Sabtu, 15 Oktober 2011

Nelayan Malalayang Manado pertahankan tempat tinggal





Pemukiman nelayan Malalayang II  Kota Manado berada   di Kecamatan Malalayang Kelurahan Malalayang II Lingkungan I  tepatnya di belakang Akademi  Perawat Fakultas Kedokteran UNSRAT. Sungguh pemandangan yang ironis sekali, sekitar 40 KK  yang berprofesi sebagai nelayan tinggal di rumah-rumah bedeng di pinggiran pantai. Tak lebih dari 20 m air sudah menerpa-nerpa halaman rumah penduduk yang dipenuhi dengan kerikil khas laut.  Dari jalan raya menuju ke pemukiman nelayan Malalayang, ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 1 km baru bisa ketemu dengan pemukiman nelayan. Jalan menuju pemukiman relative bagus, beraspal dan tidak terlihat kerusakan apapun. Sepanjang jalan dikiri jalan ada bangunan gedung pendidikan kesehatan yang menjulang tinggi dan tentu saja megah. Sementara di sebelah kanan terdapat  tanah kosong   yang siap di bangun oleh investor untuk keperluan bisnisnya. Menjauh sedikit  dari situ, gundukan tanah sudah ada menimbun pantai dan siap menutup pantai sekitarnya.

Masuk ke pemukiman nelayan Malalayang, terlihat anak-anak kecil yang bermain riang di pelataran rumah yang sebenarnya tak layak di sebut pelataran karena lebarnya tak lebih dari 2 meter dan dipenuhi perahu nelayan.  Sementara  ibu-ibu terlihat bergerombol sambil  mencari kutu dan berbincang-bincang akrab. Sesekali terdengar rengekan anak-anak kecil yang minta sesuatu dari ibu mereka.  Para remaja duduk-duduk sambil memegang HP, nampak sedang  berSMSan dengan seseorang. Para bapak tampak sibuk sekali  ada di sekitar perahu, ada yang memperbaiki perahu ada yang memperbaiki jaring. Suasana khas pemukiman pantai dengan seabreg aktivitas yang dilakukan.

Hampir semua rumah-rumah nelayan  sangat sederhana dengan  atap rumah yang sangat rendah, terbuat dari seng-seng yang sudah usang di makan usia. Rata-rata rumah yang dihuni keluarga nelayan  seluas 3x5 meter dengan lantai semen yang sebagian rumah di tutup karpet plastic tipis yang sudah  koyak di sana sini.  Dinding rumah terbuat dari seng dan triplek yang sudah tidak utuh lagi. Rumah di tinggali sekitar 4-5 orang, ruangan di sekat dengan triplek tipis atau kain penutup sekedar untuk memberikan batas ruang-raung privasi keluarga. Ruang tamu berusaha di hadirkan meskipun sangat sederhana dengan luas yang tidak terlalu lebar, dapur tidak lebih dari 1x1,5m memanjang dengan peralatan dapur yang sederhana.

Dari sejarahnya, nelayan Malalayang menghuni pemukiman ini  sejak puluhan tahun lalu, tepatnya tinggal di pemukiman secara turun temurun. Harapannya adalah untuk mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah dan untuk mengembangkan kehidupan dan pencarian nafkah mereka sebagai masyarakat nelayan. Status  tanah di Malalayang ini berasal dari peninggalan pemerintah Belanda pada saat pejajahan Belanda. Karena Indonesia merdeka, Belanda harus pulang sehingga tanah kemudian digunakan oleh masyarakat setempat. Sebagian tanah digunakan untuk pusat rehablitasi penyakit kusta, sebagian tanah  kemudian secara turun temurun digunakan oleh keturunan warga tersebut.  Pada tahun 1998 ada seorang pengusaha yang mengaku bahwa tanah tersebut adalah miliknya dan meminta warga meninggalkan tanah tersebut dengan kompensasi uang sekitar Rp 500.000, tetapi masyarakat menolak.  Setelah perpindahan Pusat Rehabilitasi Penyakit Kusta dari Wilayah Malalayang ke Pandu Kecamatan Wori-Minahasa Utara, melalui lurah sekitar 16 KK warga diminta pindah dengan diberikan kompensasi  15 juta, tapi masyarakat menolak. Masyarakat tetap ingin tinggal di situ. Bahkan sekarang ada sekitar 40 keluarga yang tinggal di Malalayang.

Nelayan Malalayang berorganisasi dalam wadah Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang (FNPPM) yang dipimpin oleh Sudirman Hililo, organisasi ini  merupakan salah  organisasi nelayan yang ada di Pesisir Teluk Manado khususnya di Pantai Malalayang dan masuk menjadi bagian ANTRA kota Manado.  FNPPM sudah beraktivitas sejak tahun 2003, namun secara formal dibentuk pada tahun 2006 untuk melakukan perjuangan nelayan secara bersama dan berkelompok. FNPPM mempunyai visi bersama untuk: 1) menghimpun segenap kekuatan rakyat dalam perjuangan demokrasi, 2) FNPPM sebagai sekolah Politik Rakyat dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, 3) sebagai alat dalam mencapai tujuan pembaruan agraria. Untuk merealisasikan gagasan dan harapan tersebut maka FNPPM merumuskan program organisasi dalam bentuk dan kerangka sebagai berikut: 1) Memperjuangkan hak atas tanah yang saat ini didiami rakyat, 2) Membangun kekuatan ekonomi kerakyatan, 3) ikut  mengawasi Pemerintahan Kota Manado sehingga terecipta Pemerintahan yang bersih, kuat, dan berwibawa, 4) Mendorong terciptanya Pendidikan Murah bagi Rakyat.

Konflik dan problema nelayan di Kota Manado tidak lepas dari masalah penguasaan lahan tangkapan dan lokasi sandaran, hingga lokasi pemukiman nelayan yang dianggap tidak jelas sehingga banyak pihak yang berkehendak untuk melakukan penguasaan lahan yang dianggap strategis walaupun biaya penguasaan dan pengelolaannya sangat mahal. Kejadian tersebut dialami oleh nelayan yang tinggal di pantai Malalayang, tergabung dalam Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang merupakan anggota ANTRA kota Manado.
Pada tahun 2007, masalah mulai kembali terjadi. Nelayan dihadapkan pada masalah tanah kembali.  Warga melakukan hearing ke DPRD untuk meminta dukungan .Pasca hearing DPRD melakukan lobi dengan pengusaha, dan mendapatkan solusi yang ditawarkan ke masyarakat. Tawaran solusi ada tiga  yaitu  pertama nelayan direlokasi ke Minahasa Utara (ternyata lokasi yang ditawarkan adalah tanah berstatus sengketa), kedua dipindahkan ne Manado Utara di kecamatan Tuminting (tenyata lokasinya adalah hutan Mangrove, yang tidak mungkin menjadi tempat tinggal karena hutan milik pemerintah), ketiga dipindahkan ke kaki gunung Lokon (nelayan tidak mau karena tidak mungkin bermukim di kaki gunung yang jauh dari pantai). Warga menolak usulan tersebut, dan tetap menempati lahan. Masuk tahun 2008 hearing terakhir dengan keputusan oleh Komisi A DPRD, bahwa masyarakat tetap mendiami lahan tersebut, termasuk juga Gurbernur yang diwakili oleh Assisten II Gubernur Sulut. Dan pihak HBG harus membatalkan status HGBnya. Setelah Pilkada tahun 2010, ada surat dari kelurahan yang meminta warga untuk pindah maximal sampai bulan Januari 2011. Warga berupaya melakukan upaya dialog dengan kelurahan tetapi tidak menemukan titik temu.

Sejak bulan Januari 2011pertemuan intensif dilakukan  sebagai upaya untuk merumuskan langkah-langkah ke depan, salah satunya konsolidasi yang dilakukan tanggal 16 Maret 2011 di daseng Sario Tumpaan.
Hampir 200 jiwa mengantungkan hidupnya kepada laut, sumber kehidupan nelayan dan keluarganya. Jika nelayan tergusur dari pemukiman dan dipaksa jauh dari laut, pastilah secara perlahan nelayan dipaksa untuk mengakhiri kehidupan secara perlahan-lahan.
Bau khas pantai yang dihembuskan angin semilir yang berembus mampu membuat hati terasa damai dan tenang. Anak-anak yang bercanda ceria adalah harapan bagi nelayan untuk tetap mempertahankan pemukiman yang sudah didiami puluhan tahun. Dari tempat ini diharapkan mereka tumbuh menjadi manusia baru yang tetap mempertahankan kelestarian laut.(3.3.2011)




Tidak ada komentar: