Sebenarnya jarak yang ditempuh tidak terlaly jauh, tak lebih dari setengah kilometer. Tapi terasa lebih lama karena jalanan menuju bukit menanjak.
Bukit itu terletak di sebelah
selatan Desa Pencil, biasa digunakan warga untuk berbagai keperluan seperti
untuk menjemur hasil panenan. Kalau musim panen padi, lereng bukit digunakan
untuk menjemur padi. Tapi sekarang ini, lereng bukit dipakai untuk menjemur
singkong yang akan diolah menjadi gaplek[1].
Di sekitar bukit ada sawah
kering milik warga, menjadi satu-satunya harapan untuk menanam padi dan tanaman
lainnya. Biasanya warga memanen tanamannya, kemudian sekalian menjemurnya di
bukit. Hal itu mempermudah dan mempersingkat pekerjaan warga, karena hasil
panenan sudah bersih saat dibawa pulang .
“Ayo cepat, Lek[2]. Sebentar
lagi hujan,” kata Yu Sipon, bergegas
naik ke bukit seperti Lastri.
“Iya. Ayo, Yu,” sahut Lastri sambil mempercepat langkahnya.
Bagi Lastri, waktu sangat
berarti. Dia harus berpacu dengan waktu untuk mendahului turunnya hujan. Kalau
sampai gapleknya kehujanan, Lastri
harus bersusah payah mencuci kembali dan menjemur dari awal. Semua proses itu
butuh waktu cukup lama. Lastri agak menyesal, kenapa tadi di rumah cukup lama.
Biasanya Lastri hanya pulang sebentar untuk sholat dan makan, setelah itu
kembali ke bukit untuk menjemur gaplek.
Tapi, hari ini perutnya mulas. Ia terpaksa harus bolak balik turun untuk buang
air besar.
Lastri melihat beberapa
tetangganya sudah mengumpulkan gaplek.
Dengan cepat, Yati mengambil sekop dan tak lama kemudian dia sudah sibuk
mengumpulkan gaplek. Hanya saja Yati dan tetangganya tidak
beruntung. Belum sempat menyelesaikan pekerjaan, hujan turun dengan deras. Beberapa perempuan saling membantu untuk memindahkan
gaplek yang sudah dimasukkan ke
karung, dan sebagian lagi tetap mengumpulkan gaplek. Hujan deras tak dihiraukan lagi. Gaplek harus segera diambil dan diselamatkan, kalau dibiarkan
terkena hujan tidak akan kering dan rasanya tidak enak. Gaplek seperti ini biasanya tidak laku dijual, sehingga terpaksa dimasak
dan diberikan kepada kambing atau sapi. Jika beruntung, sapi dan kambing mau
memakannya. Tapi lebih sering, ternak-ternak itu tidak mau menyentuhnya. Jadi
terpaksa twihul[3]
di buang dengan percuma.
Baju Lastri basah kuyup saat
semua gaplek sudah berhasil
dikumpulkan. Dengan tubuh lelah, Lastri duduk berdesakan dengan tetangganya di
gubuk yang selama ini digunakan sebagai gudang dan tempat beristirahat bagi
petani di Desa Pencil.
“Susah, kalau sering turun
hujan,” gerutu Mbah Darmi.
“Hujan kok selalu tiba-tiba.
Tadi saja panas sekali, sampai kepalaku mau pecah, saking panasnya. Eh, tanpa diduga,
tiba-tiba langit gelap. Hujan kok nggak bisa di perkirakan datangnya,” sambung Yu Sipon tanpa bisa menyembunyikan rasa
jengkelnya.
Lastri menyeka wajahnya yang
masih basah. Tetes-tetes air hujan turun dari rambutnya. Pandangan matanya lesu
melihat tumpukan gaplek yang basah.
Meskipun semua tetanggga mengalami nasib yang sama, tetapi Lastri tampak paling
nelangsa.
“Rasanya kita akan merugi terus
kalau seperti ini, Yu,” kata Ningsih.
Sesekali dia mengubah posisi duduknya untuk mengurangi rasa penat.
Yu Sipon mengangguk.
“Besok kalau tidak ada panas, ya
nasib buruk buat kita. Gapleknya
nggak bakalan kering lagi, Nduk4,”
kata Mbah Darmi.
“Yu, kita memang tidak bisa terus-terusan mengandalkan panas. Sudah
berkali-kali kita kerepotan karena gaplek
kehujanan,” tukas Lastri.
“Maksudmu apa, Lek? Kalau menjemur gaplek ya harus
mengandalkan panas, tho,” Yu Sipon menatap Lastri dengan pandangan
tak mengerti.
“Kalau seperti ini terus, kita
kan rugi, Yu,” gumam Lastri, lirih.
Yu Sipon menghela napas.
“Ya, gimana lagi, Nduk? Memang nasib kita,” Mbah Darmi ikut menimpali, tampak pasrah.
Lastri terdiam. Pikirannya
menerawang jauh seakan ingin menembus hujan yang tak juga reda. Penghasilan
sebagai petani kecil seperti dirinya memang tidak bisa diandalkan.
Sepetak sawah warisan orang tua, merupakan satu-satunya penopang hidup. Dari
sawah itulah, Lastri bisa menyekolahkan
Banyu, anak semata wayangnya. Karman, suaminya, bekerja di kota. Hanya
sebulan sekali pulang untuk memberikan nafkah yang jumlahnya tidak seberapa. Penghasilan bersih Karman sebagai penjual
sego kucing[4]
tidak sampai seratus ribu perbulan.
Desa Pencil terletak di kaki
bukit Sambeng, lumayan jauh dari kota. Sebagian besar penduduknya mengandalkan
hidup dari sawah tadah hujan yang hasilnya tidak menentu. Warga hidup dalam
kondisi kekurangan. Hampir semua kepala keluarga merantau ke kota untuk mencari
pekerjaan. Sawah di rumah terpaksa diolah oleh para istri sambil merawat
anak-anak mereka.
***
“Mbok[5].”
“Apa, Le[6]?”
Lastri menyelesaikan jahitan
terakhirnya. Baju lengan panjang yang biasa dipakai saat menjemur gaplek kemarin sobek.
“Banyu belum membayar uang buku.
Bu guru pesan untuk segera dibayar,” kata Banyu, lirih.
Lastri menghela napas. Ia
sebenarnya tidak sampai hati untuk mengecewakan anaknya. Tetapi Lastri tidak
mempunyai pilihan lain.
“Iya. Simbok ngerti, Le. Mudah-mudahan besok panas, biar gapleknya cepat kering, bisa dijual ke
pasar. “
Banyu mengangguk. Meskipun baru
kelas IV, tetapi dia tahu kesulitan orang tuanya. Ini bukan kejadian pertama ibunya
tidak bisa membayar buku dan iuran lainnya. Meskipun SPP gratis karena sudah
ada BOS, tetapi Banyu masih harus membayar uang buku dan iuran kegiatan
sekolah. Untung saja guru-guru di sekolahnya bisa memaklumi keadaan orang tuanya.
Mereka selalu memberikan kelonggaran. Tetapi sekarang sudah empat bulan, ibunya
belum mampu melunasi. Banyu binggung, sekaligus kasihan dengan ibunya. Gaplek sudah tidak bisa lagi dijadikan andalan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Lastri tercenung memikirkan hidupnya yang semakin sulit. Sebenarnya
hasil panen singkong sedang bagus dan
cukup melimpah jumlahnya. Tetapi seringkali Lastri tidak mampu mendapat sejumlah uang untuk mencukupi kebutuhannya.
Harga jual singkong amat rendah, sehingga Lastri dan petani lainnya biasa
membuat gaplek dari sebagian hasil
panen. Harga jual gaplek lebih
tinggi. Tetapi cuaca menjadi kendala tersendiri, karena beberapa tahun ini
keadaan cuaca tidak menentu. Mestinya masuk musim kemarau, tapi tetap saja ada
hujan. Demikian juga sebaliknya. Yang jelas, sulit untuk menebak cuaca lagi.
“Mbok…. Ehm….”
“Kenapa, Le?”
“Gimana kalau kita mencoba
membuat makanan lain selain membuat gaplek?”
usul Banyu.
Lastri memandang Banyu. “Maksudnya?”
“Ehm, simbok susah membuat gaplek karena panas dan hujan tidak bisa
dipastikan. Sementara kalau tidak segera di jemur gapleknya bakalan rusak
berjamur. Ehm…. Bagaimana kalau kita mencoba membuat makanan ringan dari
singkong?”
“Mau dibuat apa, Le?”
“Bisa dibuat
gethuk. Ehm…. Atau mungkin tape,” jawab Banyu cepat sambil menguyah kripik
singkong.
“Gethuk dan tape nggak bisa
bertahan lama, Le,” jawab Lastri.
“Mungkin simbok ada ide lain?”
tanya Banyu.
Lastri memutar otak, tapi
matanya tertuju ke tangan Banyu. Bocah laki-laki itu menggenggam bungkusan
berisi kripik singkong.
“Ng… kalau dibuat kripik, gimana,
Le?”
Banyu menghentikan kunyahannya.
“Betul!” seru Banyu kegirangan. “Kalau kripik kan bisa lebih awet, Mbok. Bisa disimpan sampai
berbulan-bulan dan nggak akan busuk, tambah Banyu, menyakinkan ibunya.
“Ehm…. Gimana, ya?”
“Nanti Banyu pasti bantu simbok kok. Banyu bisa bantu ngupas dan motong-motong
singkongnya. Kalau perlu, Banyu ikut mengorengnya.”
“Benar juga,” gumam Lastri
setelah berpikir beberapa saat. “Membuat kripik singkong bisa menyelamatkan
hasil panen kita. Syukur-syukur kalau harganya lebih bagus, kita pasti tidak
akan rugi besar seperti selama ini.”
“Jadi, simbok setuju?” tanya Banyu antusias.
Lastri tersenyum senang.
***
Tiga bulan berikutnya….
“Mbok, sepertinya kita kekurangan barang. Pesanan dari Solo masih
kurang sepuluh kilogram lagi. Belum yang dari Kudus. Padahal semua harus dikirim dua hari lagi.” Karman memperlihatkan daftar
pesanan yang harus mereka kirim.
“Iya, Pak. Mereka menambah stok
untuk lebaran. Nanti kita ambil saja dari Yu
Sipon, Pak. Kalau kurang, minta Ningsih. Jadi, kurangnya tiga puluh lima kilo.”
Lastri memeriksa daftar pesanan
dan menuliskan pesanan kripik singkong, sambil sesekali melihat ponsel.
Sekarang semua pesanan bisa lewat SMS dan telpon. Semua serba mudah dan cepat.
Setelah Lastri memeriksa barang
dagangan, ia menyusul suaminya ke dapur. Sebulan yang lalu, dapur rumahnya diperluas. Ada empat tungku besar yang digunakan
untuk membuat kripik singkong. Selain dibantu
oleh suaminya, Lastri juga mempunyai lima orang pekerja. Sekarang Lastri tidak
perlu ke sawah untuk menjemur singkong. Setelah panen, semua singkong dibawa pulang dan diolah menjadi kripik singkong.
“Syukurlah. Semua lancar, ya, Mbok. Rejeki kita juga semakin lancar,”
kata Karman, memandang istrinya dengan
bangga.
“Alhamdulillah, Pak. Banyu tidak kesulitan membeli buku dan membayar
iuran sekolah. Kita juga bisa berkumpul kembali,” sahut Lastri.
“Simbok memang luar biasa. Berkat usaha ini, kita dan tetangga tidak perlu susah memikirkan hasil panen yang
membusuk. Anak-anak bisa sekolah lagi.”
Lastri tersenyum lagi. Semua
usaha yang dirintis selama berbulan-bulan
sudah terlihat hasilnya. Bahkan Lastri sudah bisa mengambil kembali perhiasan
yang digadaikan untuk modal usaha. Karman dan para suami yang lainnya tidak
perlu jauh-jauh untuk bekerja. Di desa mereka lapangan pekerjaan sudah
tersedia. Tidak perlu lagi setiap hari merasa cemas karena memikirkan hasil
panen yang membusuk.
Semilir angin sore mengalir
lembut meniupkan kesejukan di Desa Pencil. Di pojok desa, tampak sebidang papan
putih berdiri gagah, menyiratkan perjuangan tak kenal lelah yang dilakukan oleh
sekelompok warga. Papan itu bertuliskan: KELOMPOK PEREMPUAN GUYUB RUKUN, SENTRA
KRIPIK SINGKONG DESA PENCIL.
[1]
Bahan makanan yang terbuat dari ketela pohon, proses pembuatan dari ketela
pohon yang dikupas, dibersihkan, dijemur, kemudian dibuat menjadi tepung. Dari
tepung ini diolah menjadi makanan pengganti nasi yang disebut thiwul.
[2]
Sebutan untuk paman/bibi
[3]
Gaplek yang sudah di masak
[4]
Nasi yang bungkus dengan lauk bandeng dan sambal. Biasa di sebut nasi hik
(Hidangan Istimewa Kampung)
[5]
Panggilan lain untuk Ibu, dari kata Simbok
[6]
Sebutan untuk anak laki-laki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar