Jumat, 11 Desember 2015

Bila Waktu Telah Tiba

penggalan di Novel ' Bila Waktu Telah Tiba'...

“Suatu saat kita bisa pergi bersama. Ibu janji sama Rizal untuk mengajak kita semua jalan-jalan lagi, kan? Rizal masih ingin melakukan itu semua,“ Rizal merasakan kepalanya berputar semakin cepat, sakit sekali  seperti dipukul kencang. Tapi ia bertekad untuk melanjutkan kalimatku. Rizal harus kuat dan mampu  bertahan. “Tapi Rizal tidak bisa lagi melakukan semua itu. Tidak mungkin lagi.”
Tes, tes.
Kali ini darah mengalir  deras dari mulut Rizal. Lelehannya membasahi pipi dan merambat ke leher.Ibu tak kuasa lagi menahan sedan, tangisnya benar-benar tumpah.
“Jangan teruskan, Le. Kamu harus istirahat. Kamu harus sembuh,” sela ibu.
Tes, tes,tes.
Rizal merasakan darah kali ini keluar dari lubang telinga.
“Ya Allah, Pak, Rizal, Rizal, Pak. Kita bawa ke dokter. Cepat, Pak,” seru ibu sambil menangis histeris.
Bapak menatap Rizal dengan berkaca-kaca, dia mempunyai firasat kalau anak keduanya tidak mungkin ketemu dokter kali ini.
Rizal menahan tangan ibu, “Tidak usah, Bu. Rizal hanya ingin bersama ibu dan semuanya sebelum pergi. Rizal benar-benar minta maaf. Ma-af-kan,” kalimat itu meluncur dengan susah payah.
“Mas Rizal jahat!” teriak Nabila marah. Nabila menghambur  sambil menguncang-guncang bahu Rizal dengan rasa sayang dan marah bercampur menjadi satu. ”Mas Rizal sudah berjanji akan membuatkan layang-layang untuk Nabila. Mas Rizal belum menepati janji. Mas Rizal harus pulang. Pulang! Nggak boleh pergi!”teriak Nabila sambil berlinang air mata. Bahunya terguncang-guncang.
Mas Arif terisak lirih.
“Nabila, sini,” panggil Rizal dibatas kesadarannya yang semakin lemah.
Nabila ngambek, tidak mau mendekati. Saat bapak memaksanya mengulurkan tangan dia kelihatan marah dengan muka merah berlapis sedu sedan.
“Maafkan, Mas. Be-lum bi-sa me-ne-pa-ti-jan-ji,” ucap Rizal tersengal-segal. Dadanya semakin sesak dan kepala bertambah berat. Ya Allah, tolong berikan Rizal sedikit waktu. “Mas-sa-yang- Na-bi-la.”
“Tidak! Mas bisa menepati janji. Nabila tahu Mas selalu menepati janji. Kita pulang dan Mas buatkan Nabila layang-layang. Ayo pulang, Nabila janji  tidak akan  ngambek lagi, tidak akan teriak-teriak kalau mas menganggu Nabila, tidak akan menyembunyikan barang-barang lagi,” isak Nabila sambil memegang erat tanganku.
Rizal sangat sedih, tak kuat melihat adik semata wayangnya terguncang demikian hebatnya. Tetapi ia juga tidak kuat lagi menahan sakit.
“Rizal, ayo Le, kamu bertahan ya, kamu harus kuat. Sadar Le,” bisikkan lembut ibu selalu terdengar bagaikan angin yang berembus, menyejukkan.
Rizal melihat seberkas sinar matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Sinarnya terlihat lembut dan hangat. Kicau burang terdengar semakin lama semakin ramai dengan suaranya yang memenuhi pagi. Perlahan mentari keluar dan semakin terlihat sempurna. Semakin kelihatan jelas dan besar.
Kepak burung membumbung tinggi di awan. Seakan mengajak Rizal untuk terbang mengikutinya. Rizal memuaskan dahaga matanya dengan memandangi  kawanan burung itu, sampai semakin menjauh dan terlihat samar. Segumpal awan tiba-tiba hadir dan turun semakin rendah. Awan itu menggapainya dengan lembut. Tangannya terangkat dan seluruh tubuh Rizal ikut  terbawa awan biru yang bergulung perlahan. Rizal merasakan tubuhnya menghangat dan terbuai dalam ayunan awan yang membumbung semakin tinggi. Rasa sakit yang mendera tak lagi terasa. Semua hilang, hanya rasa nyaman yang ada.
Tepat saat mentari beralih semakin tinggi, tubuhnya terbawa ke langit diantara awan hangat dan melayang-layang. Semakin tinggi dan ia hanya mampu melihat ibu, bapak, Mas Arif dan Nabila di bawah sana menatapnya tak percaya. Ingin sekali ia turun untuk mengucapkan selamat tinggal dan minta maaf untuk yang terakhir kalinya, merasakan ciuman ibu di kening dan mencium tangan bapak dan ibu. Tetapi tidak mungkin, dekapan ibu dari rumah sampai ke rumah sakit adalah dekapan terakhir yang masih bisa ia rasakan kelembutannya. 


Saat tubuh Rizal membumbung tinggi, ia melihat dibawah sana bapak, ibu, Mas Arif melambaikan tangan dengan derai air mata. Agak dibelakang Nabila dengan terisak ikut melambaikan tangan. Mereka seakan sudah tahu jika anggota keluarganya akan pergi jauh.
Ringan tangan Rizal saat membalas lambaian tangan mereka, bibirnya membentuk bulan sabit. Perasaan Rizal terasa lebih ringan, dadanya dirambati kelegaan, dan kepalanya sudah tidak merasakan sakit lagi. Awan biru membungkus tubuh dan membawanya semakin menjauh dari orang-orang yang ia cintai. Saat Rizal  melihat ke depan, nun jauh di sana ada selarik cahaya terang benderang yang sempat membuat matanya silau. Saat matanya sudah terbiasa melihat cahaya itu, ia melihat di depan ada lorong panjang yang bersinar terang. Rizal tahu, ke sanalah ia akan pergi. Awan biru membawanya masuk ke lorong cahaya itu yang dalam sekejap tubuh Rizal tertelan di dalamnya. Jauh, perjalanan Rizal sangat jauh . Tetapi ia dengan ringan memasuki lorong tersebut.
........................

Tidak ada komentar: