Tanganku gemetar saat tangan dokter Hari, perlahan membuka
perban yang menutupi kedua bola mataku. Kesabaran yang selama sepuluh tahun ini
setia menemaniku seakan menguap entah kemana. Betapa inginnya aku segera
membuka mata dan meninggalkan kegelapan. Banyak hal yang sudah kurencanakan
akan kulakukan. Mengenal keluarga, berjalan-jalan, bertemu sahabat,
meneruskan sekolahku yang tertunda dan berpuluh rencana lainnya. Aku juga tidak
akan merasa rendah diri lagi, bisa bergaul dengan teman-teman yang mempunyai
fisik sempurna. Lapisan terakhir dibuka perlahan
“Coba, buka mata dengan perlahan,” suara lembut dokter Hari
membuatku tersadar dari lamunan.
Dengan ragu, kulakukan perintah dokter Hari. Perlahan aku
mengerakkan kedua kelopak mataku. Terasa berat, lengket dan perih.
Semangatku untuk keluar dari kegelapan membuatku terus menahan perih. Sesuai
petunjuk dokter Hari, aku mencoba kembali. Suara lembut mama terus memompa
semangatku.
Semburat bayangan mulai melintas di mataku. Semula
terlihat samar dan jauh. Lambat laun saat kedua kelopak mataku terbuka dengan
sempurna, aku bisa melihat dengan lebih jelas. Berkali-kali dokter memintaku
untuk mengerjapkan mata. Dan sekarang semua terlihat jelas dan sempurna.
“Mama….Papa…” bisikku diliputi rasa keharuan yang menyesakkan
dada. Kedua orangtua itu memelukku dengan hangat. Bahkan mama sempat mengusap
air mata bening yang terlanjur hadir si sudut matanya. Berkali-kali mama
mengucapkan rasa syukur atas keberhasilan operasi yang kujalani.
***
Tak bosan-bosannya aku memandang kagum seisi rumah. Selama
ini aku tidak pernah melihat langsung kemewahan yang kurasakan selama sepuluh
tahun. Aku hanya selalu menyesali telah hidup dalam kegelapan. Masa
kanak-kanakku dengan penuh keindahan hanya mampu kukecap selama 4 tahun.
Sekarang saatnya menikmati hidup yang sebenarnya, batinku senang.
Tetapi
ada yang kurasakan tidak lengkap. Ada rasa yang hilang dari hatiku.
Ku pandangai Mama, Papa, Mang Ujang, sopir yang setia
mengantaku, Mbak Sri pembantuku yang mengurus rumah ini. Ke mana Mbok Yati?
Perempuan yang selama ini setia menyediakan semua kebutuhan hidupku. Sekaligus
yang tidak pernah sekalipun menunjukkan sikap amarah kala aku meledak-ledak dan
menumpahkan semua emosi kepadanya. Bahkan aku pernah dengan marah
melemparkan gelas yang mengenai badannya.
“Ma, mana Mbok Yati?”
Mama menundukkan muka. Tak menjawab pertanyaanku.
Hatiku mendadak diliputi kecemasan. Meskipun ia hanya
perempuan tua yang terkadang membuatku jengkel dengan nasehatnya tetapi ia
tetap orang yang selama ini dekat denganku sekaligus menjadi pelampiasan
emosiku.
“Ma..?” tanyaku menuntut jawaban Mama.
Tiba-tiba aku teringat. Tiga hari yang lalu dengan emosi yang
meluap-luap aku melempari Mbok Yati buku-buku dan mengusirnya dari rumah. Saat
itu perempuan itu tanpa disegaja merusakkan buku musikku. Padahal aku sudah
bersusah payah membuat lagu dari huruf braille. Dan buku musik itu penting
untuk ikut dalam sebuah kompetisi para penyandang tunanetra.
Masih kudengar suaran tangisan Mbok Yati meminta maaf dan
memohon untuk tetap tinggal. Tanpa rasa kasihan secuilpun aku justru terus
memaki-maki Mbok Yati dan mengusirnya.
Baru kusadari betapa kejamku aku ini. Mbok Yati sudah
menjagaku sejak aku tidak mampu melihat lagi dan aku membalasnya dengan
tindakan diluar batas.
“Ma’afkan Sheila, Ma. Sheila salah telah mengusir Mbok Yati.
Sheila emosi.” kataku tak bisa menahan tetesan air mata.
Mama mendekapku dengan rasa haru.
“Di mana Mbok Yati sekarang, Ma? Sheila ingin bertemu dan
minta ma’af.”
“Sudahlah, Sheila. Tidak usah dipikirkan. Mama nyakin Mbok
Yati sudah mema’afkan kamu.” ucap Mama dengan mata berkaca-kaca.
Aku mengeleng dengan kuat. Entah mengapa dorongan hatiku
begitu kuat untuk bertemu dengan Mbok Yati.
“Please, Ma.”
Mama memandang Papa meminta persetujuan. Setelah melihat Papa
menganggukan kepala, Mama meraih tanganku dan menatapku dengan rasa sayang.
“Sheila, saat ini rasanya waktu yang tepat untuk menceritakan
semua.”
Aku memandang Mama dengan sorot mata tidak mengerti.
“Sheila, kamu ingat kecelakaan yang menimpamu saat
umurmu 4 tahun?”
Aku tertegun. Kugelengkan kepala pelan-pelan. Aku benar-benar
tidak ingat apa-apa. hanya samar-samar masih mengingat waktu kecil berlarian di
sawah dengan seorang perempuan. Bahkan aku sempat sekolah dan mempunyai banyak
teman-teman. Suatu hari didepan sekolah aku berlarian ingin melihat kereta
kelinci yang melintas. Dan saat itu tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku
hanya tahu kalau aku tidak bisa melihat lagi dan diasuh oleh Mbok Yati dari
kecil sampai saat ini.
“Waktu itu kamu tertabrak mobil yang melintas. Dan sejak saat
itu kedua matamu buta. Penabraknya adalah….orang yang selama ini kamu…kamu
panggil papa. Ma’afkan kami, Nak.” kata Mama tersendat.
Aku tersentak. Kepingan masa lalu segera terangkai kembali
dengan susah payah. Dulu rasanya aku hanya memiliki seorang ibu saja. Ayahku
meninggal sejak aku masih bayi. Kecelakaan, kata nenekku. Tetapi sejak aku
buta, aku mempunyai papa dan mama. Kenapa baru saat ini aku pikirkan?
“Jadi…jadi…Sheila anak angkat, Ma?” tanyaku terpukul.
Mama mengangguk. “Sejak saat itu, kami mengangkatmu menjadi
anak. Kebetulan kami tidak mempunyai anak. Kami merawatmu seolah anak kandung
kami sendiri. Dan Mbok Yati yang kami minta untuk menjagamu. Terkadang Mama
sedih melihatmu bersikap kasar kepada Mbok Yati. Berkali-kali Mama
mengingatkan, tetapi kamu masih saja bersikap keterlaluan.”
Aku mengusap anak sungai yang mengalir di kedua pipiku.
“Jadi, siapa orangtua kandung Sheila, Ma?”
Bibir Mama bergetar saat mengucapkan sebuah nama dengan susah
payah. ” Ibu kandungmu…..Mbok Yati.”
TAP. Seakan kepalaku tertampar. Seketika pandangan
mataku berkunang-kunang. Untuk kesekian kalinya aku terpukul mendengar
kenyataan ini. Mataku luruh dan kabur tertutup buliran air mata yang tak bisa
kubendung. Penyesalan menderaku.
“Sheila ingin bertemu Mbok Yati, Ma. Tolong beritahu dimana
Mbok Yati berada.” pintaku diantara sedu sedan.
“Yang tabah, Nak. Saat pergi meninggalkan rumah, Mbok Yati
mengalami kecelakaan. Ia meninggal.” lirih suara Mama, tetapi bagiku laksana
suara geledek.
“Dimana kuburannya, Ma?” tanyaku dengan hati hancur.
***
Tanah kuburan masih lembab. Kutaburkan bunga mawar dengan
hati mengharubiru. Dengan takzim kupanjatkan do’a untuk ibu yang telah
melahirkan dan merawatku dengan tulus. Berjuta penyesalan terus memenuhi
jiwaku.
Kubaca sebuah puisi pendek
yang kubuat saat dalam perjalanan ke kuburan.
Ibu,
kau laksana air yang terus memberikan kehidupan bagi anakku.
Kau
tak pernah lelah untuk terus merawat dan mendidikku.
tanpa
pernah putus asa, kau bersikap lembut dan memberikan berjuta kasih sayang saat
aku bersikap kasar dan kurangajar.
Bahkan
kau hanya terus tersenyum dan tak sekalipun menunjukkan amarah.
Ibu,
bagiku tidak ada yang lebih besar dari cinta kasihmu.
Bagiku
tidak ada yang seindah dirimu dalam hidupku.
Bagiku
tidak ada yang paling terang menerangi hidupku selain dirimu.
Ibu,
tenanglah kau dalam peristirahatan panjangmu yang abadi.
Aroma
surga dengan segala keindahannya akan menyambutmyu disana.
Bagi
perempuan yang tanpa pamrih selalu memberikan cinta untuk putrinya.
Kututup kertasku yang basah oleh air mata. Kupandangi sekali
lagi tanah lembab tempat ibuku berbaring. Aku berjanji tidak akan pernah
menyiakan hidup ini. Meskipun ibu jauh disana, tetapi beliau selalu
menemaniku setiap saat. Di seluruh jiwa dan ragaku. Tidak hanya lewat
kedua mata indah penuh kasih sayang milik ibuku ini. I Love U, ibu. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar