Sepuluh tahun sudah proses perencanaan pembangunan partisipatif di kota Solo berjalan, tak heran jika muncul pertanyaan apakah proses perencanaan tahunan tersebut masih cukup efektif dilaksanakan? Pertanyaan itu muncul jika melihat sudah ada kejenuhan masyarakat bahkan ‘frustasi ‘ semakin nampak. Masyarakat sudah merasa terasa putus asa dengan proses Musrenbang yang lebih dirasakan sebagai sekedar ritual formalitas belaka ,bukan merupakan wahana berkumpulnya masyarakat dan pemerintah untuk merencanakan perencanaan pembangunan ke depan. Hal ini wajar terjadi karena faktanya masyarakat merasakan bahwa usulan-usulan yang acapkali di usulkan melalui proses musyawarah yang serius,bertele-tele bahkan terkadang dengan ‘perjuangan’ agar usulan tersebut tetap lolos dan masuk dalam Daftar Skala Prioritas perencanaan , sebagian besar tidak terealisasi dalam APBD yang akhirnya di syahkan. Tak jarang dalam tahun-tahun perencanaan berikutnya,usulan yang di bawa oleh utusan dari masing-masing wilayah masih usulan yang sama karena usulan tahun lalu belum terakomodir.
Partisipasi masyarakat mulai terlihat tergeser dengan harapan yang tak bisa dipenuhi oleh pemerintah. Menurut Rose Marie Nierras (2002) membagi partispasi dalam 3 hal . Pertama yaitu konsultasi yakni upaya mendorong negara mendengarkan secara langsung kebutuhan dan tuntutan warga, Kedua kehadiran dan representasi, ketiga pengaruh yang berarti bahwa kekuatan pengaruh baru terukur bila tuntutan warga betul-betul mewujud dalam kebijakan, program dan pemberian layanan. Kedua hal sudah terjadi selama ini, sementara yang ketiga pengaruh yang nampaknya masih belum terwujud. Pemkot Solo belum cukup menampakkan pengaruh sebagai pelayan masyarakat yang baik karena tuntutan warga belum terwujud dalam kebijakan, program dan pemberian layanan seperti yang diharapkan masyarakat. Sementara John Gaventa dan Valderrama memaparkan bahwa pencapaian participatory governance dapat dilihat dari beberapa aspek yang salah satunya adalah manipulatif adalah partisipasi untuk alasan eksploitatif, masy dilibatkan dalam proses perencanaan tapi tidak memiliki target akhir yang berarti dan tidak ada keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan pelibatan masyarakat secara langsung dalam proses perencanaan selama sepuluh tahun ini, sesungguhnya terlihat tidak ada target akhir yang berarti karena masih banyak usulan yang tidak terakomodir dengan keterbatasan anggaran daerah.
Belajar dari pengalaman tersebut, kiranya penting perencanaan disusun untuk jangka menengah, sehingga di tahun –tahun berikutnya masyarakat berkumpul tidak untuk melakukan proses perencanaan tahunan lagi tetapi untuk melakukan evalusi pelaksanaan tahun lalu, verifikasi dan jika ada mencermati hal-hal yang kemungkinan dirasa perlu diusulkan dengan realitas yang ada sekarang.Masyarakat perlu mempunyai dokumen Rencana pembangunan jangka Menengah Kelurahan(RPJMKel) sebagai perencanaan pembangunan jangka menengah yang akan wujudkan dalam tahapan perencanaan tahunan. Dokumen perencanaan jangka menengah ini bernilai strategis jika di bandingkan dengan perencanaan yang berumur tahunan saja. Karena arah, tujuan, cita-cita pembangunan yang dibutuhkan masyarakat akan lebih mudah dalam tahapan pencapaian dan lebih terukur.
Kaukus 17++ dan Akatiga Bandung bekerjasama dengan Pemkot Solo mencoba menerapkan perencanaan yang lebih terukur dengan menyusun perencanaan strategis pengembangan ekonomi kelurahan. Pengembangan perekonomian di wilayah kelurahan belum banyak terencana secara matang dalam jangka menengah bahkan jangka panjang. Perencanaan jangka menengah pengembangan ekonomi kelurahan belum banyak di lakukan karena biasanya masih menjadi satu dengan perencanaan pembangunan kelurahan tahunan yang dilakukan dalam musrenbangkel.
Dalam proses ini, para pelaku usaha ekonomi mikro bermusyawarah untuk merencanakan pengembangan ekonomi masyarakat dengan musyawarah perencanaan strategis pengembangan ekonomi kelurahan. Pelibatan pelaku usaha ekonomi mikro sebagai salah satu upaya untuk mendorong pengembangan ekonomi mikro khususnya di kota Solo, karena jika ekonomi mikro bergerak dengan cepat maka aktivitas perekonomian makro akan mengikuti. Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan.
Proses musyawarah untuk menyusun rencana strategis dilakukan dalam beberapa tahapan .Seperti ekplorasi kondisi perekonomian dalam 5 tahun terakhir serta memprediksikan kondisi perekonomian selama 5 tahun ke depan. Tahapan penyusunan visi dan misi bidang ekonomi, identifikasi potensi usaha dan sumber daya pendukung, tahapan prioritas potensi usaha, analisis masalah dan mencari strategi untuk menangani permasalahan tersebut dan menyusun program pengembangan ekonomi jangka menengah. Output berupa renstra pengembangan ekonomi kelurahan akan menjadi dokumen perencanaan bidang ekonomi kelurahan yang diharapkan akan menjadi pemacu meraih kondisi ekonomi yang lebih baik dan ujung-ujungnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan sebuah wadah rintisan badan usaha untuk memberikan dukungan berupa kemudahan menangani produksi, pemasaran, kemudahan akses permodalan, dll.
Karenanya dibutuhkan komitmen dan dukungan dari berbagai pihak untuk mendorong penguatan ekonomi dengan mengembangkan potensi usaha yang ada di berbagai kelurahan tersebut(1.2.2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar