Jumat, 16 Maret 2012

Esok Masih Ada Harapan




            Surip termangu memandang barang dagangan yang masih setengah lebih memenuhi gerobag dorong  yang catnya mulai terkelupas di beberapa tempat.  Buah-buahan untuk  bahan rujak dagangannya  seperti nanas, kodondong, ketimun, bengkoang, pepaya dan mangga masih menumpuk . Dari pagi  Surip berkeliling menjajakan rujak  ke berbagai tempat yang selama ini menjadi langganannya. Tetapi siang ini terpaksa harus berhenti karena hujan lebat memuntahkan airnya dari langit. 
Berdagang rujak pada saat musim hujan seperti ini memang tidak begitu menguntungkan bagi Surip. Tetapi Surip tidak ada pilihan lain, selain tetap berjualan dan berharap hujan turun ketika menjelang sore hari, waktu yang biasanya dagangan Surip sudah mulai habis. Surip tetap menekuni pekerjaan menjual rujak yang sudah dia lakukan selama 5 tahun terakhir ini untuk menopang kebutuhan hidup anak  dan istrinya. Dulu sebelum berjualan rujak keliling , Surip pernah bekerja sebagai  buruh di pabrik furniture di desanya, tetapi belakangan harus keluar karena tempat bekerjanya melakukan pengurangan pegawai karena dampak krisis moneter. Kemudian Surip mencoba  untuk bekerja serabutan apa saja karena sulitnya mencari pekerjaan. Bekal ijasah SLTA yang dipegang tak mampu memberikan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih  baik. Pernah Surip  bekerja sebagai kernet bis, bekerja sebagai pelayan toko bangunan, juga pernah sebagai buruh angkut di Pasar  Legi. Sampai akhirnya Surip memutuskan untuk berjualan rujak keliling. Tahun-tahun pertama berjualan  rujak, Surip mampu membawa untung yang lumayan besar  karena masih jarang ada pedagang rujak keliling. Sehingga dengan keuntungan tersebut Surip bisa membiayai anak dan istrinya . Tetapi  dua tahun terakhir ini, sulit untuk berharap mendapat  keuntungan karena penjual rujak sudah banyak. Sehingga dalam sehari  mendapat keuntungan cukup untuk membeli beras dan sedikit lauk saja, Surip sudah bersyukur karena terkadang dagangan Surip masih tersisa, yang mau tidak mau harus di makan sendiri bersamaa anak dan istrinya kalau tidak mau terbuang percuma. Maklum buah-buahan tidak bisa bertahan lama, sementara dalam berjualan Surip selalu berusaha mempertahankan kualitas dagangannya dengan menjual buah segar.

            Udara terasa dingin menusuk kulit Surip yang hanya berbalut kaus tipis yang mulai usang di makan waktu. Untung emperan toko  tempat Surip berteduh cukup  luas sehingga air hujan tidak  mengenai badan Surip. Surip mencari-cari rokok di kantung bajunya berharap rokok bisa mengurangi hawa dingin yang menusuk  tulang. Tetapi setelah sekian lama merogoh saku baju dan celana , ternyata rokok yang di cari tidak ada. Surip tersenyum kecut menyadari bahwa tidak sudah tidak punya rokok paling tidak selama 3 hari terakhir  ini. Terpaksa untuk mengurangi  hawa dingin,  Surip semakin merapatkan sedekapan tangan di dadanya.
            Pikiran Surip menerawang kemana-mana. Sudah  hampir satu minggu ini, Wanti anak satu-satunya yang saat ini kelas 2 SD sudah berulang kali minta uang untuk membayar  buku dan kegiatan ekstra di sekolahnya. Untung saja Wanti sekolah di SD negri ,sehingga Surip tidak terlalu pusing memikirkan SPP setiap bulannya. Tetapi meskipun SPP gratis, Surip masih harus membayar  beberapa  iuran  setiap bulannya. “Pak, kapan Wanti bisa membayar ? BuGuru sudah menanyakan ke Wanti terus.” Kata Wanti sambil menatap Surip. Tatapan mata bening dan polos itu penuh berjuta harapan  menanti kepastian dari mulut Surip.  Seperti biasanya Surip hanya bisa tersenyum   mencoba  menghibur anaknya.  Meskipun pahit dan berat untuk di ucapkan , Surip selalu berusaha membuat hati Wanti senang. Diraihnya anak semata wayangnya untuk duduk di pangkuannya . Dengan lembut di ciumnya rambut Wanti .”Nak, bapak akan secepatnya membayar, tapi saat ini bapak belum bisa. Itu buah-buahan masih banyak. Jadi bapak belum punya uang .Tolong bilang sama bu Guru ya, kalau bapak pasti akan membayar.Sudah sekarang Wanti main sana ya,bapak mau mandi”Mata bulat Wanti seperti biasanya akan bersorak dengan penuh harapan mendengar janji Surip. Perlahan Wanti turun dari pangkuan Surip dan berlari keluar rumah.

            Surip termangu  dan menarik napas panjang. Tak tega hatinya untuk selalu memberikan harapan ke Wanti.Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Anak sekecil Wanti belum bisa merasakan kondisi yang sebenarnya dari orangtuanya. Dari belakang, Marni istri Surip kelihatan kelelahan , berjalan menghampiri Surip kemudian duduk di kursi sebelah rotan yang sebagian besar anyaman rotannya mulai terlepas.  Surip merasa tidak tega dan trenyuh melihat istrinya.  Meski kelihatan serba kekurangan ,Marni  jarang sekali mengeluh kepada Surip. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari ,tenaga Marni sebagai buruh cuci baju  yang  saat ini selalu diandalkan. Surip merasa malu sekali dan merasa gagal sebagai seorang suami yang mestinya bisa membuat istrinya senang dan tidak membuat susah.
            “Capek ,pak? Gimana dagangan bapak hari ini?” tanya Marni , tetapi matanya segera melihat gerobag dagangan Surip yang ada di depan pintu. Surip tahu, Marni tidak butuh jawaban karena sudah melihat isi gerobag masih setengah lebih. “Maaf Bu, bapak tidak bisa memberi uang untuk beli beras. Uang hasil jualan hari ini  untuk beli modal besok saja tidak cukup. “ jawab Surip parau. Marni tersenyum mendengar jawaban Surip. Mungkin Marni sudah hapal karena sudah ratusan kali jawaban seperti itu keluar dari mulut suaminya. “Pak, ibu binggung. Selain belum membayar tunggakan sekolah Wanti, tadi pak Agus datang lagi ke sini. Hari ini dia marah besar, dan memberi  waktu kita untuk membayar  kontrakan paling lambat besok minggu. Kalau kita tidak bisa bayar, kontrakan ini akan di berikan ke orang lain.” Surip tercenung , pikirannya semakin tidak karuan mendengar perkataan istrinya tadi. Sudah  tiga bulan ini Surip tidak membayar uang kontrakan rumah. Meski  sebulan hanya Rp 100.000,00 untuk menyewa rumah  kecil berukuran 4x3 m yang berdinding papan  ini, Surip sudah tidak mampu lagi. Duh, mau tinggal di mana anak dan istrinya kalau mereka terusir dari rumah ini? ratap Surip pilu.

            Untuk sekian kalinya Surip menghela nafas panjang. Mengingat itu semua hati Surip seakan sudah tidak kuat lagi. Sekali lagi di lihatnya gerobag yang berisi buah-buahan di depannya. Di sapunya pandangan mata ke jalan. Hujan  sudah tidak sederas tadi, tetapi masih rintik-rintik. Kemudian Surip menghitung uang dari saku celananya. Ada selembar lima ribuan , enam lembar dua ribuan dan 3 lembar seribuan. Hari ini Surip hanya mempunyai uang duapuluh ribu. Dia teringat tadi rujaknya hanya laku 5 porsi saja.  Bagaimana aku bisa membayar uang sekolah dan sewa rumah? Keluh Surip dalam hati. Pandangan matanya menerawang ke seberang jalan. Di seberang jalan berdiri megah bangunan Mall yang siang hari ini dipenuhi orang-orang. Di outlet makanan cepat saji terlihat orang-rang sibuk makan siang sambil bercanda-canda dengan wajah riang. Surip menahan air liurnya yang hampir menetes. Seumur hidup dia belum pernah masuk ke outlet itu apalagi makan makanan yang di jual di situ. Membayangkan saja dia tidak berani apalagi masuk untuk membeli. Tetapi bagi sebagian orang  terutama yang saat ini makan di outlet makanan cepat saji tersebut, sepertinya  mereka tidak merasa berat dan sudah terbiasa makan di tempat seperti itu yang harganya pasti sangat mahal.

            Surip mengalihkan pandangan ke bagian lain, menghindari kesibukan orang-orang yang sedang makan siang. Pandangan matanya berhenti pada sekelompok orang yang sedang sibuk memilih baju di salah satu bagian Mall tersebut. Uh, mana bisa Surip membeli barang semahal itu. Sampai kapanpun tidak mungkin sanggup,keluh Surip lagi. Cepat-sepat pandangan matanya di alihkan ke tempat lain. Ke lantai 3, lantai 4 dan tiba-tiba pandangan matanya berhenti di  lantai 4. Dia melihat di bagian luar sebelah timur lantai 4  ada pojokan  yang cukup sepi. Surip mencoba memperhatikan kembali dan ternyata memang benar-benar sepi. Tidak Nampak orang lalu lalang di pojokan mall itu.  Surip menghela napas panjang  untuk mengurangi kepenatan dan beban di hatinya. Setelah beberapa menit dia tercenung , tiba-tiba seperti di gerakkan oleh sesuatu yang tak mampu dia kendalikan, kaki Surip beranjak dari duduknya dan tanpa memperdulikan hujan yang masih rintik-rintik, Surip bergegas menyeberang  jalan  menuju ke Mall .  

Sesampainya di Mall, dengan ragu Surip bergegas masuk ke dalam dan mencari tangga eskalator menuju ke lantai 4. Dengan mencari-cari, Surip berhasil menemukan pojokan sebelah timur lantai 4 Mall itu.  Memang terlihat sepi , tidak ada orang yang di situ. Mungkin orang-orang malas untuk naik ke lantai 4 dan berdiri di luar seperti dirinya pada saat hujan seperti ini. Tanpa ragu Surip segera melangkah ke dekat pagar dan melonggok ke bawah. Terlihat dari atas , di bawah cukup curam dan licin. Dengan kaki gemetar Surip memegang teralis pagar. Pandangan matanya berkunang-kunang , pikirannya tidak menentu . Ayo Surip, ayo. Selangkah lagi kamu naik ke pagar dan loncat ,maka bebaslah penderitaan jiwa ragamu. Ayo Surip. Berulang kali bisikan jahat mengiang di telingga Surip. Jangan Surip, ingat anak istrimu menanti di rumah. Masalahmu tidak akan selesai dengan melompat dari lantai 4 ini. Kamu akan mati sia-sia. Jangan kau lakukan Surip, bisikan hati nurani Surip terdengar juga. Surip benar-benar bimbang dan pusing dengan apa yang terjadi dengan dirinya itu. Sekilas dia teringat senyum dan tawa Wanti yang lucu dan polos yang selama ini selalu mengusir kesedihan hatinya. Tetapi Surip juga teringat beban hidupnya yang selalu di rundung kesedihan dan kemiskinan. Dengan berlinang air mata , kaki Surip melangkah lagi dan naik ke teralis besi. Di pejamkannya matanya untuk mengusir keraguan di hatinya. Selangkah lagi dia siap menghempaskan tubuh kurusnya ke bawah.  

Tetapi pada saat itu, tiba-tiba Surip membuka matanya, tanpa sengaja dia melihat ada anak perempuan kecil berbaju kumal sedang berdiri  di pinggir jalan di tengah gerimis hujan.  Anak perempuan itu terlihat riang ketika menyodorkan kotak bekas permen untuk meminta uang kepada pengendara mobil yang lewat. Surip terpana melihat pemandangan tersebut, tanpa sadar Surip turun dari teralis besi dan melangkah mundur.Ternyata masih ada orang lain yang lebih menderita dari dia dan keluarganya.  Surip tidak perlu meminta anaknya untuk menjadi peminta-minta, karena dia masih sanggup bekerja. Ya Alloh ampuni saya yang berniat buruk tadi,maafkan hambamu ini. Surip tak kuasa menahan derai air matanya menyadari telah berniat yang kurang baik untuk mengakhiri penderitaan hidupnya  dengan jalan yang tidak terpuji. Surip menjadi malu sekali atas sikpa putusasa yang tidak mampu dia lawan. Marni, Wanti ,maafkan bapak . Bapak janji akan berusaha lebih keras lagi dan tidak putus asa. Surip bergegas melangkah meninggalkan Mall itu dengan seulas senyum di sudut bibirnya. Dia nyakin esok pasti masih ada harapan ,sekecil apapun  harapan itu pasti ada…………


Mawar enam,7 Januari 2010


           

1 komentar:

Perusahaan O.D.A.P mengatakan...

Blog Yang Bagus... :-)

Sekilas Info LOWONGAN KERJA Bagi Blogger Mania yang ingin mendapatkan uang sampingan dari blog anda.
Gaji Pokok 2 Juta Rupiah Hingga Puluhan Juta Rupiah, Pendaftaran Melalui http://newkerjaonline2012.blogspot.com/