Rabu, 27 April 2016

Refleksi Setahun Implementasi UU Desa dan PR Kedepan

UU Desa Nomor 6 tahun 2014 tidak dipungkiri mampu memberikan harapan baru sekaligus energi baru bagi desa. Regulasi yang mengatur khusus tentang Desa bagaikan secercah bahaya terang dalam cahaya remang-remang yang selama ini menyinari desa. Baru kali ini, negara memberikan kedaulatan, penghormatan khusus untuk mengatur desa dan desa adat. Singkatnya, UU Desa mampu memberikan dorongan agar desa mampu  menuju kemandirian, bertenaga secara sosial, berdaulat dan berdaya.


Secara umum, ada lima hal yang diatur dalam UU Desa yaitu tentang jenis desa yang beragam; kewenangan berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas; demokratisasi desa; dan  perencanaan yang terintegrasi serta konsolidasi keuangan dan aset desa.
Dengan mengacu pada UU Desa, tentu saja banyak perubahan terkait dengan pengaturan desa , sehingga sebuah keharusan manakala pemerintah desa berbenah dan menyesuaikan dengan regulasi  tersebut.
Meskipun banyak diakui oleh pemerintah desa, tidak mudah untuk menyesuaikan dengan regulasi yang baru sehingga butuh proses yang tidak singkat.

Seperti saat tahun pertama dalam mengimplementasikan UU Desa, sejumlah kendala banyak di alami pemerintah desa, terutama terkait dengan implementasi Dana Desa yang cukup besar. Berdasarkan pasal 72  UU Desa, pendapatan desa, salah satunya bersumber dari Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; “Anggaran  bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Besaran alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top)  secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa

JIka merujuk hal tersebut,  setiap desa  akan mempunyai pendapatan desa yang bersumber dari APBN atau kucuran DD berkisar antara Rp 1,4 M/ tahun. Tetapi untuk tahun pertama, masih berkisar 3,235% dari total transfer ke daerha atau baru sekitar Rp 20,7 T. Sementara tahun 2016, sekitar 6% yaitu Rp 46, 9 T.
Uang Rp 1,4 M/tahun, disatu sisi cukup besar manakala hampir semua desa di Indonesia selama ini hanya  menerima ADD berkisar ratusan juta saja, tetapi  DD tersebut kalau sudah dicakke untuk implementasi penyelenggaraan  desa tentu saja tentu tidaklah  terlalu besar.
Sumber pendapatan desa lainnya adalah  dari Alokasi Dana Desa (DD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus(DAK).  

Setahun Pelaksanaan UU Desa, Pemdes Masih Butuh Pendampingan dan Dukungan
Tahun 2015 masih ada hal yang harus di benahi, misalnya  dalam hal pencairannya  DD dibagi dalam tiga tahapan yaitu pada bulan  April sebesar 40%, Agustus sebesar 40% , dan bulan  Oktober dengan besaran 20%.  Sampai bulan September 2015 DD masuk ke kas pemerintah daerah sebesar sekitar 80% tetapi pencairan ke kas desa diperkirakan masih berkisar 40%. Kemudian, giliran  DD sudah masuk ke rekening desa,  Pemerintah Desa (Pemdes)  dilanda kebingunggan manakala belum ada juklak juknis pengunaan serta tidak ada pendampingan tehnis . 

Setali tiga uang, pencairan ADD yang lamban juga mempengaruhi keberlangsungan pemerintahan  desa. Salah satunya manakala ADD terlambat turun ke rekening desa karena persoalan pemahaman perangkat desa terhadap peraturan yang berlaku  belum merata.  Seperti yang dirasakan sejumlah perangkat desa di Kabupaten Klaten yang mengaku belum bisa mencairkan ADD karena belum tuntas menyusun APBDesa. Padahal salah satu syarat pencairan ADD termasuk dana desa, setiap pemerintah desa diwajibkan merampungkan penyusunan APB desa sesuai ketentuan terbaru.

Kepala Desa Pandes, Wedi, Heru Purnomo, mengatakan salah satu kendala penyusunan APBDesa yakni kerap berubah-ubahnya aturan penyusunan. Selain itu, masalah sumber daya manusia (SDM) aparatur desa di wilayahnya juga menghambat penyusunan APB desa. “Personel di Pemerintah Desa Pandes saat ini tinggal empat orang. Belum lagi, tidak semua personel bisa mengoperasikan komputer,” ujar nya(solopos.com 10/4/2016). Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) Klaten, Herlambang Jaka Santosa,  hingga minggu pertama  bulan April, baru 106 desa dari 391 desa yang mengajukan pencairan ADD. Sementara separo lebih desa belum bisa mencairkan ADD karena terkendala penyusunan APBDesa tahun 2016. 

Hal semacam itu bisa dimaklumi manakala implementasi pada tahun pertama. Tetapi seyogyanya tidak terjadi lagi pada tahun berikutnya karena  berpotensi menghambat penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan sesuai yang ditetapkan dalam musyawarah desa.
Untuk itu, pekerjaan rumah  yang penting dilakukan pemerintah daerah Klaten , paling tidak  secara intens memberikan sosialisasi  juklak juknisnya dan melakukan pendampingan  kepada perangkat desa. Tidak mesti menunggu perangkat desa  secara khusus minta untuk didampingi, tetapi pemerintah daerah bisa turun lapangan, jemput bola mendampingi desa, dengan memanfaatkan tenaga pendamping desa yang ada.**

Ingin Lanjut Gubernur DKI Jakarta, Manuver Ahok Harus Di Batasi

Saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, sejumlah pejabat menyatakan mengundurkan diri. Bahkan tercatat 15 pejabat eselon IV Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sudah mengajukan surat pengunduran diri dari jabatannya kepada BKD DKI, sampai Maret 2015  lalu (kompas.com)

Yang terbaru,  Rustam Effendi, Wali Kota Jakarta Utara, Selasa (26/4) mengirimkan surat kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD yang menyatakan pengunduran dirinya.

Bukan tanpa sebab, meskipun yang  bersangkutan tidak menyatakan alasan secara jelas, tetapi pengundurkan dirinya tentu saja dengan mudah dikaitkan dengan ‘perseteruannya’ dengan sang gubernur beberapa hari sebelumnya.
Diawali dengan  tudingan Ahok yang mengatakan bahwa Rustam bersekongkol dengan Yusril Ihza Mahendra, salah satu balon gubernur DKI Jakarta. Karena tidak tahan menahan rasa,  Rustam di Facebook tentang gaya kepemimpinan Ahok. Menurutnya, tudingan atasannya tersebut menyakitkan dan tidak diharapkan keluar dari pimpinannya.

Seperti diketahui, sebelum Wali Kota Rustam Effendi  mundur, Haris Pindratno yang menjabat sebagai sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI dan Tri Djoko Sri Margianto  Kepala Dinas Tata Air DKI juga mengundurkan diri. Keduanya pejabat eselo
Mundurnya pejabat eselon II tersebut kalau dicermati karena tidak tahan banting dan tidak tahan kritikan Ahok.

Rustam sebelum dituding bersekutu dengan Yusril, ia sudah mendapatkan teguran karena  lamban dalam  menertibkan pemukiman ilegal yang berada di sepanjang kolong Tol Ancol, Pademangan Jakarta Utara . Karena kelambanan penertiban  tentunya bisa berdampak pada banjir di kawasan Ancol.

Setali tiga uang, mundurnya Haris Pindratno juga karena sering kena tegur Ahok, salah satunya  sebagai kepala Dinas Perindustrian dan Energi, ia tidak mengganti lampu penerangan jalan umum (PJU) dengan LED.  Kemudian Tri Djoko  Sri Margianto mengajukan pension dini karena mengaku  acapkali terjadi perbedaan pendapat dengan  Ahok,  terutama  berkaitan dengan penanganan banjir. Tri menilai Ahok melihat permasalahan banjir sebagai sesuatu yang mudah, padahal penyelesaiannya tidak semudah itu.

Ahok Tidak Peduli dengan Pencitraan
Tinggal beberapa bulan kedepan, Ahok akan bertarung untuk mempertahankan kursinya. Saat ini calon penantangnya sudah mempersiapkan diri dari segala hal. Meskipun penantang Ahok belum resmi di dukung oleh parpol tetapi langkah massif untuk mendekati parpol dan mendulang suara sudah tidak terelakan lagi.

Dalam  Pilgub nanti, yang menentukan siapa gubernur terpilih  adalah suara rakyat.  Meskipun  banyak didukung parpol atau banyak duit, tetapi kalau warga Jakarta tidak memberikan suaranya, percuma saja. Sehingga menarik simpati  warga adalah upaya untuk mengaet dukungan dan memastikan suaranya tidak beralih ke pesaingnya. Untuk itu, tidak salah kalau semua bakal calon gubernur DKI Jakarta sudah berupaya untuk  mencari simpati sebanyak-banyaknya.  Untuk itu, setiap tindakan, kata-kata  yang terlontar dari mulut  bakal calon gubernur akan mudah dijadikan catatan dan direkam dalam benak warga Jakarta.

Terkait dengan Ahok, sejak semula, warga sudah mengenal karakter dan gaya kepemimpinannya yang ceplas ceplos, apa adanya, cepat, tangkas, tidak pandang bulu  bahkan ada yang menilai cenderung kasar. Menjelang Pigub, Ahok tidak berusaha merubah karakter dan gaya uniknya tersebut. Ia sepertinya tidak peduli dan terus bekerja  dengan tipikal-nya yang tidak bisa diterima semua orang.

Kemungkinan besar, rasa percaya diri Ahok sangat besar dan ia tidak gentar sehingga apa yang selama ini ia lakukan terus dipertahankan. Ia seperti bilang, “inilah gue , jangan harap gue berubah hanya demi terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta”. Ahok sama sekali tidak peduli atas pencitraan dirinya yang bisa  jadi mempengaruhi pilihan warga Jakarta tahun depan.

Manuver  Ahok Yang Tidak Perlu


Menurut saya, Ahok sah saja memilih jalan politiknya  untuk terus mempertahankan gaya kepemimpinannya seperti itu. Jika ia merasa hanya langkah itu yang bisa mempercepat kerja-kerjanya dan membawa Jakarta lebih baik, ia bebas menentukan pilihan.

Tetapi, diakui atau tidak,  urusan penilaian warga itu  menjadi salah satu point penting untuk mendulang suara.  Dengan manuver Ahok yang menurut saya tidak perlu dilakukan tersebut, hanya akan membuang energinya saja sekaligus  blunder.  Lawan politik akan mendapatkan amunisi baru secara cuma-cuma. Masih banyak pekerjaan yang harus ia tuntaskan menjelang akhir masa jabatannya.  Seharusnya Ahok tidak perlu membuat manuver yang  kontaporduktif dan hanya akan menambah catatan di benak warga Jakarta.

Kalau bisa sih, Ahok mulai menyingkirkan hal remeh  tersebut dari agenda politiknya  dan terus berkonsentrasi menyelesaikan PR-nya di Jakarta. Dengan  hasil kerja akhirnya di detik-detik terakhirnya kelak, justru akan menjadi magnet yang menarik perhatian warga Jakarta untuk menentukan apakah ia pantas lanjut atau  cukup, berhenti sampai di sini.**

_Solo, 26 April 2016_

Mendorong Pengelolaan Dana Desa Untuk Mengefektifkan Program Berbasis Desa

             Sejak di syahkan akhir bulan Desember 2013 dan diundangkan tahun 2014, UU DEsa Nomor 6 tahun 2014 memberikan harapan baru bagi desa menuju kemandirian desa, betrenaga secara sosial , berdaulat secara politik dan berdaya secara ekonomi.


  Dalam sejarahnya, baru kali ini negara memberikan penghormatan khusus  untuk mengatur desa dan desa adat. Selama ini, urusan desa selalu menjadi bagian dari Undang Undang Pemerintah Daerah.
Gambaran umum dari isi UU Desa yaitu mengatur tentang kedudukan dan jenis desa; penataan desa; kewenangan desa; penyelenggaraan pemerintahan desa; hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa; peraturan desa;  keuangan dan aset desa; pembangunan desa dan pembangunan kawasan desa; Badan Usaha Milik Desa, kerjasama desa; lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga desa adat serta pembinaan dan pengawasan.
Secara garis besar, ada lima hal  mendasar yang diatur dalam UU Desa. Yaitu jenis desa yang beragam; kewenangan berdasarkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas; demokratisasi desa; dan  perencanaan yang terintegrasi serta konsolidasi keuangan dan aset desa.
Dari kelima perubahan tersebut, keuangan desa menjadi salah satu bahasan yang menarik diperbincangkan.  Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 2014 pasal 72 , pendapatan desa bersumber dari pertama, Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;  kedua, Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; “Anggaran  bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Besaran alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top)  secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa. Ketiga, Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota yaitu 10% dari Pajak dan Retribusi Daerah . Keempat, Alokasi Dana Desa (DD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus(DAK).  Kelima Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; keenam, Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan  ketujuh Lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Berdasarkan amanat UU Desa tersebut, setiap desa mempunyai pendapatan desa yang bersumber dari APBN atau kucuran DD berkisar antara Rp 1,4 M/ tahun.
Namun saat ini besaran DD yang diterima tidak sertamerta sebesar 10% , tetapi akan dipenuhi secara bertahap. Untuk tahun  2015  sebesar  3,235% dari total transfer ke daerah atau sekitar Rp 20, 7 triliun.  Tahun 2016 paling sedikit 6% atau sekitar Rp 46,9 triliun, dan tahun 2017 paling sedikit 10%, sehingga diharapkan mulai tahun 2017 semua desa sudah menerima sebesar amanat UU Desa.
Melihat jumlah DD yang akan diterima sekitar Rp 1,4 M terlihat besar karena selama ini desa jarang mengelola dana sebesar itu. Tetapi sesungguhnya jika sudah di pergunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan,  jumlah tersebut tidak terlalu besar.


Dana Desa Cair, Sosialisasi dan Pendampingan Minim
Sejak UU Desa hadir, Desa dilanda kegembiraan sekaligus kecemasan. Kegembiraan karena harapan besar digantungkan pada UU Desa, di mana desa bisa leluasa mengatur jalannya pemerintahan  dengan kewenangan yang dimiliki, mengelola anggaran  demi kesejahteraan warganya. Rasa cemas di satu sisi, karena sepanjang tahun 2014-2015 belum ada sosialisasi dari pemerintah yang cukup memadai.
Tahun 2015 DD dikucurkan sebesar Rp 20,7 triliun sebagaimana yang ditetapkan dalam APBN-P TA 2015, sehingga diperkirakan masing-masing desa akan menerima Rp 254 juta.  Pencairannya  dibagi dalam tiga tahapan yaitu pada bulan  April sebesar 40%, Agustus sebesar 40% , dan bulan  Oktober dengan besaran 20%.  Sampai bulan September 2015 DD masuk ke kas pemerintah daerah sebesar sekitar 80% tetapi pencairan ke kas desa diperkirakan masih berkisar 40%.
Lambannya proses penyerapan ini menjadi masalah tersendiri, sehingga pada tanggal 15 September 2015, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi nomor 900/5356/SJ, nomor 959/KMK.07/2015, nomor 49 tahun 2015 tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Pengunaan Dana Desa tahun 2015. Inti dari SKB tersebut pertama, Menteri Dalam Negeri memerintahkan bupati/walikota untuk melakukan langkah-langkah percepatan penyaluran dan pengelolaan DD tahun 2015. Kedua, Menteri Keuangan melakukan pemantauan penyaluran DD dari Rekening Kas Umum  Daerah ke Rekening Kas Desa untuk setiap tahap penyaluran sesuai dengan batas waktu dan besaran penyaluran. Ketiga, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memfasilitasi percepatan pengunaan DD tahun 2015 untuk berbagai kegiatan.
Pemerintah Desa (Pemdes)  bertambah cemas ketika DD sudah cair di rekening desa masing-masing tetapi sosialisasi pengunaan DD belum juga diterima. Meskipun sebagian desa sudah menerima DD, tetapi rata-rata Pemdes tidak berani mencairkannya karena pemerintah kabupaten/kota minim melakukan sosialisasi DD dan belum ada juklak juknis  pengunaannya serta tidak adanya pendampingan tehnis.  Pemdes tidak berani karena dikhawatirkan salah dalam mengalokasikan DD tersebut, sehingga relative hanya menunggu. Tetapi di satu sisi mereka kebingungan karena adanya aturan sanksi pengunaan DD. Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa mengatur sanksi terhadap desa dapat berupa penundaan penyaluran dan /atau pemotongan  penyaluran dana desa.
Sejumlah Desadi kabupaten Batanghari Jambi dan Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, sudah menerima DD tetapi kades tidak berani mengunakanya karena tidak ada sosialisai pengunaannya dan pendampingan tehnis. Mereka kebinggungan karena ada desakan dari masyarakat untuk segera mencairkan DD untuk kebutuhan penyelenggaraan pembangunan Desa, tetapi tidak berani mencairkan tanpa ada juklak juknis dan pendampingan dari kabupaten. Sampai saat ini DD masih di rekening kas desa. Ada kekhawatiran tanpa adanya arahan yang jelas dari kabupaten, ada kekeliruan dalam mengalokasikan DD. Sementara Pemdes juga menghadapi ‘tekanan’ dari pemerintah daerah untuk segera menggunakan DD.
Desa kedua wilayah tersebut hanyalah  contoh kecil, Desa lain baik di Jawa maupun luar Jawa rata-rata mempunyai pengalaman yang sama.



Prioritas Pengunaan Dana Desa Berdasar  Regulasi
Tantangan terbesar Pemerintah Desa adalah mengelola anggaran yang salah satu sumbernya dari DD untuk meningkatkan kesejahteraan warganya dengan akuntabel, professional, transparan, partisipatif sesuai dengan regulasi.
Menunggu aturan tehnis pengunaan DD dari provinsi/kabupaten/kota membutuhkan waktu karena sampai saat ini banyak pemerintah daerah yang belum menyiapkan proses  tersebut. Logikanya jika pemerintah daerah serius memudahkan urusan DD, sejak UU Desa disahkan, sudah ada persiapan yang dibutuhkan oleh Desa seperti pendampingan pengelolaan/penatausahaan keuangan desa. Selain itu juga menyiapkan berbagai regulasi  baik  di tingkat provinsi mauapun kabupaten/kota.
Paling tidak pada level Provinsi dibutuhkan adanya  Peraturan Daerah  tentang Pengaturan Desa Adat di Propinsi yang bersangkutan (sesuai Pasal 109 UU No 6/2014). Kemudian di level kabupaten/kota ada Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa dan Desa Adat (jika ada perubahan status dari desa yang ada saat ini, mandat UU Desa pasal-pasal peralihan),  Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Desa dan Kawasan (mandat UU Desa pasal 84 ayat 3.
Kemudian  kebutuhan Peraturan Bupati/Wali Kota tentang Kewenangan Desa (Permendes PDTT 1 Tahun 2015), Peraturan Bupati/Walikota tentang Penetapan Besaran dan Tata Cara Penyaluran DD, ADD, dan DBH (PP 22 Tahun 2015 jo Permendagri Nomor 113 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Keuangan Desa), Peraturan Bupati/Walikota tentang Pengelolaan Keuangan (jo Permendagri Nomor 113 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Keuangan Desa), Peraturan Bupati/Walikota tentang Pengadaan Barang dan Jasa (jo Permendagri Nomor 113 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Keuangan Desa).

Ketidaksiapan regulasi di pemerintah daerah hendaknya tidak menjadi hambatan bagi Desa untuk mencairkan DD sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah desa. Mengingat berakhirnya tahun anggaran 2015 tinggal dua bulan lagi, untuk itu Desa bisa menyegerakan pencairan DD.
Desa menggunakan acuan regulasi yang sudah ada. SKB Tiga Menteri  memperkuat PP nomor  22 tahun 2015 tentang Perubahan atas  PP nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, dan  Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi nomor 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Pengunaan Dana Desa tahun 2015. Dalam mengalokasikan DD, menggunakan prinsip sesuai dengan Permen 5/2015 pasal 2, DD yang bersumber dari APBN digunakan untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diatur dan di urus oleh Desa. DD diprioritaskan untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa (pasal 2).  Pemerintah Desa hendaknya menggunakan DD dalam prioritas belanja desa seperti yang disepakati dalam Musyawarah Desa (Pasal 3). Proses Musyawarah Desa dengan melibatkan perwakilan masyarakat/kelompok untuk menyusun perencanaan pembangunan desa (meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa/RPJMDesa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa/RKPDesa) menjadi arena demokrasi yang penting untuk menentukan arah pembangunan desa. RPJMDesa sebagai satu-satunya  dokumen perencanaan di Desa harus dijadikan acuan dalam menggunakan DD.  Prioritas tersebut untuk kegiatan-kegitan sebagai berikut
Pertama prioritas untuk  mendanai pembangunan/rehabilitasi/pemeliharaan sarana prasarasan desa dan pengembangan ekonomi lokal sesuai dengan prioritas desa yaitu meliputi a). pembangunan sarana prasarana desa seperti jalan desa, jembatan sederhana, saluran air, embung desa, irigasi tersier, talud, pengelolaan air bersih berskala desa. b). Pemenuhan kebutuhan dasar seperti pengembangan posyandu, pengembangan pos kesehatan desa dan polindes dan pengembangan kegiatan PAUD. c). Pengembangan ekonomi lokal seperti pasar desa, kios desa, pelelangan ikan milik desa,penyaluran peminjaman bergulir untuk usaha kepada kelompok masyarakat melalui pembentukan  dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Kedua, pembangunan/rehabilitasi/pemeliharaan sarana prasarana dilakukan dengan cara swakelola denga  menggunakan sumber daya/bahan baku lokal dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat desa setempat.

Melakukan sosialisasi pengunaan DD kepada masyarakat. Media yang digunakan beragam, baik dengan tertulis maupun lisan. Tertulis bisa ditempelkan pada papan pengumuman balai desa atau tempat-tempat yang mudah diakses publik seperti pos ronda, masjid, gereja, jembatan, dll. Sementara secara lisan bisa diumumkan saat pengajian, pertemuan RT/RW/PKK/kelompok tani/kelompok lain, saat selesai jumatan dll. Upaya ini akan meminimalisirkan keraguan dan kecemasan Pemdes dalam mengalokasikan DD tidak sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat karena banyak dicermati masyarakat. Pemdes harus mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Desa melalui pemantauan pelaksanaan pembangunan desa. Partisipasi masyarakat penting  agar DD dipergunakan sesuai prioritas yang telah disepakati masyarakat  dalam Musdes sehingga terhindar dari penyelewengan.

Pemerintah Desa melakukan peningkatan kapasitas desa dalam mengelola anggaran dari pemerintah kabupaten/kota dan pusat. Peluang untuk mengelola anggaran desa yang besar  harus diikuti dengan peningkatan sumber daya manusia, baik pemerintah desa maupun masyarakatnya.  Dengan kemampuan anggaran desa yang  memadai, desa bisa mengalokasikan dana  bagi peningkatan kapasitas SDM baik untuk perangkat desa maupun masyarakat desa. Kemampuan dalam mengelola keuangan desa akan mempermudah cita-cita peningkatan kesejahteraan warganya.

Mendorong Pemerintah Daerah untuk melengkapi regulasi yang dibutuhkan dan melakukan pendampingan tehnis. Dengan kelengkapan regulasi dan pendampingan diharapkan tidak ada lagi keraguan Pemdes dalam mengelola DD. Sehingga DD bisa  mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan.

*Desember 2015