Sabtu, 17 Maret 2012

Memahami Pelaku Sektor Informal Perkotaan : Penataan Pedagang Kaki Lima Tanpa Kekerasan


MEMAHAMI  PELAKU SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN   
:PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA TANPA KEKERASAN

Suci  Handayani*


Abstract
Profesi alternatif sebagai Pedagang Kaki Lima(PKL)  telah mampu menjawab persoalan ekonomi informal perkotaan sejak krisis tahun 1997 dibuktikan juga dengan perkembangan jumlah  PKL yang semakin sulit terkontrol dari tahun ke tahun. Kompleksitas masalah yang ditimbulkan dari perkembangan PKL ini mulai terpecahkan setelah hampir 9 tahun menjadi persoalan tersendiri di kota Solo. Konsep penataan  dengan pola pendekatan partisipatif, tanpa kekerasan efektif diterapkan  dan mampu menjawab masalah penataan PKL meskipun masih menimbulkan dampak pasca penataannya.

Pendahuluan

Tulisan ini lebih banyak bersumber dari catatan  harian penulis sebagai Commnunity Organizer sejak tahun 2004 selama  mendampingi komunitas marginal di kota Solo yang salah satunya komunitas Pedagang Kaki Lima(PKL). Untuk melihat dampak penataan PKL yang di lakukan oleh Pemkot Solo, penulis secara khusus ‘membaur’ kembali ke komunitas PKL  untuk melihat perkembangan di lapangan  selama kurang lebih 5 bulan (Februari – Agustus  2008). Strategi yang di lakukan dengan mengadakan pengamatan,wawancara dan langsung melibatkan diri dalam aktivitas transaksi yang di lakukan PKL di beberapa lokasi kantong PKL  di harapkan bisa  mendapatkan gambaran  sejauh mana konsep penataan PKL yang di lakukan oleh Pemkot Solo tepat, bermanfaat dan mampu mengembangkan potensi PKL  sebagai salah satu  aset perekonomian di kota Solo. Pada saat tulisan ini dibuat,penulis sedang menyusun tulisan secara khusus tentang penataan PKL di Solo terutama pasca relokasi PKL terbesar pada bulan Juli 2006 yang merupakan ‘tonggak penataan PKL’di kota Solo.

Gambaran Umum Sektor Informal  Kota Solo

Kota Solo atau juga dikenal dengan Surakarta (Hadiningrat) merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah sekitar  44,04 km2  yang dihuni oleh 512.898 jiwa  dengan rasio jenis kelamin sebesar 98,31 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 98 penduduk laki-laki. Kota Solo terdiri dari 5 kecamatan  yaitu kecamatan Laweyan,Serengan,Pasar Kliwon,Jebres dan Banjarsari,51 kelurahan,595 RW,2.667 RT dengan jumlah KK sebesar 130.284 kk (kota Surakarta dalam angka 2006).Sebagian lahan di kota Solo digunakan sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%,sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga mengunakan tempat yang cukup besar sekitar 20% dari luas lahan yang ada. Kota Solo berada pada spectrum pengembangan cukup pesat memang mendorong berbagai perubahan karakternya. Letaknya yang strategis pada persimpangan jalur penting di darat mampu mendorong berbagai perubahan sosial yang ada. Dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya cukup kuat dan menjadi salah satu kota penting di negeri ini. Meskipun berbagai gejolak  kerusuhan sosial pernah ada tetapi masyarakat menyakini bahwa kota ini sangat damai untuk ditinggali. Banyaknya peristiwa atau konflik yang terjadi bagi sebagian kalangan dianggap sejarah masa lalu yang telah terkubur dan mereka sudah siap menyongsong masa depannya. Hal tersebut misalnya dilihat dari  pertumbuhan ekonomi khususnya perdagangan dan telah menjadi salah satu kota yang mampu segera bangkit pasca kerusuhan medio Mei 1998.

Kemajuan yang ada juga menyebabkan berbagai tumbuh kembangnya sumber daya,potensi ekonomi,perdagangan dan sektor lain yang menjanjikan dan menjadikan magnet tersendiri bagi 6 kabupaten di bekas Karesidenan Surakarta yaitu Kabupaten Klaten,Kabupaten Sukoharjo,Kabupaten Boyolali,Kabupaten Karanganyar,Kabupaten Sragen dan Kabupaten Wonogiri. Hal ini terlihat pada jumlah penduduk Solo pada siang hari yang konon mencapai hampir tiga kali lipat dari jumlah penduduk di malam hari. Pada siang hari penduduk dari 6 kabupaten di karisidenan Solo menggantungkan mata pencaharian di kota Solo dalam berbagai jenis pekerjaan salah satunya di bidang perdagangan.

Proses perkembangan kota yang cukup pesat juga bisa dilihat dari maraknya pembangunan sentra-sentra perdagangan,jasa,industri kecil dan menengah. Pendirian hotel, pusat perbelanjaan bahkan apartement  dalam beberapa tahun ini  dan kemungkinan akan tetap berlanjut ke tahun –tahun berikutnya menjadi salah satu indikator pesatnya perkembangan kota Solo. Paling tidak pada dua tahun belakangan ini muncul pusat perbelanjaan seperti Solo Grand Mall,Solo Square dan Hotel Ibis,proses pembangunan apartement Solo Paragon,apartement Solo Center Poin, apartement Kusuma Mulia.
Seiring dengan itu juga muncul   para pelaku sektor informal yang cukup beragam didalamnya  ikut mewarnai pertumbuhan kota Solo yang  salah satu pelaku  sektor informal tersebut adalah Pedagang Kaki Lima (PKL).


Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL)

Definisi Pedagang Kaki Lima  ada bemacam-macam  sehingga tidak ada definisi yang baku. Awalnya sekitar era tahun 1980an kita hanya mengenal istilah pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang makanan dan lain sebagainya. Inti pengertian pedagang pada saat itu hanya mengenai lokasi atau jenis barang dagangan. Pada awal tahun 1990-an kemudian berkembang mengenai Pedagang Kaki Lima yang identik dengan orang yang menjual dagangan dengan gerobak. Asumsinya gerobak itu ditopang dengan 4 kayu dan bila dihitung dengan orangnya maka menjadi lima kaki.

Ada pula pendefinisian bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar – pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata(Sidharta-2002)

Secara umum yang dianggap Pedagang Kaki Lima orang yang menjual dagangannya secara mobile atau berpindah-pindah dengan mengunakan sarana gerobak. Namun seiring berjalannya waktu kemudian, orang yang menjual dagangannya di suatu tempat umum  dengan permanen  tetap dimasukkan sebagai pedagang kaki lima. Pemkot Solo mendefinisikan PKL dengan definisi secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, (c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha. (d) Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima adalah tempat umum yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar dan lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.

Sementara pada Perda penganti Perda no 8  th 1995 yaitu Perda No 4 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL disebutkan bahwa PKL adalah Pedagang yang menjalankan usaha dagang dan jasa non formal dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan lahan fasilitas umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai tempat usahanya baik dengan menggunakan sarana/perlengkapan yang mudah dipindahkan dan/atau dibongkar pasang
Jadi bisa di katakan juga bahwa Pedagang Kaki Lima (PKL)  adalah pedagang yang menjalankan usaha dagang dan jasa yang bersifat non formal baik dengan gerobak dorong,   dengan selter yang mempergunakan lahan tertentu yang di telah di sediakan oleh Pemkot .Hal ini sesuai dengan konsep penataan PKL yang di lakukan oleh Pemkot Solo yang mengunakan konsep  kawasan PKL dan kantong-kantong PKL.

Penyebab munculnya  PKL

Pedagang  Kaki Lima (PKL) merupakan pekerja sektor informal yang turut mewarnai perekonomian kota Solo selama bertahun-tahun. Sejak kapan munculnya PKL  belum  ada data yang jelas tetapi sektor informal ini muncul dan berkembang mewarnai perekonomian di kota Solo paling tidak terlihat sejak krisis moneter tahun 1997/1998 yang lalu. Awalnya para PKL ini bermula dari pekerja di pabrik yang ada di berbagai wilayah di di karisidenan Surakarta maupun di kota –kota besar di seluruh Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan kota lainnya . Sejak krisis moneter melanda Indonesia berdampak kepada di tutupnya pabrik-pabrik yang selama ini menjadi gantungan hidup dari ribuan pegawainya. Dampak yang diakibatkan adalah banyaknya pegawai pabrik/perusahaan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebagian dari buruh/pegawai  yang bekerja di kota besar tersebut  akhirnya kembali ke daerah asal masing-masing misalnya di wilayah karisidenan Surakarta untuk tetap mempertahankan perekonomian keluarga. Buruh/pegawai yang bekerja di karisidenen Surakarta juga melakukan hal yang sama berupaya untuk tetap mempertahankan perekonomian keluarganya. Dari situlah awal mulanya sebagian besar dari mereka  mencoba peruntungan nasibnya dengan berjualan .

“Sebelum krisis moneter tahun 1997 saya adalah pegawai di sebuah perusahaan swasta di kota Jakarta. Karena perusahaan bangkrut saya di PHK bersama ratusan karyawan lainnya. Dan mau tidak mau saya pulang kembali ke kota Solo. Saya harus tetap bekerja agar tetap bisa menghidupi  keluarga. Karena tidak punya modal,saya mulai coba-coba untuk menjual barang-barang yang saya punyai seperti baju dan alat rumah tangga. Sedikit demi sedikit dari barang yang saya jual itu,saya mulai mengumpulkan modal untuk kulakan barang dagangan. “seperti yang di ceritakan pak Joko  salah satu PKL di kawasan Monumen 45 Banjarsari.

Pak Joko ini hanya salah satu dari PKL yang mengawali berjualan  dari menjual barang-barang yang dipunyai misalnya pakaian, elektronik, maupun berjualan makanan dan minuman. Semula usaha dagang mereka masih kecil dan beromset tidak terlalu besar, tetapi lama kelamaan seiring berkembangnya dagangang mereka dan secara umum mulai pulihnya sektor ekonomi, barang dagangan  semakin membesar. Masyarakat umum mulai menyebut mereka sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebagian dari pedagang Kaki Lima ini menempati jalan protokol di Kota Solo dan sebagian lagi menempati jalan-jalan non protokol lainnya , juga menempati tempat-tempat publik seperti taman kota (Manahan, Monumen 45 Banjarsari,dll).

 Para pelaku sektor informal dari Pedagang Kaki Lima saat krisis melanda negara ini pada th 1997, terbukti mampu menunjukan ketangguhan dan mampu menjadi peredam gejolak di pasar kerja perkotaan dengan menampung limpahan dari korban pemutusan hubungan tenaga kerja. Dan pasca krisis sektor informal ini kembali menjadi katup pengaman di tengah ketidakmampuan pemerintah kota Solo menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Bahkan keberadaan PKL ini juga mampu memberikan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di kota Solo meskipun tidak terlalu signifikan. Tercatat pada tahun 2002 retribusi dari PKL  sebesar Rp 120.120.900 ,pada tahun 2003 naik  cukup besar sekitar  25,13% menjadi Rp 150.306.400. Setahun berikutnya kenaikan hanya 1,70% menjadi Rp 150.449.200 ,setahun berikutnya  prosentase kenaikan 1,31% menjadi Rp 153.000.000, tahun 2006  dan 2007 sebesar Rp 155.000.000(lihat tabel 1)

Tabel 1
Data Retribusi Pedagang Kaki Lima(PKL) Kota Solo
(2002-2007)

Tahun
Jumlah Retribusi (Rp)
2002
120.120.900
2003
150.306.400
2004
150.449.200
2005
153.000.000
2006
155.000.000
2007
155.000.000

Sumber : APBD kota Solo tahun 2002-2007

Dari penelitian Seturahman, 1995; Azis, 1997 dan CBS; 2001, dalam Mucthar, 2004 seperti yang di kutip dari survey dan pemetaan  PKL di kota Surakarta tahun 2007 menyebutkan bahwa PKL menyumbangkan sekitar 60% dari total tenaga kerja. Di Jakarta, jumlah mereka yang terserap mencapai 360.000 orang, sedangkan di Jabotabek bisa mencapai 1.800.000 orang pada saat menjelang lebaran .

Dengan fakta tersebut tidak salah jika Pemkot Solo menganggap para pelaku sektor informal  ini  merupakan aset yang penting  untuk diperhatikan.

Perkembangan PKL  di kota Solo

Sebagaimana kota-kota lainnya, di Solo profesi Pedagang Kaki Lima terbukti cukup menarik dan menjadi alternatif pekerjaan yang dilakukan masyarakat. Dari  tahun ke tahun pertumbuhan PKL di kota Solo berkembang cukup pesat, dari tahun 2001 tercatat ada 1.115 PKL  menjadi 3.390 pada tahun 2002 dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2005 terdapat 5.320 orang serta tahun 2006 tercatat ada 5.817 PKL di seluruh Solo(Handayani,2006).Tetapi pada tahun 2007 jumlah PKL mengalami penurunan menjadi 3.917 PKL yang tersebar di 5 kecamatan di kota Solo(lihat tabel 2).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara sensus oleh kantor PPKL dapat diketahui jumlah dan penyebaran PKL. Jumlah PKL yang berada di jalan-jalan arteri dan kolektor di Kota Surakarta  pada tahun 2007 sebanyak 3.917 PKL, tersebar di 5 wilayah kecamatan. Sebagian besar PKL berada di di wilayah Kecamatan Jebres dan Banjarsari. Di Kecamatan Banjarsari terdapat 1.050 PKL (26,81%) dan di Kecamatan Jebres 1.172 PKL (29,92%) sementara di kecamatan Laweyan ada 697 PKL (17,79%) ,kecamatan Serengan terdapat 381 orang PKL  (9,73% ) dan kecamatan Pasar Kliwon ada 617 orang PKL( 15,75%).

Menurunnya jumlah PKL  dari 5.817 orang menjadi hanya 3.917 orang PKL pada tahun 2007 ini merupakan keberhasilan Pemkot Solo dalam menata PKL  yang di lakukan sejak tahun 2006. Keberhasilan terbesar ketika melakukan penataan PKL sejumlah 898 PKL  yang berada di monumen 45 Banjarsari dengan konsep relokasi  ke pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. PKL ini segaja di buatkan pasar  baru dan di tempatkan di pasar khusus barang klitikan .

Tabel 2
Data Jumlah  PKL di Kota Solo
(2001 – 2007)

Tahun
Jumlah PKL
2001
1.038
2002
1.115
2003
3.390
2004
3.834
2005
4.290
2006
5.817
2007
3.917

Sumber : Suci Handayani ,2006


Karakteristik Pedagang Kaki Lima  di kota Solo

Pedagang Kaki Lima sebagai pelaku usaha informal perkotaan yang  saat ini   tersebar di lima kecamatan di kota Solo mempunyai paling tidak enam   karakteristik. Jika di lihat dari karakteristik PKL di Kota Solo, bisa di lihat dari berbagai hal antara lain adalah sebagai berikut .

Pertama,tidak semua berasal dari penduduk asli Solo, berdagang jenis dagangan yang beragam, menempati jalan protokol, jalan  non protokol dan menempati  kantong-kantong PKL yang di sediakan oleh Pemkot.
Berdasarkan survey  yang dilakukan  Kantor PPKL, tidak semua PKL yang menjajakan dagangan di Solo merupakan warga asli Solo. Setidaknya pada tahun 2007 ternyata terdapat 21,96 persen (860) pedagang merupakan pendatang  yang berasal dari Sukoharjo,Wonogiri,Sragen,Klaten,Boyolali dan Karanganyar sedangkan 78,04 % atau 3.057  merupakan warga yang ber KTP Solo. PKL yang bukan berasal dari kota Solo  tidak hanya untuk keperluan dagang saja mereka hadir namun  banyak pula yang tinggal menetap di kota Solo dengan  sekedar kos, memiliki kontrakan bahkan bertempat tinggal di Solo dengan membeli rumah meski masih berKTP diluar Solo.


 ................................ (tulisan lanjutan, jika ada yg membutuhkan bisa hub saya)
Artikel ini sudah diterbitkan Jurnal AKATIGA BAndung bln Oktober 2008...

Tidak ada komentar: