Rabu, 26 Agustus 2015

Melek Bengi, Nguri-nguri Budaya Jawa

Melek bengi ( begadang), rasanya banyak orang yang sering melakukannya. Entah karena sedang lembur kerjaan, bikin skripsi, belajar, ada hajatan atau memang lagi gak bisa tidur.

Setiap daerah mempunyai tata cara, kebiasaan, adat istiadat yang bisa jadi berbeda-beda, meskipun ada daerah yang mempunyai kebiasaan yang mirip. Desa mowo toto, negoro mowo coro, begitu juga di daerah kami, meskipun jaman sudah jaman tehnologi maju, tetapi sebagian masyarakt masih memegang teguh sejumlah kebiasaan yang sudah dilakukan sejak para tetua/simbah-simbah buyut/canggah/gantung siwur/udeg-udeg. Salah satu kebiasaan yang masih dilakukan yakni saat ada hajatan pernikahan/mantu masih ada tradisi melek bengi.

Melek Bengi untuk tarawih dan pengajian bulan Ramadhan 2015
Di Jawa Tengah, terutama di pedesaan, saat ada  yang punya hajatan menikahkan anggota keluarga , sudah biasa tetangga lek-lekan/melek-melekan/melek bengi atau bedagang, tidak hanya semalam, tetapi bisa beberapa malam. Atau paling tidak begadang terutama saat malam midodareni.

Masih ingat, bulan Juli kemarin saat Presiden Joko Widodo mantu putra sulungnya mas Gibran khan? Acara melek bengi masih dilakukan, masuk salah satu proses pernikahan yang masih di lakukan.

Bukan tanpa sebab kebiasaan melek bengi/begadang tersebut. Mereka lek-lekan tidak hanya sedekedar tidak tidur atau melek sampai pagi saja, tetapi sebenarnya kebiasaan melek ini banyak tujuannya.  Antara lain,
Ngancani atau menemani keluarga yang mempunyai hajatan. Sudah pasti saat mempunyai hajatan banyak anggota keluarga jauh dan dekat berkumpul di rumah. Untuk itu perlu ada tetangga yang ikut menemani, untuk sekedar gobrol atau hanya berkumpul saja sambil bermain kartu remi, domino untuk menjaga agar mata tetap terbuka alias tidak mengantuk. Kami biasa menamai ini sebagai jagak lek (penjaga melek/terbangun).

Begadang semalaman juga mempunyai makna untuk ikut menjaga harta benda milik tuan rumah yang tentunya tersedia banyak sekali melebihi hari biasa. Harta benda tersebut dipergunakna untuk memenuhi kebutuhan hajatan, baik untuk suguhan /hidangan tetamu, untuk hantaran tetangga dan tetau juga untuk menjamu keluarga besan/keluarga pihak laki-laki.

Begadang tersebut juga dimaknai untuk menjaga sawan/ hal-hal gaib yang kurang baik, yang  kemungkinan datang kepada calon pengantin dan keluarganya. Dengan banyak orang yang ikut terjaga sampai pagi, diharapkan hal-hal gaib yang buruk /sukerto tidak akan datang sehingga semua proses pernikahan esko hari bisa berjalan dengan lancar.

Selain hal itu, melek bengi juga dimaknai sebagai rasa ikut gembira, bersyukur atas kebahagiaan keluarga yang mengelar hajatan pernikahan. Sebagai tetangga dekat sudah semestinya ikut bersuka ria atas kebahagiaan tetangga yang akan bertambah anggota keluarga yang baru.

Diakui atau tidak, biasanya para tetangga senang-senang saja dengan acara melek bengi tersebut, bahkan para bapak yang tidak terbiasa melek bengi saja juga ikut berpartisipasi menjaga kantuk di rumah yang punya hajatan. Kebiasaan lain untuk meramaikan acara tersebut,  di salah satu daerah di kabupaten Sragen dan Klaten, para bapak biasa mengadakan acara arisan rokok untuk memeriahkan acara melek bengi. Arisan rokok meskipun hanya  formalitas, sebagai penanda ikut memeriahkan acara melek bengi, tetapi tetap dilakukan dengan serius sampai ada yang mendapatkan rokok paling banyak. Rokok tersebut nantinya juga akan di nikmati bersama-sama oleh para tetangga/tamu yang melek bengi.

Bagaimana dengan kebiasaan di  daerah bapak/ibu? Sekedar berbagi cerita untuk menambah informasi, sukur-sukur ada manfaatnya, nuwun.

Jangan Sepelekan Minta Maaf Ke Pasangan

'Maaf'' sebuah kata sederhana, biasa saja, sepele, tak jarang tidak kita perhatikan secara serius.

Kami ...


Di satu sisi ada orang yang ‘malas’ dan pelit untuk mengucapkan kata maaf, karena menganggap itu nggak penting, merasa tidak melakukan kesalahan fatal sehingga tidak perlu minta maaf.
Sementara di sisi lain  ada orang-orang yang dengan mudah menghamburkan kata ma’af tanpa dirasakan kedalaman makna dari maaf itu sendiri, sehingga kesannya hanya kata saja yang terlontar di bibir, terasa ringan , mudah diucapkan dan merasa sudah selesai , sudah plong saat sudah ada kata maaf. Sehingga kesannya maaf hanya sekedar formalitas saja.  Meskipun pasti banyak juga orang yang mengatakan kata maaf dengan ketulusan hati dan niat sungguh-sungguh disertai hati yang jernih dan dada lapang.

Mungkin kita dengan mudah meminta maaf kepada orang lain, tanpa beban dan tulus. Bahkan merasa sudah sewajarnya minta maaf kepada orang lain , entah itu saudara, teman, tetangga, kenalan dll.

Tetapi adakah yang ‘lupa’ untuk meminta maaf kepada pasangan?  Meski terkesan sepele, terkadang kita melupakan bahwa jika ada suatu kesalahan/ hal yang kurang berkenan di hati pasangan kita (terutama suami/istri) kita seharusnya juga minta maaf.

Dari beberapa obrolan ringan dengan beberapa teman/ tetangga/saudara, sebagian besar mereka  merasa tidak perlu minta maaf kepada pasangan masing-masing. Jawaban yang mencegangkan adalah karena mereka merasa sudah  ‘bukan orang lain lagi’ , ‘sudah keluarga sendiri’, ‘ pasangan sudah menjadi bagian dari kita’  sehingga merasa sah dan wajar saja jika tidak perlu minta maaf pada pasangan.

Dan yang lebih membuat saya terkejut saat ada yang bahkan saat hari raya idul fitri (bagi yang muslim) pun mereka tidak minta maaf kepada pasangan. Padahal mereka minta maaf kepada orangtua, sauadara, tetangga, teman, dlll lho. Sementara kepada pasangan mereka bisa’lupa’? 

Alasan yang disampaikan, bagi suami menganggap seharusnya istrilah yang minta maaf terlebih dahulu, baru suami yang minta maaf. Sementara bagi istri merasa ya sudah nggak perlulah, lha wong setiap hari ketemu dan merasa suami sudah bukan orang lain lagi. What? Justru karena setiap hari ketemu itu memungkinkan banyak kesalahan dan khilaf tho (batin saya).

Saya pernah mendengar  cerita sebuah keluarga saat mereka berantem hebat dan diambang perpisahan. Suami dengan kata-kata kasar mengungkit kepada istrinya kalau selama mereka menikah puluhan tahun, tidak pernah sekalipun istrinya minta maaf bahkan tidak juga di hari idul fitri. Suami merasa tidak diperlakukan sebagai seorang suami, tidak di uwongke, tidak di hargai sebagaimana mestinya. Wah ini gawat.

Bagi saya, permintaan maaf kepada  pasangan itu sangat..sangat penting. Bahkan penting sekali. 

Pertama, Meskipun sudah menjadi bagian dari diri kita, tetapi pasangan tetap orang lain yang mempunyai perasaan halus dan pasti ingin dihargai selayaknya orang lain. Jangan menganggap itu tidak penting. Maka tetaplah minta maaf kalau ada khilaf.

Kedua, suami istri biasanya setiap hari bertemu, berkumpul. Bisa dipastikan ada hal-hal yang kurang berkenan di hati masing-masing. Apa salahnya memulai terlebih dahulu ntuk minta ma’af, toh itu juga tidak akan menurunkan harga diri kita. Buat apa gengsi? Justru dengan legowo/lapang dada untuk minta ma’af terlebih dahulu itu adalah sikap mulia.

Ketiga, dengan ringannnya hati, pikiran dan bibir kita berucap ma’af, akan menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Rasanya suami/istri tidak akan tega marah, mendiamkan, berbuat kasar kepada pasangannya ketika sudah ada permintaan ma’af. Tentunya dengan hati tulus ikhlas dan benar-benar berusaha untuk tidak berbuat khilaf lagi.

Ma’af, seuntai kata  sederhana yang ringan, mudah diucapkan. Tetapi bisa menjadi pedang tajam yang siap mencabi-cabik dan meruntuhkan rumah tangga  kokoh yang terbina lama. Untuk itu sebaiknya jangan berat bibir untuk mengucapkan kata sederhana itu. Plus di sertai dengan kesungguhan hati, insyaallah bisa menghindarkan dari hal-hal yang tidak kita inginkan.***

_Solo, 19 Agustus 2015_

Kerokan, Kearifan Lokal Pengusir Sakit Ringan

KEROKAN... Ya Kerokan...
Sudah pada tahu kan?
Pasti sebagian besar sudah tahu, bahkan sudah pernah kerokan.  Rasanya sebagian besar orang (terutama orang Jawa) sudah pernah kerokan. Sederhana saja, badan (biasanya punggung) di kerok sampai berwarna merah membara.


 (foto diambil dari  :www.google.co.id/search?q=gambar+kerokan&biw=1336&bih=591&tbm=isch&img)

Orang-orang mengenal kerokan sejak kecil, karena sejak kecil ibu-ibu membiasakan kerokan. Saat anak masuk angin, buang-buang angin, pegal-pegal, capek, meriang, pusing, batu-batuk, dan tanda-tanda terserang masuk angin, cara praktis untuk mengusir masuk angin ya dengan kerokan.

Kebiasaan kerokan sudah ada sejak dahulu, menjadi kebisaan turun temurun yang dilakukan sampai saat ini. Bagi orang Jawa, saat masuk angin ya kerokan menjadi solusinya. Tidak perlu susah payah ke didokter, minum obat , tapi cukup dengan kerokan saja. Percaya nggak percaya, biasanya solusi kerokan menjadi manjur karena badan meriang, masuk angin jadi sehat kembali. Bisa jadi itu hanya sugesti, tetapi toh tetap saja merasa sembuh berkat kerokan.

Alat yang dibutuhkan untuk kerokan hanya sederhana saja, cukup dengan sebuah koin , dulu saat saya kecil dengan uang seratus rupiah yang ukuran besar. Kedua sisinya lebih halus sehingga tidak terasa sakit jika dipergunakan untuk kerokan. Itu uang favorit untuk kerokan. Ibu saya bahkan masih menyimpan uang seratus rupiah tersebut, ya khusus untuk kerokan. Beberapa tahun kemudian uang seratus rupiah sisi halus itu sudah sulit ditemukan, maka ada uang alternative untuk kerokan yaitu uang limaratus rupiah dan seribu rupiah itu . Untuk uang seribu rupiah ada dua jenisnya, yaitu ukuran besar yang tebal dan tipis.

Punggung yang mau dikerok di olesi minyak kayu putih atau remason kemudian koin dipergunakan untuk mengerik/mengerok. Saat badan sedang tidak sehat, biasanya dijamin baru sekali dua kali di kerik sudah merah membara. Nah, saat warna merah membara itulah yakini masuk angin akan hilang/pergi. Jadi kalau belum sampai berwarna merah membara, ya jangan berharap ibu akan berhenti untuk mengerik.

Khusus untuk anak-anak bayi, anak kecil, biasanya ibu memilih menggunakan bawang merah yang dipotong untuk alat bantu mengerik. Dan itu cukup membuat anak-anak tidak rewel.

Arah kerokan biasanya dari atas ke bawah, memenuhi punggung kanan dan kiri , jadi bergaris-garis. Nah biasanya kerokan akan diakhiri dengan mengerik dari atas ke bawah tepat di tengah-tengah punggung. Atau kami biasa menyebutkan di ulo-ulo.

Beberapa waktu yang lalu sempat beredar kabar kalau kebiasaan kerokan kurang bagus karena bisa membuka pori-pori kulit sehingga tubuh rentan kemasukan penyakit. Jadi soal kerokan bisa menyembuhkan masuk angin belum tentu kebenarannya. Karena kabar itulah, kebiasaan kerokan menjadi berkurang.

Penelitian:  Kerokan  Aman Bagi Kulit
Syukurlah, saya senang saat beberapa hari yang lalu membaca share dari FB teman perihal kerokan. Seorang Guru Besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof Didik Gunawan Tamtomo meneliti manfaat kerokan. Penelitian itu dilakukan tahun 2003-2005. Prof Didik melakukan survey kuantitatif dan kualitatif dengan 390 responden berusia 40 tahun ke atas, hampir 90% mengaku kerokan saat masuk angin. Pasiennya mengaku kalau kerokan itu bermanfaat untuk menyembuhkan masuk angin. Dari penelitianya, dapat diketahui jika kerokan itu tidak merusak kulit. Prof Didik menjdikan dirinya sebagai obyek penelitian . Dari pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi UNS ternyata tidak ada kulit yang rusak, atau pembuluh darah pecah tetapi pembuluh darah hanya melebar. Melebarnya pembuluh darah mmebuiat aliran darah lancar dan pasokan oksigen dalam darah bertambah. Kulit ari juga terlepas seperti halnya luluran. Dan masih ada manfaat lain dari kerokan tersebut.

Hasil penelitian Prof Didik tersebut cukup melegakan terutama bagi fans berat kerokan.  Menurut saya, ternyata aman-aman saja , tidak masalah dengan kebiasaan kerokan itu.

Bagi kebayakan orang yang sudah terbiasa menyingkirkan masuk angin dengan kerokan memang tidak mudah mengubah kebiasaan tersebut. Masuk angin ? Cukup dengan kerokan dan minum jahe hangat yang di gepuk ditambahkan gula merah. Itulah pengobatan tradisional turun temurun yang selama ini mampu mengusir masuk angin dan sakit ringan lainnya semacam nyeri otot, meriang, capek-capek, mabuk perjalanan, dll.

Oya, yang membuat sakit cepat sembuh dan masuk angin pergi (minggat, maaf) karena saat kerokan biasanya ibu juga sambil bercerita banyak hal, menghibur, memijit sekaligus mendengarkan curhatan kita. Nah, saat kerokan itulah hubungan dengan ibu semakin dekat. Itu juga barangkali yang membuat penyakit menyingkir. Maka, jangan takut kerokan ya.
Semoga bermanfaat.

_Solo, 26 Agustus 2015_