Jumat, 11 Desember 2015

Seindah Mata Ibu, Berjuta Cinta di Sana

           Jantungku berdetak kencang. Hatiku diliputi   rasa khawatir sekaligus senang. Kegelapan yang menyelimutiku selama hampir sepuluh tahun sebentar lagi tak akan melingkupi hidupku. Sinar terang, warna warni keindahan dunia beserta seisinya yang sempat kukecap selama empat tahun akan kunikmati kembali. Wajah orang-orang yang selama ini menyanyangiku dan hanya bisa kudengar suaranya, akan kupandangi sepuas hatiku.


Tanganku gemetar saat tangan dokter Hari, perlahan membuka perban yang menutupi kedua bola mataku. Kesabaran yang selama sepuluh tahun ini setia menemaniku seakan menguap entah kemana. Betapa inginnya aku segera membuka mata dan meninggalkan kegelapan. Banyak hal yang sudah kurencanakan akan kulakukan.  Mengenal keluarga, berjalan-jalan, bertemu sahabat, meneruskan sekolahku yang tertunda dan berpuluh rencana lainnya. Aku juga tidak akan merasa rendah diri lagi, bisa bergaul dengan teman-teman yang mempunyai fisik sempurna. Lapisan terakhir dibuka perlahan
“Coba, buka mata dengan perlahan,” suara lembut dokter Hari membuatku tersadar  dari lamunan.
Dengan ragu, kulakukan perintah dokter Hari. Perlahan aku mengerakkan kedua kelopak mataku. Terasa berat, lengket dan perih.  Semangatku untuk keluar dari kegelapan membuatku terus menahan perih. Sesuai petunjuk dokter Hari, aku mencoba kembali. Suara lembut mama terus memompa semangatku.
Semburat bayangan  mulai melintas di mataku. Semula terlihat samar dan jauh. Lambat laun saat kedua kelopak mataku terbuka dengan sempurna, aku bisa melihat dengan lebih jelas. Berkali-kali dokter memintaku untuk mengerjapkan mata. Dan sekarang semua terlihat jelas dan sempurna.
“Mama….Papa…” bisikku diliputi rasa keharuan yang menyesakkan dada. Kedua orangtua itu memelukku dengan hangat. Bahkan mama sempat mengusap air mata bening yang terlanjur hadir si sudut matanya. Berkali-kali mama mengucapkan rasa syukur atas keberhasilan operasi yang kujalani.
***
Tak bosan-bosannya aku memandang kagum seisi rumah. Selama ini aku tidak pernah melihat langsung kemewahan yang kurasakan selama sepuluh tahun. Aku hanya selalu menyesali telah hidup dalam kegelapan. Masa kanak-kanakku dengan penuh keindahan hanya mampu kukecap selama 4 tahun. Sekarang saatnya menikmati hidup yang sebenarnya, batinku senang.
Tetapi ada yang kurasakan tidak lengkap. Ada rasa yang  hilang dari hatiku.
Ku pandangai Mama, Papa, Mang Ujang, sopir yang setia mengantaku, Mbak Sri pembantuku yang mengurus rumah ini. Ke mana Mbok Yati? Perempuan yang selama ini setia menyediakan semua kebutuhan hidupku. Sekaligus yang tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap amarah kala aku meledak-ledak dan menumpahkan semua emosi kepadanya.  Bahkan aku pernah dengan marah melemparkan gelas yang mengenai badannya.
“Ma, mana Mbok Yati?”
Mama menundukkan muka. Tak menjawab pertanyaanku.
Hatiku mendadak diliputi kecemasan. Meskipun ia hanya perempuan tua yang terkadang membuatku jengkel dengan nasehatnya tetapi ia tetap orang yang selama ini dekat denganku sekaligus menjadi pelampiasan emosiku.
“Ma..?” tanyaku menuntut jawaban Mama.
Tiba-tiba aku teringat. Tiga hari yang lalu dengan emosi yang meluap-luap aku melempari Mbok Yati buku-buku dan mengusirnya dari rumah. Saat itu perempuan itu tanpa disegaja merusakkan buku musikku. Padahal aku sudah bersusah payah membuat lagu dari huruf braille. Dan buku musik itu penting untuk ikut dalam sebuah kompetisi para penyandang tunanetra.
Masih kudengar suaran tangisan Mbok Yati meminta maaf dan memohon untuk tetap tinggal. Tanpa rasa kasihan secuilpun aku justru terus memaki-maki Mbok Yati dan mengusirnya.
Baru kusadari betapa kejamku aku ini. Mbok Yati sudah menjagaku sejak aku tidak mampu melihat lagi dan aku membalasnya dengan tindakan diluar batas.
“Ma’afkan Sheila, Ma. Sheila salah telah mengusir Mbok Yati. Sheila emosi.” kataku tak bisa menahan tetesan air mata.
Mama mendekapku dengan rasa haru.
“Di mana Mbok Yati sekarang, Ma? Sheila ingin bertemu dan minta ma’af.”
“Sudahlah, Sheila. Tidak usah dipikirkan. Mama nyakin Mbok Yati sudah mema’afkan kamu.” ucap Mama dengan mata berkaca-kaca.
Aku mengeleng dengan kuat. Entah mengapa dorongan hatiku begitu kuat untuk bertemu dengan Mbok Yati.
“Please, Ma.”
Mama memandang Papa meminta persetujuan. Setelah melihat Papa menganggukan kepala, Mama meraih tanganku dan menatapku dengan rasa sayang.
“Sheila, saat ini rasanya waktu yang tepat untuk menceritakan semua.”
Aku memandang Mama dengan sorot mata tidak mengerti.
“Sheila,  kamu ingat kecelakaan yang menimpamu saat umurmu 4 tahun?”
Aku tertegun. Kugelengkan kepala pelan-pelan. Aku benar-benar tidak ingat apa-apa. hanya samar-samar masih mengingat waktu kecil berlarian di sawah dengan seorang perempuan. Bahkan aku sempat sekolah dan mempunyai banyak teman-teman. Suatu hari didepan sekolah aku berlarian ingin melihat kereta kelinci yang melintas.  Dan saat itu tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku hanya tahu kalau aku tidak bisa melihat lagi dan diasuh oleh Mbok Yati dari kecil sampai saat ini.
“Waktu itu kamu tertabrak mobil yang melintas. Dan sejak saat itu kedua matamu buta. Penabraknya adalah….orang yang selama ini kamu…kamu panggil papa. Ma’afkan kami, Nak.” kata Mama tersendat.
Aku tersentak. Kepingan masa lalu segera terangkai kembali dengan susah payah. Dulu rasanya aku hanya memiliki seorang ibu saja. Ayahku meninggal sejak aku masih bayi. Kecelakaan, kata nenekku. Tetapi sejak aku buta, aku mempunyai papa dan mama. Kenapa baru saat ini aku pikirkan?
“Jadi…jadi…Sheila anak angkat, Ma?” tanyaku terpukul.
Mama mengangguk. “Sejak saat itu, kami mengangkatmu menjadi anak. Kebetulan kami tidak mempunyai anak. Kami merawatmu seolah anak kandung kami sendiri. Dan Mbok Yati yang kami minta untuk menjagamu. Terkadang Mama sedih melihatmu bersikap kasar kepada Mbok Yati. Berkali-kali Mama mengingatkan, tetapi kamu masih saja bersikap keterlaluan.”
Aku mengusap anak sungai yang mengalir di kedua pipiku. “Jadi, siapa orangtua kandung Sheila, Ma?”
Bibir Mama bergetar saat mengucapkan sebuah nama dengan susah payah. ” Ibu kandungmu…..Mbok Yati.”
TAP.  Seakan kepalaku tertampar. Seketika pandangan mataku berkunang-kunang. Untuk kesekian kalinya aku terpukul mendengar kenyataan ini. Mataku luruh dan kabur tertutup buliran air mata yang tak bisa kubendung. Penyesalan menderaku.
“Sheila ingin bertemu Mbok Yati, Ma. Tolong beritahu dimana Mbok Yati berada.” pintaku diantara sedu sedan.
“Yang tabah, Nak. Saat pergi meninggalkan rumah, Mbok Yati mengalami kecelakaan. Ia meninggal.” lirih suara Mama, tetapi bagiku laksana suara geledek.
“Dimana kuburannya, Ma?” tanyaku dengan hati hancur.
***

Tanah kuburan masih lembab. Kutaburkan bunga mawar dengan hati mengharubiru. Dengan takzim kupanjatkan do’a untuk ibu yang telah melahirkan dan merawatku dengan tulus. Berjuta penyesalan terus memenuhi jiwaku. 
 Kubaca sebuah puisi pendek yang kubuat saat dalam perjalanan ke kuburan.

Ibu, kau laksana air yang terus memberikan kehidupan bagi anakku.
Kau tak pernah lelah untuk terus merawat dan mendidikku.
tanpa pernah putus asa, kau bersikap lembut dan memberikan berjuta kasih sayang saat aku bersikap kasar dan kurangajar.
Bahkan kau hanya terus tersenyum dan tak sekalipun menunjukkan amarah.

Ibu, bagiku tidak ada yang lebih besar dari cinta kasihmu.
Bagiku tidak ada yang seindah dirimu dalam hidupku.
Bagiku tidak ada yang paling terang menerangi hidupku selain dirimu.

Ibu, tenanglah kau dalam peristirahatan panjangmu yang abadi.
Aroma surga dengan segala keindahannya akan menyambutmyu disana.
Bagi perempuan yang tanpa pamrih selalu memberikan cinta untuk putrinya.

Kututup kertasku yang basah oleh air mata. Kupandangi sekali lagi tanah lembab tempat ibuku berbaring. Aku berjanji tidak akan pernah menyiakan hidup ini.  Meskipun ibu jauh disana, tetapi beliau selalu menemaniku setiap saat.  Di seluruh jiwa dan ragaku. Tidak hanya  lewat  kedua mata indah penuh kasih sayang milik ibuku ini. I Love U, ibu. *****


Tidak ada komentar: