Dalam sejarahnya, baru kali ini negara
memberikan penghormatan khusus untuk
mengatur desa dan desa adat. Selama ini, urusan desa selalu menjadi bagian dari
Undang Undang Pemerintah Daerah.
Gambaran umum dari isi UU
Desa yaitu mengatur tentang kedudukan dan jenis desa; penataan desa; kewenangan
desa; penyelenggaraan pemerintahan desa; hak dan kewajiban desa dan masyarakat
desa; peraturan desa; keuangan dan aset
desa; pembangunan desa dan pembangunan kawasan desa; Badan Usaha Milik Desa,
kerjasama desa; lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga desa adat serta
pembinaan dan pengawasan.
Secara garis besar, ada lima
hal mendasar yang diatur dalam UU Desa.
Yaitu jenis desa yang beragam; kewenangan berdasarkan prinsip rekognisi dan
subsidiaritas; demokratisasi desa; dan
perencanaan yang terintegrasi serta konsolidasi keuangan dan aset desa.
Dari kelima perubahan
tersebut, keuangan desa menjadi salah satu bahasan yang menarik diperbincangkan. Berdasarkan UU Nomor 6 tahun 2014 pasal
72 , pendapatan desa bersumber dari pertama,
Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain
pendapatan asli Desa; kedua, Alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara; “Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang
ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Besaran alokasi
anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top)
secara bertahap.
Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk,
angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa. Ketiga, Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota yaitu 10% dari Pajak dan Retribusi Daerah . Keempat,
Alokasi Dana Desa (DD) yang merupakan bagian dari
dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota;
10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi
Khusus(DAK). Kelima Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; keenam, Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan ketujuh Lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Berdasarkan amanat UU Desa
tersebut, setiap desa mempunyai pendapatan desa yang bersumber dari APBN atau kucuran
DD berkisar antara Rp 1,4 M/ tahun.
Namun saat ini
besaran DD yang diterima tidak sertamerta sebesar 10% , tetapi akan dipenuhi
secara bertahap. Untuk tahun 2015 sebesar
3,235% dari total transfer ke daerah atau sekitar Rp 20, 7 triliun. Tahun 2016 paling sedikit 6% atau sekitar Rp
46,9 triliun, dan tahun 2017 paling sedikit 10%, sehingga diharapkan mulai
tahun 2017 semua desa sudah menerima sebesar amanat UU Desa.
Melihat jumlah
DD yang akan diterima sekitar Rp 1,4 M terlihat besar karena selama ini desa
jarang mengelola dana sebesar itu. Tetapi sesungguhnya jika sudah di pergunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan serta pemberdayaan
masyarakat dan kemasyarakatan, jumlah
tersebut tidak terlalu besar.
Dana Desa Cair, Sosialisasi dan
Pendampingan Minim
Sejak UU Desa hadir, Desa
dilanda kegembiraan sekaligus kecemasan. Kegembiraan karena harapan besar
digantungkan pada UU Desa, di mana desa bisa leluasa mengatur jalannya pemerintahan dengan kewenangan yang dimiliki, mengelola
anggaran demi kesejahteraan warganya.
Rasa cemas di satu sisi, karena sepanjang tahun 2014-2015 belum ada sosialisasi
dari pemerintah yang cukup memadai.
Tahun 2015 DD
dikucurkan sebesar Rp 20,7 triliun sebagaimana yang ditetapkan dalam APBN-P TA
2015, sehingga diperkirakan masing-masing desa akan menerima Rp 254 juta. Pencairannya
dibagi dalam tiga tahapan yaitu pada bulan April sebesar 40%, Agustus sebesar 40% , dan
bulan Oktober dengan besaran 20%. Sampai bulan September 2015 DD masuk ke kas
pemerintah daerah sebesar sekitar 80% tetapi pencairan ke kas desa diperkirakan
masih berkisar 40%.
Lambannya
proses penyerapan ini menjadi masalah tersendiri, sehingga pada tanggal 15
September 2015, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi nomor 900/5356/SJ, nomor 959/KMK.07/2015, nomor 49
tahun 2015 tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Pengunaan Dana Desa
tahun 2015. Inti dari SKB tersebut pertama, Menteri Dalam Negeri memerintahkan
bupati/walikota untuk melakukan langkah-langkah percepatan penyaluran dan
pengelolaan DD tahun 2015. Kedua, Menteri Keuangan melakukan pemantauan
penyaluran DD dari Rekening Kas Umum
Daerah ke Rekening Kas Desa untuk setiap tahap penyaluran sesuai dengan
batas waktu dan besaran penyaluran. Ketiga, Menteri Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi memfasilitasi percepatan pengunaan DD tahun 2015
untuk berbagai kegiatan.
Pemerintah Desa
(Pemdes) bertambah cemas ketika DD sudah
cair di rekening desa masing-masing tetapi sosialisasi pengunaan DD belum juga
diterima. Meskipun sebagian desa sudah menerima
DD, tetapi rata-rata Pemdes tidak berani mencairkannya karena pemerintah
kabupaten/kota minim melakukan sosialisasi DD dan belum ada juklak juknis pengunaannya serta tidak adanya pendampingan
tehnis. Pemdes tidak berani karena
dikhawatirkan salah dalam mengalokasikan DD tersebut, sehingga relative hanya menunggu.
Tetapi di satu sisi mereka kebingungan karena adanya aturan sanksi pengunaan DD. Peraturan Menteri Keuangan nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara
Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa
mengatur sanksi terhadap desa dapat berupa penundaan penyaluran dan /atau
pemotongan penyaluran dana desa.
Sejumlah Desadi kabupaten Batanghari Jambi dan Ogan Komering
Ilir (OKI), Sumatera Selatan, sudah menerima DD tetapi kades tidak berani
mengunakanya karena tidak ada sosialisai pengunaannya dan pendampingan tehnis.
Mereka kebinggungan karena ada desakan dari masyarakat untuk segera mencairkan
DD untuk kebutuhan penyelenggaraan pembangunan Desa, tetapi tidak berani
mencairkan tanpa ada juklak juknis dan pendampingan dari kabupaten. Sampai saat
ini DD masih di rekening kas desa. Ada kekhawatiran tanpa adanya arahan yang
jelas dari kabupaten, ada kekeliruan dalam mengalokasikan DD. Sementara Pemdes
juga menghadapi ‘tekanan’ dari pemerintah daerah untuk segera menggunakan DD.
Desa
kedua wilayah tersebut hanyalah contoh
kecil, Desa lain baik di Jawa maupun luar Jawa rata-rata mempunyai pengalaman
yang sama.
Prioritas Pengunaan Dana Desa Berdasar Regulasi
Tantangan terbesar
Pemerintah Desa adalah mengelola anggaran yang salah satu sumbernya dari DD
untuk meningkatkan kesejahteraan warganya dengan akuntabel, professional,
transparan, partisipatif sesuai dengan regulasi.
Menunggu aturan tehnis
pengunaan DD dari provinsi/kabupaten/kota membutuhkan waktu karena sampai saat
ini banyak pemerintah daerah yang belum menyiapkan proses tersebut. Logikanya jika pemerintah daerah
serius memudahkan urusan DD, sejak UU Desa disahkan, sudah ada persiapan yang
dibutuhkan oleh Desa seperti pendampingan pengelolaan/penatausahaan keuangan
desa. Selain itu juga menyiapkan berbagai regulasi baik di
tingkat provinsi mauapun kabupaten/kota.
Paling tidak pada level
Provinsi dibutuhkan adanya Peraturan
Daerah tentang Pengaturan Desa Adat di
Propinsi yang bersangkutan (sesuai Pasal 109 UU No 6/2014). Kemudian di level
kabupaten/kota ada Peraturan Daerah tentang Penetapan Desa dan Desa Adat (jika
ada perubahan status dari desa yang ada saat ini, mandat UU Desa pasal-pasal
peralihan), Peraturan Daerah tentang
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Desa dan Kawasan (mandat UU Desa pasal
84 ayat 3.
Kemudian kebutuhan Peraturan
Bupati/Wali Kota tentang Kewenangan Desa (Permendes PDTT 1 Tahun 2015),
Peraturan Bupati/Walikota tentang Penetapan Besaran dan Tata Cara Penyaluran
DD, ADD, dan DBH (PP 22 Tahun 2015 jo Permendagri Nomor 113 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa), Peraturan Bupati/Walikota tentang Pengelolaan Keuangan
(jo Permendagri Nomor 113 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Keuangan Desa), Peraturan
Bupati/Walikota tentang Pengadaan Barang dan Jasa (jo Permendagri Nomor 113
Tahun 2013 tentang Pengelolaan Keuangan Desa).
Ketidaksiapan regulasi di
pemerintah daerah hendaknya tidak menjadi hambatan bagi Desa untuk mencairkan
DD sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah desa. Mengingat
berakhirnya tahun anggaran 2015 tinggal dua bulan lagi, untuk itu Desa bisa
menyegerakan pencairan DD.
Desa menggunakan acuan regulasi yang sudah
ada. SKB Tiga Menteri memperkuat
PP nomor 22 tahun 2015 tentang Perubahan
atas PP nomor 60 tahun 2014 tentang Dana
Desa yang bersumber dari APBN, dan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi nomor 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Pengunaan
Dana Desa tahun 2015. Dalam mengalokasikan DD, menggunakan prinsip sesuai
dengan Permen 5/2015 pasal 2, DD yang bersumber dari APBN digunakan untuk
mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala desa yang diatur dan di urus oleh Desa. DD diprioritaskan untuk
membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa (pasal 2). Pemerintah Desa hendaknya menggunakan DD dalam
prioritas belanja desa seperti yang disepakati dalam Musyawarah Desa (Pasal 3).
Proses Musyawarah Desa dengan melibatkan perwakilan masyarakat/kelompok untuk
menyusun perencanaan pembangunan desa (meliputi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa/RPJMDesa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa/RKPDesa) menjadi arena
demokrasi yang penting untuk menentukan arah pembangunan desa. RPJMDesa sebagai
satu-satunya dokumen perencanaan di Desa
harus dijadikan acuan dalam menggunakan DD. Prioritas tersebut untuk kegiatan-kegitan sebagai berikut
Pertama prioritas
untuk mendanai
pembangunan/rehabilitasi/pemeliharaan sarana prasarasan desa dan pengembangan
ekonomi lokal sesuai dengan prioritas desa yaitu meliputi a). pembangunan
sarana prasarana desa seperti jalan desa, jembatan sederhana, saluran air,
embung desa, irigasi tersier, talud, pengelolaan air bersih berskala desa. b).
Pemenuhan kebutuhan dasar seperti pengembangan posyandu, pengembangan pos
kesehatan desa dan polindes dan pengembangan kegiatan PAUD. c). Pengembangan
ekonomi lokal seperti pasar desa, kios desa, pelelangan ikan milik
desa,penyaluran peminjaman bergulir untuk usaha kepada kelompok masyarakat
melalui pembentukan dan pengembangan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Kedua,
pembangunan/rehabilitasi/pemeliharaan sarana prasarana dilakukan dengan cara
swakelola denga menggunakan sumber
daya/bahan baku lokal dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja
dari masyarakat desa setempat.
Melakukan
sosialisasi pengunaan DD kepada masyarakat. Media yang
digunakan beragam, baik dengan tertulis maupun lisan. Tertulis bisa ditempelkan
pada papan pengumuman balai desa atau tempat-tempat yang mudah diakses publik
seperti pos ronda, masjid, gereja, jembatan, dll. Sementara secara lisan bisa
diumumkan saat pengajian, pertemuan RT/RW/PKK/kelompok tani/kelompok lain, saat
selesai jumatan dll. Upaya ini akan meminimalisirkan keraguan dan kecemasan
Pemdes dalam mengalokasikan DD tidak sesuai dengan prioritas kebutuhan
masyarakat karena banyak dicermati masyarakat. Pemdes harus mendapatkan dukungan
penuh dari masyarakat Desa melalui pemantauan pelaksanaan pembangunan desa.
Partisipasi masyarakat penting agar DD
dipergunakan sesuai prioritas yang telah disepakati masyarakat dalam Musdes sehingga terhindar dari
penyelewengan.
Pemerintah Desa
melakukan peningkatan kapasitas desa dalam mengelola anggaran dari pemerintah
kabupaten/kota dan pusat. Peluang untuk mengelola anggaran desa yang
besar harus diikuti dengan peningkatan
sumber daya manusia, baik pemerintah desa maupun masyarakatnya. Dengan kemampuan anggaran desa yang memadai, desa bisa mengalokasikan dana bagi peningkatan kapasitas SDM baik untuk
perangkat desa maupun masyarakat desa. Kemampuan dalam mengelola keuangan desa
akan mempermudah cita-cita peningkatan kesejahteraan warganya.
Mendorong
Pemerintah Daerah untuk melengkapi regulasi yang dibutuhkan dan melakukan
pendampingan tehnis.
Dengan kelengkapan regulasi dan pendampingan diharapkan tidak ada lagi keraguan
Pemdes dalam mengelola DD. Sehingga DD bisa mengefektifkan program yang berbasis desa
secara merata dan berkeadilan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan.
*Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar