Tegar
menganggukkan kepala menyakinkanku.
Sejenak
aku terdiam, tidak mampu merangkai kata-kata. Sebongkah batu terasa menganjal
tenggorokanku.
“Mel,
aku serius. Sangat serius,” ucap Tegar sambil meremas tanganku. Dalam dan
lembut.
Ku
tatap mata elangnya. Tapi tak lama, aku justru yang menunduk tatkala matamu
menatapku dengan lembut. Penuh keseriusan, harapan dan menawarkan masa depan.
“Please, kamu mau khan?” tanyanya mendesak, tak sabaran.
Lagi-lagi
aku hanya mampu terdiam, kelu. Tegar minta aku datang mendampinginya? Apakah
ini bukan sebuah kenekatan? Siapa yang berani bertemu dengan keluarga besar
Tegar yang keturunan nigrat itu? Mereka orang-orang kaya, berwibawa, berpangkat dan
yang jelas mempunyai selera yang
tinggi dalam menilai seseorang.
Aku?
Apakah aku ini, hanya perempuan biasa. Rakyat jelata. Berkali-kali aku berusaha
menyadarkan Tegar tentang kondisiku.
Aku tidak mau terjebak terlalu dalam yang kelak aku yakin hanya akan bertambah
menyakiti hati.
Tanpa segaja aku pernah
bertemu dengan ibunya saat di kampus. Pertemuan pertama yang teramat tidak
menyenangkan. Tatapan mata menghina, uluran tangan terpaksa dan sapaan yang
tajam menusuk sukma. Tegar pernah memaksaku untuk datang saat perayaan ulangtahun adiknya. Itu saat aku
bertemu kedua kalinya dengan mamanya. Sekali lagi aku hanya menjadi tontonan
yang menyedihkan. Hampir seluruh keluarga besarnya tidak ada yang sudi menyapaku meskipun hanya sekedar
basa-basi. Tatapan mata sinis bahkan kudapatkan dari adik-adiknya. Terang-terangan mereka mengamit
dan memamerkan seorang perempuan cantik yang belakangan aku tahu bernama Raden
Ayu Wulansari. Perempuan bangsawan itu seperti segaja mengenalkan diri sebagai
tunangan Tegar. Terang-terangan bermaksud menyakitiku.
“Aku
Raden Ayu Wulansari. Putri Raden Cokro, pengusaha batik dan pemilik Rahma
Hotel. Aku tunangan Tegar dan akan menikah setelah lulus kuliah,” katanya
dengan kalimat penekanan pada semua ucapannya, tanpa mengulurkan tangan.
Sungguh tanpa ada sopan santun sedikitpun.
“Saya
Melati, teman kuliah Tegar,” ucapku sambil mengulurkan tangan. Berusaha menebar senyum, menyamarkan rasa
terhinaku.
“Jangan
coba-coba mendekati Tegar apalagi berharap menjadi pacarnya. Kamu tidak sepadan.
Kami sudah dijodohkan sejak kecil. Dan keluarga Tegar hanya akan menerima orang
dari keluarga yang sederajat dengan mereka. Bukan orang biasa yang tidak diketahui
bobot, bebet dan bibitnya,” tegas Wulan tanpa menerima uluran tanganku,
meninggalkan aku berdiri termangu.
Rasanya
aku ingin menangis karena dipermalukan pada saat acara keluarga seperti itu.
Apalagi saat tidak kulihat Tegar. Entah kemana tega membiarkan aku
dipermalukan.
Semua
keluarga besarnya tidak ada yang mengangapku ada, selain satu orang. Ya hanya
satu orang yang begitu perhatian denganku. Mas Setyo, kakak laki-laki Tegar
yang menyapaku dengan sopan, mengajakku bicara bahkan mau menemaniku saat tidak
ada seorangpun yang ingat akan kehadiranku.
“Maaf,
Mel. Tegar menjadi orang penting saat ini. Ayah dan ibu membutuhkan tenaganya.
Ia seperti sandera,” kata Mas Setyo mencoba melucu untuk menghiburku.
Aku
hanya melempar senyum tipis. Tak apalah, aku lihat sendiri Tegar bolak-balik ke
sana kemari tak ada habisnya. Aku cukup beruntung sesekali Tegar menemuiku
meskipun hanya mengucapkan kata maaf karena tidak bisa menemaniku.
“Iya,
Mas. Saya tahu kok.“ jawabku mencoba tidak terusik dengan keadaan yang
diam-diam telah merontokkan sebagian rasa percaya diriku.
“Mel,
datang ya,” bujuk Tegar lagi.
“Buat
apa, Gar? Dipermalukan lagi di depan keluarga besarmu?” jawabku keras. Aku
benar-benar kesal telah diperlakukan sebagai orang yang tidak berguna.
“Mel,
please. Aku sudah minta ma’af atas
semua yang telah terjadi. Itu semua bukan keinginanku. Tapi kali ini acaraku.
Aku yang berhak menentukan siapa yang diundang dan menemaniku,” kata Tegar
lagi. Merajuk. Membujuk.
Aku
mengeleng kuat-kuat. “Buat apa lagi? Cukuplah. Aku tidak sanggup melihat
tunanganmu itu. Aku juga tidak kuat menerima penolakan dari keluargamu. Aku
tidak setegar itu bisa bertahan dan
sabar dengan perlakuan mereka,” tegasku lagi.
“Tapi
Mel. ..”
“Maafkan
aku Tegar. Semula aku pikir bisa
bertahan dan mengambil hati keluargamu. Tetapi rasanya kali ini aku tidak
sanggup lagi. Memang benar kata Wulan. Aku tidak pantas untukmu. Aku tidak
sederajat dengan kalian,” ucapku lagi diiringi isak tangis.
“Tidak
Mel. Tidak. Kamu jangan pernah mengatakan hal itu. Sekalipun aku tidak pernah
memikirkan latar belakang kita. Tidak sekalipun aku mempermasalahkan hal itu.
Tolonglah. Datanglah ke perayaan kelulusanku. Tolonglah. Apapun yang terjadi
aku teramat mencintaimu,” pinta Tegar menghiba dengan penuh harap.
Aku
tidak mengiyakan sampai Tegar meninggalkan undangan biru untuk acara besok
malam. Tegar khusus mengirimkan undangan biru itu. Warna kesukaanku.
Kubuka undangan itu
sepeninggal Tegar. Perayaan kelulusan
Sarjana Arsitektur. Aku ikut bangga atas prestasi Tegar, lulus clum laude dengan nilai terbaik di
fakultasnya. Tegar akan meneruskan cita-citanya membangun sebuah apartemen
bagus tanpa meninggalkan konsep asli Indonesia dengan harga terjangkau bagi
masyarakat menengah ke bawah. Keinginannya sungguh mulia, agar masyarakat
kurang mampu bisa menikmati tempat tinggal yang biasanya hanya bisa dijangkau
orang-orang kaya. Sejak semula aku selalu mendukung semua impian dan cita-cita
Tegar.
Lebih dari setahun
mempunyai hubungan dekat aku sangat paham dengan keinginan dan impiannya.
Kemauan dan semangatnya sangat tinggi. Dalam beberapa pembicaraan bahkan ia
sudah mengatakan akan melanjutkan kuliah S2 ke luar negri. Ia menargetkan
selesai dalam waktu cepat dan akan kembali untuk membangun apartemen
impiannnya. Saat kembali itulah ia juga akan mewujudkan impiannya, impian kami
berdua merenda masa depan bersama.
Meskipun aku hanya menanggapi dengan bercanda karena tahu persis
penolakan keluarganya.
**
Aku
berjalan pelan memasuki gedung tempat pesta Tegar. Banyak sekali tamu undangan yang datang. Mobil
mewah keluaran terbaru berderet-deret di
depan menandakan tingkat sosial tamu yang hadir. Beberapa kali aku menyapa
teman-teman Tegar yang sebagian besar aku kenal baik. Sejauh ini aku belum
melihatnya. Aku nyakin Tegar tengah bersama keluarganya.
Butuh
waktu beberapa hari untuk memutuskan kepergianku. Bahkan keputusan untuk datang
baru tadi pagi, saat ibu membujukku. Apapun
yang akan terjadi lebih baik segera terjadi. Tak ada gunanya terus menunda.
Biarkan semua jelas sehingga kalian bisa memutuskan yang terbaik. Agar rasa
sakit itu tidak terus ada dihatimu, jelas ibu yang membuatku bisa mengambil
keputusan. Dan disinilah saat ini aku berada. Mungkin kedatanganku malam ini
bisa membantu mengambil keputusan tegas sekaligus membuat Tegar lebih mengerti.
“Melati.
Aku senang sekali kamu datang,” kata Tegar membuatku kaget sambil memelukku
dengan erat.
CES..
hatiku terasa melebur dalam kebahagiaan. Kurasakan kasih sayangnya tidak berubah bahkan rasa itu semakin dalam.
Jurang yang memisahkan kami sekejap lenyap. Aku lupa
harus menjauhi Tegar dan hanya menjaga pertemanan saat kata cinta yang
dibisikkan Tegar membuatku melayang. Sayang sekali kalau semua yang telah
terajut harus lenyap dalam sekejap hanya karena aku tidak dilahirkan dari
keluarga ningrat.
“Kak
Tegar, acara akan dimulai. Ayah mencarimu,” sebuah suara membuat pelukan Tegar
terlepas.
Aku tergagap melihat
Dewi, adik Tegar memandang kami dengan tatapan mata marah. Ku coba tersenyum tetapi disambut tatapan sinis Dewi.
“Maaf Mel. Aku harus ke sana dulu. Ayo,” ajak Tegar sambil
menarik tanganku dengan lembut.
Sekali lagi aku
tergagap. Tidak menyangka Tegar akan mengajakku.
“Tapi…” tolakku halus.
Tegar terus menarikku
bahkan kali ini membimbingku berjalan dengan sabar.
“Kak.?” Protes Dewi
tidak senang melihat Tegar mengandeng tanganku. “Ayah tidak akan mengijinkan,”
kata Dewi mengingatkan.
Tegar tidak mau mendengarkan
kalimat Dewi, terus mengajakku berjalan melewati banyak tamu yang sesekali
disapanya dengan ramah.
“Tegar, aku..”
“Sssttt, tenang saja.
Bersikaplah biasa ya,” bisik Tegar.
“Tapi..aku..”
“Kamu sangat cantik,
anggun. Percayalah,” ucapnya lagi memompa rasa percaya diriku yang merambat
turun.
Aku tidak kuasa menolak
berusaha mengimbangi langkah Tegar dengan hati tak karuan.
Tiba-tiba langkah kaki
kami berhenti saat sebuah tangan menarik bahu Tegar. Tatapan matanya tajam
memandangku. Tegar tidak kuasa melawannya, kakinya mengikuti langkah ayahnya naik
ke atas panggung meninggalkan diriku tanpa sempat mengucapkan sepatah katapun,
selain tatapan penuh penyesalan. Sekali lagi aku terluka tetapi tidak berdaya.
Beruntung para tamu undangan sibuk dengan obrolan dan makanan yang melimpah sehingga tidak tahu kejadian
yang menimpaku.
“Perhatian
..perhatian.. Selamat malam. Terimakasih atas kehadiran tamu undangan. Malam
ini kami mengundang bapak dan ibu serta saudara sekalian untuk menghadiri
syukuran kelulusan putra kedua kami. Tegar Prasetyo, ST yang lulus dengan
peringkat sangat memuaskan. ..”
Tepuk tangan
membahana saat ayah Tegar memberikan
sambutan. Di atas panggung keluarga itu berkumpul. Ayah, ibu, Mas Setyo, Tegar
dan kedua adiknya. Mereka kelihatan harmonis dan bahagia. Cantik dan ganteng.
Sangat serasi dan mempesona.
Aku terdiam
memperhatikan mereka dan diam-diam menyingkir ke tempat yang tidak mudah
dilihat tamu undangan. Entah mengapa perasaanku tidak enak sejak ayah Tegar
mengajaknya ke panggung. Lebih baik tidak ada yang mengenaliku.
“….dan malam ini juga
kami sekalian memperkenalkan calon keluarga besar kami. Silahkan Raden Ayu
Wulan dan keluarga. Inilah calon istri
Tegar. Tiga bulan lagi mereka akan melangsungkan pernikahan…..”
TAP. Kepalaku seakan
dipukul sebuah kayu. Seketika pening dan sakit sekali. Meskipun sudah tahu
kalau mereka tidak menyukaiku dan lebih memilih Wulan, tetapi aku tetap tidak
siap menerima kenyataan ini. Hatiku terasa diiris sembilu melihat Wulan naik
kepanggung dan berdiri tepat disebelah Tegar. Wulan sangat cantik, anggun,
glamour dan tentu saja mempesona. Sekali lagi terdengar tempik sorak membahana,
berbagai pujian bermunculan dari tamu yang hadir. Semua memuji kecantikan,
ketampanan dan keserasian calon mempelai.
Aku sedih melihat Tegar
tidak mampu berbuat apa-apa selain memandang ayahnya dengan sorot mata tidak
terima. Tatapan mata tajam ayahnya tidak mampu membuat Tegar mengambil sikap.
Aku tersenyum kecut mengejek diriku sendiri. Memandang Wulan sejenak dan
membayangkan diriku sendiri. Bagaikan bumi dengan langit. Sangat berbeda dan
benar-benar tidak sepadan dengan mereka.
Ku hapus air bening
dari sudut mataku. Salahku sendiri tidak pernah belajar dari pengalaman yang
telah lalu. Beberapa kali dipermalukan dan tersakiti tetapi masih saja menaruh
kepercayaan dan harapan. Kuputuskan untuk meninggalkan Tegar dan semua kenangan
yang telah terajut bersama. Tidak ada
gunanya lagi mempertaruhkan sekeping hati ini kepada sebuah harapan yang tidak
akan berujung. Aku tidak akan bisa
bahagia dengan laki-laki yang tidak mempunyai sikap dan pendirian. Cukup. Cukuplah
ini yang terakhir kalinya. Aku tidak mungkin membiarkan hatiku terluka lagi.
Ku tatap Tegar untuk
yang terakhir kalinya. Ia masih di sana tanpa berdaya di bawah kekuasaan
keluarganya dan perempuan itu. Ku terus melangkah, kali ini tanpa beban
sedikitpun. Aku yakin ini sulit. Tetapi aku memilih untuk melupakanmu meskipun
butuh waktu. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar