Kamu Harus Pulang Nang.....
Entah sudah berapa puluh kali ku baca surat dari bapak ini, sampai aku tak bisa mengingatnya lagi.
Kertas surat ini sampai kumal, lecek, banyak lipatan – lipatan, malah di sana sini ada noda-noda bekas minyak. Juga persis di bagian tengah lipatan hampir putus karena terlalu seringnya aku buka-lipat berulang kali.
Setiap aku baca, isinya ternyata masih tetap sama persis seperti sebulan yang lalu ketika pertama kali aku baru terima surat ini, walaupun ku baca berulang kali, berharap isi surat ini akan berubah.
…………………………………………
Nang,
Ini adalah terakhir kalinya bapak memperingatkan kamu. Bapak sudah nggak bisa menerima alasanmu, semua penjelasanmu lagi. Jangan salahkan bapak, jangan anggap bapak ini kolot, kuno, feodal, moderat, nggak demokratis seperti bahasa yang sering kamu dan kawan-kawanmu pakai atau teteg bengek lainnya, bapak nggak peduli lagi. Saat ini ibumu sakit keras karena memikirkan semua ulahmu yang telah mencoreng nama baik keluarga dan mungkin lain waktu itu akan kamu lakukan lagi.
Pokoknya kamu harus putuskan, segera pulang kerumah berarti kamu putuskan kegiatanmu dengan kawan-kawanmu itu atau tetap dengan ulahmu yang nggak ngenah macam orang yang nggak punya masa depan itu. Apa tho yang kamu cari dan inginkan dengan menentang pemerintah, membangkang, sok pahlawan? Kamu ayng kamu dapatkan dengan semua kegiatanmu itu?
Kamu nggak akan pernah tenang dengan idealismu itu, Nang. Lupakan semua keinginan itu dan kembalilah pada keluargamu.
Ini peringatan terakhir kalinya, ini vonis bapak. Kalau kamu ingin melihat sakit ibumu semakin parah, kalau kamu ingin jadi anak durhaka, kalau kamu ingin teruskan idealismu dan heroikmu itu… Janganlah kamu pulang. Dan itu berarti putuslah hubungan antara orangtua dan anak !!! Bapak tak akan pernah mau mengakui kamu sebagai anakku lagi, tak akan pernah.
Camkan itu Nang, pikirkan. Kamu harus pulang, Nang
……………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………..
Tak bisa kuteruskan membaca surat ini karena pasti akan selalu muncul sifat romantisku, bila membaca dan meresapi kata-kata bapak. Dan aku yakin ini akan membuat hati dan jiwaku labil. Akan membuat diriku terombang-ambing oleh keraguan dan mengikis komitmenku pada apa yang selama ini aku nyakini, apa yang selama ini aku perjuangkan dengan susah payah.
Bapak memang orangnya keras, tegas, disiplin, egois, malah cenderung kolot menurutku, bahkan kejam. Apa yang dikatakan dan di inginkan bapak tidak bisa di bantah oleh siapapun tak terkecuali ibu. Semua anak-anaknya tidak berani membantah apalagi menentang kehendaknya. Bah, benar-benar hidup di lingkungan keluarga yang jauh dari demokratis.
Sejak kecil, bapak sudah mengetrapkan disiplin otoriter untuk mendidikku. Semua perintah, instruksi, kemauan bapak harus aku lakukan bila aku tak ingin mendapatkan hukuman cambuk rotan mendera tubuhku. Berbeda dengan ketiga kakakku yang selalu menurut dan patuh dengan semua didikan bapak, kata ibu aku selalu membangkang dan berusaha menentang kemauan bapak.
Sejak kecil aku tumbuh menjadi jiwa pembangkang, pemrotes, pemberontak, bandel, begal, seperti olok-olok kakakku. Aku juga tidak tahu mengapa selalu saja ingin menentang perintah bapak. Rasanya ada kepuasan dan kebanggaan jika mampu membuat bapak marah. Tapi rasa lainnya karena aku benar-benar tidak suka jika melihat kemauan bapak yang tanpa kompromi dan tak mau tahu pendapat dan perasaan orang lain. Sehingga semakin besar keinginan untuk tidak menuruti kemauan bapak. Huh, mentang-mentang anak-anak laki-laki sendiri, sungut ketiga kakakku lagi.
Biarlah, mungkin Anang begitu karena dia anak bungsu, selalu begitu ibu membelaku jika bapak memarahi aku. Dan bapak akan berbalik memarahi ibu yang terlalu memanjakan dan menyayangi aku. Dan aku selalu memanfaatkan kasih sayang, kelembutan dan perlindungan ibu ketika bapak marah dengan kelakuanku yang menentang kamauan bapak.
****
Masih terekam jelas dalam ingatanku ketika bapak menghajarku karena aku ketahuan sudah beberapa kali bolos belajar ngaji di suraunya wak Haji Kusbandi. Punggungku penuh bilur-bilur merah dan biru akibat pukulan rotan bapak yang masih membekas hingga sekarang. Tapi entah kenapa waktu itu aku berusaha untuk tidak menangis ataupun sekedar mengeluh walaupun sangat sakit, perih, dan ngilu tubuhku ku rasakan. Keangkuhanku muncul, aku ingin bapak melihat aku anak laki-lakinya tidak cengeng dan lemah.
Keterdiaman dan kepasrahanku menerima hajaran bapak, mula-mula membuat bapak semakin murka. Bapak merasa diremehkan dan tak ku hargai sedikitpun, hingga tak di pedulikan sama sekali tangis histeris ibu meminta bapak menghentikan pukulannya.
Tetapi tanpa aku mengerti tiba-tiba saja bapak menghentikan pukulannya.
Kulihat bapak memandangku dengan begitu lemah, tak berdaya dan sedih. Namun dibalik itu aku sempat melihat walau samar, di manik mata bapak ada cahaya bersinar yang saat itu aku sulit mengartikan. Tapi belakangan aku tahu itu sorot mata kebanggaan, tapi entah untuk makna apa dan untuk siapa. Cukup lama bapak memandangku lalu berucap pendek dan lirih ku dengar. “Kau mengingatkan bapak dulu, Nang,” kemudian bapak meninggalkan aku.
Sampai cukup lama aku terpana tak mengerti, ketika aku sadari ibu telah memeluk sambil menangisiku. Di dalam pelukan ibu yang hangat dan penuh kasih saying justru membuatku menangis merasakan sakitnya punggungku, perihnya bekas pukulan rotan bapak.
Kebandelanku berkurang setelah aku SMA. Tapi itu bukan karena aku takut kepada bapak, tetapi tak lain karena ibu yang memintaku untuk bersikap baik dan penurut. Rasanya tak mungkin aku bisa menolak permintaan ibu yang sangat kusayangi itu, tak mungkin aku mengecewakan ibu. Ibu tak mau lagi melihat bapak murka dan memusuhi aku, ibu tak tahan melihat anak bungsunya tak tenang di rumah. Entah karena kasihan atau karena rasa sayangku yang begitu besar kepada ibu atau karena apa, aku terpaksa menahan gejolak darah mudaku.
Sementara itu meski aku sudah tidak terlalu membangkang, bapak semakin keras mengawasi semua kegiatanku. Banyak kegiatanku yang di batasi oleh bapak, terutama kegiatan di luar sekolah. Risih sekali menghadapi semua perlakuaan bapak, apalagi aku anak laki-laki yang maunya lebih bebas, mandiri dan tidak di kekang. Tetapi lagi-lagi karena demi ketenangan hati ibu, aku selalu berusaha menahan diri. Aku berusaha untuk mengalah, tetapi aku mempunyai kemauan keras untuk bisa meneruskan belajar di Perguruan Tinggi, yang tak ada di kota kecilku. Kalau sampai aku bisa diterima, pastilah kebebasan sudah menunggu di depan mataku. Dan sampai akhirnya bapak harus mengalah, karena aku di terima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota besar.
Waktu itu aku merasa kemenangan sudah berhasil ada di tanganku, kebebasan menentukan diriku sendiri telah menyambutku. Dan kenyataannya bapak sudah tidak bisa memonitor semua aktivitasku lagi.
****
Mungkin karena sejak kecil aku hidup dalam negara kecil atau keluarga yang otoriter, tidak demokratis, tidak bisa berpendapat bebas mengakibatkan jiwaku tumbuh menjadi pembangkang, sehingga saat kuliahpun melihat kenyataan di negara yang menurutku jauh dari keadilan jiwa pembangkangku muncul dan semakin subur berkembang. Apalagi setelah aku menemukan kawan-kawan dan organisasi yang memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas oleh penguasa, membuatku semakin terlarut dalam semua kegiatanku.
Itu semua harus dengan konsekwensi yang tinggi sekali. Menurut penguasa kami ini pemberontak, demonstran, penentang pemerintah dan lain-lain.
Intimidasi, provokasi, terror, kekerasan yang dilakukan aparat militer terhadap kami itu sudah hal yang biasa dan tak pernah menyurutkan semangat demi perjuangan bersama-sama rakyat menuntut hak-hak rakyat yang dirampas penguasa.
Aku tak peduli dengan kuliahku yang semakin berantakan karena jarangnya aku masuk kuliah. Sudah dua semester ini aku ketinggalan beberapa mata kuliah dan terpaksa harus aku ulang lagi, tapi entah kapan. Aku benar-benar sudah larut dalam garis perjuangan yang aku nyakini akan mampu membebaskan rakyat dari penindasan pemerintah.
Sudah sejauh ini keluargaku tak pernah tahu kegiatanku yang sesungguhnya. Sampai suatu ketika dalam suatu aksi dengan buruh di suatu pabrik yang menuntut uang makan dan transport di sebuah kota industry, aku dan beberapa kawanku tertangkap oleh militer.
Aku sempat di tahan beberapa hari kemudian di lepaskan setelah di paksa membuat pernyataan bahwa aku tak akan melakukan itu lagi.
Bapak sangat murka mendengar kejadian itu dan dipaksanya aku pulang.
Di rumah peristiwa masa kecilku terulang kembali, bapak menghajarku seperti anak kecil. Ibu sampai jatuh sakit dengan semua kelakuanku yang menurut bapak telah mencoreng nama baik keluargaku.
Setelah berjanji tidak akan terlibat dalam semua aktivitasku selama ini karena demi kesembuhan ibu, bapak mengijinkan aku kembali meneruskan kuliah.
Tapi karena sedemikian besar kesetiaanku pada perjuangan dan komitmen yang kami bangun, aku kembali dengan semua yang ku kerjakan semula.
Rupanya bapak tahu itu, beberapa kali bapak mengirim surat tetapi tak pernah sekalipun ku balas. Bapak juga mencariku di kost tapi tak pernah ketemu karena aku sengaja menghindar. Akhirnya bapak menghentikan kiriman uang kuliah dan uang jatah bulanan. Sempat kelabakan juga mulanya, untung kawan-kawan seperjuangan bisa mengatasi masalah itu.
Hingga sampai saat ini aku belum pulang kerumah walaupun kerinduan terhadap ibu tak bisa ku bending lagi. Yach, dua tahun ku pendam kerinduan terhadap orang-orang yang ku cintai.
****
Nang, apalagi yang kau pikirkan ?” suara kawanku Roy mengagetkan sekaligus membuyarkan lamunanku.
Ku pandangi Roy dengan sorot mata jengkel dan roman muka yang berusaha aku tutupi ketidaksenanganku. Surat yang aku baca tadi, ku masukkan dalam amplopnya lalu aku masukkan ke buku diaryku.
Kawanku Roy yang sering di anggap sebagai bapak oleh kawan-kawanku ini, tersenyum memandangku dengan sinar matanya yang selaksa telaga kasih tanpa bicara sepatah katapun. Tapi aku tahu sorot matanya yang bening itu telah mewakilkan kata ma’af atas sikapnya tadi.
Tak seperti biasanya aku banyak bicara, saat ini aku hanya diam saja tak pedulikan Roy.
“Aku dan kawan-kawan tetap berpendapat seperti dahulu, kau pulanglah untuk ibumu kemudian kembalilah pada kawan-kawanmu.”
“Iya bung, sementara kau pulang jangan pikirkan kerja-kerjamu. Kita bisa menggantikan tugasmu kok. Ayolah bung, kalahkan keotoriteran bapakmu,” Budi yang baru nyelonong masuk ikut membujukku.
Seperti biasa keangkuhan harga diriku muncul bila berbicara soal pulang. Tak ingin aku bertemu dengan bapak yang tak pernah menghargaiku sebagai manusia. Tak sudi aku selalu di hina dan di remehkan bapak terus menerus.
Sementara itu satu persatu kawan-kawanku berdatangan.
Aku tahu mereka akan mendiskusikan kembali masalah yang ku hadapi. Saat-saat seperti inilah yang sering membuat aku merasa haru, bahagia, merasa senasib seperjuangan, merasa benar-benar di hargai sebagai manusia. Kehidupan kolektif yang benar-benar kami dambakan, kebersamaan yang menjadi impian kami. Dan kali ini giliranku yang akan mereka diskusikan dan selesaikan jalan keluarnya.
“Aku ngerti bung, kau masih tetap mempertahankan eksistensialismu, harga dirimu. Kau nggak ingin di dekte bapakmu terus. Tapi kali ini harga dirimu nggak penting, bung. Keselamatan jiwa ibumu lebih penting dari harga dirimu,” Gomloh menambahkan.
Waluyo mendekati, merangkul bahuku dan seperti biasanya dia berkata lembut “ Nang, aku yakin sifat romantismu bisa kau kendalikan karena komitmen perjuanganmu sudah jelas dan stabil. Walaupun kau pulang, aku yakin kau tetap akan kembali ke sini. Pulanglah untuk orang yang kau cintai, ibumu membutuhkanmu. Ayolah Nang, dengarkan kata-kataku. Kau tak ingin menyesal karena kehilangan ibu seperti yang aku alami khan?”
Kali ini ku tatap wajah Waluyo dengan sepenuh hati. Kulihat ada gurat-gurat kepedihan di wajahnya.
Ku coba meresapi kata-kata kawanku yang satu ini. Memang di bandingkan kawan-kawanku satu rumah seperti Roy, Gomloh, Budi, Agus, Sholeh, Edy, Priyo atau Asep, aku cenderung lebih dekat dengan Waluyo si kacamata tebal ini, berkulit gelap karena kerja-kerjanya yang berat tapi berhati lembut dan baik. Antara aku dan Waluyo sering berbicara masalah-masalah pribadi. Dan dia selalu bisa mengerti aku. Kali ini mau tak mau aku harus mendengarkan apa yang dia katakana. Tapi pikiranku bingung sekali, sulit memikirkan saran kawan-kawan.
“Aku akan butuh waktu lama untuk menyakinkan hati ibuku, padahal aku paling nggak tahan menghadapi air mata ibuku. Oh… aku….aku… tak bisa bayangkan bisa menghadapi itu semua,” jelasku mengharu biru.
Sesaat suasana menjadi diam dan tegang
“Kawan-kawan kita sudah banyak yang bertumbangan karena kontradiksi dengan keluarga. Saat ini adalah salah satu ujian untuk kau bung. Yach waktulah yang akan mengujimu,” Edi seperti biasanya dengan gaya bicara tegas, diplomatis dan berapi-api menyakinkan aku.
“Okey …. Thanks atas saran kalian semua. Tapi tolong beri aku waktu untuk memikirkan itu,” pintaku akhirnya.
****
Om Afandi mengajakku berbincang-bincang sambil minum kopi di teras rumahnya yang asri.
Suasana tenang dan terasa damai, hanya kicau burung yang terdengar riang berceloteh di dahan.
Om Afandi diam saja seolah menikmati benar sore yang cerah ini. Aku ingin sekali memulai pembicaraan, tapi seolah lidah ini kelu rasanya dan tak tega mengusik om Afandi.
Berapa menit berlalu tanpa ada percakapan.
Karena tak tahan lagi dengan suasana keterdiaman ini, aku beranikan diri membuka percakapan.
“Om, Nang mau menanyakan sesuatu,”kataku
Kulihat om Afandi tersenyum lebar dan menoleh kearahku.
“Mau naya soal apa Nang?”
“Soal bapak, omAfandi tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.
Diraihnya cangkir kopi dan meneguknya sedikit dengan nikmat. Setelah itu diambilnya rokok dan menyulut sebatang.
“Om ….., “tanyaky tak sabar.
“Rokok, Nang,” tawar om Afandi yang membuatku semakin penasaran.
“Om pasti tahu dengan sikap bapak. Tolong jelaskan ke Nang,” aku mohon.
Setelah menyedot dan membuang asap rokoknya beberapa kali, Om Afandi menghela nafas panjang.
“Nang, aku ngerti dengan pertanyaanmu. Pasti ada hubungannya dengan cerita ceritamu dulu waktu kamu kecil khan?”
“Ya…ya om, tepat sekali. Apa makna sinar mata kebanggaan bapak dan apa arti kata-kata bapak yang sering dia ucapkan kalau Nang membangkang. Kata-kata. Kau mengingatkan bapak dulu Nang,” kataku antusias.
“Memang sejak SMP sampai kuliah o mini sahabat karib Darmoyo, bapakmu. Menurut kakekmu waktu kecil bapakmu memang bandel, nakal, suka protes … yach seperti kamu. Juga waktu sudah kuliah, om, bapakmu dan kawan-kawan organisasi punya idealism tinggi memperjuangkan kepentingan rakyat. Sampai pada sebuah peristiwa besar yang menjadi sejarah Negara ini terjadi, di mana kami ternyata hanya di pakai dan di tunggangi oleh sebuah ambisi kekuasaan kelompok tertentu. Itu terlambat kami sadari yang akhirnya membuat kami menyesal sekali,”
Pandangan mata om Afandi menerawang jauh, mungkin mencoba mengenang kembali masa-masa perjuangannya yang berakibat kepahitan menurutnya.
“Nang, peristiwa 29 tahun yang lalu itulah yang memukul batin dan membuat trauma bapakmu. Darmoyo tak ingin kau mengulangi kesalahan yang telah di perbuatnya. Menurut bapakmu, dosa politik yang ikut dia lakukan walaupun tidak sengaja itu jangan sampai kau lakukan juga, meskipun bapakmu merasa bangga kau memperjuangkan rakyat tertindas.
“Tapi om, sekarang ini momentum dan keadaannya sudah berlainan dengan jaman om dan bapak dulu,”
“Ya … om pahami itu. Tapi memang begitulah yang diungkapkan bapakmu padaku. Om sudah coba jelaskan tentang arah perjuangan kalian sekarang ini …. Tapi itulah trauma bapakmu itu.”
Aku terdiam mendengar penjelasan Om Afandi yang panjang lebar. Ku coba membayangkan wajah bapak di masa mudanya yang penuh idealisme dan wajah bapak yang otoriter dan saat ini mengancamku tidak akan mengakui aku sebagai anaknya lagi.
“Nang, yang penting saat ini kamu harus pulang. Ibumu benar-benar sakit dan butuh kehadiranmu itu. Om ngerti apa yang kamu pikirkan, tapi ayolah kamu buang dulu harga dirimu dan keangkuhan itu. Pulanglah Nang, coba cairkan kebekuan hati bapakmu,” om Afandi menepuk-nepuk bahuku mencoba encairkan kebekuan hatiku.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Batinku terjadi pergolakan sengit antara harga diriku dan kerinduan pada ibuku, pada bapakku, kampong halamanku.
Sampai aku pamit pulang pada om Afandi, aku belum bisa memberikan jawaban pasti yang membuat lega om Afandi.
****
Malam ini hatiku sangat gelisah. Tak bisa ku pejamkan mata sebentarpun.
Saran kawan-kawan dan penjelasan panjang lebar tentang bapak dari om Afandi mengusik hatiku, membuat kerinduan yang sekian lama ku simpan seakan mau meledak.
Tubuhku yang terbaring di karpet bergerak kesana-kemari tak henti karena tak kuasa menahan gejolak hatiku yang tak menentu. Sekilas ku lirik jam weker di meja. Ach, sudah jam 3.30’, keluh hatiku.
Akhirnya aku bangkit dari tidurku dengan hati-hati takut membangunkan kawan-kawanku yang pulas tidur. Dan seperti tidak ku sadari, aku segera ke sumur mengambil air wudhu. Aku sadar sudah sekian lama aku tak bersujud di hadapan Tuhanku.
Air dingin yang membasuh mukaku laksana air hujan yang membasahi bumi setelah sekian lama panas menguasai bumi. Kesejukan perlahan-lahan menyentuh hatiku. Tuhan, ampunilah aku.
Akhirnya keputusan hati yang aku tunggu-tunggu datang juga.
Aku harus melupakan harga diriku. Aku harus berhasil mengalahkan keangkuhan hati bapak dan menyadarkan kesalah pandangan bapak tentang sikapku.
Aku sudah siap menghadapi semua resiko apapun yang akan terjadi. Perjuangan ini memang berat, butuh banyak pengorbanan.
Ibu, anak tersayangmu akan kembali ke pelukanmu dan bersujud di depanmu tetapi dengan membawa berjuta kemantapan hati akan komitmen perjuanganku.
Bapak, ibu … ma’afkan anakmu.
Nang pulang pak, bu ………
(1996, buat kawan-kawan yg berjuang di garis depan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar