Jumat, 11 Desember 2015

Melupakanmu Butuh Waktu

              “Kamu serius?”
            Tegar menganggukkan kepala menyakinkanku.
            Sejenak aku terdiam, tidak mampu merangkai kata-kata. Sebongkah batu terasa menganjal tenggorokanku.
            “Mel, aku serius. Sangat serius,” ucap Tegar sambil meremas tanganku. Dalam dan lembut.
            Ku tatap mata elangnya. Tapi tak lama, aku justru yang menunduk tatkala matamu menatapku dengan lembut. Penuh keseriusan, harapan dan menawarkan masa depan.
            Please, kamu  mau khan?” tanyanya mendesak, tak sabaran.
            Lagi-lagi aku hanya mampu terdiam, kelu. Tegar minta aku datang mendampinginya? Apakah ini bukan sebuah kenekatan? Siapa yang berani bertemu dengan keluarga besar Tegar  yang keturunan nigrat itu? Mereka  orang-orang kaya, berwibawa, berpangkat dan yang jelas mempunyai  selera yang tinggi  dalam menilai seseorang. 
            Aku? Apakah aku ini, hanya perempuan biasa. Rakyat jelata. Berkali-kali aku berusaha menyadarkan Tegar tentang kondisiku. Aku tidak mau terjebak terlalu dalam yang kelak aku yakin hanya akan bertambah menyakiti hati.
Tanpa segaja aku pernah bertemu dengan ibunya saat di kampus. Pertemuan pertama yang teramat tidak menyenangkan. Tatapan mata menghina, uluran tangan terpaksa dan sapaan yang tajam menusuk sukma. Tegar pernah memaksaku untuk datang saat  perayaan ulangtahun adiknya. Itu saat aku bertemu kedua kalinya dengan mamanya. Sekali lagi aku hanya menjadi tontonan yang menyedihkan. Hampir seluruh keluarga besarnya tidak ada yang  sudi menyapaku meskipun hanya sekedar basa-basi. Tatapan mata sinis bahkan kudapatkan dari  adik-adiknya. Terang-terangan mereka mengamit dan memamerkan seorang perempuan cantik yang belakangan aku tahu bernama Raden Ayu Wulansari. Perempuan bangsawan itu seperti segaja mengenalkan diri sebagai tunangan Tegar. Terang-terangan bermaksud menyakitiku.
            “Aku Raden Ayu Wulansari. Putri Raden Cokro, pengusaha batik dan pemilik Rahma Hotel. Aku tunangan Tegar dan akan menikah setelah lulus kuliah,” katanya dengan kalimat penekanan pada semua ucapannya, tanpa mengulurkan tangan. Sungguh tanpa ada sopan santun sedikitpun.
            “Saya Melati, teman kuliah Tegar,” ucapku sambil mengulurkan tangan.  Berusaha menebar senyum, menyamarkan rasa terhinaku.
            “Jangan coba-coba mendekati Tegar apalagi berharap menjadi pacarnya. Kamu tidak sepadan. Kami sudah dijodohkan sejak kecil. Dan keluarga Tegar hanya akan menerima orang dari keluarga yang sederajat dengan mereka. Bukan orang biasa yang tidak diketahui bobot, bebet dan bibitnya,” tegas Wulan tanpa menerima uluran tanganku, meninggalkan aku berdiri termangu.
            Rasanya aku ingin menangis karena dipermalukan pada saat acara keluarga seperti itu. Apalagi saat tidak kulihat Tegar. Entah kemana tega membiarkan aku dipermalukan.
            Semua keluarga besarnya tidak ada yang mengangapku ada, selain satu orang. Ya hanya satu orang yang begitu perhatian denganku. Mas Setyo, kakak laki-laki Tegar yang menyapaku dengan sopan, mengajakku bicara bahkan mau menemaniku saat tidak ada seorangpun yang ingat akan kehadiranku.
            “Maaf, Mel. Tegar menjadi orang penting saat ini. Ayah dan ibu membutuhkan tenaganya. Ia seperti sandera,” kata Mas Setyo mencoba  melucu untuk menghiburku.
            Aku hanya melempar senyum tipis. Tak apalah, aku lihat sendiri Tegar bolak-balik ke sana kemari tak ada habisnya. Aku cukup beruntung sesekali Tegar menemuiku meskipun hanya mengucapkan kata maaf karena tidak bisa menemaniku.
            “Iya, Mas. Saya tahu kok.“ jawabku mencoba tidak terusik dengan keadaan yang diam-diam telah merontokkan sebagian rasa percaya diriku.


            “Mel, datang ya,” bujuk Tegar lagi.
            “Buat apa, Gar? Dipermalukan lagi di depan keluarga besarmu?” jawabku keras. Aku benar-benar kesal telah diperlakukan sebagai orang yang tidak berguna.
            “Mel, please. Aku sudah minta ma’af atas semua yang telah terjadi. Itu semua bukan keinginanku. Tapi kali ini acaraku. Aku yang berhak menentukan siapa yang diundang dan menemaniku,” kata Tegar lagi. Merajuk. Membujuk.
            Aku mengeleng kuat-kuat. “Buat apa lagi? Cukuplah. Aku tidak sanggup melihat tunanganmu itu. Aku juga tidak kuat menerima penolakan dari keluargamu. Aku tidak setegar  itu bisa bertahan dan sabar dengan perlakuan mereka,” tegasku lagi.
            “Tapi Mel. ..”
            “Maafkan aku Tegar.  Semula aku pikir bisa bertahan dan mengambil hati keluargamu. Tetapi rasanya kali ini aku tidak sanggup lagi. Memang benar kata Wulan. Aku tidak pantas untukmu. Aku tidak sederajat dengan kalian,” ucapku lagi diiringi isak tangis.
            “Tidak Mel. Tidak. Kamu jangan pernah mengatakan hal itu. Sekalipun aku tidak pernah memikirkan latar belakang kita. Tidak sekalipun aku mempermasalahkan hal itu. Tolonglah. Datanglah ke perayaan kelulusanku. Tolonglah. Apapun yang terjadi aku teramat mencintaimu,” pinta Tegar menghiba dengan penuh harap.
            Aku tidak mengiyakan sampai Tegar meninggalkan undangan biru untuk acara besok malam. Tegar khusus mengirimkan undangan biru itu. Warna kesukaanku.
Kubuka undangan itu sepeninggal  Tegar. Perayaan kelulusan Sarjana Arsitektur. Aku ikut bangga atas prestasi Tegar, lulus clum laude dengan nilai terbaik di fakultasnya. Tegar akan meneruskan cita-citanya membangun sebuah apartemen bagus tanpa meninggalkan konsep asli Indonesia dengan harga terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah. Keinginannya sungguh mulia, agar masyarakat kurang mampu bisa menikmati tempat tinggal yang biasanya hanya bisa dijangkau orang-orang kaya. Sejak semula aku selalu mendukung semua impian dan cita-cita Tegar.
Lebih dari setahun mempunyai hubungan dekat aku sangat paham dengan keinginan dan impiannya. Kemauan dan semangatnya sangat tinggi. Dalam beberapa pembicaraan bahkan ia sudah mengatakan akan melanjutkan kuliah S2 ke luar negri. Ia menargetkan selesai dalam waktu cepat dan akan kembali untuk membangun apartemen impiannnya. Saat kembali itulah ia juga akan mewujudkan impiannya, impian kami berdua merenda masa depan bersama.  Meskipun aku hanya menanggapi dengan bercanda karena tahu persis penolakan keluarganya.
**

            Aku berjalan pelan memasuki gedung tempat pesta Tegar.  Banyak sekali tamu undangan yang datang. Mobil mewah keluaran terbaru berderet-deret  di depan menandakan tingkat sosial tamu yang hadir. Beberapa kali aku menyapa teman-teman Tegar yang sebagian besar aku kenal baik. Sejauh ini aku belum melihatnya. Aku nyakin Tegar tengah bersama keluarganya.
            Butuh waktu beberapa hari untuk memutuskan kepergianku. Bahkan keputusan untuk datang baru tadi pagi, saat ibu membujukku. Apapun yang akan terjadi lebih baik segera terjadi. Tak ada gunanya terus menunda. Biarkan semua jelas sehingga kalian bisa memutuskan yang terbaik. Agar rasa sakit itu tidak terus ada dihatimu, jelas ibu yang membuatku bisa mengambil keputusan. Dan disinilah saat ini aku berada. Mungkin kedatanganku malam ini bisa membantu mengambil keputusan tegas sekaligus membuat Tegar  lebih mengerti.
            “Melati. Aku senang sekali kamu datang,” kata Tegar membuatku kaget sambil memelukku dengan erat.
            CES.. hatiku terasa melebur dalam kebahagiaan. Kurasakan kasih sayangnya  tidak berubah bahkan rasa itu semakin dalam. Jurang yang memisahkan kami sekejap lenyap.  Aku lupa  harus menjauhi Tegar dan hanya menjaga pertemanan saat kata cinta yang dibisikkan Tegar membuatku melayang. Sayang sekali kalau semua yang telah terajut harus lenyap dalam sekejap hanya karena aku tidak dilahirkan dari keluarga ningrat.
            “Kak Tegar, acara akan dimulai. Ayah mencarimu,” sebuah suara membuat pelukan Tegar terlepas.
Aku tergagap melihat Dewi, adik Tegar memandang kami dengan tatapan mata marah.  Ku coba tersenyum tetapi  disambut tatapan sinis Dewi.
“Maaf Mel. Aku  harus ke sana dulu. Ayo,” ajak Tegar sambil menarik tanganku dengan lembut.
Sekali lagi aku tergagap. Tidak menyangka Tegar akan mengajakku.
“Tapi…” tolakku halus.
Tegar terus menarikku bahkan kali ini membimbingku berjalan dengan sabar.
“Kak.?” Protes Dewi tidak senang melihat Tegar mengandeng tanganku. “Ayah tidak akan mengijinkan,” kata Dewi mengingatkan.
Tegar tidak mau mendengarkan kalimat Dewi, terus mengajakku berjalan melewati banyak tamu yang sesekali disapanya dengan ramah.
“Tegar, aku..”
“Sssttt, tenang saja. Bersikaplah biasa ya,” bisik Tegar.
“Tapi..aku..”
“Kamu sangat cantik, anggun. Percayalah,” ucapnya lagi memompa rasa percaya diriku yang merambat turun.
Aku tidak kuasa menolak berusaha mengimbangi langkah Tegar dengan hati tak karuan.
Tiba-tiba langkah kaki kami berhenti saat sebuah tangan menarik bahu Tegar. Tatapan matanya tajam memandangku. Tegar tidak kuasa melawannya, kakinya mengikuti langkah ayahnya naik ke atas panggung meninggalkan diriku tanpa sempat mengucapkan sepatah katapun, selain tatapan penuh penyesalan. Sekali lagi aku terluka tetapi tidak berdaya. Beruntung para tamu undangan sibuk dengan obrolan dan makanan  yang melimpah sehingga tidak tahu kejadian yang menimpaku.
“Perhatian ..perhatian.. Selamat malam. Terimakasih atas kehadiran tamu undangan. Malam ini kami mengundang bapak dan ibu serta saudara sekalian untuk menghadiri syukuran kelulusan putra kedua kami. Tegar Prasetyo, ST yang lulus dengan peringkat sangat memuaskan. ..”
Tepuk tangan membahana  saat ayah Tegar memberikan sambutan. Di atas panggung keluarga itu berkumpul. Ayah, ibu, Mas Setyo, Tegar dan kedua adiknya. Mereka kelihatan harmonis dan bahagia. Cantik dan ganteng. Sangat serasi dan mempesona.
Aku terdiam memperhatikan mereka dan diam-diam menyingkir ke tempat yang tidak mudah dilihat tamu undangan. Entah mengapa perasaanku tidak enak sejak ayah Tegar mengajaknya ke panggung. Lebih baik tidak ada yang mengenaliku.
“….dan malam ini juga kami sekalian memperkenalkan calon keluarga besar kami. Silahkan Raden Ayu Wulan dan keluarga. Inilah  calon istri Tegar. Tiga bulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan…..”
TAP. Kepalaku seakan dipukul sebuah kayu. Seketika pening dan sakit sekali. Meskipun sudah tahu kalau mereka tidak menyukaiku dan lebih memilih Wulan, tetapi aku tetap tidak siap menerima kenyataan ini. Hatiku terasa diiris sembilu melihat Wulan naik kepanggung dan berdiri tepat disebelah Tegar. Wulan sangat cantik, anggun, glamour dan tentu saja mempesona. Sekali lagi terdengar tempik sorak membahana, berbagai pujian bermunculan dari tamu yang hadir. Semua memuji kecantikan, ketampanan dan keserasian calon mempelai.
Aku sedih melihat Tegar tidak mampu berbuat apa-apa selain memandang ayahnya dengan sorot mata tidak terima. Tatapan mata tajam ayahnya tidak mampu membuat Tegar mengambil sikap. Aku tersenyum kecut mengejek diriku sendiri. Memandang Wulan sejenak dan membayangkan diriku sendiri. Bagaikan bumi dengan langit. Sangat berbeda dan benar-benar tidak sepadan dengan mereka.
Ku hapus air bening dari sudut mataku. Salahku sendiri tidak pernah belajar dari pengalaman yang telah lalu. Beberapa kali dipermalukan dan tersakiti tetapi masih saja menaruh kepercayaan dan harapan. Kuputuskan untuk meninggalkan Tegar dan semua kenangan yang telah terajut bersama.  Tidak ada gunanya lagi mempertaruhkan sekeping hati ini kepada sebuah harapan yang tidak akan berujung.  Aku tidak akan bisa bahagia dengan laki-laki yang tidak mempunyai sikap dan pendirian. Cukup. Cukuplah ini yang terakhir kalinya. Aku tidak mungkin membiarkan hatiku terluka lagi.
Ku tatap Tegar untuk yang terakhir kalinya. Ia masih di sana tanpa berdaya di bawah kekuasaan keluarganya dan perempuan itu. Ku terus melangkah, kali ini tanpa beban sedikitpun. Aku yakin  ini sulit.  Tetapi aku memilih untuk melupakanmu meskipun butuh waktu. *****

































Tidak ada komentar: