Rabu, 15 Juli 2015

Kasih di Penghujung Ramadhan

Nak,
Malam semakin larut, sepi menyelimuti kegelapan,
Dingin angin mempau menembus kulit dan tulang,
Tak ada yang sanggup bertahan membuka mata,
Memilih bergelung menjemput impian.

dok:  Suci/pribadi


Nak,
Ibu terbangun mendengar suara desah nafas,
Wajahmu yang kosong menatap hampa tanpa makna,
Menambah dalam lingkaran dibawah bola mata,
Mengerus ceria yang lama tersungging di wajah penuh makna.

Nak,
Ibu tahu kamu begitu tergoda dengan gemerlap dunia,
Yang biasa didapatkan mereka teman-teman sebaya,
Menari-nari mengalungkan baju, sepatu, mainan, boneka,
Menerima hadiah untuk melengkapi kesempurnaan perayaan lebaran.

Nak,
Bukannya ibu tidak mau tahu,
Bukannya ibu pura-pura tidak melihat kegundahanmu,
Tidak juga menginginkan memberikan keinginanmu,
Apalagi berkeras tak memanjakan dirimu.

Tapi Nak,
Ibu tak mampu, tak sanggup, tak bisa,
Setidaknya untuk saat ini memenuhi keinginan,
Meski hanya sekedar baju, sepatu biasa yang murah harganya,
Sedikit rejeki kita hanya mampu untuk melunaskan zakat ,
Demi kesempurnaan puasa ramadhan kita.

Nak,
Maafkan ibu yang tak mampu penuhi,
Maafkan ibu yang masih seperti ini,
Bekerja hanya mampu untuk sehari-hari,
Tanpa menyisihkan untuk tambahan itu dan ini.

Nak,
Satu yang selalu ibu bagi,
Hanya untuk pujaan hati,
Kasih sayang sejati,
Hari ini, nanti dan kelak sampai mati.

Solo,di penghujung Ramadan 1435 H

Tiket Dari Surga

"Bu, kita mudik kan?"
Berulangkali Aisyah merengek, tangannya menarikku dengan gemas.
"Bu...." Suaranya mulai parau, bercampur isak yang ditahan.

Aku mengerang dalam hati, tak kuasa menahan tangis yang hampir pasti akan meledak jika tidak kugigit bibir erat-erat.

Tak kuasa melepas kata, hanya kuusap tangan bungsuku dengan perlahan. Demi melihatku hanya terdiam dengan bibir rapat, Maryam segera mengajak adiknya pergi. Sulungku pintar membaca keadaan.
Suaranya lembut membujuk Aisyah agar mau beranjak.Dengan setengah malas, Aisyah mau mengikuti langkah kakaknya.

Gambar: www.google.co.id/search?q=gambar+ibu+dan+anak+kartun

Aku menghela nafas panjang, bukan kelagaan yang kurasakan tetapi rasa bersalah yang semakin dalam dan menghujan di hati.
Siapa yang tak ingin mudik? Tak inginkan pertemuan dengan orangtua, saudara, tetangga dan kerabat lainnya? Aku sama seperti tetanggaku yang sejak awal ramadhan sudah merencanakan mudik dengan beragam cerita yang membuat rasa iriku semakin mengunung. Mereka sungguh beruntung mampu pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari kemenangan dan menuntaskan rindu selama setahun terakhir.

Aku? Kekecewaan merambat cepat menelusuri relung hati menyelusup ke semua aliran darah membuatku tersentak dan dalam ketidakberdayaan hanya mampu terisak.
Tanpa anak-anak, air mata ini kubiarkan mengalir dengan deras.
Tidak hanya Aisyah yang sangat eskpresif menuntaskan keinginannya untuk pulang ke kampung halaman ibunya, tetapi Maryam juga memendak keinginan itu meskipun mampu menyimpannya dalam hati. Sulungku meskipun baru tujuh tahun tetapi sangat peka dan mengerti keadaan.
Sementara aku sendiri, rasanya tidak mampu bertahan dalam kerinduan yang semakin menjeratku. Bertahun-tahun aku berdesakan tinggal di sebuah kamar sempit, pengap di rumah kost yang kubayar dengan keringat yang kuperas sejak pagi buta sampai menjelang senja. Dipojok gang kelinci yang tersebar di seluruh sudut Jakarta.

Simbok, aku mengeja namanya dalam balutan rindu yang sangat dalam. Kubayangkan wajah tuanya yang teduh, sabar dan penuh dengan kasih sayang. Terakhir melihat Simbok, saat Maryam berumur 3 tahun dan Aisyah belum lahir. Empat tahun sudah aku tak pernah bertemu Simbok, perempuan yang berjuang keras membiayai sekolahku sampai tamat SMA meskipun pada akhirnya aku mengecewakannya karena menikah dengan laki-laki yang menurut Simbok bukan suami yang baik buatku.

Linangan airmataku kembali menderas saat teringat betapa aku berani menentang Simbok dengan tetap bersikeras menikah dengan bapak dari anak-anakku. Meskipun akhirnya Simbok memilih mengalah, aku tahu telah membuatnya menyimpan kekecewaan yang mendalam.

“Assalamu’alaikum…..”
Ketukan keras itu membuat lamunanku buyar.
“Waalaikum salam…” sahutku lirih, sambil menyeka air mata dengan ujung bajuku. Tanganku tertatih mengapai tembok dan berjalan mencari pintu.
“Mbak Murni?” Aku sangat hafal suara tetangga kamar, Mbak Siti, berdiri di depan pintu. Ia tidak sendiri, aku bisa merasakannya. Hidungku mencium wangi parfum yang sangat lembut.
“Ya Mbak? Kenapa? Silahkan masuk,” kataku menyilahkan tamu yang bersama tetanggaku.
“Silahkan, Bu. Ini Mbak, aku mengantar ibu ini untuk bertemu. Katanya ada yang ingin disampaikan,” jelas Mbak Siti.

Benar dugaanku ada tamu di rumahku.
Aku tersenyum menyilahkan tamuku duduk di selembar karpet tipis yang biasa kupergunakan untuk tidur, saat satu-satunya kasur hanya cukup untuk Maryam dan Aisyah.
“Bu, saya Rusma. Kebetulan ada sedikit rejeki. Saya bermaksud memberikan sedikit rejeki ini kepada ibu Murni. Mudah-mudahan bisa dipergunakan untuk keperluan ibu,” tutur ibu yang Rusma sambil mengangsurkan amplop ke tanganku.
Aku tergangga. Siapakah perempuan baik hati ini, apakah dia malaikat yang sengaja datang menemuiku? Batinku penuh tanya.
“Baik, Bu. Saya permisi dulu,” Kata Bu Rustam setelah mengucap salam, langkah kakinya tak lagi kudengar.
Aku hanya mampu membalas lirih salamnya, tak mampu berbicara apapun. Keharuan menyeruak didada membuatku seraya melayang.

“Kamu beruntung Mbak. Bersyukurlah. Akhirnya kamu dan anak-anak bisa mudik,” kata Mbak Siti sambil menepuk tanganku dengan lembut.
“Si..siapa dia?” tanyaku lirih.
“Aku nggak tahu, Mbak. Hanya dia sudah mencari mbak sejak dua hari lalu. Mungkin dia memang dikirim Tuhan buat membantumu, Mbak,” jelas Mbak Siti sambil meninggalkanku.

Aku tergugu sampai tidak menyadari kedatangan Maryam dan Aisyah di dekatku.
“Kok ibu nangis? “ Suara Aisyah membuatku tersadar dan mengusap air mata dengan cepat.
Kupeluk kedua buah hatiku dengan penuh rasa syukur.
“Bu, kita mudik ke rumah Simbah ya. Ke desa ya..” kata Aisyah lagi, tak juga melupakan keinginannya.
“Ssttttt, Ais…” potong Maryam cepat sambil melihatku dengan cemas.

Aku tersenyum, mengendurkan pelukanku.
Kupandangi kedua gadis kecilku. Perlahan kuraba wajah keduanya. Aku masih sangat ingat wajah manis Maryam dengan hidung mancungnya yang mengemaskan. Wajah lucu Aisyah dengan pipi tembemnya.
“Iya, iya sayang. Insyaallah kita mudik.” Kataku cepat menjawab harapan Aisyah.
“Tapi, Bu?” tanya Maryam.

Ku acungkan amplop yang terasa tebal di tanganku sambil mengurai senyum, “Alhamdulillah, Nak, ada malaikat yang berbaik hati memberikan rejeki bagi kita untuk pulang ke desa. Kita pulang, Nak,” ujarku riang dan terasa ringan.
Maryam sontak memelukku. Linangana air matanya terasa membasahi bahuku. Isakan lirihnya terasa lega dan penuh kebahagiaan. "Tiket dari surya," ucapnya bergetar.

Kuraba lagi wajah kedua belahan jiwaku ini. Ingatanku melayang kepada Simbok di desa. Wajahnya terasa dekat di hatiku. Wajah Mas Supri, suamiku sempat berkelebat tetapi cepat kusingkirkan. Lelaki itu telah tega meninggalkan kami bertiga setelah kecelakaan yang merengut sinar kehidupanku dua tahun yang lalu.

Simbok, kami akan pulang. Anak dan cucumu akan pulang menutaskan kerinduan padamu. Maafkan anakmu Mbok, seruku dalam hati. Smoga engkau tetap menerimaku dalam keadaan seperti ini.
“Cepatlah bebenah, kita akan mudik,” bisikku kepada Maryam.

Aku berdiri sambil berpegangan tembok, mengukur kakiku mencari lemari pakaian. Kami harus segera bersiap untuk pulang ke desa. Entah mengapa kali ini mataku terasa terang, meski kenyataanya gelap tetap menyelimutiku.***


_Solo, 14 Juli 2015_

Senin, 06 Juli 2015

Joko Kendil dan Nyi Randa

             Pada suatu masa, hiduplah seorang janda tua bernama Nyi Randa. Ia hidup miskin dan sebatang kara. Setipa hari ia bekerja keras untuk mencukupi hidupnya. Tetapi hidupnya serba kekurangan. Kerja kerasnya tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Terpaksa Nyi Randa hanya makan seadanya saja, bahkan sesekali ia tidak makan karena tidak mempunyai uang sepeserpun untuk membeli makanan.



Dok. Suci
Kemiskinannya membuat Nyi Randa terlihat lebih cepat tua dari usianya. Semakin hari ia semakin tua dan tubuhnya mudah lelah. Sebenarnya Nyi Randa ingin mempunyai seorang anak laki-laki yang bisa membantunya sehingga ia bisa istirahat. Dia ingin suatu ketika bisa beristirahat saat tubuhnya sudah tidak mampu bekerja lagi. Oleh karena itu setiap hari ia tidak pernah lelah berdoa agar Tuhan memberinya anak.
            Suatu hari, saat pulang kerja tanpa segaja Nyi Randa menemukan sebuah kendil[1]  tergeletak di jalan. Ia membawanya pulang. Lumayan, masih bisa digunakan untuk memasak, batin Nyi Randa sambil meletakkan kendil di dapur. Tiba-tiba Wusssss…. Sebuah asap putih  mengepul dari kendil itu dan berubah  wujud. Tiba-tiba kendil itu berdiri dan berubah menjadi seorang anak laki-laki yang pendek, kecil dan bermuka hitam seperti kendil.
Alangkah suka citanya Nyi Randa mendapatkan seorang anak laki-laki, yang telah lama diharapkannya. Nyi Randa riang gembira karena do’anya terkabul. Anak laki-laki itu dinyakininya merupakan titipan Yang Maha Kuasa sehingga harus dirawatnya dengan baik. Meskipun berwajah buruk tetapi Nyi Randa tetap bersyukur. Ia merasa Tuhan telah mendengarkan do’anya. Ia memanggil anak itu dengan nama Joko Kendil.
Joko Kendil tumbuh menjadi anak yang periang, rajin dan suka menurut apa yang dikatakan Nyi Randa. Selain itu dia  juga tidak kenal lelah bekerja membantu Nyi Randa. Meskipun tubuhnya kecil, tetapi kekuatannya besar dan rasanya tidak kenal lelah.
            “Simbok di rumah saja, istirahat. Kendil akan mencari makan,” kata Joko Kendil.
            “Kamu akan kemana?” tanya Nyi Randa menatap cemas anaknya. Dengan tinggi kurang dari satu meter, pekerjaan apa yang bisa dikerjakan Kendil? Batinya cemas. Selama ini dia selalu menemani Kendil kemanapun pergi. Nyi Randa bekerja dengan dibantu anaknya. Kalau hanya pergi sendiri, dia menjadi cemas.
            “Do’akan saja ya, Mbok.” Jawab Kendil berpamitan. Dia tidak tega melihat Nyi Randa yang semakin tua tetap bekerja. Joko Kendil bertekad untuk membuat Nyi Randa nyaman di rumah.
**
           
Joko Kendil pergi ke sebuah rumah yang sedang mempersiapkan mengelar pesta pernikahan. Dia pergi ke dapur melihat berbagai macam kesibukan. Orang-orang tampak sibuk memasak berbagai macam masakan untuk hidangan para tamu yang datang.  Joko Kendil duduk diam sambil memperhatikan mereka. Selama ini dia belum pernah melihat orang sibuk masak seperti itu.
            “Hei, Yu, daging ini mau ditaruh di mana? Aku kehabisan kendil,” teriak salah satu ibu sambil membawa daging sapi yang akan dimasak.
            “Coba kamu cari disitu. Mungkin masih ada kendilnya,” jawab ibu yang lainnya. Semua saling sibukm tak sempat memperhatikan dengan baim apa yang ada di dapur. Ketika melihat kendil yang hitam tetapi tidak ada isinya, ibu itu memasukkan daging ke dalamnya. Dia tidak menyangka kalau kendil itu adalah Joko Kendil yang sedang duduk. Joko Kendil memang unik, setiap saat tubuhnya bisa berubah menjadi kendil sehingga orang pasti akan menyangka ia sebuah kendil.
            “Ini Yu. Untung saja ada kendil kosong disini,” kata ibu tadi lega melihat dagingnya sudah mendapatkan tempat.
            Joko Kendil melonggo tidak tahu mesti berbuat apa. Dia terpaksa hanya diam saja menunggu ibu tadi mengambil daging yang ada ditubuhnya. Tetapi sampai menjelang siang, ibu tadi belum juga mengambil daging karena sibuk memasak lainnya.
Karena capek, terpaksa Joko Kendil pulang ke rumah sambil membawa daging yang cukup banyak. Dia tidak bermaksud mencuri tetapi dia tidak bisa mengalihkan daging yang bertumpuk itu.
            Saat pulang, Nyi Randa terkejut melihat Joko Kendil membawa makanan. Dia senang sekaligus cemas melihat anaknya pulang dengan selamat.
            Sejak saat itu  setiap harinya Joko Kendil selalu pulang membawa makanan yang enak-enak. Sejak saat itu Nyi Randa tidak usah bekerja keras karena Joko Kendil telah mengambil alih pekerjaanya. Meskipun ia hanya anak pungut dan badannya kecil serta jelek tetapi ia anak yang berbakti dan selalu meringankan pekerjaan ibunya.
**
           
Suatu ketika, ada sebuah perjamuan yang diadakan Raja di istananya. Semua rakyat diundang oleh raja karena itu perjamuan  pesta rakyat. Sudah bertahun-tahun Raja mengadakan acara serupa.  Nyi Randa dan Joko Kendil tidak lupa ikut berbaur dengan rakyat lainnya menikmati pesta rakyat. Dimana-mana makanan dan minuman melimpah ruah. Semua rakyat senang karena kebagian makanan dan menikmati berbagai pertunjukan hiburan. Rasanya tidak ada yang tidak senang dengan acar tersebut.
            Saat Nyi Randa asyik menikmati berbagai hiburan dan merasakan semua makanan yang dihidangkan para pelayan, Joko Kendil menyelinap masuk ke dapur. Seperti biasanya, dia duduk diam. Saat itu, entah kenapa ada seorang juru masak yang berteriak membutuhkan tempat untuk masakannya.  Semua kendil telah penuh. Juru masak binggung, dia harus segera menyelesaikan masakan kalau tidak mau dihukum  kepala dapur.
Joko Kendil hanya diam saja tidak beranjak dari tempatnya semula. Juru masak melihat kendil hitam jelek dan tampak usang yang tak lain adalah tubuh Joko Kendil, berteriak senang.  Bagi dia disaat yang seperti itu, tidak masalah mengambil kendil jelek untuk tempat masakannya.
            “Biarin saja, jelek nggak masalah. Aku sangat membutuhkan kamu. Masakan ini harus segera siap dihidangkan. Aku bersyukur bisa menemukanmu,” kata juru masak pelan sambil meraih kendil.  “Berkat kamu aku terhindar dari hukuman kepala dapur,” batin juru masak sambil tersenyum lega. Saat itu tiba-tiba saja kendil yang diambil juru masak menghilang dan berubah menjadi  pangeran tampan yang tersenyum sambil menjura memberi hormat.
            Juru masak terkejut dan berkali-kali mengucek matanya untuk menyakinkan kalau sedang bermimpi.
            “Paman tidak sedang bermimpi. Terimakasih paman. Karena paman membutuhkan saya, maka kutukan jahat yang bertahun-tahun menimpa saaya telah lenyap. Saya seorang pangeran dari negri sebrang,” kata pangeran tampan sambil tersenyum.
            Juru masak senang setelah mendengar penjelasan singkat pangeran tersebut.  Setelah berterimakasih, pangeran jelmaan Joko Kendil mencari Nyi Randa. Alangkah terkejutnya Nyi Randa mendengar kisah Joko Kendil yang ternyata pangeran tampan bernama Raden Handaka. Maka Nyi Randa diajak Pangeran Handaka untuk tinggal di istananya. Sejak saat itu hidup Nyi Randa menjadi bahagia sampai akhir hayatnya. ***


[1] panci  di jawa yang terbuat dari tanah liat

Putri Roro Jonggrang

            Alkisah, ada putri cantik jelita bernama Roro Jonggrang, anak dari seorang raja di tanah Jawa. Selain cantik, ia juga ramah dan baik hati. Kecantikannya termasyur di seantero kerajaan  bahkan sampai ke kerajaan  tetangga. Tak heran banyak pangeran yang ingin menjadikannya permaisuri. Tak trekecuali Bandung Bondowoso, seorang pengeran gagah, sakti mandraguna.
gambar :https://www.google.co.id/search?q=Gambar+makhluk+luar


                  Sayang sekali, dari sekian banyak pangeran yang meminang, Roro Jonggrang belum menjatuhkan pilihannya. Persyaratan yang disampaikan Roro Jonggrong terlalu berat sehingga belum ada seorangpun yang sanggup memenuhinya
            Pada hari yang telah ditentukan, Bandung Bondowoso datang melamar Roro Jonggrang. Sang Raja terpesona dengan ketampanan dan kegagahan Bandung Bondowoso. Dia merasa senang dan berharap putrinya mau dipersunting. Tetapi Sang raja mempersilahkan putrinya untuk menjawab langsung.
Sama seperti lamaran sebelumnya, Roro Jonggrong berusaha menampik dengan hati-hati dan halus. Sebetulnya dia belum ingin bersuami, tetapi  tidak berani mengutarakn keinginan hatinya kepada orangtuanya. Saat itu, seorang remaja putri yang bernajak dewasa  memang harus segera dicarikan jodoh terlebih seorang putri raja. Tidak elok kalau tidak segera mendapatkan jodoh. Maka tak ada jalan lain untuk menolak halus selain dengan cara mmeberikan syarat yang susah untuk diwujudkan.
            Saat Bandung Bondowoso mengutarakan niatnya, Roro Jonggrang minta syarat kepada Bandung Bondowoso yaitu agar dibuatkan seribu candi dalam satu malam.
            “Kalau pangeran bisa membuatkan seribu candi dalam satu malam, hamba bersedia menjadi istri pangeran,” kata Roro Jonggrang halus.
Bandung Bondowoso menatap putri cantik di depannya dengan terkejut. Sungguh tidak masuk akal permintaan sang putri. Tetapi demi melihat paras putri yang cantik jelita, kulit yang halus dan  tutur kata yang lembut mendayu-dayu, tak pelak membuat semangat Bandung Bondowoso tumbuh berlipat. Tanpa berpikir panjang dia mengiyakan syarat yang diajukan sang putri.
“Baiklah, putri. Saya bersedia menerima syarat yang kamu ajukan. Saya akan membangun candi sejumlah seribu dalam satu malam,” kata Bandung Bondowoso mantap dan penuh percaya diri.
Sesungguhnya Roro Jonggrang tergetar hatinya melihat ketampanan Bandung Bondowoso. Baru kali ini dia merasa senang dan tertarik dengan seorang pangeran. Dia berharap bisa mendampingi pangeran tampan di depannya. Tetapi dia tetap ingin menguji apakah pangeran tampan itu juga sakti mandraguna. Di sisi lain, Roro Jonggrang memang suka tantangan, dia tidak ingin mempunyai suami yang tidak mempunyai kesaktian tinggi.
“Ingat, Pangeran. Hanya dalam satu malam saja. Kalau sampai kurang satu buah saja, perjanjian kita batal. Saya tidak akan mau dipersunnting pangeran,” pesan Roro Jonggrang.
Bandung Bondowoso tersenyum sambil mengundurkan diri.

Setelah meninggalkan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso menyepi dan bersemadi. Dia mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk memohon petunjukNya. Dan saat itulah datang sejumlah bantuan dari ratusan jin yang pernah ditaklukkannya. Para Jin berjanji akan membantu Bandung Bondowoso untuk membangun candi.
Tibalah malam yang telah ditentukan. Bertempat di sebuah pelataran yang luas, Bandung Bondowoso duduk mengambil tempat yang sepi. Dia mengerahkan kemampuan memanggil jin yang telah bersedia membantunya. Malam itu ratusan jin membangun candi. Dengan cepat sejumlah candi berhasil berdiri dengan kokoh. Bandung Bondowoso tersenyum puas sambil mengamati jin yang bekerja. Dia nyakin semua permintaan Roro Jonggrang akan terpenuhi melihat kecepatan para jin dalam bekerja.
Sementara itu, ditempat terpisah, Roro Jonggrang melihat pembuatan candi dari kejauhan dengan sikap gelisah. Entah mengapa dia dilanda kecemasan.  Roro Jonggrang melihat kesaktian Bandung Bondowoso yang luar biasa kelak bisa mengoyahkan kedudukan ayahnya. Dia tidak siap jika kelak pangeran itu menyakiti hati ayahnya. Bukankah suamiya kelak akan menjadi pewaris kerajaan mengantikan kedudukan ayahnya? Roro Jonggrang was-was kalau dengan kesaktian Bandung Bondowoso akan mengantikan ayahnya sebelum waktunya. Menyadari hal itu, mendadak  dia tidak ingin dipersunting Bandung Bondowoso. Lenyaplah sudah keinginan dan ketertarikannya dengan ketampanan dan kegagahan pangeran sakti itu.

            Semalaman Roro Jonggrang tidak bisa memejamkan mata, ia sangat khawatir Bandung Bondowoso mampu memenuhi syarat yang diajukannya. Tepat menjelang dini hari, hampir seribu candi sudah berdiri kokoh membuat Roro Jonggrong menciut ketakutan.  Ia menangis sambil berpikir keras. Sedapat mungkin dia akan berusaha menghalangi keberhasilan Bandung Bandowoso.
            “Mbok Emban, saya yakin sebentar lagi pangeran itu mampu membuat seribu candi. Kalau sampai hal itu terjadi  bagaimana dengan saya?”  ratap Roro Jonggrang berlinang air mata.
            “Putri Roro Jonggrong. Itu sudah menjadi permintaan paduka. Kalau sampai Bandung Bondowoso mampu, itu artinya sudah menjadi takdir paduka menjadi istrinya. Oleh karena itu paduka  harus sanggup menjalaninya.” Tutur Mbok Emban, pengasuh Roro Jonggrang dengan  lembut.
            “Tapi, Mbok? Saya belum mau mempunyai suami. Lagipula kalau sampai pangeran itu menjadi suami saya, suatu saat dia bisa mengambil alih kedudukan ayah. Kasihan sekali ayah.” Kata Roro Jonggrang sambil terus terisak.
            “Tidak baik melanggar janji. Lakukan saja dengan ikhlas, semoga paduka meraih kebahagiaan.” Mbok Emban mengelus rambut panjang Roro Jonggrang dengan penuh rasa sayang.
            Tetapi Roro Jonggrang tidak mengindahkan nasehat pengasuhnya, ia mencari akal untuk mengagalkan usaha Bandung Bondowoso. Maka ia meminta Mbok Emban untuk memukul palu agar membangunkan ayam. Tak lama kemudian saat palu di pukulkan pada lesung, bunyi ayam jantan berkokok bersahutan, tanda pagi sudah datang.
            Mendengar ayam berkokok, ratusan jin yang membantu membangun candi lari tunggang langgang. Bandung Bondowoso kaget sekaligus marah saat tahu kalau itu semua perbuatan Roro Jonggrang yang berusaha mengingkari janji.
 Saat Roro Jonggrang menghitung jumlah candi dan  ternyata kurang satu buah, dengan marah Bandung Bondowoso mengutuk Roro Jonggrang menjadi candi. Sekarang genaplah candi menjadi seribu buah.
            Roro Jonggrang menyesal dan hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Ia memohon kepada Tuhan agar mengembalikan tubuhnya seperti semula.
            Tetapi nasi sudah menjadi bubur, tidak ada gunanya menyesali keputusan yang telah terucap. Meskipun sakti, Bandung Bondowoso tidak mampu membatalkan sumpahnya. Meskipun dia menyesal melihat putri yang dicintainya menjadi candi, tetapi dia tidak bisa  berbuat apa-apa.
            Sejak saat itu masyarakat bisa menyaksikan seribu candi  yang terletak di Prambanan Klaten Jawa Tengah. Candi megah itu tetap berdiri kokoh sampai saat ini. ***

Asal Mula Kota Jakarta

                Di sebuah desa kecil di Pulau Jawa, tinggallah empat bersaudara, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka adalah Jaya, Karta, Tama dan Wulan.
              Sejak kecil mereka berempat sdah hidup sebatang kara karena kedua orangtuanya sudah meninggal.


            Keempat bersaudara itu melanjutkan hidup dengan serba pas-pasan karena orangtua mereka tidak meninggalkan harta benda yang bisa dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ketiga anak laki-laki bekerja sebagai buruh tani ditanah pertanian tetangga.  Sementara Wulan, satu-satunya saudara perempuan dirumah bertugas membersihkan rumah, mencuci, dan  memasak. Sesekali Wulan ke pinggir hutan untuk mencari kayu bakar dan sayuran  yang bisa dijual sekedar untuk menambah membeli  beras dan lauk. 
dok suci

            Syahdan, kemarau panjang melanda desa mereka, tak ada air, semua tanaman kering kerontang. Sawah tak bisa ditanami lagi, penduduk dilanda kelaparan. Banyak yang mulai meninggalkan desa untuk mencari sumber makanan di tempat lain.
            “Adik, kita tidak bisa seperti ini terus. Tak mungkin bertahan di desa sini.  Aku akan merantau untuk mencari  pekerjaan,“ Jaya dilanda kesedihan mendalam.         
            “Kakak mau pergi ke mana? “ tanya Tama.
            “Belum tahu. Entah kemana kaki akan melangkah, kakak hanya akan berusaha,” jawab Jaya. Sebenarnya dia juga  binggung mau pergi ke mana.
            “Sepertinya semua desa mengalami paceklik seperti desa kita. Tak mungkin ke desa terdekat, harus pergi ke kota, Kak,” Karta ikut menimpali.
            “Kalau ke kota, kita tak mungkin bekerja di sawah. Artinya kita  harus bekerja selain menjadi petani,” sahut Tama.
            Jaya mengangguk setuju dengan penjelasan Tama. Tak mungkin di kota ada pekerjaan seperti di desa mereka. “Kira-kira apa yang bisa kakak kerjakan ya?”
            “Engggggggg, Kak, bukankah kakak bisa main alat musik? Kakak bertiga  mahir sekali meniup seruling, menabuh kendang. Bagaimana kalau kita mencari uang dengan menghibur? “ Wulan dengan antusias mengingatkan ketiga kakaknya.
            “Wahhhhhh, kamu hebat, Dik. Benar katamu, kita semua punya kemampuan itu. Ditambah suara kamu yang merdu. Di kota pasti  akan lebih mudah mencari uang dengan menghibur penduduk daripada bekerja seperti di desa,” Jaya, Karya dan Tama nampak senang dengan ide Wulan.
            Akhirnya keempat bersaudara tersebut sepakat untuk pergi bersama ke kota.  Meskipun dengan berat hati, rumah sederhana yang selama ini menyimpan banyak kenangan dan memberikan   tempat bernaung mereka tinggalkan.
**


            Beberapa hari kemudian keempat saudara tersebut sudah  tiba di sebuah   kota  yang ramai penduduknya. Orang –orang  biasa menyebut   kota Jamama.  Penduduknya lumayan padat dengan berbagai macam pekerjaan.  Dengan berbekal  kendang dan  suling  mereka berempat mulai bekerja. Dari rumah ke rumah dan dari jalan ke jalan mereka rajin mengumpulkan uang rupiah demi rupiah. Tak kenal lelah hanya untuk mengumpulkan uang dan berharap bisa kembali ke desa tanah kelahiran mereka.
            Sebulan dua bulan, dan tak terasa sudah setahun mereka hidup mengembara dari kota ke kota. Hingga mereka sampai di sebuah kota besar. Pada saat itu musim penghujan telah tiba. Hampir setiap hari hujan turun dan banjir melanda di beberapa tempat. Jaya dan ketiga adiknya harus lebih berhati-hati mencari tempat  tinggal untuk melepas penat. Jembatan dan emperan toko tak begitu aman jika musim penghujan.
            Suatu hari, hujan turun lebat sekali, Jaya dan ketiga adiknya masih sibuk mengemasi barang-barang mereka yang tidak seberapa. Mereka bermaksud mengungsi ke tempat lain karena  kalau hujan turun dengan lebat kemungkinan besar sungai akan banjir.
            Saat itu tanpa disadari, tiba-tiba air bah datang  dengan gelombang tinggi. Jaya, Karta dan Tama tak sempat menyelamatkan diri dan terbawa air. Kejadiannya begitu cepat, hanya Wulan yang saat itu berada di atas jembatan yang tak terbawa air bah.  Wulan hanya bisa menangis sejadi-jadinya melihat ketiga kakaknya hanyut .
            “Kakak.....Kak Jaya, Kak Karta, Kak Tama................................” Dengan histeris dan dilanda kesedihan yang dalam, Wulan mencari kakaknya. Ke sana kemari Wulan tak pernah lelah mencari. Setiap saat Wulan meneriakkan nama ketiga kakaknya. Jaya, Karta, Tama dengan berlinang air mata. Orang-orang yang bersimpati sudah berusaha membantu mencarikan ketiganya tetapi hasilnya nihil.  Jasad ketiga kakak beradik itu tak ditemukan.
            Berbulan-bulan tanpa mengenal lelah, Wulan selalu mencari dengan memanggil nama  kakaknya. Lama kelamaan orang-orang semakin terbiasa dengan kata-kata yang diteriakkan Wulan yaitu, Jaya, Karta dan Tama. Konon kabarnya, lama kelamaan bertahun-tahun kemudian  kota tempat hanyutnya kakak Wulan di sebut  dengan Jayakartatama, singkatan dari Jaya, Karta dan Tama. Dan sekarang biasa di sebut  dengan kota Jakarta.***