(UU Desa)
UU
No 6/2014 tentang Desa merupakan
pengakuan dan penghormatan Negara terhadap Desa karena Desa memiliki payung
pengaturan tersendiri yang terpisah dari pengaturan pemerintah pusat. Kedudukan
desa bukan lagi sebagai organisasi pemerintah yang berada dalam sistim
pemerintah kabupaten/kota (local state
government) tetapi sebagai
pemerintahan masyarakat, hybrid
antara self governing community dan local self government.
Kehadiran
UU Desa ini memperkuat desa setidaknya dilihat dari beberapa hal. Dari sisi politik, desa menjadi arena bagi warga untuk menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan. Dari sisi kewenangan, desa mempunyai kewenangan
asal usul, desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berskala lokal yang ditetapkan menurut peraturan perundanga-undangan yang
berlaku. Dari sisi pembangunan, desa merupakan subyek pemberi manfaat yang
mampu menjalankan emansipasi lokal dalam pelayanan public dan pengembangan aset
lokal. Dari sisi keuangan, Negara melakukan redistribusi anggaran desa yang
bersumber dari APBN dan APBD untuk membiayai kewenangan desa dengan jumlah
anggaran yang signifikan.
Penjelasan pasal 72
ayat (2)
UU Desa tentang besaran alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke
desa ditentukan 10% dari dan di luar dana transfer daerah (on top) secara bertahap. Sementara pasal 72 ayat (4) menerangkan bahwa desa juga mendapat sumber dana paling
sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Merujuk pada dana transfer daerah pada APBD tahun 2014 Rp 592 triliun, DAU dan DBH sebesar Rp 454,9 T, kemudian
jumlah desa ada 72. 944 desa, maka diperkirakan tahun 2014 rata-rata Pendapatan
Desa dari bagian dana perimbangan adalah
45,4 T/72.944 = Rp. 623.629.955.
Jika di tambah dengan rata-rata Pendapatan Desa dari APBN on top dari Dana
Transfer ke Daerah (59,25 T/72.944) = Rp.
812.404.036 . Maka diperkirakan setiap desa akan mempunyai pendapatan desa yang
bersumber dari APBN sekitar Rp.
1,4M. Jumlah Rp 1,4 M inilah yang selama ini disambut suka cita oleh
Desa. Dalam bayangan mereka, Desa akan mengelola anggaran dengan nilai yang
cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tetapi dari rapat kerja
Banggar DPRRI tentang APBN TA 2015 disepakati bahwa Dana Desa sebesar Rp 9,066
triliun atau hanya 1,4 % dari total dana transfer daerah, atau jika digunakan
untuk sekitar 72.944 desa, untuk TA 2015 satu desanya mendapatkan tak lebih
dari Rp 150 juta/desa.
Meskipun jumlah Dana Desa TA 2015 belum sesuai dengan amanat UU Desa,
tetapi Desa semestinya sudah mulai mempersiapkan diri untuk
mengimplementasikannnya. Dari pemerintah pusat, sebagai
implementasi pelaksanaan UU Desa, pemerintah menerbitkan PP nomor 43 tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan
PP nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kehadiran PP tersebut memang ditunggu agar UU Desa bisa dilaksanakan
sebagaimana yang telah diamanatkan. Sangat disayangkan, proses penyusunan kedua
PP tersebut hampir tidak ada
keterbukaan dan tanpa ada
pembahasan publik sebagaimana dengan UU
Desa yang lebih terbuka dan terpantau oleh masyarakat. Ada beberapa pihak yang belum merasa puas
dengan kedua PP tersebut, ada yang menilai PP tersebut belum mencerminkan
semangat reformasi sebagaimana amanat yang dituangkan dalam UU Desa.
Kekhawatiran ini sempat muncul saat UU Desa ditetapkan. Padahal PP yang diharapkan menjabarkan amanat
UU Desa dengan lebih jelas, detail dan implementatatif.
Ada
beberapa hal yang
mestinya kita cermati ulang
sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Desa.
Pertama,
tentang pengangkatan pejabat kepala desa. Pasal 55 menjelaskan bahwa dalam hal sisa masa jabatan kepala Desa
yang berhenti tidak lebih dari satu tahun karena diberhentikan sebagaimana dalam pasal 54, bupati/walikota mengangkat
Pegawai Negeri Sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai pejabat
kepala Desa sampai terpilihnya kepala Desa yang baru. Dalam PP dimungkinkan PJ kepala Desa diangkat dari kalangan PNS. Hal ini tidak
relevan, sebaiknya tokoh masyarakat atau salah seorang perangkat
desa bukan PNS boleh sebagai PJ kepala Desa. Dilain pihak, Pemkab kemungkinan keberatan jika harus
menempatkan PNS sebagai PJ kepala Desa karena keterbatasan sumberdaya manusia baik
dari sisi kualitas maupun kuantitas.
Kedua,
Musyawarah Desa sebagaimana dalam pasal 80 ayat (5), ketentuan lebih lanjut
mengenai tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan musyawarah Desa diatur
dengan Peraturan Menteri. Hal ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut, mestinya musyawarah
desa tidak perlu diatur sampai detail. Pengaturan musyawarah
desa sebaiknya hanya pada hal-hal tehnis saja, tidak sampai mengatur hal
subtansi karena musyawarah Desa merupakan representasi demokrasi lokal yang
harus dihormati dan diakui. Hampir semua desa mempunyai kearifan lokal yang
mampu mengatur desanya sendiri.
Ketiga, pembatalan Peraturan Desa dan Peraturan
Kepala Desa. Dalam pasal 87 disebutkan bahwa Peraturan Desa dan Peraturan Kepala
Desa yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan oleh bupati/walikota. Kedudukan peraturan Desa dengan peraturan di atasnya masih dapat
dikatakan lemah. Dari pengalaman yang ada, banyak Raperdes yang dibatalkan oleh Pemkab karena tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Dari sisi desa, Raperdes
yang tidak disetujui Pemkab setelah dikonsultasikan sangat menyulitkan
pelaksanaan karena penyusunan Raperdes memakan waktu dan pada dasarnya sudah
disetujui warga masyarakat melalui musyawarah Desa dengan Badan
Permusyawaratan Desa. Sebaiknya, kedepan pemerintah
daerah dapat menjembatani agar proses
penyusunan Perdes berjalan lancar, memastikan sinkronisasi Perdes dengan
peraturan di tingkat daerah dan nasional sehingga desa tidak dirugikan.
Keempat,
tentang pelaksanaan pembangunan desa. Dalam pasal 122 PP 43/2014 dijelaskan bahwa pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
menyelenggarakan program sektoral dan program daerah yang masuk ke desa. Pasal
ini tidak menganut asas subsidiaritas di mana urusan skala desa diselesaikan
oleh desa, tidak melibatkan pemerintahan supra desa.
Kelima,
tentang pemberdayaan masyarakat dan pendampingan masyarakat Desa. Pasal 126
ayat(2), pemberdayaan masyarakat Desa dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, Pemerintah Desa dan pihak
ketiga. Ayat ini bisa dimaknai sebagai intervensi pemerintah terhadap
kedaulatan desa. Sementara untuk tenaga pendamping (pasal 129) harus memiliki
sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, social,
budaya dan/atau teknik, perlu dipertimbangkan. Faktanya untuk orang-orang desa
sulit mempunyai sertifikasi. Kemungkinan
hanya fasilitator PNPM yang telah mempunyai sertifikasi, sehingga menutup
peluang orang-orang lokal desa.
Seharusnya tenaga pendamping perlu mengedepankan mobilisasi masyarakat
desa sendiri dan tenaga pendamping tidak dibatasi syarat administrasi tetapi
disesuaikan dengan kebutuhan desa dan tidak harus mempunyai sertifikasi. Kedepan, desa melalui Perdes bisa mengatur
apakah desa membutuhkan pendamping , desa menolak pendamping, juga jangka waktu
pendamping.
Keenam,
khusus dalam PP 60/2014, Bab V tentang penggunaan Dana Desa. Pasal 20 dan 21 kontradiktif
karena menteri yang menangani Desa menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa (pasal 21) sementara pasal 20 mengemukakan penggunaan
dana desa mengacu pada RPJM Desa dan RKP Desa. Dari pasal ini menunjukkan
pemerintah supra desa masih meng-intervensi desa, padahal desa sudah memiliki
kewenangan skala lokal yang dapat dikelolanya. Mestinya
program yang direncanakan dan tertuang dalam RPJM Desa sudah sesuai dengan
prioritas dan kebutuhan desa. Kedepan,
Desa perlu
melakukan penguatan
kapasitas desa dalam mengelola dana desa
secara mandiri agar pemerintah supra desa tidak meng-intervensi penggunaan dana
dan jenis program yang dilaksanakan di desa
Ketujuh,
tentang pelaporan Dana Desa, pasal 25 ayat (2), dijelaskan bahwa dalam hal
bupati/walikota tidak atau terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 24 ayat (3), Menteri dapat menunda penyaluran Dana Desa sampai
dengan disampaikannya laporan konsolidasi realisasi penyaluran dan penggunaan
Dana Desa tahun anggaran sebelumnya. Pasal ini mengandung konsekwensi Dana Desa
akan tertunda pencairannya jika bupati/walikota terlambat melaporkan.
Dikhawatirkan bila semua Desa sudah melaporkan sesuai waktu yang ditentukan
sementara kabupaten terlambat melaporkan, Desa yang terkena imbasnya. Untuk itu
perlu diusulkan mekanisme transparansi proses pelaporan Dana Desa ke pusat,
sehingga Desa bisa mendorong pemerintah kabupaten untuk melakukan pelaporan
sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Desa
yang maju, kuat, mandiri, demokratis dan sejahtera merupakan tujuan desa baru
yang diamanatkan oleh UU Desa sebagai perubahan desa yang berkelanjutan dimasa
yang akan datang. Dengan pemanfaatan sumber
penganggaran yang relative besar , peluang
desa semakin terbuka dalam menjalankan program pembangunan dan menjadi lebih berdaya dalam menjalankan
demokrasi desa, kewenangan desa, pengelolaan dan penatausahaan aset desa, pengembangan ekonomi local. Tantangan terberatnya
adalah mengelola anggaran untuk kesejahteraan warganya dengan
profesionan, akuntabel, dan sesuai dengan kerangka regulasi yang ada. Dengan dana yang besar dan pengelolaan
anggaran yang tepat akan membawa kesejahteraan bagi warganya.***
(tulisan ini dimuat Harian Solopos, 23 Okt 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar