Jumat, 19 Juni 2015

Laki-laki Tua dan Ambisinya

Kekuasaan kadang membuat seseorang lupa akan hal yang benar dan salah. 
Kekuasaan itu manis, ibarat gula, tetapi kalau tidak hati-hati bisa membuat penyakit.
Jabatan  ibarat   menunggang harimau, kalau tidak waspada bisa diterkam sendiri.



ilustrasi


          Seorang laki-laki tua nampak begitu santai menikmati hidup ini. Duduk ongkang-ongkang kaki di kursi goyang sambil membaca sebuah buku. 
         Walau umur yang sebenarnya sudah lebih dari setengah abad, namun dia terlihat masih seperti seorang 1aki-laki berumur limapuluhan tahun, karena hidupnya selalu bergelimang kemewahan. Sesekali tangannya membolak-balikkan lelnbaran-lembaran buku yang dia baca. Kadang terlihat dia tertawa kecil, kadang tersenyum-senyum. Begitu asyiknya dia membaca seakan hidup begitu nikmat tanpa beban apapun. Tetapi Wajah yang tersenyum-senyum itu, suatu saat terlihat pucat dan tenggang ketika membaca suatu halaman di buku yang di bacanya. 

" Seorang pemuda yang di gambarkan sebagai berandalan, penjilat, bermuka dua, memesan keris pada seorang mpu yang bernama Mpu Gandring. Pemesan itu bernama Ken Arok, membunuhnya sebelum keris itu usai dari pesanannya. Tentu saaja semua itu dia lakukan dengan sangat rahasia dan telah diperhitungkan masak-masak. Senjata itu secara rahasia pula telah dipinjamkan kepada Kebo Ijo. Oleh Kebo Ijo kemanapun dia pergi keris pinjamannya itu selalu dia bawa dan dipamerkan ke siapapun sebagai miliknya sendiri. Pada suatu kesempatan yang telah direncanakan, Ken Arok mencuri keris yang dibawa Kebo Ijo tersebut dan dengan keris itu dia membunuh penguasa Singasari. Setelah itu dengan daljh Kebo Ijo yang membunuh penguasa Siangasari-Tunggul Ametung. Ken Arok membunuh kebo Ijo yang dia tuduh telah membunuh penguasa Singasari dan akhirnya Ken Arok yang mengantikan Tunggul Ametung sebagai penguasa. Tapi dalam roda kekuasaannya, akhirnya Ken Arok terbunuh sendiri oleh keris itu ................. ”

          Laki-laki itu tubuhnya bergetar menahan amarah. Buku yang di bacanya tanpa segaja terjatuh. Wajahnya merah, gigi-giginya bergemelatukan, matanya melotot memancarkan kemurkaan, darahnya terasa mendidih. Cerita yang dia baca tadi seakan menampar mukanya. Dia benar-benar merasa di hina, diremehkan.
          Geer... benar-benar kurang ajar, bedebah ! Orang yang mengarang cerita ini benar-benar, sonto1oyo. Aku akan perintahkan orang-orangku untuk mencekal pengarang itu.
          Gerrr.. geram laki-laki itu murka.
          ”Pengawal, sini!” 1aki-laki tua itu berteriak keras memanggil pengawal. Susah payah dia bangkit dari kursi goyangnya, berjalan tertatih-tatih. Wajahnya terlihat gelisah. Tetapi sesékali raut mukanya memerah menahan murka. Di lain kejap terlihat pucat ketakutan.
          ”Pengawal ...... !" teriaknya lagi.
          Dia semakin bertambah marah, pengawal yang dia panggil tidak segera datang.
          Laki-laki tua itu mondar-mandir semakin gelisah. Mata tuanya berputar-putar marah, kenjngnya berkerut pertanda memikirkan sesuatu yang berat. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini orang-orangnya sudah tidak begitu patuh lagi dengan semua perintah-perintahnya.
          Tubuhnya semakin gemetar.
          Pada saat itu terdengar pintu di ketuk dari luar.
          ”Masuk” perintahnya dengan suara bergetar.
          Dari luar masuklah seorang lelaki berseragam dan bersenjata lengkap.
          Laki-laki tua itu menatap pengawalnya tajam.
          ”Pengawa1, kenapa dipanggil sejak tadi baru datang ?” suaranya meninggi.
          ”Kau...kau... sengaja mau meremehkan aku ya. Kau.... " suaranya me1emah.
          Laki-laki tua itu benar-benar tidak tahu, dia merasa sudah berteriak, sudah mengeluarkan semua kekuatan dan volume suaranya tetapi kenapa selirih itu suaranya keluar.
          Pengawal itu memandang laki-laki tua itu dengan sinaar mata aneh. Dilihatnya mata laki-laki tua itu merah menahan maxah, tapi wajahnya terlihat sangat pucat. Nafasnya terengah-enggah seakan baru saja membawa beban berat berton-ton beratnya. Laki-laki tua itu semakin gemetaran, tubuhnya melemah, pandangan matanya berkunang-kunang, jantungnya berdetak cepat sekali tak beraturan. Dan ketika kakinya sudah tidak kuat berdiri, dia terhuyung .... tetapi dia saat itu ada sepasang tangan kekar yang segera menopang tubuhnya dan memapalmya duduk di kursi.
          "Tuan, jangan terlalu menurutkan emosi. Tubuh tuan sudah tidak seperti sepuluh tahun yang 1alu", kata pengawalnya sambil mengambilkan beberapa butir pil dan segelas air putih.
          Laki-laki tua itu memejamkan matanya setelah menelan pil yang diberikan pengawalnya. Dia berusaha mengatur nafasnya yang tadi seakan mau berhenti berdetak. Berangsur-angsur wajahnya yang pucat terlihat merah, nafasnya telah normal kemba1i. Sete1ah dia rasa membaik, laki-laki tua itu membuka matanya.
          ”Pengawal, kau tahu untuk apa kau ku panggil kemari?" laki-laki tua itu bicara datar, tak ada keberanian menambah volume suaranya, takut jantungnya kambuh.
          Diambilnya buku yang tadi jatuh di bawah kursi goyangnya.
          “Kau tahu tentang isi cerita ini,” katanya sambil menunjukan buku yang dipengangnya.
          ”Isi buku ini benar-benar mengadu domba. Ini tindakan subversib, bisa menimbulkan kekacauan dan keresahan masyarakat. Sekarang juga perintahkan ke orang-orangku untuk melarang buku-buku ini beredar dan menyeret pengarang buku ini ke meja hijau. Kau dengar? Cepat laksankaan!" hardiknya keras tanpa menyadari penyakit jantungnya bisa kambuh lagi.
          ”Baik tuan,” pengawal itu segera menjnggalkan laki-laki tua yang sedang dilanda kemarahan itu.
**

          Sepeninggal pengawalnya, ruangan besar itu kembali   Wajah 1aki-laki tua itu perlahan-lahan berubah menjadi pucat ketakutan, tubuhnya menggingil seakan dilanda demam, pandang matanya gelisah seolah-olah mencemaskan akan adanya sesuatu yang mencelakakaannya.
          Dengan ketakutan Iaki-laki tua itu berjalan tertatih-tatih meninggalkan kursi goyangnya menuju kamar. Begitu sampai, segera ditutup pintu kamarnya dan segera dia kunci. Pandangaan matanya liar menyapu seisi kamar untuk memastikan tak ada sesuatu yang mencurigakan.
          Lalu perlahan-lahan dia naik ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Tetapi dia tidak bisa memejamkan matanya karena ketakutan akan sesuatu ancaman yang membahayakan keselamatannya.
          Mata tuanya yang penuh rasa khawatir, takut dan gelisah itu menerawang jauh.
          Tanpa bisa dia hindari rekaman peristiwa-peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu kembali hadir. Masa mudanya yang penuh dengan kerakusan, niat-niat liciknya, kegagalan dari beberapa rencananya Walaupun itu tidaklah berakibat buruk bagi kedudukaannya karena kelihaiannya memutar balikkan fakta, perbuatan sikut kanan sikut kirinya.
          Bibir laki-laki tua itu terlihat melebar membentuk senyuman mengingat masa lalunya yang penuh alnbisi dan prestasi.
          Sampai pada puncak ambisinya yang terbesar berhasil yaitu ketika ..... oh persis seperti cerita Ken Arok yang dia baca tadi.
          Mendadak laki-laki rua itu gelisaah. Pembantaian orang-orang tak berdosa korban ambisinya ..... tubuh laki-laki itu mengejang ketakutan.
          Dipejamkannya matanya berusaha mengusir bayangan-bayangan menakutkan yang hadir itu. Tetapi dia tidak mampu. Pembantaian-pembantaian ... laki-laki itu semakin gelisah. Bajunya basah oleh keringat dingin
          Ketika di pejamkan matanya, semaldn jelas pembantaian itu terbayang. Air mata, darah, lautan daarah... tubuh yang hanyut tanpa kepala...oh..tidak...tidak, jerit
laki-laki itu histeris.
          Dia segera bangkit dari tidurnya dengan nafas tak terkendali. Wajahnya pucat sekali. Ribuan tubuh hanyut tanpa kepala ...darah ...darah...
          “Oh tidak... tidak... jangan, Tuhan,” nafas laki-laki tua itu seakan sudah berhenti berdetak. Bayangan-bayangan buruk itu seolah selalu mengejarnya.
          Laki-laki tua itu berteriak histeris, tangannya tanpa sadar mencakar rambutnya. Dia seperti orang gila sudah tidak menyadari apa yang dia lakukan lagi, hingga ia jatuh pingsan di kejar ilusi yang dia ciptakan sendjri.
**
           
            Di ruangan besar dan mewah itu terlihat beberapa orang laki-laki setengah baya berpakaian parlente, dan seorang laki-laki tua. Rambutnya yang sudah memutih semua itu berkilap pertanda dioles minyak mahal, perutnya yang berlemak tebal ditutupi jas dan dasi rapi. Sebuah tongkat menopang tubuhnya yang gemuk tetapi telah ringkih karena usia yang mengerogoti jiwanya. Laki-1aki tua itu duduk berhadap-hadapan dengan beberapa laki-laki setengah baya yang pastilah bawahanya. Wajah-wajah mereka tegang seperti membicarakan sesuatu masalah yang sangat serius.
          ”Ka1ian mengerti. Bagaimanapun juga orang-orang yang berusaha mengancam 'rust en orde' dipemerintahanku harus dibereskan. Pengarang, seniman, mahasiswa, buruh dan semua rakyat yang ingin menggoyang kekuasanku...! ”Kata laki-laki tua itu tegas.
          ”Tapi tuan, sesungguhnya kita sudah tidak bisa berbuat seperti dulu lagi. Akan sangat membahayakan posisi tuan sendiri, kalau kita tetap memakai cara-dara
kekerasan.” Iawab seorang bawahannya.
          ”Iya, saya sependapat. Lagipula sebenarnya mereka tidak bersalah. Semua yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan undang-uandang. Ingat tuan, mereka dilindungi undang-uandang,” tambah yang lainnya.
          “Dan saya kira wajar jika rakyat menuntut perubahan.”
          ”Apa...?!" laki-laki tua itu berang sekali.
          Tak di sangkanya orang-orang kepercayaannya sekarang mendukung rakyat yang dianggapnya musuh. Dia mengebrak meja dengan kemarahan yang luar biasa.
          ”Bisa-bisanya kalian menentang perintahku. Mereka itu sudah melakukan tindakan subversi. Mereka menghina, mencoreng mukaku, mencekoki rakyat dengan cerita-cerita yang membahayakan kedudukanku. Apakah itu masih wajar heh ?!" dampratnya murka.
          Tapi anehnya, kali ini orang-orang bawahannya itu tidaak menampakkan ketakutaan dengan kemarahan tuannya. Justru terlihat acuh tak acuh dan dengan tenangnya menikmati kemarahan tuannya.

          ”Tuan, penolakan mereka terhadap sistem ini memang lumrah. Mereka sadar bahwa selama ini sistem yang ada menindas mereka. Kalau boleh saya berpendapat, sebaiknya ijinkaan rakyat untuk berpolitik tuan. Bagaimanapun juga itu adalah hak
mereka,”
          “Hei.. kaau benar-benar menentangku ya. Dengar kau ku pecat hari ini juga. Cepat keluar dari sini.” Teriak laki-laki itu kalap.
          ”Tidak bisa tuan, tuan sudah tidak berhak mengusir saya. Dengan alasan apapun tuan tidak akan bisa memecat saya.” Laki-laki yang di usir itu tersenyum melecehkan.
          Laki-lalki itu terlihat semakin murka.
          ”Kajian.. kalian semua juga mendukungnya?! Ingat kalian harus dengar ucapanku dan melaksanakan semua perintahku seperti yang kalian lakukan selama ini,” laki-laki tua itu meznandang orang-orangnya dengan panik.
          Beberapa laki-laki di depannya saling bertukar pandangmengangkat bahu dan tersenyum. Kembali mereka tidak memperdulikan laki-laki tua di depannya.
          Laki-laki tua itu wajahnya semakin pucat pasi, dia nampak begitu ketakutan dan tak berdaya. Orang nomer saatu ini merasa dicampakkan, diremehkan dan dihina oleh semua orang tak terkecuali oleh orang-orang kepercayaannya sendiri. Orang-orang yang tak pernah membantah semua keinginannya selama ini, tetapi sekarang telah berani menentangnya. Dia tak habis pikir dengan semua kejadian   Dadanya terasa nyeri, kepalanya berdenyut-denyut.
          ”Saudara-saudara, tolong dengarkan. Aku akan berikan apa saja yang kalian inginkan, jika kalian mau mendukung dan mentaati perintahku. Bagaimana, kalian tentunya setuju bukan?" harap laki-laki tua itu memelas.
          Tetapi orang-orang di depannya tak pedulikan semua yang dikatakan laki-laki tua itu.
          ”Saudara-saudara, ingatlah kalian harus mau membantuku. Ingat, dulu kalian yang mengangkat aku. Akulah yang telah menjadikan kalian seperti ini. Ayolah.” Tak putus asa laki-laki tua itu berusaha membujuk orang-orangnya.

          ”Ma'af, tidak bisa tuan.” Tanpa dikomando orang-orang bawahannya itu menjawab tegas. Dan kembali mereka tak pedulikan laki-1aki tua di depannya, kini malah terlihat mereka satu persatu mulai meninggalkan ruangan besar itu.
          ”Ayolah, tolonglah aku," ratap Iaki-laki tua itu. Dengan ditopang tongkat dia berjalan tertatih-tatih berusaha menghalangi orang-orang bawahannya untuk tidak keluar. Tetapi lagi-lagi mereka tak mengubris dan terus keluar dengan meninggalkan senyum mengejek.
***

          Laki-laki tua itu mulai putus asa. Dia dudukkan pantat tuanya di kursi. Tanpa dia sadari air matanya mengaljr di kedua pipinya yang keriput. Dia semakin terlihat tua dengan penderitaannya. Sekarang dia merasa telah kehilangan segalanya. Dia telah sendiri. Tak ada lagi orang-orang yang dulu selalu menyanjungnya, selalu menghormatinya, orang-orang yang dulu bagaikan robot-robot yang siap menjalankan perintahnya. Dia merasa sendiri, kesepian dan terpuruk. Kepalanya semakin terasa mau pecah memikirkan kejadian akhir-akhir. 
           Luka sejarah bangsanya yang sekian lama tersimpan rapat-rapat mulai terkuak. Laki-laki tua itu semakin merasa ketakutan, seakan sisa hidupnya semakin dekat. Keangkuhan, kesombongan, kekejamannya, kekuasaannya, kekayaannya akan segera terenggut dari tangannya. Dia sudah tidak akan bisaa bernuat apa-apa lagi.
          Oh.. laki-laki tua itu takut.. takut sekali. Dia takut akan semua kejahatan kemanusiaannya, kejahatan po1itiknya, kerakusannya.
          Dan di saat-saat seperti itulah, laki-laki tua itu baru teringat akan Tuhannya. Dia meratap,menangis memohon ampunan. Dia berjanji kepada Tuhannya, kalau masih diberi kesempatan, dia akan memperbaiki semua kesalahannya, dia benar- benar bertaubat.
          Cerita Ken Arok itu akan menimpanya juga..?!
          Laki-laki tua itu histeris saat dia rasakan dtlnianya menjadi gelap gulita, terasa ada tangan-tangan djngin berkuku panjang-panjang mencengkeram tubuhnya. Malaikat maut menyeringai siap merengut rohnya untuk dilempar ke neraka. Lakai-1aki tua itu meratap betaubat dan ............

          Laki-laki tua itu tersentak bangun. Diusap-usap matanya, dicubit lengannya.. dan dia tersenyum ketika tahu dia hanya bermimpi. Senyumnya semakin lebar ketika dia menyadari bahwa di dekatnya telah duduk Salah seorang selirnya yang cantik jelita, masih muda dan sangat mengairahkan, tersenyum mempesona.
          Lupa dia akan janji dan taaubatnya kepada Tuhannya. Lupa dia akan kematian yang sangat mengerikan yang hampir saja menjemputnya tadi,1upa dia akan dosa-dosanya, lupa dia akan segalanya.
          Karena yang dia tahu, dia tak akan mampu menolak semua keinginan dan ambisi istri dan selir-selirnya yang cantik itu. Dan itu berarti bahwa dia harus siap berbuat apa saja demi sang istri tercintanya.
          Laki-laki tua im tersenyum semakin lebar ....... !

          (Truntum, Jum’at , 24 Februari 1995)



Tidak ada komentar: