Ku pilih kursi dekat jendela, nomer tiga dari depan. Tas ransel kuletakkan di bawah kursi. Tas palstik yang kutenteng berisi makanan yang simbok bawakan kutarus di depanku, dijaring plastik yang terletak di belakang semua kursi.
Mataku menjelajah isi bis, waktu terasa berjalan amta lamban.
Teriakan
calo bis terus mengema tak putus asa mencari penumpang yang tertarik
dengan bisnya. Berulangkali meneriakaan tujuan bis dan bujukan dengan
dalih bis segera berangkat.
Aku memperbaiki duduk, mencoba menunggu bis berangkat dengan sabar.
Satu persatu penumpang mulai naik, mengisi kursi-kursi yang masih kosong menunggu diduduki.
"Mbak, kursi ini kosong?" seorang ibu berdandan cukup menyolok bertanya padaku.
"IYa, bu, silahkan," jawabku sambil tersenyum menyilakan.
"Jangan
panggil bu. Panggil saja Mbak atau Jeng," katanya sambil meletakkan
barang bawaan sebuah tas baju di bagasi yang terletak dibawah atap bis.
Aku
tersenyum memandang ibu itu dan menganggukkan kepala. Kutaksir usianya
sekitar empatpuluhan tahun. Dandanannya terlalu berani, terkesan menor.
Make-up tebal dengan warna menyolok, lisptik merah menyala. Rambutnya
diwarnai kemerahan dibairakan tergerai. Rok merahnya terlalu tinggi
diatas lutut memperlihatkan kulitnya yang putih. Blousenya merah muda ,
tipis dari bahan syfon tak mampu menyamarkan lekuk tubuhnya.
"Mau ke Jakarta?" tanyanya lagi sambil duduk, tanpa risi saat roknya terangkat.
"Iya," jawabku singkat.
"Saya Indah," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Sekar," Aku menerima uluran tangannya sambil menyebutan namaku.
"Kerja atau mau main saja?"
"Ke rumah saudara," jawabku lagi.
"Jakartanya mana?"
Aku terdiam, mengingat alamat orang yang harus ku panggil bapak dan menyebutkan sebuah alamat.
"Oohhhhhh. " ia tidak berkomentar, kemudian sibuk dengan ponselnya.
Aku bernafas lega, tidak banyak ditanya oleh orang yang baru kukenal. Hati-hati, jangan mudah percaya dengan orang yang baru kamu kenal. Pesan pakde tergiang di telinggaku. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar