Bangunan ruang terbuka itu terlihat gagah, menawan dan asri dipandang mata, terlihat berdiri kokoh di pinggiran pantai Sario Tumpaan. Berdiri dengan kontruksi beton yang menancap di atas permukaan laut, alasnya dari kayu merah tertata rapi menutupi sebagian lantai, sementara bagian lantai sebelah barat masih mengangga. Dinding sama sekali belum terpasang , meskipun direncanakan kelak akan diberikan dinding dari bamboo. Atapnya terpasang dari rumbai memberikan kesan alami dan terasa sangat sejuk. Dari jalan besar , untuk menuju ke daseng , melalui jembatan kecil yang terbuat dari kayu yang hanya bisa di lalui oleh satu orang saja selebar sekitar 50 cm. Jembatan itu disangga dengan tiang-tiang bamboo dan kayu-kayu potongan-potongan sisa dari lantai daseng yang terpasang. Bangunan itu belum sepenuhnya jadi, masih terlihat sisa-sisa material seperti kayu yang belum di benahi berserakan di bawah pertanda akan digunakan lagi. Meskipun selama dua bulan terhitung sejak bulan Oktober 2010 , nelayan bahu membahu siang dan malam menyelesaikan daseng tanpa kenal lelah tetapi daseng belum selesai di bangun.
Daseng yang di bangun tersebut bukan hanya sekedar sebagi tempat peristirahatan nelayan ketika pulang melaut. Tujuan utama, menyediakan tempat sekaligus wadah bertemu nelayan yang memenuhi syarat kualitas dan kapasitas serta dapat berperan multi fungsi untuk memfasilitasi kepentingan nelayan secara berkelanjutan. Yang diharapkan dengan berdirinya daseng ini adalah tumbuhnya semangat kebersamaan dan persaudaraan antar sesama nelayan serta semakin tumbuhnya kecintaan terhadap laut dan kuatnya jiwa kebaharian.
Jika di lihat dari jauh, memang daseng ini terlihat sederhana di bandingkan dengan bangunan sekitarnya yang terlihat megah, kokoh dan angkuh. Bangunan pusat pertokoaan, perumahan yang didirikan pengembang dengan merampas tempat tambatan perahu bagi nelayan, terlihat sangat megah. Tetapi jika di lihat lebih jauh, daseng ini menyimpan nilai sejarah yang luar biasa terutama bagi nelayan di pantai Sario Tumpaan. Daseng ini terbangun berkat perjuangan nelayan yang dengan gigih tanpa mengenal lelah dan takut mempertahankan ruang terbuka pantai yang akan di timbun oleh pengembang. Sekitar bulan Mei 2009, PT Gerbang Nusa Perkasa(GNP) pengembang yang mempunyai ijin melakukan penimbunan di pantai Sario Tumpaan mulai melakukan penimbunan laut, dan meminta nelayan untuk memindahkan perahu karena proyek penimbunan akan dimulai meskipun sebenarnya penimbunan tengah berlangsung. Nelayan menyampaikan keberatan penggusuran penambatan perahu kepada Kadis Kelautan dan Perikan Sulut pada saat acara Pelatihan Kepemimpinan yang dibuat oleh Asosiasi Nelayan Tradisional Sulut (ANTRA – Sulut pada bulan November 2009, tetapi tidak mendapatkan tanggapan pasti. Menyadari resiko yang akan dihadapi nelayan akan kehilangan tempat tambatan perahu dan ruang terbuka pantai sebagai akses melaut jika penimbunan terus dilakukan, nelayan bersama ANTRA segera melakukan upaya-upaya advokasi dalam skala local maupun nasional. Dalam skala local, pada bulan Januari 2010, diadakan pertemuan nelayan dan masyarakat Kelurahan Sario Tumpaan Lingkungan V bertempat di Food Court Boulevard, membicarakan permasalahan yang dihadapi terkait proyek reklamasi. Pada pertemuan ini merumuskan permasalahan yang ada meliputi drainase, penambatan perahu nelayan, kesehatan, dampak terhadap lingkungan hidup. Kemudian dilakukan pemetaan lahan reklamasi dan pengambilan gambar bawah air dengan titik-titik koordinat diambil dan gambar-gambar bawah air sekitar lokasi penimbunan. Warga mengirimkan surat keberatan/penolakan terhadap kegiatan reklamasi ke Pemerintah Kelurahan. Surat tersebut ditandatangani oleh 109 warga. Dalam skala nasional, upaya yang dilakukan dengan mengirimkan Surat Permohonan Perlindungan ke Komnas HAM tentang keberatan penimbunan yang dilakukan PT GNP. Bulan Februari,warga mengadakan dialog denga BLH Kota Manado , Diperoleh informasi bahwa proyek reklamasi belum ada penetapan, Amdal (terpadu) yang digunakan tahun 2003 (bertentangan dengan PP 27 tahun 1999) dan BLH berjanji akan melakukan pengecekan lapangan.
Konsolidasi-konsolidasi terus dilakukan masyarakat dan nelayan di Daseng membahas tentang undangan pertemuan di Kantor Kecamatan Sario. Nelayan memutuskan untuk minta penambatan perahu dan drainase yang akan di bangun PT GNP harus baik dan memenuhi standart. Sementara itu aparat keamanan mulai minta warga untuk mengeluarkan perahu dari lahan reklamasi, tetapi nelayan tetap menolak. Pertemuan berikutnya di kecamatan Sario didatangi oleh perwakilan PT GNP, kecamatan, lurah Sario dan perwakilan warga untuk membicarakan drainase dan tambahan perahu. Hasil dialogis forum tersebut memutuskan, pertama tentang Drainase: pengembang setuju membuat dengan sebaik mungkin. Harus ada perjanjian tertulis bahwa pengembang akan bertanggungjawab apabila terjadi masalah di kemudian hari seperti banjir – kesepakatan belum dibuat. Kedua, pengembang mengusulkan tambatan perahu di sebelah luar (batas dengan laut) dengan panjang 35 meter; masyarakat belum sepakat karena harus dibicarakan terlebih dahulu. Ketiga, nelayan melaporkan terjadinya pemutusan tali jangkar oleh pihak pengembang; disepakati bahwa pengembang akan melakukan pengecekan tali-tali yang diputuskan dan akan menggantinya. Keempat, Warga meminta agar kegiatan reklamasi dihentikan sebelum ada kesepakatan – tidak ditanggapi oleh pengembang. Kelima, Warga menolak menandatangani Surat Perjanjian yang sudah disiapkan pengembang karena belum dibicarakan dengan warga. Hasil pertemuan yang difasilitasi pihak kecamatan tersebut, kemudian di diskusikan dengan masyarakat keesokan harinya, yang kemudian memutuskan bahwa masyarakat menolak usulan penambatan perahu di laut dan tetap mempertahkan penambatan perahu di tempat semula, sekaligus melindungi agar drainase tetap terbuka. Kearoganan pengembang tidak berhenti, pada bl Maret ada tali jangkar perahu milik nelayan diputuskan oleh sekuriti Mantos(milik PT GNP) dengan dikawal oleh 3 orang petugas Polsek Sario. Melihat kesewenangan tersebut, nelayan melakukan dialog dengan pihak legislatif (DPRD Kota Manado) yang juga dihadir Kadis Tata Kota Manado, kemudian pengurus ANTRA Sulut Masyarakat dan Pengurus ANTRA Kota Manado membuat pengaduan ke Badan Lingkungan Hidup Provinsi. Warga mendapat penjelasan bahwa memang banyak masalah dengan proyek reklamasi, dan sebenarnya ada alokasi/tempat untuk penambatan perahu nelayan.
Upaya advokasi terus dilakukan nelayan dengan melakukan aksi pada tanggal 12 Mei 2010 berkekuatan sekitar 500 orang. Aksi jalan kaki ke kantor Walikota dengan membawa perahu sebagai bukti keseriusan penolakan terhadap penimbunan laut. Atas campurtangan Komnas HAM akhirnya semua pihak bersedia menyelesaikan sengketa dengan melakukan dialog yang dipimpin langsung oleh Ketua Mediasi Komnas HAM, Ridha Saleh. Proses mediasi memutuskan kesepakatan pemberian lahan pantai terbuka kepada nelayan dan jaminan kontruksi drainase yang baik.
Sebagai wujud tanggungjawab, nelayan memanfaatkan ruang terbuka pantai dengan mendirikan Daseng, yang mulai di bangun 12 Okt 2010. Pembangunan daseng yang ber ukuran 13 x 18,75 meter ini dengan tetap memperhatikan kearifan social dan budaya yang telah menjadi kebiasaan turun temurun dan melekat dalam kehidupan nelayan dan masyarakat penghuni wilayah pantai di Manado. Kehadiran daseng diharapkan dapat mengangkat semangat nelayan untuk kembali memandang laut sebagai sumber kehidupan, dan berharap ada peluang perbaikan ekonomi. Pembangunan daseng akan dilanjutkan lagi setelah dana dari iuran sukarela anggota ANTRA dan donator terkumpul, karena sumber dana memang mengandalkan dari iuran anggota.(24.1.2011)