Kamis, 26 Februari 2015

Tes Masuk SD Membuat Anak Histeris

Seperti tahun-tahun sebelumnya, meskipun tahun pelajaran baru belum dimulai, masih sekitar lima bulan lagi, tetapi sekolah swasta (SD Swasta) sudah membuka pendaftaran murid baru. Bahkan di beberapa SD swasta  favorit sudah tutup.

Bagi orangtua yang  menginginkan putra/putrinya memperoleh pendidikan di SD swasta, harus berburu sekolah sejak awal tahun kemarin. Informasi tentang pendaftaran bahkan harus di peroleh sejak akhir tahun. kalau lupa bukan tidak mungkin ‘perburuan’  SD swasta sudah ditutup dan tidak akan kebagian kursi lagi. Orangtua harus pintar mencari informasi, karena biasanya pendaftaran tidak akan secara terbuka, karena pendaftaran murid baru secara resmi (sesuai Dinas Pendidikan)  masih beberapa bulan lagi.

Tidak bisa dipungkiri, sudah sejak beberapa tahun yang lalu, pilihan sekolah swasta (apalagi yang favorit) menjadi idola bagi orangtua. Meskipun biaya selangit dan bahkan terkadang tidak masuk akal, tetapi orangtua  bela-belain untuk tetap menyekolahkan putra/putrinya. Alasan yang cukup masuk akal karena di sekolah swasta kualitas pendidikan lebih baik dibandingkan sekolah negri.  Selain itu pertimbangan tertentu menjadi alasannya, misalnya sekolah islam sejenis SDIT lebih menekankan pendidikan agama yang lengkap dan mendalam. Tentu berbeda jauh dari sekolah negri yang pendidikan agama hanya 1-2 jam dalam seminggu, sementara SDIT bisa lebih dari 8 jam itupun secara terperinci (bahasa arab, fikih, akidah&akhlak, sejarah islam,dll).

Saya kira sah-sah saja, setiap orangtua tentu menginginkan putra/putrinya mendapatkan pendidikan yang terbaik  sejak dini. Tetapi mungkin ada yang terlupakan orangtua yaitu proses tes masuknya membuat anak tertekan atau tidak. Saya cukup  prihatin, proses pendaftaran siswa baru melalui ujian/ tes yang meliputi calistung(membaca, menulis, berhitung).  Anak-anak yang rata-rata usinya 5-6 tahun di paksa mampu dan bisa  calistung. Tak heran jika sejak PAUD dan TK anak-anak biasanya  diajarkan oleh guru-gurunya  bisa calistung. Usia dini yang mestinya untuk bermain danbereksplorasi diri terpaksa diajak berpikir keras, celakanya karena proses belajar calistung tidak semua dengan metode permainanan.  Saat tes masuk SD, tidak semua guru (yang melakukan tes) mengunakan metode permainan. Mereka saya lihat cenderung memperlakukan anak seperti anak yang sudah besar, sudah paham tes/ujian. Sehingga anak diminta baca/menulis/berhitung selayaknya anak-anak yang sudah mampu memahami arti tes/ujian itu sendiri.

Beberapa hari yang lalu, saat saya mengantar anak tes untuk masuk SD, saya sangat prihatin saat melihat ada seorang anak usia  kurang dari 6 tahun yang sampai menangis histeris karena sudah melakukan tes ulang (tes pertama tidak lulus dan masuk cadangan)tetapi tetap saja tidak diterima. Nilai dari semua tes calistung menurut  panitia penerimaan siswa baru kurang memenuhi grade 200 point.  Si anak menangis karena tahu tidak diterima di SD yang cukup favorit di Kota Solo ini. Sementara itu ibunya marah-marah dan tidak terima karena anaknya tes sampai dua kali tetapi tetap tidak diterima. Menurut ibunya, si anak sebenarnya mampu dan bisa (saat ini masih TK dan mampu calistung dengan baik) tetapi saat tes SD tidak bisa mengeluarkan kemampuanya. Belum mengenal guru, belum paham perintah tes-nya dll kemungkinan menjadi alasan si anak tidak maximal  saat tes berlangsung. Anak  sepertinya juga tahu persis kalau tidak diterima di SD yang dia sukai sehingga sampai histeris bahkan mungkin cenderung stress ringan.

 Bagi orangtua,  hal-hal semacam itulah (kondisi psikologi) anak yang perlu dipertimbangkan orangtua saat akan memasukkan putra/putrinya ke SD favorit. Jangan sampai anak menjadi tertekan, shock bahkan depresi saat tahu arti kegagalan dan kekecewaan. Orangtua seyogyanya juga tidak terlalu berharap banyak dan melambungkan angan-angan putra/putrinya agar tidak menimbulkan kekecewaan yang mendalam.

Bagi sekolah, mestinya dipertimbangkan formulasi yang tepat dengan metode yang tepat dan sederhana saat proses tes/ujian dengan mempertimbangkan usia anak dan kondisi psikologisnya. Kalau saya secara pribadi tidak sepakat ada tes calistung untuk masuk SD, tetapi rasanya tidak mungkin, karena  hampir semua SD (terutama favorit) tetap mengunakan proses tes calistung untuk menerima siswa baru.***
 

Tidak ada komentar: