Kekuasaan itu manis, ibarat gula, tetapi kalau tidak hati-hati bisa membuat penyakit.
Jabatan ibarat menunggang harimau, kalau tidak waspada bisa diterkam sendiri.
ilustrasi |
Seorang laki-laki tua nampak begitu
santai menikmati hidup ini. Duduk ongkang-ongkang kaki di kursi goyang sambil
membaca sebuah buku.
Walau umur yang sebenarnya
sudah lebih dari setengah abad, namun dia terlihat masih seperti seorang 1aki-laki
berumur limapuluhan tahun, karena hidupnya selalu bergelimang kemewahan.
Sesekali tangannya membolak-balikkan lelnbaran-lembaran buku yang dia baca.
Kadang terlihat dia tertawa kecil, kadang tersenyum-senyum. Begitu asyiknya dia
membaca seakan hidup begitu nikmat tanpa beban apapun. Tetapi Wajah yang tersenyum-senyum
itu, suatu saat terlihat pucat dan tenggang ketika membaca suatu halaman di
buku yang di bacanya.
"
Seorang pemuda yang di gambarkan sebagai berandalan, penjilat, bermuka dua,
memesan keris pada seorang mpu yang bernama Mpu Gandring. Pemesan itu bernama
Ken Arok, membunuhnya sebelum keris itu usai dari pesanannya. Tentu saaja semua
itu dia lakukan dengan sangat rahasia dan telah diperhitungkan masak-masak.
Senjata itu secara rahasia pula telah dipinjamkan kepada Kebo Ijo. Oleh Kebo
Ijo kemanapun dia pergi keris pinjamannya itu selalu dia bawa dan dipamerkan ke
siapapun sebagai miliknya sendiri. Pada suatu kesempatan yang telah
direncanakan, Ken Arok mencuri keris yang dibawa Kebo Ijo tersebut dan dengan
keris itu dia membunuh penguasa Singasari. Setelah itu dengan daljh Kebo Ijo
yang membunuh penguasa Siangasari-Tunggul Ametung. Ken Arok membunuh kebo Ijo
yang dia tuduh telah membunuh penguasa Singasari dan akhirnya Ken Arok yang mengantikan
Tunggul Ametung sebagai penguasa. Tapi dalam roda kekuasaannya, akhirnya Ken
Arok terbunuh sendiri oleh keris itu ................. ”
Laki-laki itu tubuhnya bergetar
menahan amarah. Buku yang di bacanya tanpa segaja terjatuh. Wajahnya merah,
gigi-giginya bergemelatukan, matanya melotot memancarkan kemurkaan, darahnya
terasa mendidih. Cerita yang dia baca tadi seakan menampar mukanya. Dia
benar-benar merasa di hina, diremehkan.
Geer... benar-benar kurang ajar,
bedebah ! Orang yang mengarang cerita ini benar-benar, sonto1oyo. Aku akan
perintahkan orang-orangku untuk mencekal pengarang itu.
Gerrr.. geram laki-laki itu murka.
”Pengawal, sini!” 1aki-laki tua itu
berteriak keras memanggil pengawal. Susah payah dia bangkit dari kursi
goyangnya, berjalan tertatih-tatih. Wajahnya terlihat gelisah. Tetapi sesékali
raut mukanya memerah menahan murka. Di lain kejap terlihat pucat ketakutan.
”Pengawal ...... !" teriaknya
lagi.
Dia semakin bertambah marah, pengawal
yang dia panggil tidak segera datang.
Laki-laki tua itu mondar-mandir
semakin gelisah. Mata tuanya berputar-putar marah, kenjngnya berkerut pertanda
memikirkan sesuatu yang berat. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa
akhir-akhir ini orang-orangnya sudah tidak begitu patuh lagi dengan semua
perintah-perintahnya.
Tubuhnya semakin gemetar.
Pada saat itu terdengar pintu di ketuk
dari luar.
”Masuk” perintahnya dengan suara
bergetar.
Dari luar masuklah seorang lelaki berseragam
dan bersenjata lengkap.
Laki-laki tua itu menatap pengawalnya
tajam.
”Pengawa1, kenapa dipanggil sejak tadi
baru datang ?” suaranya meninggi.
”Kau...kau... sengaja mau meremehkan
aku ya. Kau.... " suaranya me1emah.
Laki-laki tua itu benar-benar tidak
tahu, dia merasa sudah berteriak, sudah mengeluarkan semua kekuatan dan volume
suaranya tetapi kenapa selirih itu suaranya keluar.
Pengawal itu memandang laki-laki tua
itu dengan sinaar mata aneh. Dilihatnya mata laki-laki tua itu merah menahan maxah,
tapi wajahnya terlihat sangat pucat. Nafasnya terengah-enggah seakan baru saja
membawa beban berat berton-ton beratnya. Laki-laki tua itu semakin gemetaran,
tubuhnya melemah, pandangan matanya berkunang-kunang, jantungnya berdetak cepat
sekali tak beraturan. Dan ketika kakinya sudah tidak kuat berdiri, dia
terhuyung .... tetapi dia saat itu ada sepasang tangan kekar yang segera
menopang tubuhnya dan memapalmya duduk di kursi.
"Tuan, jangan terlalu menurutkan
emosi. Tubuh tuan sudah tidak seperti sepuluh tahun yang 1alu", kata
pengawalnya sambil mengambilkan beberapa butir pil dan segelas air putih.
Laki-laki tua itu memejamkan matanya
setelah menelan pil yang diberikan pengawalnya. Dia berusaha mengatur nafasnya
yang tadi seakan mau berhenti berdetak. Berangsur-angsur wajahnya yang pucat
terlihat merah, nafasnya telah normal kemba1i. Sete1ah dia rasa membaik,
laki-laki tua itu membuka matanya.
”Pengawal, kau tahu untuk apa kau ku
panggil kemari?" laki-laki tua itu bicara datar, tak ada keberanian menambah
volume suaranya, takut jantungnya kambuh.
Diambilnya buku yang tadi jatuh di
bawah kursi goyangnya.
“Kau tahu tentang isi cerita ini,”
katanya sambil menunjukan buku yang dipengangnya.
”Isi buku ini benar-benar mengadu
domba. Ini tindakan subversib, bisa menimbulkan kekacauan dan keresahan
masyarakat. Sekarang juga perintahkan ke orang-orangku untuk melarang buku-buku
ini beredar dan menyeret pengarang buku ini ke meja hijau. Kau dengar? Cepat laksankaan!"
hardiknya keras tanpa menyadari penyakit jantungnya bisa kambuh lagi.
”Baik tuan,” pengawal itu segera
menjnggalkan laki-laki tua yang sedang dilanda kemarahan itu.
**
Sepeninggal pengawalnya, ruangan besar
itu kembali Wajah 1aki-laki tua itu
perlahan-lahan berubah menjadi pucat ketakutan, tubuhnya menggingil seakan
dilanda demam, pandang matanya gelisah seolah-olah mencemaskan akan adanya
sesuatu yang mencelakakaannya.
Dengan ketakutan Iaki-laki tua itu
berjalan tertatih-tatih meninggalkan kursi goyangnya menuju kamar. Begitu
sampai, segera ditutup pintu kamarnya dan segera dia kunci. Pandangaan matanya
liar menyapu seisi kamar untuk memastikan tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Lalu perlahan-lahan dia naik ke tempat
tidur dan membaringkan tubuhnya. Tetapi dia tidak bisa memejamkan matanya
karena ketakutan akan sesuatu ancaman yang membahayakan keselamatannya.
Mata tuanya yang penuh rasa khawatir,
takut dan gelisah itu menerawang jauh.
Tanpa bisa dia hindari rekaman
peristiwa-peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu kembali hadir. Masa mudanya
yang penuh dengan kerakusan, niat-niat liciknya, kegagalan dari beberapa
rencananya Walaupun itu tidaklah berakibat buruk bagi kedudukaannya karena
kelihaiannya memutar balikkan fakta, perbuatan sikut kanan sikut kirinya.
Bibir laki-laki tua itu terlihat
melebar membentuk senyuman mengingat masa lalunya yang penuh alnbisi dan
prestasi.
Sampai pada puncak ambisinya yang
terbesar berhasil yaitu ketika ..... oh persis seperti cerita Ken Arok yang dia
baca tadi.
Mendadak laki-laki rua itu gelisaah.
Pembantaian orang-orang tak berdosa korban ambisinya ..... tubuh laki-laki itu
mengejang ketakutan.
Dipejamkannya matanya berusaha
mengusir bayangan-bayangan menakutkan yang hadir itu. Tetapi dia tidak mampu. Pembantaian-pembantaian
... laki-laki itu semakin gelisah. Bajunya basah oleh keringat dingin
Ketika di pejamkan matanya, semaldn
jelas pembantaian itu terbayang. Air mata, darah, lautan daarah... tubuh yang
hanyut tanpa kepala...oh..tidak...tidak, jerit
laki-laki itu
histeris.
Dia segera bangkit dari tidurnya
dengan nafas tak terkendali. Wajahnya pucat sekali. Ribuan tubuh hanyut tanpa
kepala ...darah ...darah...
“Oh tidak... tidak... jangan, Tuhan,”
nafas laki-laki tua itu seakan sudah berhenti berdetak. Bayangan-bayangan buruk
itu seolah selalu mengejarnya.
Laki-laki tua itu berteriak histeris,
tangannya tanpa sadar mencakar rambutnya. Dia seperti orang gila sudah tidak
menyadari apa yang dia lakukan lagi, hingga ia jatuh pingsan di kejar ilusi
yang dia ciptakan sendjri.
**
Di ruangan besar dan mewah itu
terlihat beberapa orang laki-laki setengah baya berpakaian parlente, dan
seorang laki-laki tua. Rambutnya yang sudah memutih semua itu berkilap pertanda
dioles minyak mahal, perutnya yang berlemak tebal ditutupi jas dan dasi rapi.
Sebuah tongkat menopang tubuhnya yang gemuk tetapi telah ringkih karena usia
yang mengerogoti jiwanya. Laki-1aki tua itu duduk berhadap-hadapan dengan
beberapa laki-laki setengah baya yang pastilah bawahanya. Wajah-wajah mereka
tegang seperti membicarakan sesuatu masalah yang sangat serius.
”Ka1ian
mengerti. Bagaimanapun juga orang-orang yang berusaha mengancam 'rust en orde' dipemerintahanku harus
dibereskan. Pengarang, seniman, mahasiswa, buruh dan semua rakyat yang ingin
menggoyang kekuasanku...! ”Kata laki-laki tua itu tegas.
”Tapi tuan, sesungguhnya kita sudah
tidak bisa berbuat seperti dulu lagi. Akan sangat membahayakan posisi tuan
sendiri, kalau kita tetap memakai cara-dara
kekerasan.” Iawab
seorang bawahannya.
”Iya, saya sependapat. Lagipula sebenarnya
mereka tidak bersalah. Semua yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan
undang-uandang. Ingat tuan, mereka dilindungi undang-uandang,” tambah yang
lainnya.
“Dan saya kira wajar jika rakyat
menuntut perubahan.”
”Apa...?!" laki-laki tua itu berang
sekali.
Tak di sangkanya orang-orang
kepercayaannya sekarang mendukung rakyat yang dianggapnya musuh. Dia mengebrak
meja dengan kemarahan yang luar biasa.
”Bisa-bisanya kalian menentang
perintahku. Mereka itu sudah melakukan tindakan subversi. Mereka menghina, mencoreng
mukaku, mencekoki rakyat dengan cerita-cerita yang membahayakan kedudukanku.
Apakah itu masih wajar heh ?!" dampratnya murka.
Tapi anehnya, kali ini orang-orang
bawahannya itu tidaak menampakkan ketakutaan dengan kemarahan tuannya. Justru
terlihat acuh tak acuh dan dengan tenangnya menikmati kemarahan tuannya.
”Tuan, penolakan mereka terhadap
sistem ini memang lumrah. Mereka sadar bahwa
selama ini sistem yang ada menindas mereka. Kalau boleh saya berpendapat,
sebaiknya ijinkaan rakyat untuk berpolitik tuan. Bagaimanapun juga itu adalah
hak
mereka,”
“Hei.. kaau benar-benar menentangku
ya. Dengar kau ku pecat hari ini juga. Cepat keluar dari sini.” Teriak
laki-laki itu kalap.
”Tidak bisa tuan, tuan sudah tidak
berhak mengusir saya. Dengan alasan apapun tuan tidak akan bisa memecat saya.”
Laki-laki yang di usir itu tersenyum melecehkan.
Laki-lalki itu terlihat semakin murka.
”Kajian.. kalian semua juga
mendukungnya?! Ingat kalian harus dengar ucapanku dan melaksanakan semua
perintahku seperti yang kalian lakukan selama ini,” laki-laki tua itu
meznandang orang-orangnya dengan panik.
Beberapa laki-laki di depannya saling
bertukar pandangmengangkat bahu dan tersenyum. Kembali mereka tidak
memperdulikan laki-laki tua di depannya.
Laki-laki tua itu wajahnya semakin
pucat pasi, dia nampak begitu ketakutan dan tak berdaya. Orang nomer saatu ini
merasa dicampakkan, diremehkan dan dihina oleh semua orang tak terkecuali oleh
orang-orang kepercayaannya sendiri. Orang-orang yang tak pernah membantah semua
keinginannya selama ini, tetapi sekarang telah berani menentangnya. Dia tak
habis pikir dengan semua kejadian
Dadanya terasa nyeri, kepalanya berdenyut-denyut.
”Saudara-saudara, tolong dengarkan.
Aku akan berikan apa saja yang kalian inginkan, jika kalian mau mendukung dan
mentaati perintahku. Bagaimana, kalian tentunya setuju bukan?" harap
laki-laki tua itu memelas.
Tetapi orang-orang di depannya tak
pedulikan semua yang dikatakan laki-laki tua itu.
”Saudara-saudara, ingatlah kalian
harus mau membantuku. Ingat, dulu kalian yang mengangkat aku. Akulah yang telah
menjadikan kalian seperti ini. Ayolah.” Tak putus asa laki-laki tua itu
berusaha membujuk orang-orangnya.
”Ma'af, tidak bisa tuan.” Tanpa
dikomando orang-orang bawahannya itu menjawab tegas. Dan kembali mereka tak
pedulikan laki-1aki tua di depannya, kini malah terlihat mereka satu persatu
mulai meninggalkan ruangan besar itu.
”Ayolah, tolonglah aku," ratap
Iaki-laki tua itu. Dengan ditopang tongkat dia berjalan tertatih-tatih berusaha
menghalangi orang-orang bawahannya untuk tidak keluar. Tetapi lagi-lagi mereka tak mengubris dan terus keluar dengan
meninggalkan senyum mengejek.
***
Laki-laki tua itu mulai putus asa. Dia
dudukkan pantat tuanya di kursi. Tanpa dia sadari air matanya mengaljr di kedua
pipinya yang keriput. Dia semakin terlihat tua dengan penderitaannya. Sekarang
dia merasa telah kehilangan segalanya. Dia telah sendiri. Tak ada lagi
orang-orang yang dulu selalu menyanjungnya, selalu menghormatinya, orang-orang yang dulu bagaikan robot-robot yang siap
menjalankan perintahnya. Dia merasa sendiri, kesepian dan terpuruk.
Kepalanya semakin terasa mau pecah memikirkan kejadian akhir-akhir.
Luka
sejarah bangsanya yang sekian lama tersimpan rapat-rapat mulai terkuak.
Laki-laki tua itu semakin merasa ketakutan, seakan sisa hidupnya semakin dekat.
Keangkuhan, kesombongan, kekejamannya, kekuasaannya, kekayaannya akan segera
terenggut dari tangannya. Dia sudah tidak akan bisaa bernuat apa-apa lagi.
Oh.. laki-laki tua itu takut.. takut
sekali. Dia takut akan semua kejahatan kemanusiaannya, kejahatan po1itiknya,
kerakusannya.
Dan di saat-saat seperti itulah,
laki-laki tua itu baru teringat akan Tuhannya. Dia meratap,menangis memohon
ampunan. Dia berjanji kepada Tuhannya, kalau masih diberi kesempatan, dia akan
memperbaiki semua kesalahannya, dia benar- benar bertaubat.
Cerita Ken Arok itu akan menimpanya
juga..?!
Laki-laki tua itu histeris saat dia
rasakan dtlnianya menjadi gelap gulita, terasa ada tangan-tangan djngin berkuku
panjang-panjang mencengkeram tubuhnya. Malaikat maut menyeringai siap merengut
rohnya untuk dilempar ke neraka. Lakai-1aki tua itu meratap betaubat dan
............
Laki-laki tua itu tersentak bangun.
Diusap-usap matanya, dicubit lengannya.. dan dia tersenyum ketika tahu dia
hanya bermimpi. Senyumnya semakin lebar ketika dia menyadari bahwa di dekatnya
telah duduk Salah seorang selirnya yang cantik jelita, masih muda dan sangat
mengairahkan, tersenyum mempesona.
Lupa dia akan janji dan taaubatnya
kepada Tuhannya. Lupa dia akan kematian yang sangat mengerikan yang hampir saja
menjemputnya tadi,1upa dia akan dosa-dosanya, lupa dia akan segalanya.
Karena yang dia tahu, dia tak akan
mampu menolak semua keinginan dan ambisi istri dan selir-selirnya yang cantik itu.
Dan itu berarti bahwa dia harus siap berbuat apa saja demi sang istri
tercintanya.
Laki-laki tua im tersenyum semakin
lebar ....... !
(Truntum, Jum’at , 24 Februari 1995)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar