Selasa, 23 Juni 2015

Geliat Dari Kaki Bukit

          Lastri mempercepat langkah kakinya. Sesekali kepalanya melihat ke langit. Memastikan. Semakin lama langit berwarna abu-abu gelap, pertanda hujan akan segera turun.
         Sebenarnya jarak yang ditempuh tidak terlaly jauh, tak lebih dari setengah kilometer. Tapi terasa lebih lama karena jalanan menuju bukit menanjak.



                Bukit itu terletak di sebelah selatan Desa Pencil, biasa digunakan warga untuk berbagai keperluan seperti untuk menjemur hasil panenan. Kalau musim panen padi, lereng bukit digunakan untuk menjemur padi. Tapi sekarang ini, lereng bukit dipakai untuk menjemur singkong yang akan diolah menjadi gaplek[1].
                Di sekitar bukit ada sawah kering milik warga, menjadi satu-satunya harapan untuk menanam padi dan tanaman lainnya. Biasanya warga memanen tanamannya, kemudian sekalian menjemurnya di bukit. Hal itu mempermudah dan mempersingkat pekerjaan warga, karena hasil panenan sudah bersih saat dibawa pulang .
                “Ayo cepat, Lek[2]. Sebentar lagi hujan,” kata Yu Sipon, bergegas naik ke bukit seperti Lastri.
                “Iya. Ayo, Yu,” sahut Lastri sambil mempercepat langkahnya.
                Bagi Lastri, waktu sangat berarti. Dia harus berpacu dengan waktu untuk mendahului turunnya hujan. Kalau sampai gapleknya kehujanan, Lastri harus bersusah payah mencuci kembali dan menjemur dari awal. Semua proses itu butuh waktu cukup lama. Lastri agak menyesal, kenapa tadi di rumah cukup lama. Biasanya Lastri hanya pulang sebentar untuk sholat dan makan, setelah itu kembali ke bukit untuk menjemur gaplek. Tapi, hari ini perutnya mulas. Ia terpaksa harus bolak balik turun untuk buang air besar.
                Lastri melihat beberapa tetangganya sudah mengumpulkan gaplek. Dengan cepat, Yati mengambil sekop dan tak lama kemudian dia sudah sibuk mengumpulkan gaplek.  Hanya saja Yati dan tetangganya tidak beruntung. Belum sempat menyelesaikan pekerjaan, hujan turun dengan deras.  Beberapa perempuan saling membantu untuk memindahkan gaplek yang sudah dimasukkan ke karung, dan sebagian lagi tetap mengumpulkan gaplek. Hujan deras tak dihiraukan lagi. Gaplek harus segera diambil dan diselamatkan, kalau dibiarkan terkena hujan tidak akan kering dan rasanya tidak enak. Gaplek seperti ini biasanya tidak laku dijual, sehingga terpaksa dimasak dan diberikan kepada kambing atau sapi. Jika beruntung, sapi dan kambing mau memakannya. Tapi lebih sering, ternak-ternak itu tidak mau menyentuhnya. Jadi terpaksa twihul[3] di buang dengan percuma.
                Baju Lastri basah kuyup saat semua gaplek sudah berhasil dikumpulkan. Dengan tubuh lelah, Lastri duduk berdesakan dengan tetangganya di gubuk yang selama ini digunakan sebagai gudang dan tempat beristirahat bagi petani di Desa Pencil.
                “Susah, kalau sering turun hujan,” gerutu Mbah Darmi.
                “Hujan kok selalu tiba-tiba. Tadi saja panas sekali, sampai kepalaku mau pecah, saking panasnya. Eh, tanpa diduga, tiba-tiba langit gelap. Hujan kok nggak bisa di perkirakan datangnya,” sambung Yu Sipon tanpa bisa menyembunyikan rasa jengkelnya.
                Lastri menyeka wajahnya yang masih basah. Tetes-tetes air hujan turun dari rambutnya. Pandangan matanya lesu melihat tumpukan gaplek yang basah. Meskipun semua tetanggga mengalami nasib yang sama, tetapi Lastri tampak paling nelangsa.
                “Rasanya kita akan merugi terus kalau seperti ini, Yu,” kata Ningsih. Sesekali dia mengubah posisi duduknya untuk mengurangi rasa penat.
                Yu Sipon mengangguk.
                “Besok kalau tidak ada panas, ya nasib buruk buat kita. Gapleknya nggak bakalan kering lagi, Nduk4,” kata Mbah Darmi.
                Yu, kita memang tidak bisa terus-terusan mengandalkan panas. Sudah berkali-kali kita kerepotan karena gaplek kehujanan,” tukas Lastri.
                “Maksudmu apa, Lek? Kalau menjemur gaplek ya harus mengandalkan panas, tho,” Yu Sipon menatap Lastri dengan pandangan tak mengerti.
                “Kalau seperti ini terus, kita kan rugi, Yu,” gumam Lastri, lirih.
Yu Sipon  menghela napas.
                “Ya, gimana lagi, Nduk? Memang nasib kita,”  Mbah Darmi ikut menimpali, tampak pasrah.
                Lastri terdiam. Pikirannya menerawang jauh seakan ingin menembus hujan yang tak juga reda. Penghasilan sebagai petani kecil seperti dirinya memang tidak bisa diandalkan. Sepetak sawah warisan orang tua, merupakan satu-satunya penopang hidup. Dari sawah itulah, Lastri bisa menyekolahkan  Banyu, anak semata wayangnya. Karman, suaminya, bekerja di kota. Hanya sebulan sekali pulang untuk memberikan nafkah yang jumlahnya tidak seberapa. Penghasilan  bersih Karman sebagai  penjual  sego kucing[4] tidak sampai seratus ribu perbulan.
                Desa Pencil terletak di kaki bukit Sambeng, lumayan jauh dari kota. Sebagian besar penduduknya mengandalkan hidup dari sawah tadah hujan yang hasilnya tidak menentu. Warga hidup dalam kondisi kekurangan. Hampir semua kepala keluarga merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Sawah di rumah terpaksa diolah oleh para istri sambil merawat anak-anak mereka.

***

                Mbok[5].
                “Apa, Le[6]?”
                Lastri menyelesaikan jahitan terakhirnya. Baju lengan panjang yang biasa dipakai saat menjemur gaplek kemarin sobek.
                “Banyu belum membayar uang buku. Bu guru pesan untuk segera dibayar,” kata Banyu, lirih.
                Lastri menghela napas. Ia sebenarnya tidak sampai hati untuk mengecewakan anaknya. Tetapi Lastri tidak mempunyai pilihan lain.
                “Iya. Simbok ngerti, Le.  Mudah-mudahan besok panas, biar gapleknya cepat kering, bisa dijual ke pasar. “
                Banyu mengangguk. Meskipun baru kelas IV, tetapi dia tahu kesulitan orang tuanya. Ini bukan kejadian pertama ibunya tidak bisa membayar buku dan iuran lainnya. Meskipun SPP gratis karena sudah ada BOS, tetapi Banyu masih harus membayar uang buku dan iuran kegiatan sekolah. Untung saja guru-guru di sekolahnya bisa memaklumi keadaan orang tuanya. Mereka selalu memberikan kelonggaran. Tetapi sekarang sudah empat bulan, ibunya belum mampu melunasi. Banyu binggung, sekaligus kasihan dengan ibunya. Gaplek sudah tidak bisa lagi dijadikan andalan untuk mencukupi kebutuhan hidup.           
Lastri tercenung memikirkan hidupnya yang semakin sulit. Sebenarnya hasil panen singkong  sedang bagus dan cukup melimpah jumlahnya. Tetapi seringkali Lastri tidak mampu mendapat  sejumlah uang untuk mencukupi kebutuhannya. Harga jual singkong amat rendah, sehingga Lastri dan petani lainnya biasa membuat gaplek dari sebagian hasil panen. Harga jual gaplek lebih tinggi. Tetapi cuaca menjadi kendala tersendiri, karena beberapa tahun ini keadaan cuaca tidak menentu. Mestinya masuk musim kemarau, tapi tetap saja ada hujan. Demikian juga sebaliknya. Yang jelas, sulit untuk menebak cuaca lagi.
                Mbok…. Ehm….”
                “Kenapa, Le?”
                “Gimana kalau kita mencoba membuat makanan lain selain membuat gaplek?” usul Banyu.
                Lastri memandang  Banyu. “Maksudnya?”
                Ehm, simbok susah membuat gaplek karena panas dan hujan tidak bisa dipastikan. Sementara kalau tidak segera di jemur gapleknya bakalan rusak berjamur. Ehm…. Bagaimana kalau kita mencoba membuat makanan ringan dari singkong?”
                “Mau dibuat apa, Le?”
                “Bisa dibuat gethuk. Ehm…. Atau mungkin tape,” jawab Banyu cepat sambil menguyah kripik singkong.
                “Gethuk dan tape nggak bisa bertahan lama, Le,” jawab Lastri.
                “Mungkin simbok ada ide lain?” tanya Banyu.
                Lastri memutar otak, tapi matanya tertuju ke tangan Banyu. Bocah laki-laki itu menggenggam bungkusan berisi kripik singkong.
                “Ng… kalau dibuat kripik, gimana, Le?”
                Banyu menghentikan kunyahannya.
“Betul!” seru Banyu kegirangan. “Kalau kripik kan bisa lebih awet, Mbok. Bisa disimpan sampai berbulan-bulan dan nggak akan busuk, tambah Banyu, menyakinkan ibunya.
                “Ehm…. Gimana, ya?”
                “Nanti Banyu pasti bantu simbok kok. Banyu bisa bantu ngupas dan motong-motong singkongnya. Kalau perlu, Banyu ikut mengorengnya.”
                “Benar juga,” gumam Lastri setelah berpikir beberapa saat. “Membuat kripik singkong bisa menyelamatkan hasil panen kita. Syukur-syukur kalau harganya lebih bagus, kita pasti tidak akan rugi besar seperti selama ini.”
                “Jadi, simbok setuju?” tanya Banyu antusias.
                Lastri tersenyum senang.



***

Tiga bulan berikutnya….

                Mbok, sepertinya kita kekurangan barang. Pesanan dari Solo masih kurang sepuluh kilogram lagi. Belum yang dari Kudus. Padahal semua harus dikirim dua hari lagi.” Karman memperlihatkan daftar pesanan yang harus mereka kirim.
                “Iya, Pak. Mereka menambah stok untuk lebaran. Nanti kita ambil saja dari Yu Sipon, Pak. Kalau kurang, minta Ningsih. Jadi, kurangnya tiga puluh lima kilo.”
                Lastri memeriksa daftar pesanan dan menuliskan pesanan kripik singkong, sambil sesekali melihat ponsel. Sekarang semua pesanan bisa lewat SMS dan telpon. Semua serba mudah dan cepat.
                Setelah Lastri memeriksa barang dagangan, ia menyusul suaminya ke dapur. Sebulan yang lalu, dapur rumahnya diperluas. Ada empat tungku besar yang digunakan untuk membuat kripik singkong. Selain dibantu oleh suaminya, Lastri juga mempunyai lima orang pekerja. Sekarang Lastri tidak perlu ke sawah untuk menjemur singkong. Setelah panen, semua singkong dibawa pulang dan diolah menjadi kripik singkong.
                “Syukurlah. Semua lancar, ya, Mbok. Rejeki kita juga semakin lancar,” kata Karman, memandang   istrinya dengan bangga.
                Alhamdulillah, Pak. Banyu tidak kesulitan membeli buku dan membayar iuran sekolah. Kita juga bisa berkumpul kembali,” sahut Lastri.
                Simbok memang luar biasa. Berkat usaha ini, kita dan tetangga  tidak perlu susah memikirkan hasil panen yang membusuk. Anak-anak bisa sekolah lagi.”
                Lastri tersenyum lagi. Semua usaha yang dirintis selama berbulan-bulan sudah terlihat hasilnya. Bahkan Lastri sudah bisa mengambil kembali perhiasan yang digadaikan untuk modal usaha. Karman dan para suami yang lainnya tidak perlu jauh-jauh untuk bekerja. Di desa mereka lapangan pekerjaan sudah tersedia. Tidak perlu lagi setiap hari merasa cemas karena memikirkan hasil panen yang membusuk.

                Semilir angin sore mengalir lembut meniupkan kesejukan di Desa Pencil. Di pojok desa, tampak sebidang papan putih berdiri gagah, menyiratkan perjuangan tak kenal lelah yang dilakukan oleh sekelompok warga. Papan itu bertuliskan: KELOMPOK PEREMPUAN GUYUB RUKUN, SENTRA KRIPIK SINGKONG  DESA PENCIL.



[1] Bahan makanan yang terbuat dari ketela pohon, proses pembuatan dari ketela pohon yang dikupas, dibersihkan, dijemur, kemudian dibuat menjadi tepung. Dari tepung ini diolah menjadi makanan pengganti nasi yang disebut thiwul.
[2] Sebutan untuk paman/bibi
[3] Gaplek yang sudah di masak
[4] Nasi yang bungkus dengan lauk bandeng dan sambal. Biasa di sebut nasi hik (Hidangan Istimewa Kampung)
[5] Panggilan lain untuk Ibu, dari kata Simbok
[6] Sebutan untuk anak laki-laki

Tidak ada komentar: