Masih giat belajar, ingin meraih kualitas pendidikan bermutu dan murah |
Membayangkan , biaya untuk 'hanya masuk' sekolah saja demikian besarnya, yang pasti tidak akan mudah di akses oleh orangtua yang hidupnya pas-pasan. Demi 'kata kualitas sekolah' biaya sekolah di patok begitu mahal, hanya untuk masuk. Belum hitungan biaya bulanan (entah dengan bungkus SPP/ iuran sukarela/ sumbangan/biaya ekstra kulikuler/ dll) yang untuk sekolah swasta tertentu bisa sampai di atas Rp 300.000 . Belum lagi biaya lain-lain-nya yang harus dibayar. Dengan biaya mahal sekali (mencekik-menurut saya), belum tentu kualitas sekolah/pendidikan sebanding dengan mahalnya biaya.
Afin, putra sulung kami dan adiknya |
Saya dan suami bersepakat, untuk anak kami (Afin) yang tahun ini akan masuk SMP, akan di carikan SMP negeri , dengan pilihan pertama MTSN , kemudian pilihan kedua SMP swasta islam yang tidak berbiaya mahal(survey kami, ada SMP Isalam swasta yang masih mematok biaya masuk sekitar Rp 2 jutaan saja/ tapi bukan termasuk SMP swasta elit) baru pilihan terakhir ke SMP N. Kebetulan anak kami juga sepakat dengan alternatif yang kami tawarkan . Afin, tahu kemampuan akademik (agama) di atas rata-rata , sehingga akan sayang sekali jika SMP nya negeri yang pelajaran agama terbatas. Pilihan mencari SMP Negeri, faktor utama adalah soal biaya yang tentunya relatif lebih murah dan lebih terjangkau untuk keluarga kami. Barangkali kalau hanya untuk 'gengsi', kami bisa saja memasukkan ke SMP swasta, tetapi kami lebih mempertimbangkan biaya mahal yg belum tentu akan menghasilkan kualitas anak yang lebih bagus dibanding di sekolah yang berbiaya murah.
Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, membuat prihatin sekali. Dengan biaya pendidikan yang mahal, masyarakat tidak semuanya mampu mengaksesnya. Sementara pendidikan menjadi hak setiap anak di Indonesia. Meski alokasi APBN cukup besar , tetapi nyata-nyata biaya pendidikan selalu dalam kategori tinggi. Meski di negripun yang dilarang mengambil biaya dari orangtua murid, tetapi tetap saja ada biaya-biaya yang dibayarkan , terlebih jika masuk pertama kali.
Meski konstitusi kita hasil amandemen ketiga telah mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN atau APBD, namun kenyataannya hanya beberapa daerah yang mampu menggratiskan biaya pendidikan sembilan tahun. Itu pun sebagian hanya untuk sekolah negeri. Hal ini tentu merupakan kenyataan yang ironis. Apalagi bila menyaksikan liputan media. Sering disaksikan bagaimana kondisi pendidikan di negeri ini. Mulai dari gedung sekolahan yang hampir roboh, meja kursi siswa yang reyot. Itu baru di daerah pedalaman, belum termasuk daerah yang terkena bencana, kondisinya tentu lebih memprihatinkan.
Kementerian Pendidikan Nasional, menetapkan misi lima tahun ke depan (2010-2015) dengan lima hal yang menjadi focus perhatian. Kelima focus yang dinamai Lima K, yakni yakni Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas/mutu dan relevansi, Kesetaraan serta Kepastian. Dengan Lima K tersebut diharapkan membuka jalan dalam peningkatan layanan pendidikan berbagai jenjang yang ada.
Sebelumnya, pemerintah juga telah mengeluarkan regulasi untuk menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk pendidikan dasar wajib belajar 9 tahun. Salah satunya adalah dalam PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Di dalam Pasal 62 PP disebutkan bahwa (1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal; (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap; (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Namun, selalu saja biaya pendidikan mahal, mahal dan mahal. Biaya sekolah mahal,nak......................(04.05.12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar