Jumat, 20 November 2015

Kuburan di Kupang, Tempat Asyik untuk Gobrol

Bagi kami orang Jawa (terutama Jawa Tengah), kuburan itu tempat yang menyeramkan. Kenapa?
Karena ada mayat yang dikubur di sana. Kesan seram, horor itu ditanamkan sejak kecil. Orang yang telah meninggal dianggap seram. Oleh karena itu, kuburan biasanya terletak jauh dari perkampungan penduduk.

Bahkan di tempat asal Saya, salah satu kabupaten di Jawa Tengah, kuburan terletak di atas bukit yang cukup tinggi dan terjal. Meskipun ada tangga beton bertingkat, tetapi orang enggan kalau hanya sekedar iseng-iseng ke kuburan, biasanya hanya orang yang berniat ziarah saja yang ke sana. kuburan di Kupang, dihalaman depan rumah, tak ada kesan seram sama sekali.

 Kembali ke kesan horor, sejak kecil stigma kuburan menyeramkan memang sudah ditanaamkan orang-orang tua. Bahkan untuk menakut-nakuti anak-anak cukup efektif. Saat kecil, Saya biasa mendengar larangan "jangan bermain-main di kuburan", " jangan dekat-dekat dengan kuburan", atau kalimat larangan lainnya seperti " awas kena sawan" , "awas ketempelan" dll yang intinya membuat anak-anak tidak berani mendekat ke kuburan. Saat tak segaja menginjak kuburan saja takutnya setengah mati, berkali-kali disuruh minta maaf (aneh ya?) 

kuburan di Kupang, di halaman rumah, biasa untuk tempat gobrol (dok. Suci)



Tetapi kesan kuburan menyeramkan tidak saya temui di Kupang. Justru di Kupang, agar tetap dekat dengan almarhum, tetap ingat dan selalu dekat dengan almarhum, kuburan segaja di letakkan di dekat rumah, di halaman depan/samping. Dari penjelasan teman saya yang berasal di Kupang, mereka tidak mau berjauhan dengan almarhum. Meskipun sudah meninggal tetapi roh almarhum selalu ada di hati dan selalu menemani keluarganya. 

Maka tak heran jika kuburan di Kupang biasanya dibangun sedemikian bagus, bahkan tak jarang lebih mewah di banding dengan rumahnya. Biasanya kuburan di bangun lebar, minimal 1 meter di keramik dan dibuat senyaman mungkin. Tak ada kesan seram sama sekali. Bahkan saya sering melihat anak-anak kecil bermain di atas kuburan. Ada yang bercanda, duduk-duduk santai juga sambil membaca. Seolah-olah duduk di atas kursi biasa saja, bukan diatas kuburan. Bahkan mereka biasa juga begadang sambil minum kopi, makan snack diatas kuburan. Kalau kami di Jawa biasa duduk di buk (jembatan) sambil ngobrol. Tetapi bagi orang Kupang , gobrolnya diatas kuburan. 

Saya juga merasakan kuburan disana sama sekali tidak seram. Ya, seperti bangunan lainnya. Mereka nyaman saja duduk di atas kuburan. Kalau kami hiiiiiiiiiiiii nggak berani sama sekali. Jangankan duduk diatasnya, melangkah diatas kuburan saja dianggap pamali, bisa kualat. 

kuburan di Solo, jauh dari pemukiman penduduk (foto. www.solopos.com)




Selama di Kupang, Saya santai saja melihat kuburan, tapi saat kembali ke Solo, saat melewati kuburan , bulu kuduk jadi merinding. Tetap saja kesan seram bersarang di pikiran Saya. Susah menghilangkan ingatan horor yang tertanam sejak kecil. Padahal kelak di lokasi itulah tempat peristirahatan panjang kita ya.

 _Solo, 19 November 2015_



Sabtu, 14 November 2015

Pendakian Terakhir

          “Kamu jadi berangkat besok?” tanyamu sambil memandangku penuh kekhawatiran. Matamu yang bulat indah dan biasanya bersinar terang, kali ini terlihat redup menyiratkan ketidakikhalsan melepasku pergi.
            Aku tersenyum, mengambil tanganmu dan mencium perlahan. Ada getaran kurasakan saat tangan halusmu kusentuh.
            “Al …please jangan pergi. Kali ini saja. ”
            “Ta, bukan kali ini saja aku pergi. Kenapa kamu setakut ini? Bukankah  selama ini semua baik-baik saja?”
            “Tapi, Al?” katamu dengan nada merajuk. Kali ini tanpa ada kemanjaaan, tetapi bertumpuk kekhawatiran.  “Firasatku tidak enak,” sambungnya lagi, lirih.
            “Sayang, pendakian ini sudah kami  rencanakan. Kamu juga tahu kalau aku harus berangkat. Anak-anak baru itu butuh pembimbing dan  ini sudah tanggungjawab kami,” tegasku menyakinkan Tata yang terus membujukku untuk membatalkan pendakian.
            Mata bulat itu meredup, penuh rasa putus asa. Tata tahu tidak mungkin bisa mencegah kepergianku kali ini.  Hati-hati, aku menunggumu kembali, akhirnya hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirnya saat aku berpamitan pulang.



foto : gispalawordpress.com




**
            Bukan kali ini saja aku pergi, sudah puluhan kali kakiku lincah menapaki jalanan terjal  gunung. Semua kulakukan dengan rasa percaya diri dan kemantapan hati. Hobi yang kulakukan semenjak aku kuliah semester satu ini memang menjadi tantangan tersendiri buatku. Meskipun awalnya ibu melarang karena kebiasaanku itu membuatnya khawatir tetapi lambat laun ijinnya keluar juga.  Saat Tata menjadi kekasihku ia juga awalnya keberatan dan merasa yakin mampu mengubah hobiku. Tetapi aku selalu melaksanakan semua rencana pendakian dan akhirnya Tata juga merelakan  kepergianku. Toh selama lebih dari tiga tahun ini, lebih dari sepuluh   pendakianku semua berjalan lancar dan aku pulang dengan selamat.  Kali ini aku juga melakukan persiapan  sampai matang seperti biasanya, sehingga aku yakin semua akan berjalan dengan lancar. Seperti biasanya.

**
            “Semua sudah siap? Kali ini pendakian akan kita mulai. Jalur merapi butuh pendakian ekstra hati-hati. Semua harus waspada.“ teriak Galang sambil memandang rombongan pendakian kali ini. Galang sebagai pimpinan rombongan dan aku membantu tugasnya mengawasi anak-anak semester awal yang kali ini ikut bersama kami.
            “SIAP!” jawaban serentak itu membuat semangat kami bangkit.
Tak lama, kami melangkah perlahan, mendaki jalan yang semakin lama semakin terjal dan berbahaya.  Sesekali  aku membantu rombongan yang kesulitan untuk melangkah. 
            Pendakian semakin tinggi, jalanan semakin curam. Banyak jurang di kanan kiri jalan setapak yang kami lalui. Rasa was-was dan waspada bercampur ,menjadi satu. Tetapi kami cukup terhibur saat memandang pemandangan yang sangat elok. Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau segar dengan rindang pohon yang terlihat. Semua menawarkan kesejukan dan kedamaian hati.  Kicau burung yang terdengar bersahut-sahutan mengalahkan musik yang kudengar dari MP3 ku. Kalau sudah seperti ini, aku pasti melepas  MP3 dan lebih memilih menikmati suara alam yang tidak terkalahkan.
            “Cukup, kita istirahat dulu,” suara Galang membuat langkahku berhenti.
            Semua orang duduk, melemaskan otot kaki dan melepas penat.
            Setelah minum beberapa teguk air, aku melihat pemandangan yang tak pernah membosankan  panca indraku. Meskipun sudah berkali-kali mendaki tetapi mataku selalu dahaga akan keindahan  alam yang menawarkan berjuta-juta kesegaran. Hidungku mengembang saat menghirup udara segar yang dengan cepat memenuhi paru-paruku. Hanya di tempat seperti inilah, paru-paru dan seluruh organ tubuhku mendapatkan kemanjaan setelah setiap hari terpaksa berkutat dengan udara yang bercampur dengan  asap knalpot, kepulan asap pabrik, kepulan rokok dan polusi udara lainnya.
            Kakiku  dengan lincah mendaki ke  lereng bukit, semakin memanjakan matanya yang  terus membujuk untuk mencari keindahan lainnya.
            Tanpa sengaja aku melihat bunga edelweis  yang  sedang mekar. Indahnya kelompak bunga yang menjadi simbol kegagahan para pendaki itu membuatku tertarik untuk mendekat. Entah mengapa nalarku terkalahkan dengan perasaanku yang campur aduk. Selama ini belum pernah sekalipun saat pulang mendaki aku membawakan edelweis untuk Tata. Berulangkali ia memintaku untuk mengambil bunga itu, tetapi aku selalu memberikan pengertian kalau itu larangan bagi kami. Biarkan bunga indah itu terus hidup dan berkembang dengan keindahnya. Kita tidak  berhak merusaknya, demikian aku selalu memberikan  alasan.
            Selain takut merusak keindahan bunga edelweis, dikalangan para pendaki sudah ada kesepakatan tidak tertulis untuk tidak mengambilnya. Kami cukup menikmati keindahannya di gunung  dan mengabadikan dengan  jepretan kamera, bukan membawanya pulang.
            Tetapi kali ini tanganku gatal ingin memberikan persembahan indah ini untuk Tataku. Kakiku melangkah dengan  ringan mendekati  bunga yang  gagah berdiri di tepi sebuah tebing. Sejenak aku berpikir akan kesulitan untuk memetiknya, tetapi setelah aku perhatian, tidaklah terlalu sulit. Aku hanya perlu berdiri ditepi tebing dan tanganku pasti mudah menjangkaunya.
            “Al, jangan lakukan itu,” suara keras Galang membuat kakiki berhenti melangkah.
Kulihat Galang memandangku dengan sorot mata tajam, tidak suka dengan rencana yang sudah ada dikepalaku.
            “Kenapa kamu  ini, Al?  Heran, belum pernah kamu gegabah seperti ini. Sejak kapan kamu berniat mengambil edelweis itu? “ tanyanya tajam.
            Aku hanya memandang Galang sejenak, termangu, tetapi cepat-cepat kualihkan pandangan kembali ke bunga yang seakan menantangku untuk mengambilnya.
            “Al! Jangan bodoh. Kita tidak pernah mengambil bunga itu. Tidak sekalipun. Ingat komitmen kita selama ini,” Galang mengingatku lagi.
            “Selama ini aku belum pernah mengambil bunga itu. Sekalipun belum pernah melanggar kesepakatan kita. Tetapi kali lini aku ingin sekali. “ jawabku acuh tak acuh tanpa memandang sahabatku ini.
            “Tidak! Sekali tidak, tetap tidak! Sekali kita membiarkan hati ini melanggarnya, pasti akan ada yang kedua kali dan seterusnya. Jangan lakukan,” pinta Galang kali ini tanpa kompromi.
            “Itu urusanku. “ degusku jengkel.
            “Kalau kamu lakukan itu, aku tidak mau mendaki lagi bersamamu,” lantang suara Galang mencegahku.
            “Bodo,” teriakku tak kalah lantang. Kakiku terus melangkah setapak demi setapak mendekati edelweis yang bergerak-gerak ditiup angin. “Mungkin ini pendakian kita yang terakir kalinya,” sungutku marah.
            Galang gusar mendengar jawabaku, “Al. Ingat, tempat ini terlalu wingit. Kamu tahu tak boleh sembarangan mengambil bunga. Tebing itu juga berbahaya.”
            Aku menutup telinggaku  rapat-rapat, tak memperdulikan peringatan Galang. Sejujurnya aku ingin sekali-kali mencoba melanggar peringatan  itu. Kabar yang berenbus kalau gunung yang kudaki kali ini wingit, penuh dengan misteri dan ada larangan keras merusak alam aku tahu sejak dulu. Tetapi aku setengah tidak percaya kalau larangan dilanggar bisa berakibat fatal. Kali ini aku ingin sekali mencobanya tanpa rasa takut.  Sekalian membawakan bunga yang belum pernah aku berikan kepada Tata.
            “Ali, STOP!” teriak Galang lagi, merangsek mencoba menahanku. Tetapi tidak berhasil karena aku terus melangkah, kali ini sudah di pinggit tebing.
            Tinggal satu jangkauan lagi, tanganku terus terulur, mengukur kemampuan untuk menjangkau bunga itu. Satu jejakan kaki lagi, batinku yakin. Aku menguatkan hati  untuk menjangkau bunga di tepi tebing. Segalanya terasa begitu mudah. Ya, tinggal satu gerakan lagi, tanganku akan menjangkaunya.
            Tanah dan batu-batu mulai bergerak, meluncur, longsor. Sempat membuatku bergidik. Ketika sebongkah batu yang tepat di bawah kaki meluncur dengan cepat, aku baru tersadar. Menatap ngeri jurang dibawah. Batu-batu tajam siap menampung tubunku jika tergelincir. Mataku nanar dengan pemandaangan mengerikan di bawah. Tetapi semua terlambat. Saat aku mencoba mengeser tubuh untuk membatalkan niatku, tubuhku bergeser sedemikian cepat. Keseimbangan tubuhnya hilang dan semua berjalan sangat cepat. Bagai angin, aku meluncur.
            “ALI…..”
Masih kudengar suara  pilu Galang saat melihatku terlepas dari pandangan matanya. Mataku terpejam erat, menantikan tubuh disambut batu cadas. Satu hal yang kusesali,  melanggar larangan pendakian ini. Seandainya aku tidak berniat mengambil edelweis itu….

                                                          *****




Jumat, 13 November 2015

Tip Bagi Jomblo Saat ditanya "Kapan Menikah?"

Saat usia sudah berjalan di angka tiga puluh, biasanya hati seorang perempuan lajang sudah mulai dag dig dug. Berdebaran tak karuan. Dag dig dug terus terusan sementara kepala mulai berdenyut dan hati merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat usia terbilang sudah matang tersebut belum juga ada pendamping hidup alias masih melajang. 

Meskipun saat ini bukan jaman nenek moyang kita, atau bukan jaman ayah dan ibu kita dahulu yang menikah di usia yang sangat muda bahkan masih 'bau kencur' , tapi tetap saja nggak nyaman saat belum juga menikah.

 Jaman nenek saya, sudah biasa menikah di usia belasan tahun, dua belasan sampai tujuh belasan tahun. Anak perempuan yang belum menikah di atas usia 15 tahun dianggap aneh dan dipandang dengan banyak pertanyaan. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena toh nanti hanya ngurus kasur ( Melayani suami) , sumur (mencuci, membersihkan/mengurus rumah), dapur (memasak) dan pupur (merias diri untuk menyenangkan suami). 

Di masa ibu saya (usia sekarang 75 th), pemikiran agak maju. Anak perempuan boleh menempuh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Rakyat (SR) setara dengan SD sekarang, biasa sudah dinikahkan usia limabelas sampai duapuluh tahun, kebetulan ibu saya menikah di usia 19 tahun dan mempunyai anak 10 orang. 

Sekali lagi, meskipun sekarang kita hidup bukan di masa nenek dan ibu kita dahulu, tetapi rasanya perempuan tetap was-was bila usia menapaki angka 3 dan belum ada tanda-tanda mempunyai pasangan. 

Kebetulan teman-teman saya, satu tinggal di Jakarta, satu di kota Jogjakarta dan satu di luar negeri, sama -sama perempuan, dua sudah lebih dari 35 tahun dan satunya sudah lebih dari 40 tahun sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan. Betapa galau hati mereka, bahkan saat kegaluan itu datang saat usia mereka memasuki angka 3. Berbagai curhatan mereka ceritakan, baik dalam bahasa candaan maupun secara serius. Dua teman perempuan saya tersebut dulu sempat satu kantor dengan saya. Disaat luang tak ada cerita atau keluhan lain selain betapa hati mereka galau saat tak juga ada pasangan yang siap menikah dengannya. Meskipun mereka sama-sama pernah berpacaran tetapi tidak sampai ke jenjang pernikahan alias gagal. 

Mereka mengaku merasa sedih saat seharusnya senang dengan acara kumpul keluarga terutama saat lebaran, selain sedih saat melihat teman, tetangga atau seorang perempuan dengan pasangannya. "Kapan aku seperti mereka ya?" "Senangnya punya suami," katanya sambil memandang pasangan yang sedang berduaan dengan tatapan tertarik. Tetap melajang saat usia 30 ke atas terkadang tidak terlalu masalah bagi yang bersangkutan, tetapi terkadang bagi orang lain terutama keluarga, teman, tetangga membuat galau dan cemas. Bagi keluarga, itu hal yang wajar karena pandangan masyarakat terkadang kurang positif terhadap perempuan matang yang belum juga mempunyai pasangan. Masyarakat mungkin berpikir, karena terlalu pilih-pilih, banyak pertimbangan atau tidak laku (maaf). 

Dari pengalaman teman-teman saya, meskipun galau tingkat tinggi tetapi sampai saat ini mereka bisa menjawab saat ditanya keluarga, tetangga atau orang terdekat dengan wajah menebarkan senyum (meskipun dengan hati menangis). 

Menurut mereka jawaban inilah yang membuat mereka 'diselamatkan' oleh belum ketemunya pasangan hidup,

 Saat ditanya "Sudah menikah belum?" , jawabnya adalah "sedang siap-siap " (ini bukan jawaban bohong karena memang mereka pada dasarnya sudah siap menikah sejak bertahun-tahun lalu tapi memang belum ada pasangannya saja)

 Saat ada pertanyaan " Kapan menikah?" , jawabannya adalah "Dalam waktu dekat" (jawaban yang tepat bukan? karena dalam waktu yang dekat entah kapan dia akan menikah kok) 

Saat ada yang tanya lagi, " Kok lama menikahnya, nunggu apa sih?" , jangan di jawab "nunggu suamimu menjadi duda atau nunggu kamu ceraikan istrimu" ya, tapi jawab saja, "Nggak lama nunggu kok, bagi saya waktu bukan ukuran tetapi jodoh yang tepat yang saya cari."

 "Kamu sudah mapan, nyari yang bagaimana lagi?" , jawaban simpelnya " Nggak nyari-nyari lagi kok, saya malah duduk manis nunggu saja".

 "Ku tunggu undangannya ya," , jawab saja ," Oke, pasti ku kirimkan segera dengan kilat khusus." 

"Anaknya berapa? " wah nyindir ya, nikah saja belum. Eh tapi jangan di jawab seperti itu, jawab saja, " Ada, rencana dua." (sambil membayangakan punya anak-anak manis dan imut).

Kira-kira itu seputaran pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan lajang, matang yang belum menikah. Meskipun sedih tetapi jangan sampai kesedihan itu diperlihatkan secara langsung apalagi sampai marah. Biarkan saja, toh bagi mereka yang bertanya itu dianggap hal yang biasa. Dan anggap saja itu pertanyaan pertanda rasa sayang dan perhatian mereka kepada anda. Jadi jawab dengan senyum mengembang dan jawaban biasa saja seperti jawaban biasa lainnya (bukan soal jodoh). 

Tetaplah berusaha, jangan menyerah dan jangan putus asa. Percayalah jodoh, kematian, kelahiran, rejeki itu ditangan Tuhan. Asal tetap berusaha, insya allah suatu saat jodoh akan datang. Setiap orang dilahirkan dengan pasangannya masing-masing, hanya mungkin soal waktu saja. Teruslah tersenyum wahai teman perempuan lajang.***

Saat usia sudah berjalan di angka tiga puluh, biasanya hati seorang perempuan lajang sudah mulai dag dig dug. Berdebaran tak karuan. Dag dig dug terus terusan sementara kepala mulai berdenyut dan hati merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat usia terbilang sudah matang tersebut belum juga ada pendamping hidup alias masih melajang. Meskipun saat ini bukan jaman nenek moyang kita, atau bukan jaman ayah dan ibu kita dahulu yang menikah di usia yang sangat muda bahkan masih 'bau kencur' , tapi tetap saja nggak nyaman saat belum juga menikah. Jaman nenek saya, sudah biasa menikah di usia belasan tahun, dua belasan sampai tujuh belasan tahun. Anak perempuan yang belum menikah di atas usia 15 tahun dianggap aneh dan dipandang dengan banyak pertanyaan. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena toh nanti hanya ngurus kasur ( Melayani suami) , sumur (mencuci, membersihkan/mengurus rumah), dapur (memasak) dan pupur (merias diri untuk menyenangkan suami). Di masa ibu saya (usia sekarang 75 th), pemikiran agak maju. Anak perempuan boleh menempuh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Rakyat (SR) setara dengan SD sekarang, biasa sudah dinikahkan usia limabelas sampai duapuluh tahun, kebetulan ibu saya menikah di usia 19 tahun dan mempunyai anak 10 orang. Sekali lagi, meskipun sekarang kita hidup bukan di masa nenek dan ibu kita dahulu, tetapi rasanya perempuan tetap was-was bila usia menapaki angka 3 dan belum ada tanda-tanda mempunyai pasangan. Kebetulan teman-teman saya, satu tinggal di Jakarta, satu di kota Jogjakarta dan satu di luar negeri, sama -sama perempuan, dua sudah lebih dari 35 tahun dan satunya sudah lebih dari 40 tahun sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan. Betapa galau hati mereka, bahkan saat kegaluan itu datang saat usia mereka memasuki angka 3. Berbagai curhatan mereka ceritakan, baik dalam bahasa candaan maupun secara serius. Dua teman perempuan saya tersebut dulu sempat satu kantor dengan saya. Disaat luang tak ada cerita atau keluhan lain selain betapa hati mereka galau saat tak juga ada pasangan yang siap menikah dengannya. Meskipun mereka sama-sama pernah berpacaran tetapi tidak sampai ke jenjang pernikahan alias gagal. Mereka mengaku merasa sedih saat seharusnya senang dengan acara kumpul keluarga terutama saat lebaran, selain sedih saat melihat teman, tetangga atau seorang perempuan dengan pasangannya. "Kapan aku seperti mereka ya?" "Senangnya punya suami," katanya sambil memandang pasangan yang sedang berduaan dengan tatapan tertarik. Tetap melajang saat usia 30 ke atas terkadang tidak terlalu masalah bagi yang bersangkutan, tetapi terkadang bagi orang lain terutama keluarga, teman, tetangga membuat galau dan cemas. Bagi keluarga, itu hal yang wajar karena pandangan masyarakat terkadang kurang positif terhadap perempuan matang yang belum juga mempunyai pasangan. Masyarakat mungkin berpikir, karena terlalu pilih-pilih, banyak pertimbangan atau tidak laku (maaf). Dari pengalaman teman-teman saya, meskipun galau tingkat tinggi tetapi sampai saat ini mereka bisa menjawab saat ditanya keluarga, tetangga atau orang terdekat dengan wajah menebarkan senyum (meskipun dengan hati menangis). Menurut mereka jawaban inilah yang membuat mereka 'diselamatkan' oleh belum ketemunya pasangan hidup, Saat ditanya "Sudah menikah belum?" , jawabnya adalah "sedang siap-siap " (ini bukan jawaban bohong karena memang mereka pada dasarnya sudah siap menikah sejak bertahun-tahun lalu tapi memang belum ada pasangannya saja) Saat ada pertanyaan " Kapan menikah?" , jawabannya adalah "Dalam waktu dekat" (jawaban yang tepat bukan? karena dalam waktu yang dekat entah kapan dia akan menikah kok) Saat ada yang tanya lagi, " Kok lama menikahnya, nunggu apa sih?" , jangan di jawab "nunggu suamimu menjadi duda atau nunggu kamu ceraikan istrimu" ya, tapi jawab saja, "Nggak lama nunggu kok, bagi saya waktu bukan ukuran tetapi jodoh yang tepat yang saya cari." "Kamu sudah mapan, nyari yang bagaimana lagi?" , jawaban simpelnya " Nggak nyari-nyari lagi kok, saya malah duduk manis nunggu saja". "Ku tunggu undangannya ya," , jawab saja ," Oke, pasti ku kirimkan segera dengan kilat khusus." "Anaknya berapa? " wah nyindir ya, nikah saja belum. Eh tapi jangan di jawab seperti itu, jawab saja, " Ada, rencana dua." Kira-kira itu seputaran pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan lajang, matang yang belum menikah. Meskipun sedih tetapi jangan sampai kesedihan itu diperlihatkan secara langsung apalagi sampai marah. Biarkan saja, toh bagi mereka yang bertanya itu dianggap hal yang biasa. Dan anggap saja itu pertanyaan pertanda rasa sayang dan perhatian mereka kepada anda. Jadi jawab dengan senyum mengembang dan jawaban biasa saja seperti jawaban biasa lainnya (bukan soal jodoh). Tetaplah berusaha, jangan menyerah dan jangan putus asa. Percayalah jodoh, kematian, kelahiran, rejeki itu ditangan Tuhan. Asal tetap berusaha, insya allah suatu saat jodoh akan datang. Setiap orang dilahirkan dengan pasangannya masing-masing, hanya mungkin soal waktu saja. Teruslah tersenyum wahai teman perempuan lajang.*** _Solo, 12 Agustus 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/galau-saat-ditanya-kapan-menikah_55cacb71f07a612705b91819
Saat usia sudah berjalan di angka tiga puluh, biasanya hati seorang perempuan lajang sudah mulai dag dig dug. Berdebaran tak karuan. Dag dig dug terus terusan sementara kepala mulai berdenyut dan hati merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat usia terbilang sudah matang tersebut belum juga ada pendamping hidup alias masih melajang. Meskipun saat ini bukan jaman nenek moyang kita, atau bukan jaman ayah dan ibu kita dahulu yang menikah di usia yang sangat muda bahkan masih 'bau kencur' , tapi tetap saja nggak nyaman saat belum juga menikah. Jaman nenek saya, sudah biasa menikah di usia belasan tahun, dua belasan sampai tujuh belasan tahun. Anak perempuan yang belum menikah di atas usia 15 tahun dianggap aneh dan dipandang dengan banyak pertanyaan. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena toh nanti hanya ngurus kasur ( Melayani suami) , sumur (mencuci, membersihkan/mengurus rumah), dapur (memasak) dan pupur (merias diri untuk menyenangkan suami). Di masa ibu saya (usia sekarang 75 th), pemikiran agak maju. Anak perempuan boleh menempuh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Rakyat (SR) setara dengan SD sekarang, biasa sudah dinikahkan usia limabelas sampai duapuluh tahun, kebetulan ibu saya menikah di usia 19 tahun dan mempunyai anak 10 orang. Sekali lagi, meskipun sekarang kita hidup bukan di masa nenek dan ibu kita dahulu, tetapi rasanya perempuan tetap was-was bila usia menapaki angka 3 dan belum ada tanda-tanda mempunyai pasangan. Kebetulan teman-teman saya, satu tinggal di Jakarta, satu di kota Jogjakarta dan satu di luar negeri, sama -sama perempuan, dua sudah lebih dari 35 tahun dan satunya sudah lebih dari 40 tahun sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan. Betapa galau hati mereka, bahkan saat kegaluan itu datang saat usia mereka memasuki angka 3. Berbagai curhatan mereka ceritakan, baik dalam bahasa candaan maupun secara serius. Dua teman perempuan saya tersebut dulu sempat satu kantor dengan saya. Disaat luang tak ada cerita atau keluhan lain selain betapa hati mereka galau saat tak juga ada pasangan yang siap menikah dengannya. Meskipun mereka sama-sama pernah berpacaran tetapi tidak sampai ke jenjang pernikahan alias gagal. Mereka mengaku merasa sedih saat seharusnya senang dengan acara kumpul keluarga terutama saat lebaran, selain sedih saat melihat teman, tetangga atau seorang perempuan dengan pasangannya. "Kapan aku seperti mereka ya?" "Senangnya punya suami," katanya sambil memandang pasangan yang sedang berduaan dengan tatapan tertarik. Tetap melajang saat usia 30 ke atas terkadang tidak terlalu masalah bagi yang bersangkutan, tetapi terkadang bagi orang lain terutama keluarga, teman, tetangga membuat galau dan cemas. Bagi keluarga, itu hal yang wajar karena pandangan masyarakat terkadang kurang positif terhadap perempuan matang yang belum juga mempunyai pasangan. Masyarakat mungkin berpikir, karena terlalu pilih-pilih, banyak pertimbangan atau tidak laku (maaf). Dari pengalaman teman-teman saya, meskipun galau tingkat tinggi tetapi sampai saat ini mereka bisa menjawab saat ditanya keluarga, tetangga atau orang terdekat dengan wajah menebarkan senyum (meskipun dengan hati menangis). Menurut mereka jawaban inilah yang membuat mereka 'diselamatkan' oleh belum ketemunya pasangan hidup, Saat ditanya "Sudah menikah belum?" , jawabnya adalah "sedang siap-siap " (ini bukan jawaban bohong karena memang mereka pada dasarnya sudah siap menikah sejak bertahun-tahun lalu tapi memang belum ada pasangannya saja) Saat ada pertanyaan " Kapan menikah?" , jawabannya adalah "Dalam waktu dekat" (jawaban yang tepat bukan? karena dalam waktu yang dekat entah kapan dia akan menikah kok) Saat ada yang tanya lagi, " Kok lama menikahnya, nunggu apa sih?" , jangan di jawab "nunggu suamimu menjadi duda atau nunggu kamu ceraikan istrimu" ya, tapi jawab saja, "Nggak lama nunggu kok, bagi saya waktu bukan ukuran tetapi jodoh yang tepat yang saya cari." "Kamu sudah mapan, nyari yang bagaimana lagi?" , jawaban simpelnya " Nggak nyari-nyari lagi kok, saya malah duduk manis nunggu saja". "Ku tunggu undangannya ya," , jawab saja ," Oke, pasti ku kirimkan segera dengan kilat khusus." "Anaknya berapa? " wah nyindir ya, nikah saja belum. Eh tapi jangan di jawab seperti itu, jawab saja, " Ada, rencana dua." Kira-kira itu seputaran pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan lajang, matang yang belum menikah. Meskipun sedih tetapi jangan sampai kesedihan itu diperlihatkan secara langsung apalagi sampai marah. Biarkan saja, toh bagi mereka yang bertanya itu dianggap hal yang biasa. Dan anggap saja itu pertanyaan pertanda rasa sayang dan perhatian mereka kepada anda. Jadi jawab dengan senyum mengembang dan jawaban biasa saja seperti jawaban biasa lainnya (bukan soal jodoh). Tetaplah berusaha, jangan menyerah dan jangan putus asa. Percayalah jodoh, kematian, kelahiran, rejeki itu ditangan Tuhan. Asal tetap berusaha, insya allah suatu saat jodoh akan datang. Setiap orang dilahirkan dengan pasangannya masing-masing, hanya mungkin soal waktu saja. Teruslah tersenyum wahai teman perempuan lajang.*** _Solo, 12 Agustus 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/galau-saat-ditanya-kapan-menikah_55cacb71f07a612705b91819

Selasa, 10 November 2015

Keindahan Tenun NTT, Ada Tangan Licah Si Nona Manis

Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. 


Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. 

Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. 

Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. 


Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. 

Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. 

Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. 


_Solo, 9 November 2015_


Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554