Kamis, 31 Mei 2018

Pesan Senyap Presiden di Balik Dolanan Gobak Sodor

Kemarin Presiden bersama ibu Negara disertai sejumlah menteri bermain bersama ratusan anak-anak yang diundang ke Istana dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei.
Pak Jokowi (JKWi) terlihat santai dan tertawa lepas saat bermain aneka permainan salah satunya gobak sodor. Beliau mengakui sudah lama sekali tepatnya limapuluh tahun lebih tidak bermain permainan yang membutuhkan kerjasama tim tersebut.

Meski terlihat sederhana tetapi bagi saya permainan/dolanan gobak sodor yang dimainkan pak JKWi itu sarat makna , tidak hanya sekedar dolanan bocah saja.

Bagi orang desa seperti saya ( Jawa), saat kecil bermacam permainan seperti gobak sodor , engklek menjadi mainan sehari-hari. Selain betengan, delikan, nekeran, gembung, jamuran. Dolanan gobak sodor ini kabarnya pertamakali dimainkan oleh para prajurit di zaman kerajaan sebagai latihan perang melawan musuh dan untuk melatih keterampilan.


Dolanan gobak sodor membutuhkan kerjasama tim, dengan jumlah tim tergantung ketersediaan anak. Minimal tiap tim ada 3 anak, untuk menjaga garis terdepan, garis tengah dan garis belakang. Kalau anak yang main lebih banyak, tim bisa ditambahkan untuk menjaga garis kedua, ketiga, dll sampai garis paling belakang.

Selain butuh kecepatan dan kecermatan serta kejelian, bermain gobak sodor membutuhkan kerjasama, kekompakan tim, baik tim penjaga/ bertahan atau tim penyerang. Karena tim penyerang harus bisa melewati setiap garis yang dijaga oleh tim lawan.Sementara tim penjaga/bertahan harus mampu bekerjasama agar tim lawan tidak bisa masuk atau agar tim lawan tertangkap. Meskipun strategi masing-masing tim dibahas tertutup tetapi saat permainan dilakukan semua terang benderang. Lawan bisa melihat dengan jelas pergerakan tim yang dihadapi. Tim yang kalah(tertangkap) tidak ada protes, dengan ksatria mengakui kekalahan dan sukarela berhenti bermain sampai permainan selesai. Tidak ada gontok-gontokan juga.

Saat bermain gobak sodor kemarin Pak JKWi seakan menyampaikan pesan ke semua anak bangsa untuk bermain secara fair dalam politik. Meskipun tidak suka dengannya dan kelak berpotensi berhadapan dengan Pak JKWi tetapi fair play mestinya tetap di kedepankan. Tidak mengunakan jurus fitenah, obong-obong , gubras gabrus. Kalau memang dalam perjalanannya bertumbangan hendaknya mengakui kekalahan, tidak menyalahkan pihak lain. Pak JKWi juga seakan mengajak semuanya bermain politik dengan riang gumbira, seneng, ceriyaaaaaaaaaa, selayaknya dolanan gobak sodor itu. **

Ngotot Soal Utang Negara Akibat Kurang Piknik…

Suatu ketika saya pernah gobrol-gobrol(kalau bilang diskusi kok keren banget yak) dengan seorang teman yang kebetulan haters pak Jokowi (Jkwi). Setelah debat ngalor ngidul dengan berbagai tema, akhirnya sampai juga ke soal hutang yang hitungan sampai Februari 2018 tercatat sebesar USD 356,23 miliar atau setara dengan Rp 4.907 triliun . “Sampai anak cucu cicit kita yang belum lahir pun nanggung utang Negara.” Katanya berapi-api sambil menyalahkan pak Jkwi.



Sik..sik…
Ingat lho, saat pak Jkwi dilantik sebagai Kepala Negara, beliau sudah mengemban utang dengan angka yang wow yaitu Rp 2.700 triliun. Artinya hutang sekarang ini separo leibh adalah hutang warisan dari pendahulunya.
Mana mau teman saya itu terima kenyataan itu, ia terus ngotot kalau semua salah Jkwi, ngapain mbangun ini itu dari uang utangan.

Tahukah kamu kawan, uang utangan itu juga buat instrument pembiayaan pembangunan. Meskipun hutang bertambah , tetapi uang utangan itu jelas larinya, salah satunya dialokasikan buat mendorong percepatan infrastruktur terutama di indonesia timur. Kebetulan saya sendiri punya pengalaman ke beberapa daerah di Indonesia timur yang selama ini minim akses seperti infrastruktur jalan, pendidikan , kesehatan dan layanan dasar lainnya. Di era pak Jkwi, pemerataan pembangunan mulai digenjot dengan pencapaian yang cepat dan luar biasa. Mungkin saudara kita di Papua tidak pernah menyangka , bermimpi pun rasanya sulit untuk merasakan jalan yang bisa dilalui sekarang, kemudahan akses transportasi, kesehatan. Sekarang mereka mulai merasakan layanan dasar tersebut. Layanan listrik dari PLN juga sudah mulai di nikmati saudara kita yang selama puluhan tahun, sejak mereka lahir belum pernah dirasakan.
 Beberapa desa di Indonesia timur saya contohkan tetapi yo tetep saja ngeyel. Sakjane saya anyel tenan, tapi asudahlah.

Di akhir obrolan saya hanya pesan, “ Mulane sesekali pikniko, ojo mung percoyo medsos wae …”

Saat Jokowi Nguwongke Sopir Truk

Hari ini, saya menerima tamu istimewa: 80 pengemudi truk angkutan logistik di Istana Negara, Jakarta.
Kami mengobrol tentang banyak hal, tetapi saya lebih banyak mendengarkan mereka. Terutama, keluhan mengenai pungutan liar (pungli) dan tindak premanisme di sepanjang jalur transportasi yang mereka lalui sehari-hari.
Terus terang saya terkejut mendengarnya. Tentang pungli, seorang pengemudi menceritakan, "Mesti bayar kalau mau lewat jalan. Kalau tidak bayar, kaca pecah. Kalau nggak kaca pecah, golok sampai di leher. Kalau nggak, ranjau paku. Ban kita disobek."
Ini tidak boleh dibiarkan. Saya perintahkan langsung ke Pak Kapolri dan Wakapolri untuk segera ditindaklanjuti. Sudah meresahkan dan menyebabkan ketidaknyamanan.
Mereka juga mengeluhkan soal peraturan pembatasan tonase truk. Hal itu akibat dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan Dinas Perhubungan kepada para pengemudi maupun kepada perusahaan-perusahaan. Saya sudah meminta kepada Perhubungan untuk lebih menyosialisasikan aturan-aturan dimaksud.
(Biro Pers Setpres)


Cerita pemalakan sopir truk oleh orang-orang tertentu sudah menjadi rahasia umum. Saya rasa sudah banyak yang mendengar kejadian seperti itu. Saya sendiri pernah beberapa kali mendengarkan cerita tetangga yang kebetulan suaminya sopir truk dari sebuah perusahaan.Rata-rata dalam seminggu suaminya jalan untuk mengantarkan dagangan ke luar kota antara lain di sekitar Jabodetabek dan sekitarnya. Di beberapa titik dipastikan ada orang-orang yang sudah 'langganan' menarik pungutan 'upeti' dari tetangga saya. Untuk kelancaran perjalanan, tak pelak tetangga saya sudah menyiapakan 'dana' untuk membayar pungutan liar tersebut. Nilainya bervariasi berkisar puluhan ribu. Memang dilihat sepintas tidak terlalu besar tetapi kalau dikalikan beberapa titik menjadi besar.
Tentu saja tetangga saya tidak berani melanggar karena tidak mau berurusan dengan orang-orang tersebut yang dipastikan akan menghambat kerjaannya. Ironisnya uang yang dibayarkan tersebut diambil dari kocek sendiri, bukan disediakan dari perusahaan. Tak ayal kalau pendapatan tetangga dan bisa dipastikan terjadi juga pada sopir-sopir lainnya menjadi berkurang. Mana mau perusahaan memberikan dana untuk pungli, kata tetangga saya.

Saya ikut berharap setelah perwakilan sopir truk bertemu pak Jokowi ada harapan yang membaik di masa depan mereka. Tidak ada lagi pungli yang selama ini menguras kantong mereka. Tidak ada lagi bayang-bayang ketakutan saat mengemudi truk yang bermuatan barang-barang yang banyaknya war biasa, tumpuk undung. Hingga tetangga saya dan teman-teman se-profesinya bisa pulang dengan senyum sumrigah yang menghiasi wajah letih mereka. Menyerahkan upah dari keringat mereka yang tak jua kering bahkan saat sampai berkumpul dengan anak istri,
Ach Pak Jokowi... rasanya adem, ayem, tentrem sekaligus terharu melihat panjenengan begitu dekat dengan rakyat, nguwongke (memanusiakan) mereka, begitu memperhatikan rakyat tanpa pandang bulu. Ulama, politisi, organisasi profesi, rakyat biasa semua panjenengan rangkul.

Ach bapak, kalau begini, tak mungkin kami meragukan kepemimpinanmu untuk 2 periode**