Hari ini, saya menerima tamu istimewa: 80 pengemudi truk angkutan logistik di Istana Negara, Jakarta.
Kami mengobrol tentang banyak hal, tetapi saya lebih banyak
mendengarkan mereka. Terutama, keluhan mengenai pungutan liar (pungli)
dan tindak premanisme di sepanjang jalur transportasi yang mereka lalui
sehari-hari.
Terus terang saya terkejut mendengarnya. Tentang
pungli, seorang pengemudi menceritakan, "Mesti bayar kalau mau lewat
jalan. Kalau tidak bayar, kaca pecah. Kalau nggak kaca pecah, golok
sampai di leher. Kalau nggak, ranjau paku. Ban kita disobek."
Ini
tidak boleh dibiarkan. Saya perintahkan langsung ke Pak Kapolri dan
Wakapolri untuk segera ditindaklanjuti. Sudah meresahkan dan menyebabkan
ketidaknyamanan.
Mereka juga mengeluhkan soal peraturan
pembatasan tonase truk. Hal itu akibat dari kurangnya sosialisasi yang
dilakukan Dinas Perhubungan kepada para pengemudi maupun kepada
perusahaan-perusahaan. Saya sudah meminta kepada Perhubungan untuk lebih
menyosialisasikan aturan-aturan dimaksud.
(Biro Pers Setpres)
Cerita pemalakan sopir truk oleh orang-orang tertentu sudah menjadi
rahasia umum. Saya rasa sudah banyak yang mendengar kejadian seperti
itu. Saya sendiri pernah beberapa kali mendengarkan cerita tetangga yang
kebetulan suaminya sopir truk dari sebuah perusahaan.Rata-rata dalam
seminggu suaminya jalan untuk mengantarkan dagangan ke luar kota
antara lain di sekitar Jabodetabek dan sekitarnya. Di beberapa titik
dipastikan ada orang-orang yang sudah 'langganan' menarik pungutan
'upeti' dari tetangga saya. Untuk kelancaran perjalanan, tak pelak
tetangga saya sudah menyiapakan 'dana' untuk membayar pungutan liar
tersebut. Nilainya bervariasi berkisar puluhan ribu. Memang dilihat
sepintas tidak terlalu besar tetapi kalau dikalikan beberapa titik
menjadi besar.
Tentu saja tetangga saya tidak berani melanggar
karena tidak mau berurusan dengan orang-orang tersebut yang dipastikan
akan menghambat kerjaannya. Ironisnya uang yang dibayarkan tersebut
diambil dari kocek sendiri, bukan disediakan dari perusahaan. Tak ayal
kalau pendapatan tetangga dan bisa dipastikan terjadi juga pada
sopir-sopir lainnya menjadi berkurang. Mana mau perusahaan memberikan
dana untuk pungli, kata tetangga saya.
Saya ikut berharap setelah
perwakilan sopir truk bertemu pak Jokowi ada harapan yang membaik di
masa depan mereka. Tidak ada lagi pungli yang selama ini menguras
kantong mereka. Tidak ada lagi bayang-bayang ketakutan saat mengemudi
truk yang bermuatan barang-barang yang banyaknya war biasa, tumpuk
undung. Hingga tetangga saya dan teman-teman se-profesinya bisa
pulang dengan senyum sumrigah yang menghiasi wajah letih mereka.
Menyerahkan upah dari keringat mereka yang tak jua kering bahkan saat
sampai berkumpul dengan anak istri,
Ach Pak Jokowi... rasanya
adem, ayem, tentrem sekaligus terharu melihat panjenengan begitu dekat
dengan rakyat, nguwongke (memanusiakan) mereka, begitu memperhatikan
rakyat tanpa pandang bulu. Ulama, politisi, organisasi profesi, rakyat
biasa semua panjenengan rangkul.
Ach bapak, kalau begini, tak mungkin kami meragukan kepemimpinanmu untuk 2 periode**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar