Kamis, 31 Mei 2018

Saat Jokowi Nguwongke Sopir Truk

Hari ini, saya menerima tamu istimewa: 80 pengemudi truk angkutan logistik di Istana Negara, Jakarta.
Kami mengobrol tentang banyak hal, tetapi saya lebih banyak mendengarkan mereka. Terutama, keluhan mengenai pungutan liar (pungli) dan tindak premanisme di sepanjang jalur transportasi yang mereka lalui sehari-hari.
Terus terang saya terkejut mendengarnya. Tentang pungli, seorang pengemudi menceritakan, "Mesti bayar kalau mau lewat jalan. Kalau tidak bayar, kaca pecah. Kalau nggak kaca pecah, golok sampai di leher. Kalau nggak, ranjau paku. Ban kita disobek."
Ini tidak boleh dibiarkan. Saya perintahkan langsung ke Pak Kapolri dan Wakapolri untuk segera ditindaklanjuti. Sudah meresahkan dan menyebabkan ketidaknyamanan.
Mereka juga mengeluhkan soal peraturan pembatasan tonase truk. Hal itu akibat dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan Dinas Perhubungan kepada para pengemudi maupun kepada perusahaan-perusahaan. Saya sudah meminta kepada Perhubungan untuk lebih menyosialisasikan aturan-aturan dimaksud.
(Biro Pers Setpres)


Cerita pemalakan sopir truk oleh orang-orang tertentu sudah menjadi rahasia umum. Saya rasa sudah banyak yang mendengar kejadian seperti itu. Saya sendiri pernah beberapa kali mendengarkan cerita tetangga yang kebetulan suaminya sopir truk dari sebuah perusahaan.Rata-rata dalam seminggu suaminya jalan untuk mengantarkan dagangan ke luar kota antara lain di sekitar Jabodetabek dan sekitarnya. Di beberapa titik dipastikan ada orang-orang yang sudah 'langganan' menarik pungutan 'upeti' dari tetangga saya. Untuk kelancaran perjalanan, tak pelak tetangga saya sudah menyiapakan 'dana' untuk membayar pungutan liar tersebut. Nilainya bervariasi berkisar puluhan ribu. Memang dilihat sepintas tidak terlalu besar tetapi kalau dikalikan beberapa titik menjadi besar.
Tentu saja tetangga saya tidak berani melanggar karena tidak mau berurusan dengan orang-orang tersebut yang dipastikan akan menghambat kerjaannya. Ironisnya uang yang dibayarkan tersebut diambil dari kocek sendiri, bukan disediakan dari perusahaan. Tak ayal kalau pendapatan tetangga dan bisa dipastikan terjadi juga pada sopir-sopir lainnya menjadi berkurang. Mana mau perusahaan memberikan dana untuk pungli, kata tetangga saya.

Saya ikut berharap setelah perwakilan sopir truk bertemu pak Jokowi ada harapan yang membaik di masa depan mereka. Tidak ada lagi pungli yang selama ini menguras kantong mereka. Tidak ada lagi bayang-bayang ketakutan saat mengemudi truk yang bermuatan barang-barang yang banyaknya war biasa, tumpuk undung. Hingga tetangga saya dan teman-teman se-profesinya bisa pulang dengan senyum sumrigah yang menghiasi wajah letih mereka. Menyerahkan upah dari keringat mereka yang tak jua kering bahkan saat sampai berkumpul dengan anak istri,
Ach Pak Jokowi... rasanya adem, ayem, tentrem sekaligus terharu melihat panjenengan begitu dekat dengan rakyat, nguwongke (memanusiakan) mereka, begitu memperhatikan rakyat tanpa pandang bulu. Ulama, politisi, organisasi profesi, rakyat biasa semua panjenengan rangkul.

Ach bapak, kalau begini, tak mungkin kami meragukan kepemimpinanmu untuk 2 periode**

Tidak ada komentar: