Tes, tes.
Kali ini darah mengalir deras dari mulut Rizal. Lelehannya membasahi
pipi dan merambat ke leher.Ibu tak kuasa lagi menahan sedan, tangisnya
benar-benar tumpah.
“Jangan teruskan, Le. Kamu harus istirahat. Kamu harus sembuh,” sela ibu.
Tes, tes,tes.
Rizal merasakan darah kali ini keluar dari lubang telinga.
“Ya Allah, Pak, Rizal, Rizal, Pak. Kita bawa ke
dokter. Cepat, Pak,” seru ibu sambil menangis histeris.
Bapak menatap Rizal dengan berkaca-kaca, dia mempunyai
firasat kalau anak keduanya tidak mungkin ketemu dokter kali ini.
Rizal menahan tangan ibu, “Tidak usah, Bu. Rizal
hanya ingin bersama ibu dan semuanya sebelum pergi. Rizal benar-benar minta
maaf. Ma-af-kan,” kalimat itu meluncur dengan susah payah.
“Mas Rizal jahat!” teriak Nabila marah. Nabila
menghambur sambil menguncang-guncang
bahu Rizal dengan rasa sayang dan marah bercampur menjadi satu. ”Mas Rizal
sudah berjanji akan membuatkan layang-layang untuk Nabila. Mas Rizal belum
menepati janji. Mas Rizal harus pulang. Pulang! Nggak boleh pergi!”teriak
Nabila sambil berlinang air mata. Bahunya terguncang-guncang.
Mas Arif terisak lirih.
“Nabila, sini,” panggil Rizal dibatas kesadarannya
yang semakin lemah.
Nabila ngambek, tidak mau mendekati. Saat bapak
memaksanya mengulurkan tangan dia kelihatan marah dengan muka merah berlapis sedu
sedan.
“Maafkan, Mas. Be-lum bi-sa me-ne-pa-ti-jan-ji,” ucap
Rizal tersengal-segal. Dadanya semakin sesak dan kepala bertambah berat. Ya
Allah, tolong berikan Rizal sedikit waktu. “Mas-sa-yang- Na-bi-la.”
“Tidak! Mas bisa menepati janji. Nabila tahu Mas
selalu menepati janji. Kita pulang dan Mas buatkan Nabila layang-layang. Ayo
pulang, Nabila janji tidak akan ngambek lagi, tidak akan teriak-teriak kalau
mas menganggu Nabila, tidak akan menyembunyikan barang-barang lagi,” isak
Nabila sambil memegang erat tanganku.
Rizal sangat sedih, tak kuat melihat adik semata
wayangnya terguncang demikian hebatnya. Tetapi ia juga tidak kuat lagi menahan
sakit.
“Rizal, ayo Le,
kamu bertahan ya, kamu harus kuat. Sadar Le,”
bisikkan lembut ibu selalu terdengar bagaikan angin yang berembus, menyejukkan.
Rizal melihat seberkas sinar matahari mulai
menyembul dari ufuk timur. Sinarnya terlihat lembut dan hangat. Kicau burang
terdengar semakin lama semakin ramai dengan suaranya yang memenuhi pagi.
Perlahan mentari keluar dan semakin terlihat sempurna. Semakin kelihatan jelas
dan besar.
Kepak burung membumbung tinggi di awan. Seakan
mengajak Rizal untuk terbang mengikutinya. Rizal memuaskan dahaga matanya
dengan memandangi kawanan burung itu,
sampai semakin menjauh dan terlihat samar. Segumpal awan tiba-tiba hadir dan
turun semakin rendah. Awan itu menggapainya dengan lembut. Tangannya terangkat
dan seluruh tubuh Rizal ikut terbawa
awan biru yang bergulung perlahan. Rizal merasakan tubuhnya menghangat dan
terbuai dalam ayunan awan yang membumbung semakin tinggi. Rasa sakit yang
mendera tak lagi terasa. Semua hilang, hanya rasa nyaman yang ada.
Tepat saat mentari beralih semakin tinggi, tubuhnya
terbawa ke langit diantara awan hangat dan melayang-layang. Semakin tinggi dan ia
hanya mampu melihat ibu, bapak, Mas Arif dan Nabila di bawah sana menatapnya
tak percaya. Ingin sekali ia turun untuk mengucapkan selamat tinggal dan minta
maaf untuk yang terakhir kalinya, merasakan ciuman ibu di kening dan mencium
tangan bapak dan ibu. Tetapi tidak mungkin, dekapan ibu dari rumah sampai ke
rumah sakit adalah dekapan terakhir yang masih bisa ia rasakan kelembutannya.
Saat tubuh Rizal membumbung tinggi, ia melihat
dibawah sana bapak, ibu, Mas Arif melambaikan tangan dengan derai air mata.
Agak dibelakang Nabila dengan terisak ikut melambaikan tangan. Mereka seakan
sudah tahu jika anggota keluarganya akan pergi jauh.
Ringan tangan Rizal saat membalas lambaian tangan
mereka, bibirnya membentuk bulan sabit. Perasaan Rizal terasa lebih ringan,
dadanya dirambati kelegaan, dan kepalanya sudah tidak merasakan sakit lagi.
Awan biru membungkus tubuh dan membawanya semakin menjauh dari orang-orang yang
ia cintai. Saat Rizal melihat ke depan,
nun jauh di sana ada selarik cahaya terang benderang yang sempat membuat matanya
silau. Saat matanya sudah terbiasa melihat cahaya itu, ia melihat di depan ada
lorong panjang yang bersinar terang. Rizal tahu, ke sanalah ia akan pergi. Awan
biru membawanya masuk ke lorong cahaya itu yang dalam sekejap tubuh Rizal
tertelan di dalamnya. Jauh, perjalanan Rizal sangat jauh . Tetapi ia dengan
ringan memasuki lorong tersebut.
........................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar