Pengelolaan Tata Ruang untuk Penanggulangan kemiskinan
Perkembangan sebuah kota saat ini lebih terbuka terutama pasca penetapan otonomi daerah sejak Tahun 1999 setelah dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 dan dirubah dengan UU 32 Tahun 2004. Masyarakat memiliki ruang untuk terlibat lebih optimal dalam penataan kota yang lebih berkeadilan. Beberapa regulasi baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah telah memberi kesempatan partisipasi pengambilan kebijakan. Dengan keterlibatan masyarakat yang lebih baik diharapkan pengembangan wilayah mampu mewadahi berbagai aktifitas maupun kebutuhan warganya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 65 ayat 1 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Salah satunya adalah partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang (psl 65 ayat 2 huruf a).
Faktanya, masih banyak penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) belum memberi peluang partisipasi masyarakat. Padahal keterpaduan RUTRK dengan RPJPD maupun RPJMD sebagai Visi Misi kepala daerah terpilih sangat menentukan bagi perkembangan kota maupun kualitas kehidupan warganya. Disisi lain pemahaman pentingnya tata ruang kota oleh masyarakat juga masih minim. Hal ini ditandai dengan tidak banyaknya dinamisasi atas isu-isu tata ruang kota. Padahal konflik turunannya seperti macet, banjir, pendirian mall, pemukiman kumuh, transportasi, relokasi warga, PKL adalah isu-isu dampak penataan ruang kota yang amburadul. Guna mencapai tata ruang yang lebih baik setidaknya ada 3 prasyarat yang harus dicapai yaitu Active Citizen, Hak dan Akses Warga serta Penanggulangan Kemiskinan.
Menciptakan Active Citizen juga bukan perkara semudah membalik telapak tangan. Masyarakat telah terbebani dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan hidupnya sehingga semakin hari semakin banyak yang tidak peduli pada lingkungannya. Arus globalisasi seperti perkembangan teknologi serta informasi yang melenakan telah menciptakan halusinasi dan mimpi-mimpi yang tak pernah terwujud. Maka dari itu, mendorong tumbuhnya active citizen setidaknya membutuhkan 4 kondisi penting. Keempat kondisi tersebut yaitu pertama, adanya forum warga yang kokoh. Forum warga merupakan kumpulan masyarakat yang peduli pada lingkungannya, memperjuangkan hak-haknya serta mendorong pemerintah lebih peduli pada kondisi daerah. Keberadaan forum warga yang kuat ini akan menempatkan posisi masyarakat sebagai pihak yang juga penting dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah.
Kedua, mekanisme pengambilan kebijakan yang partisipatif. Hampir selama ini kebijakan pemerintah daerah seringkali diputuskan antara eksekutif dan legislative (DPRD) saja. Mereka (DPRD) dianggap merupakan representasi kepentingan masyarakat secara luas. Bila dilihat dari berbagai pileg maupun pilkada, tingkat partisipasi berkisar antara 40-90 persen. Artinya masih ada sekian persen masyarakat yang juga tidak menggunakan hak suaranya. Tapi juga bukan berarti dalam pengambilan kebijakan mereka secara otomatis haknya menjadi hilang. Dibeberapa daerah, sudah banyak muncul regulasi bagi keterlibatan pengambilan kebijakan yang partisipatif namun belum ada ketentuan sanksi bagi daerah yang melanggar hal ini. Adanya mekanisme ini akan semakin memperbanyak active citizen.
Ketiga, Politicall will terhadap dialog. Dengan perubahan pemilihan kepala daerah secara langsung semestinya mampu menampilkan pemimpin daerah yang mau memasang “telinga” diberbagai tempat. Hal ini dipengaruhi factor ilmiah bahwa setiap orang ingin dianggap baik. Namun faktanya masih banyak kepala daerah dengan tipologi yang jalan dengan kemauan sendiri. Membuka dialog akan mendorong masyarakat yang aktif memberi kontribusi yang positif. Keempat, adanya prinsip kesetaraan baik kesetaraan menyangkut gender, ekonomi, social, pendidikan maupun aspek lainnya. Artinya membuka kesempatan pelayanan dasar atau pelayanan lainnya yang tidak diskriminatif. Faktor ini akan merangsang masyarakat untuk lebih banyak mengambil peran dan melibatkan diri dalam penanganan berbagai masalah-masalah yang muncul diwilayahnya.
Sementara untuk aspek Hak dan Akses Warga dibutuhkan 3 elemen dasar agar dapat terpenuhi yakni keadilan, kemudahan dan transparansi. Seringkali pemenuhan atas aspek keadilan menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Ini dipengaruhi tidak adanya standar yang jelas atas makna keadilan. Banyaknya regulasi ditingkat daerah tidak mendetilkan berbagai kebijakan yang ditetapkan sering menimbulkan pemaknaan yang berbeda. Akibatnya banyak hak dan akses warga menjadi terhambat seperti akses atas bea siswa (hak pendidikan), bantuan modal (hak ekonomi), perlindungan keamanan, kenyamanan transportasi dan lain sebagainya. Elemen kemudahan juga mempengaruhi terpenuhinya hak dan akses warga. Berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah daerah seringkali tidak didapatkan karena sikap dan etos kerja yang tak dipahami para birokrasi. Akibatnya masyarakat menghadapi kendala cukup pelik dalam meningkatkan kualitas hidupnya maupun berpartisipasi dalam kehidupan di daerahnya.
Elemen yang juga mempengaruhi pemenuhan hak dan akses warga yang terakhir adalah mengenai transparansi. Kondisi geografis Indonesia yang beragam juga menjadi salah satu factor sulitnya memperoleh informasi bagi penyediaan hak dan akses. Masih banyak masyarakat yang terkendala mendapatkan bea siswa hanya karena tidak tahu bukan disebabkan tidak memenuhi standar. Tiga hal inilah (Keadilan, Kemudahan dan transparansi) yang dapat mempengaruhi terpenuhinya hak dan akses warga untuk terlibat dalam pengelolaan tata ruang. Rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang diselenggarakan, sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan aspirasinya.
Penataan ruang juga harus memperhatikan untuk upaya penanggulangan kemiskinan sebagai prasyarat ketiga. Pemimpin daerah yang menempatkan penanggulangan kemiskinan dalam aspek pengelolaan tata ruang masih minim. Faktor terbesar yang berpengaruh yaitu mengenai aspek ekonomi. Aspek ekonomipun lebih memperhatikan pada pengembangan ekonomi perdagangan umum dengan klasifikasi menengah ataupun besar. Jarang ada RUTRK yang menempatkan pasar maupun klaster usaha kecil dalam tata ruang mereka. Akibatnya ada pergeseran atau kendala dalam penanganan kemiskinan. Aspek penanggulangan kemiskinan memiliki 4 faktor yang berpengaruh kuat yakni Kepedulian, komitmen, data dan a politis.
Faktor kepedulian kepala daerah memegang peranan penting dalam pengentasan kemiskinan. Seringkali factor ini abai sehingga terjadi kendala dalam penataan kota yang aware terhadap masyarakat marginal. Mereka banyak tergusur dan tersingkir tanpa pernah mendapat kesempatan untuk bernegosiasi. Faktor kedua yakni komitmen kepala daerah untuk pengentasan kemiskinan. Adanya kebijakan nasional untuk pembentukan TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) yang dipimpin wakil kepala daerah mestinya dijadikan alat yang bisa mendorong komitmen kepala daerah dalam penanggulangan kemiskinan
Faktor lainnya yang juga penting adalah tersedianya data yang valid, akurat dan terbarukan. Tak terbantahkan selama ini pemilik data paling diakui yaitu BPS meski banyak pihak meragukannya. Sayangnya belum muncul juga institusi alternative yang mampu menyediakan data sandingan. Data yang tidak pas akan mengakibatkan kurang tepatnya kebijakan yang diambil sehingga pengentasan kemiskinan bisa saja meleset. Faktor terakhir yang juga memegang peran yaitu pengambilan kebijakan penanganan kemiskinan harus a politis. Hal ini penting supaya distribusi kebijakan penanganan kemiskinan merata pada masyarakat. Tidak membedakan wilayah maupun warga pemilih kepala daerah.
(Suci Handayani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar