marah. Tapi segera aku angkat kaki meninggalkan manusia angkuh itu. Bukannya takut, tapi karena aku memang tak mau membuat keributan. Saat ini aku tidak bernafsu memancing pertengkaran dengan manusia.
          Kuseret kakiku meninggalkan kerumunan lautan manusia itu. Kupikir, memang tak ada gunanya andai aku ikut kerumunan di situ karena paling-paling arakan massal itu tak dapat terlihat olehku. Dan barisan orang-orang itu tak bakalan memberiku tempat, tak sudi bersisihan denganku, dan tak rela bila aku ikut menonton keramaian itu. Buktinya, tadi sudah ada manusia yang memaki dan menyakiti tubuhku.
          Maka aku segera berlari menjauh. Di bawah semak-semak yang cukup teduh kurebahkan tubuhku yang mulai terasa kepanasan dan keringatan. Di mana-mana ku lihat suasana ramai. Dan jauh di sana lamat-lamat kudengar lagi suara teriakan yel-yel yang semakin membuatku tertarik. Aku memutar otak dan kubiarkan mataku berputar-putar mencari tempat strategis agar bisa ikut menyaksikan keramaian. Beruntung aku menemukan drum tempat-minyak tanah di depan toko babah Liong. Ide cemerlang tiba-tiba muncul di otakku membuat bibirku tersenyun. Setengah berlari aku menuju ke drum di depan toko. Ku lihat tidak ada orang yang memperhatikan aku karena begitu asyiknya melihat keramaian di sana. Tetapi lagi-lagi aku sial. Drum itu terlalu tinggi untuk kupanjat, Apalagi kulihat tidak ada sesuatu yang bisa aku gunakan untuk meloncat. Aku.menghela nafas putus asa. Akhirnya dengan langkah gontai aku berteduh di bawah sebatang pohon waru di dekat drum. Oh, mungkin memang sudah nasib, hanya mendengar keramaian itu tanpa ikut melihatnya.
          Lama kelamaan suara arak-arakan itu sudah semakin tak terdengar karena sudah semakin menjauh. Orang-orang mulai membubarkan diri. Aku bangun dan duduk menyaksikan mereka dengan sikap waspada untuk bersiap-siap menghindari orang-orang yang tak ramah padaku.
          Buk ! sebuah batu sebesar kepalan tangan menimpuk kepalaku.
          "Kaing!” aku tarlonjak kaget, melompat dan mataku mencari orang yang kurangajar itu. Kulihat serombongan pemuda tertawa-tawa melihat aku kesakitan. Benar-benar tak tahu adat!
          "Hayo..hayo..hush..hush.. minggat sana" hardik seorang pemuda berambut panjang sambil mengacungkan kepalan tangannya yang diiringi derai tawa teman-temanya.
          Aku mendengus. Ternyata tak ada tempat yang aman di jalan ini. Kuputuskan untuk pulang saja. Ku langkahkan kaki mennju rumah. Tentu lebih enak berbaring di bawah kursi ruang tamu atau berbaring di halaman depan meneruskan tidur yang tertunda tadi, pikirku.
          Tapi aku lupa, ternyata pintu rumah masih tertutup. Tuanku tentu belum pulang.
          Sambil menunggu tuanku pulang, aku berbaring di halaman.
          Tak lama kemudian, kulihat Poni pacarku datang menghampiriku, lalu ikut berbaring di sebelahku. Peluh bercucuran di keningnya, wajahnya memerah karena kepanasan, tetapi justru menambah kacantikannya.
          "Coki, kau tadi lihat nggak ada keramaian di jalan besar sana," kata Poni ,mata bagusnya menatapku.
          "Ya, aku tadi lihat. Orang-orang hingar bingar, berteriak-teriak ramai sekali. Entah ada atraksi apa." Jawabku.
          Poni tertawa, membuatku heran.
          "Itu.bukan atraksi, tapi kam-pa-ye ," Poni mengeja kalimat terakhir yang dia ucapkan secara perlahan-lahan.
          Kudongakkan telingaku mendengar kalimat asing itu.
          “Apa, kamanye ...?”
          “Kam-pa-ye, bukan kamanye”
          “Kau tahu dari mana kalau itu tadi kam-pa-ye?”
          “Ya aku tadi dengar orang-orang ramai mengatakan. Mereka bilang ini kampanye menjelang pemilu,” jelas Poni menyakinkan dan ku lihat dia bangga dengan apa yang dia ketahui.
          Aku hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan. Diam-diam aku merasa kagum pada Poni pacarku ini. Dia memang cerdas.
          Tuanku datang memakai kaos merah menyala seperti yang aku lihat di jalanan tadi. Kepalanya diikat kain merah pula. Wah, gagah sekali mas Faris siang ini. Aku bangkit dari tidurku, dan seperti biasanya kuhampiri mas Faris. Dia langsung menyambutnya. Kulihat wajah mas Faris berseri-seri, nampak senang.
          Melihatku, mas Faris hanya melirik sedikit, tak membelaiku sepeti biasanya, membuatku heran. Dia malah memandang Poni dan. tersenyum. Aku semakin mendongkol kesal. Tapi itu tidak lama, karena sesaat kemudian mas Faris jongkok mengusap-usap tengkukku.
          "Ha..ha..ha.. aku hanya mau menggodamu Coki. Sini-sini. Tahu nggak Coki aku tadi kampanye di jalan sana bersama kawan-kawan. Wah, sambutan masyarakat benar-benar luar biasa. Aku senang." kata mas Faris sambil membelaiku.
          Aku hanya mendengus-denguskan hidungku mendengarkan cerita mas Faris yang bersemanggat. Tangan mas Faris kujilati, pertanda aku mengerti dengan apa yang dia maksudkan.
          "Sudah sana, tuh Poni menunggumu, "Mas Faris masuk ke dalam.
          Aku tersenyum, kemudian kembali ke halaman dan berbaring di sebelah Poni lagi.
          "SSttt..Coki, mas Faris gagah yach siang ini," kata Poni.
          Aku cemberut mendengar pujian Poni. Cemburu rasanya karena pacarku memuji laki-laki lain di depanku.  
          "Tentunya dia tadi juga ikut kampanye. E iya tadi memang mas Faris kudengar ngomong begitu yach," tambah Poni.
          Aku jadi membayangkan mas Faris berada di tengah-tengah rombongan massal tadi.
          "Ramai sekali yach kalau mulai ada kampanye-kampanye. Kita akan sering saksikan lautan merah, lautan hijau dan lautan kuning, lautan biru dan banyak lagi…" kata Poni.
          Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya  tidak gatal. Angin siang berhembus sejuk nembawa kantuk. Tapi aku justru tak merasa mengantuk karena tertarik dengan penjelasan Poni.
          "Lho, memangnya akan ada  kampanye  lainnya?" aku mulai lancar mengucapkan ka1imat kampanye.
          "Aku dengar memang begitu."
          "Tapi Pon, tahun yang lalu kalau tidak salah sudah ada lautan kuning" kataku ketika teringat setahun yang lalu dimana-mana warna kuning menyolok mata, ada di mana-mana. Hanya kuning, tak ada yang merah ataupun hijau. tembok rumah kuning, pagar kuning.
          "Yach itulah karena kecurangan salah satu kelompok tertentu untuk memenangkan pemilu hingga membuat kecurangan dengan kampanye terselubung. Itulah politik. Itu sih kata mbak Sonia yang sering aku dengar dari diskusi-diskusi dengan kawan-kawannya," jawabnya sambil tersenyum.
          "Kamu kok pinter dan wasis gitu tho, Pon ?"
          "Mbak Sonia khan sering diskusi sama kawan-kawannya. Kadang dengan mas Faris lho kalau pas ke sana. Jadi aku sering mendengarkan dan jadinya tahu, “jawabnya bangga.
          Mas Faris memang sering ke rumah mbak Sonia, pacarnya yang cantik itu.
          “Coki, mosok mas Faris nggak diskusi kalau di rumah,” tanya Poni sambil menatapku.
          Aku diam tak menjawab. Sebenarnya mas Faris sering diskusi dengan kawan-kawannya. Saking seringnya sampai nggak kenal waktu. Nggak siang, nggak malam, mereka diskusi. Malah sering dari malam sampai pagi mereka tak tidur karena diskusi yang belum selesai. Tetapi selama ini aku selalu malas untuk ikut mendengarkan.
          "Coki, bagaimana pendapatmu tentang kampanye terselubung itu?”
          Aku malu karena tak bisa menjawabnya, karena tak tahu apa yang mesti aku jawab. Aku menyesal karena selama ini tidak pernah belajar dari mas Faris. Dan sekarang Poni pacarku ini mengajak diskusi tapi aku tak bisa nyambung dan tak bisa meresponnya.
          "Eh Coki...."
          "Sori Pon, aku tidak tahu banyak. Kalau menurut pendapat kau gimana?" tanyaku menutupi rasa malu.
          "Yach kalau menurut aku, tidak benar. Masak rakyat ditipu dan dimanfaatkan dengan kampanye terselubung itu. Itu provokasi yang nggak benar dan nggak pada tempatnya."
          Telingaku terasa ganjil mendengar istilah asing yang diucapkan Poni.
          "Provokasi itu mempengaruhi "lanjut Poni seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan.
          Aku semakin kagum kepada Poni yang rasanya semakin hari semakin cerdas dan pengetahuannya semakin luas. Sementara perutku terasa kroncongan, aku ingat tadi pagi lupa menyentuh sarapan yang disediakan mas Faris. Kerongkonganku juga terasa kering karena haus.
          "Coki... Coki...."
          Dari dalam rumah ku dehgar suara khas milik mas Faris memanggilku. Ku lihat mas Faris sudah sudah berdiri di teras rumah dan matanya memandangku yang terbaring di bawah pohon. Melihat mas Faris, aku bangkit.
          "Poni, aku masuk dulu yach. Mas Faris memanggilku," kataku pamitan pada Poni.
          Poni bangkit dari tidurnya.
          " Ya, Coki, aku juga mau pamit pulang. Kasihan kalau mbak Sonia nanti mencariku."
          "Nanti ketemu lagi yach, Pon," pintaku.berharap.
          Poni menganggukan kepalanya dan berjalan pulang.
*-*

          Tiga hari menjelang pemilihan umum, mas Faris pulang ke Aceh.
Ia ingin menggunakan hak pilihnya di kota asalnya sana, sekalian bermaksud mengurus surat-surat ijin pernikahannya dengan mbak Sonia. Seminggu yang lalu bapak mengirimkan telegram agar mas Faris segera pulang untuk mengurus pernikahannya. Aku ikut merasa bahagia karena pada akhirnya mas Faris berhasil menundukkan hati kedua orangtua mbak Sonia untuk merestui rencana pernikahan mereka. Pada mulanya kedua orang tua mbak Sonia tidak mengijinkan karena menginginkan mbak Sonia menyelesaikan terlebih dahulu kuliahnya di program S2, dan menginginkan mas Faris wisuda dulu. Tetapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah,  mereka berhasil menyakinkan hati orang tua mbak Sonia.
          Karena mas Faris nggak mungkin membawaku pulang,  aku dititipkan rumahnya mbak Sonia. Tentu saja aku sangat bahagia dan merasa beruntung karena aku akan selalu dekat dengan Poni. Tentu menyenangkan sekali kalau tiap hari bisa berkumpul dengan Poni yang cantik, dan akupun juga nyakin kalu Poni juga akan merasa senang.
          Mas Faris meninggalkan aku dengan pesan-pesan yang cukup banyak.
          "Coki, selama mas Faris nggak ada, kamu nggak boleh nakal. Jangan ngeluyur terus, Nggak boleh masuk rumah dengan tubuh kotor. Kamu harus bantu Poni jaga rumah, dan kalau dimandikan jangan nakal, nggak boleh bandel kalau mandi."
          Aku cemberut dan memaki dalam hati di katakan suka ngeluyur dan bandel kalau dimandikan. Mas Faris nggak mau menjaga perasaanku, masak dia ngomong seperti itu di depan Poni dan mbak Sonia, wah bisa ngurangin pointku di mata mereka tentu saja.
          Poni hanya meringis dan meleletkan lidahnya mengejek, membuatku malu.
          “Iya tuh, si Poni kadang rewel juga kalau dimandikan. Mungkin ntar kalau mandi bareng-bareng Poni nggak rewel lagi." kata mbak Sonia
          He..he..he kujulurkan lidahku, gantian mengejek Poni. Satu-satu, kataku, yang disambut Poni dengan tersipu malu.
          Mas Faris masih sibuk dengan pesan-pesannya padaku.
          Cerewet, gerutuku malas. Dasar manusia, banyak peraturan.
          "O ya Nia, setelah aku selesai mengurus persyaratan pernikahan kita aku akan segera kirim khabar ke Yogya," kata mas Faris.
          Syukur, batinku lega karena mas Faris sudah selesai memberiku 'wejangan‘.
          "Faris jadi di rumah satu minggu?" tanya mbak Sonia.
          "Ya minimal satu minggu. Tapi kalau belum selesai urusannya, yach mungkin bisa lebih lama di rumah.” jelas mas Faris sambil tangannya mengambil kedua tangan mbak Sonia, membawa ke pangkuannya dan mengusap-usapnya dengan penuh kasih sayang.
          Aku menjadi iri dengan kemesraan mereka. Ku lirik Poni yang duduk di bawah kaki mbak Sonia. Aku ingin tahu apa reaksi Poni melihat tuannya bermesraan, Tetapi agaknya aku harus kecewa, karena kulihat Poni cuek saja dan sama sekali tidak mau melihatku. Huh, pura-pura nggak lihat, gerutuku jengkel melihat Poni yang menurutku sok.
          "Nggak apa-apa kalau memang di rumah harus lama. Yang panting jangan lupa kirim khabar dan cepat kembali kalau sudah selesai. Masih bayak yang harus kita kerjakan di sini. Kita masih sibuk dengan kerja-kerja setelah pemilu berakhir, dan resources kita masih terbatas."
          Aku paham dengan pembicaraan mereka. Kudengar memang untuk pemantauan pemilu yang selama ini ada  kecurangan, mas Faris dan kawan-kawannya membentuk komisi independen untuk pemantauan pemilu yang disebut mbak Sonia tadi. Senang rasanya ikut menyaksikan kesibukan kerja-kerja manusia manusia itu.
-*-

          Seminggu setelah pemilu berakhir, mas Faris baru tiba di Yogya. Masih membawa tas ranselnya yang cukup besar, mas Faris ke rumah mbak Sonia. Mungkin dari terminal, dia langsung ke sini. Wajah mas Faris keruh dan murung. Tubuh jangkungnya loyo dan nampak lelah sekali. Langkahnya nggak bersemangat, tidak beperti biasanya. Entah ada persoalan apa, aku belum tahu.
          Mbak Sonia manatap heran kepada kekasihnya itu. Mata bagus yang sarat kerinduan itu menatap tak mengerti dengan sejuta tanya.
          Mas Faris menjatuhkan ranselnya lalu duduk dengan sikap pasrah kukira. Setelah menghela napas panjang, dia berkata lirih.
          "Nia, aku sudah urus semua persyaratan pernikahan kita. Tapi .... " mas Faris mengantung kata-katanya menbuat mbak Sonia penasaran.
          Aku dan Poni juga merasa penasaran dan diam-diam kami memasang telinga.
          "Benar-benar anjing mereka!" serapah mas Faris keras.
          Hah, mas Faris memaki. Aku yang tidak tahu apa-apa menjadi korbannya.
          "Asas LUBER JURDIL  yang dijadikan dasar pemilu ternyata hanya omong kosong belaka. Shit! 1uber..luber, pembual mereka! Tahu nggak kau Sonia, aku di persulit waktu mengurus surat-surat pernikahan dengan alasan karena aku tak memilih seperti apa yang mereka inginkan. Apa-apaan itu, mana kebebasanku, mana hak pilihku, apa bukti asas luber jurdil  di pakai? Anjing mereka semua !"
          Lagi-lagi aku menjadi korban kemarahannya.
          "Jadi, kau nggak berhasil?" tanya mbak Sonia sambil memandang Mas Faris dengan tatapan cemas.
          "Iya Nia, aku gagal .Maafkan aku.”
          Mereka terdiam, kamipun hanya bisa diam.
          "Faris, ..... kupikir ini masukan yang berarti bagi lembaga kita. Pengalamanmu bisa menjadi salah satu bukti kecurangan mereka."
          Mas Faris mengangguk mengiyakan.
          "Nggak apa-apa pernikahan kita tertunda," hibur mbak Sonia tabah.
          Aku terhenyak mendengar pengalaman mas Faris tadi.
Kenapa selalu saja ada ketidakberesan dan kecurangan pada manusia-manusia itu. Aku menjadi sangsi, apakah seperti itu yang di namakan manusia bermoral?! Manusia yang menghalalkan segala cara untuk kepentingannya, manusia yang suka menjegal, yang suka merugikan rakyat, yang merugikan orang lain?
Bah! pasti rakyat kecillah yang selalu manjadi korban. Ku pikir betapa susahnya menjadi rakyat kecil yang selalu di jadikan obyek bagi kepuasan dan kerakusan penindas, orang-orang yang berkuasa.
          Untung saja aku bukan mereka. Untung saja aku tidak suka menjadi penindas, aku tidak suka menjegal sesama, aku tidak suka merugikan sesama, aku tidak suka menghalalkan segala cara untuk kepentinganku sendiri.
          Pusing rasanya memikirkan manusia yang penuh nafsu angkara.
          Dasar manusia !!! *****

Sepenggal Malam

Acaara selesai jam sembilan lebih limapuluh menit. Keluar dari wisma Kristanti ada teman menawarkan untuk pulang bersama.
          "Yuk, ikut di mobilku,"
           Aku mengelengkan kepala.
          “Nggak usahlah. Kau bawa mobil, paling-paling nanti main dulu."
          Liani, temanku itu hanya tersenyum, lalu menghilang dengan mobilnya entah kemana setelah melambaikan tangan.

          Aku berjalan pelan-pelan menyusuri jalan Ahmad Yani yang mulai gelap. Angin malam bertiup cukup kencang dan terasa dingin sekali. Kurapatkan rompiku mengusir hawa dingin. Langit gelap. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun. Maka ku percepat jalanku agar segera sampai di halte bis.
          Tetapi agaknya nasibku lagi tak baik, belum sampai di halte bis hujan turun. Walaupun tidak begitu deras tetapi bila kuteruskan berjalan sampai halte, tentu baju dan tubuhku basah semua.

sumber gb:www.google.co.id/search?q=gambar+kartun+perempuan&biw=1346&bih

          Aku berteduh di sembarang tempat yang ku temukam di depan toko yang sudah tutup. Tempat terdekat yang kupilih. Tas aku taruh di belakang punggung supaya tidak terkena percikan air hujan. Tidak kusayangkan bila tubuhku terkena air hujan dan masuk angin, tetapi lebih sayang tustelku kalau kehujanan, karena akan  celaka, tak bisa cari duit. Jadi biarlah tubuhku menjadi korban, kalau masuk angin obatnya hanya tinggal di kerok dan di pijit saja.

          Setelah mengatur pernafasan, ku biarkan mataku mengembara kesana kemari.
          Di sebelah kiriku ada penjual buah-buahan. Lalu di sebelahnya ada perempuan penjual sate yang sedang duduk sambil memandangi baki di depannya dengan termangu-mangu. Satenya masih banyak. Api lampu minyaknya bergerak-gerak tertiup angin.
          Sebelah kananku ada perempuan cantik, Dandanannya ...  Waah, luar biasa. Make up tebal. Bau tubuhnya harum. Dari bau parfumnya kelihatan kalau parfum yang dipakainya mahal. Tas kulit merk Gucy KW di pundak kirinya. Warnanya serasi dengan roknya yang berwarna merah apel. Perempuan itu memandangku.
          Beberapa saat lamanya mataku bertatapan dengan matanya yang bagus.
          “Jam berapa mbak?" tanyanya ramah.
          Aku kaget. karena perempuan cantik di sebelahku ini suaranya tegas, dan dibuat agak genit.
          "Jam sembilan seperempat,” jawabku ramah.
          Kulihat di pergelangan tangannya melingkar jam, tetapi kenapa masih tanya kepadaku. Entah kalau dia bertanya  hanya untuk basa-basi saja, aku tidak tahu.
          “Jamku mati kok mbak, sejak tadi siang ..... " tawanya lebar, sepertinya dia tahu dengan apa yang ku pikirkan.
          “Rumahnya mana mbak ?” tanyanya ramah. Ehm, aku tahu, meskipun pakaian perempuan dan memakai make-up, tetapi  agaknya dia...
          “Palur," jawabku pendek.
          “Kok sendirian saja ?”
          “Biasa… pekerjaanku yach seperti ini, sering pergi sendiri," jawabku sambil tersenyum.
          “Ah, jangan nyindir lho mbak. Sama-sama perempuan jangan menusuk perasaan orang lain," katanya tajam dan kulihat wajahnya cemberut.
          Aku baru menyadari kalau jawabanku tadi telah menyinggung perasaannya.
          “Sori, aku nggak bermaksud menyindir kamu. Betul! Aku ini khan wartawan, jadi pekerjaanku yach pergi sendirian seperti ini. Lha kalau aku pergi sama suamiku.,. ya nggak jadi kerja nanti.”
          “Oh,.gitu tho mbak. Wartawan mana?"
          Ku buka tas, ku ambi1 dompet dan ku kasihkan selernber kartu namaku.
          Dia  membaca sekilas kartu nama yang kuberikan. Sebentar kemudian dia masukkan ke dalarn tasnya.
          “Suaminya nggak cemburu kalau mbak pergi sendirian?”
          Aku tertawa.
          “Cemburu? Wah ya nggak jadi dapat uang. Yang penting sama-sama percaya, jujur, nggak bakalan ada apa-apa. Kalau ingin rumah tangga tentram ya nggak usah macam-macam..... "
          Perempuan cantik itu memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Entah apa maksudnya, aku tidak tahu. Yang jelas aku menjadi risih.  Andai saja yang memandangku itu seorang laki-laki, hatiku pasti bergetar. Tapi malam ini yang di sebelahku seorang perempuan, kaumku sendiri. Jadi pandangannya tak begitu aku perhatikan.
          Lama dia memandangiku, ku biarkan saja. Tetapi lama kelamaan membuatku semakin risih. Tidak nyaman  dipandangi begitu rupa. Gantian aku memandangnya, dan ketika mata kami saling menatap, bibirnya yang berlipstik tebal itu membentuk senyuman lebar.
          “Mbak .... Wid, ..... "
          “Widya," sahutku cepat.
          Dia tertawa.
          ‘Sori lupa. Enak yach mbak jadi wartawan bisa kemana-rnana dan bisa nulis berita macam-macam,"
          Ganti aku yang tertawa.
          “Ya ada enaknya, tapi ada nggak enaknya juga lho. Berat kok jadi wartawan itu. Harus gesit dan tak gampang menyerah,” jawabku menerangkan.
          “Kayaknya tipe seperti mbak ini cocok kok jadi wartawan. Orangnya gesit dan nggak pantang menyerah. Enak ya mbak, punya kehidupan yang teratur dan menyenangkan. Nggak seperti saya ini yang hidup di dunia yang gelap. Dunia hitam yang tersisihkan. Jarang orang mau menerima saya dan kaum saya lho mbak."
          Dia berhenti bicara. Matanya menerawang jauh menembus kegelapan malam yang dipenuhi butiran-butiran air hujan. Terlihat wajahnya tersaput mendung duka. Ada beban yang dia sembunyikan ku rasa.
          Aku mulai mengerti apa profesi dia yang sesungguhnya.
          “O..ya, sus , namamu siapa ?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
          “Tessy mbak, mudah diingat khan?" jawabnya genit, mengingatkan aku kepada perempuan malam yang kerja di Pub Intan yang aku wawancarai kemarin.
          “Sus Tessy tinggal di mana?" tanyaku sewajar mungkin untuk menghindari kesan bahwa aku sedang mendapat ‘mangsa' untuk tulisanku. Entah mengapa aku menjadi begitu tertarik dengan perempuan satu ini, mungkin karena naluri wartawanku yang bicara.
          “Tessy mbak. Nggak usah pakai sus. Kost di belakang salon Andi, mbak. Biasalah sambil kerja bantu-bantu di salon kalau siang hari. Habis nggak ada pekerjaan lain yang bisa saya kerjakan.”
          Tessy terdiam. Akupun tak berucap apa-apa. Sesaat suasana menjadi hening. Hanya tetes-tetes air hujan yang menimbulkan irama ritme beraturan terdengar.
          “Mbak Widya, tolong bantu kami agar bisa diterima di masyarakat. Semua ini khan bukan mutlak kesalahan kami, juga bukan salah bunda mengandung. Pekerjaan yang halal susah sekali kami cari, banyak penganngguran. Padahal kami masih tetap ingin hidup. Akhirnya nasib kami memang seperti ini, walaupun sebenarnya tidak kami inginkan. Tapi mengapa masyarakat tidak mau menerima kami?" katanya dengan nada tinggi.
          Aku terdiam mendengar ceritanya. Timbul rasa iba dan simpatiku kepada Tessy dan kaumku yang bekerja seperti dia. Ya memang selama ini masyarakat masih sulit menerima Tessy dan teman-temannya. Mereka dianggap menjijikkan dan sampah masyarakat. Padahal aku tahu persis bahwa sebenarnya merekapun tak menghendaki hal itu. Muncul tekadku untuk membantu Tessy semampuku sebagai seorang wartawan.
          “Mbak bisa membantu kami untuk mengusulkan ke pak Walikota tentang nasib kami khan?" katanya dengan binar-binar mata penuh harapan.
          “Baiklah, aku akan coba bantu semampuku sus Tessy…ehm, Tessy,"
          Mata bagus itu mengerjap bahagia mendengar janjiku.
          “ Tessy, aku pergi dulu yach," kataku minta diri setelah melihat hujan yang turun mulai mereda, tinggal titik-titik air kecil satu dua yang masih turun.”
          Tessy menatapku dengan wajah kecewa, sepertinya enggan berpisah dengan aku, kawan barunya yang mulai akrab.
          Tanpa ku tunggu jawabannya, aku panggil becak yang kebetulan melintas, dan tanpa menawar terlebih dahuiu aku langsung naik setelah menyebutkan sebuah nama bengkel motor, yach aku harus mengambil motorku yang aku masukkan bengkel tadi pagi.
          “Sampai ketemu lagi mbak," seru Tessy sambil melambaikan tangannya.
          “Yuk," aku melambaikan tangan membalasnya.
**

          Setelah motor kuambil, segera ku larikan dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan Slamet Riyadi yang malam itu agak sepi. Hujan sepertinya membuat orang-orang enggan untuk keluar rumah. Mungkin saat-saat seperti ini lebih enak di dalam rumah yang hangat.
          Aku tersenyum kecut, membayangkan mas Is suamiku sedang duduk menikmati siaran TV swasta sambil merokok. Kalau hujan-hujan seperti ini, biasanya di rumah, aku dan mas Is akan bersama-sama menonton TV dan sesekali ramai berdebat tentang acara yang kami tonton, tentu saja tak ketinggalan di depan kami ada dua cangkir kopi panas dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Membayangkan itu, segera ku tambah kecepatan lari motorku.
          Tapi sial, memasuki jalan Kolonel Sutarto hujan turun lagi cukup deras.
          Terpaksa aku berteduh, kali ini di depan sebuah dealer mobil di perempatan jalan. Beberapa orang nampak juga sedang berteduh. Motor ku parkir dekat beberapa motor lainnya yang pemiliknya sedang berteduh juga. Iniliah resikonya kalau lupa tidak  membawa jas hujan, sesal hatiku.
          Ku kibaskan rambutku mengurangi ribuan butir-butir air hujan yang tadi sempat membasahi rambut dan bajuku.
          Brrrrttttt, tubuhku mengingil tersambar angin yang cukup keras bertiup.
          Beberapa saat kemudian tampak dua orang perempuan berlari-lari kecil dan berteduh. Meraka berdiri di sebelah kananku. Dua-duanya masih muda.
          Ku taksir umur mereka duapuluhan taun, mungkin masih mahasiswa. Diam-diam ku perhatikan mereka.
          Perempuan yang berambut sebahu, memakai rok pendek bervvarna hijau terang jauh di atas lutut dan berkaos motif garis-garis horisontal ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya. Kulitnya hitam manis, tapi padat berisi dan seksi. Di pundaknya tergantung tas kecil warna hitam, serasi dengan sepatunya yang berhak tinggi. Ku lihat dandanannya cukup berani untuk ukuran seorang mahasiswa.
          Yang satunya lagi, berambut panjang dengan poni tipis di dahinya. Lipstik warna orange yang menyala terpoles di bibirnya yang tipis, pas dengan hidungnya yang mancung. Kulimya yaang putih terlihat serasi di balut gaun pendek ketat warna ungu. Leher gaun yang rendah, memperlihatkan sedikit lekuk payudaranya menambah seksi penampilannya yang cukup menyolok.
          “Wah Len, kalau begini terus nggak bakalan dapat duit kita malam ini," kata si baju hijau sambil menyisir rambutnya yang sedikit basah.
          “Iya, padahai aku udah janjian sama om Leo. Wah kayaknya nggak ada order malam ini gara-gara hujan," jawab si gadis berponi termangu-mangu, nampak wajahnya tak bisa menyembunyikan kekesalan hatinya.
          Aku menjadi tertarik dengan percakapan mereka dan diam-diam aku pasang telingga. Kulirik jam tanganku, sudah jam 23.40 menit.
          “Yus ..... atau kita telpon dulu ke pub... ehm tapi sepertinya nanti kita malahan di marahi  yach. Atau kita panggil taxi saja. Ada taxi nggak sih?”
          Perempuan yang dipanggil Yus mengedarkan pandangan matanya, kemudian mengangguk mengiyakan kata-kata temannya. Mereka terdiam.
          “Kalau hujan begini, gimana dengan kerjanya dik?“ tanyaku tiba-tiba memecah kesunyian.
          Kedua perempuan muda itu reflek memandangku dengan sorot mata curiga, tetapi beberapa saat kemudian kulihat wajah mereka tersirat kelegaan setelah melihat senyumku yang ramah.
          “Ya sepi mbak, nggak bisa ngobyek," jawab perempuan yang dipanggil Leni.
          “Apa nggak keganggu kuliahnya dik, kalau tiap malam kerja?”
          Kedua perempuan itu tertawa, ku perhatikan si baju ungu punya lesung pipit di kedua pipinya menambah pesona di wajahnya.
          “Wah, kalau kita ini sudah terbiasa kerja malam mbak, jadi nggak merasa terganggu. Yach daripada di kost saja, bosan. Lebih balk keluar bisa senang-senang, dapat duit lagi. Lumayan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, khan nggak nyusahin orang tua lagi mbak," jawab si baju ungu diplomatis.
          Aku tersenyum. Tapi hatiku mengeluh dan menyesalkan sikap kedua perempuan di sebelahku ini. Ternyata mereka menjual diri hanya untuk kesenangan, iseng-iseng dan pengisi waktu luang saja. Tingginya pendidikan mereka, justru menyesatkan pergaulan dan moral mereka. Berbeda dengan Tessy yang terpaksa bekerja seperti itu karena demi tuntutan ekonomi. Rendahnya tingkat pendidikan Tessy membuat dia tak mampu menghindar dari profesinya, dan mau tak mau dia harus melakoni pekerjaan yang bertentangan dengan nuraninya itu.
          Memang sekarang ini banyak mahasiswa yang mempunyai ‘kerja sambilan' untuk kesenangan belaka. Sungguh memprihatinkan, keluhku.
**
          Dari arah timur meluncur pelan-pelan sebuah mobil Livina warna merah darah .
          Dengan gesit si baju hijau melambaikan tangan dengan ibujari diacungkan di sela-sela jarinya.
          Jorok, umpatku dalam hati. Tapi itu memang kode khusus mereka untuk mencari ’mangsa'.
          Perlahan-lahan mobil merah darah itu menepi dan dari balik kaca mobil yang diturunkan, aku melihat seorang laki-laki setengah baya berjidat licin dan berkepala setengah botak tersenyum atau tepatnya menyeringai menurutku, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning keooklatan karena timbunan nikotin rokok.
          Secara demonstratif kedua perempuan di sebelahku mengumbar senyum manis mereka.
          “Om, boleh ngikut dong, kita kemalaman di sini," pinta Si gadis baju hijau genit sambil mengedipkan matanya.
          “Kita lagi nganggur nich, om“' sambung si baju Ungu mengerling manja.
          Si om yang merasa beruntung malam ini, matanya berbinar-binar bagaikan melihat kucing manis yang tersesat di jalan.
          “Ayolah naik, biar nggak kedinginan," ajak si om bersemangat sambil membukakan pintu mobilnya.
          Tanpa banyak komentar mereka berjalan genit menghampiri mobil dan masuk ke dalarnnya.
          Sebelum mobil berjalan, kaca mobil dl jok belakang dibuka. Seraut wajah milik si poni tersembul.
          “Mari mbak, sampai ketemu lagi," katanya sambil tertawa.
          Aku hanya tersenyum membalasnya.
          Lagi-lagi aku hanya bisa mengeluh dalam hati.
**

          Hujan mulai berhenti. Bahkan kulihat rembulan mulai menampakkan sinarnya. Beberapa orang yang tadi berteduh, segera bergegas meninggalkan depan dealer ini, mungkin khawatir hujan yang reda akan turun lagi.
          Akupun segera bergegas mengambil motorku dan meninggalkan tempat itu. Dinginnya angin malam basah yang bertiup tak kuhiraukan lagi. Yang kuinginkan saat ini hanyalah satu yaitu segera sampai di rumah, mendiskusikan pengalamanku malam ini dengan mas Is dan mulai menekan tuts-tuts laptopku  untuk membuat tulisan tentang suatu dunia yang sama tetapi mempunyai sisi yang berbeda. Tapi kurasa kali ini bukan naluri wartawanku yang bicara, tetapi naluri perempuanku menuntutku untuk menguak permasalahan pokok apa yang menciptakan kondisi seperti itu.
          Ku percepat laju motorku.
          Naluriku menuntutku untuk segera memenuhi janjiku pada Tessy. Benar-benar sepenggal malam yang berarti bagiku****