Kamis, 10 Mei 2012

Dilema 'Gelar'


Beberapa waktu yang lalu, ada ‘keributan’ berkaitan dengan pernyataan Marzuki Alie bahwa banyak koruptor di Indonesia adalah lulusan perguruan tinggi negeri (PTN) terkenal, di antaranya Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ada kehebohan terkait dengan pernyatan tersebut, terutama berbagai kalangan yang berasal dari PT tersebut. 
Saya tidak pada posisi menyetujui atau tidak menyetujui pernyataan dari Marzuki Alie tersebut. Saya hanya merasa apakah tidak terlalu berlebihan ada ‘kehebohan ‘ tersebut? Sementara Marzuki  setahu saya tidak menyebut nama-nama para koruptor. Jika saja kebetulan selama ini koruptor lulusan dari PT tersebut, mungkin menjadi tidak salah kalau Marzuki berpendapat begitu.
Sekali lagi saya tidak memihak kepada salah satu dari kedua belah pihak . Yang menarik bagi saya adalah, pernyataan Marzuki di salah satu Stasiun TV  tadi pagi (10/5/2012) yang menyatakan usulan, kalau terbukti menjadi  koruptor, PT   sebaiknya  mencabut gelar ybs. Bagi saya itu usulan yang menarik dan kongkrit. Selama ini setahu saya kebetulan  beberapa orang yang terbukti korupsi adalah orang-orang yang terpelajar,  ‘makan sekolah’ dan mempunyai gelar yang tinggi. Lalu apa hubungan nya dengan gelar?  Sepengetahuan saya, mentalitas orang di Indonesia (kebanyakan) memang bangga akan gelar yang menempel di namanya. Bagi mereka, gelar akan mempengaruhi status sosial, akan mengangkat derajat, akan menjadi salah satu bukti kelompok ‘elite/kaya’. Karena tidak semua orang bisa meraih gelar dengan murah, cuma-cuma dan gampang. Mungkin sebagian, tanpa uang yang banyak bisa mendapatkan gelar dengan mendapatkan beasiswa, tetapi lebih banyak yang butuh modal duit besar  apalagi di Indonesia sekolah itu mahal.

Apakah gelar begitu penting? Apakah lulusan sarjana yang mempunyai gelar tinggi menjamin mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik? Walahualam, jawab saya. Tetapi berdasarkan data BPS, pada Februari 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk tingkat pendidikan Diploma dan Sarjana masing-masing 7,5% dan 6,95%. TPT pendidikan menengah masih tetap menempati posisi tertinggi, yaitu TPT Sekolah Menengah Atas sebesar 10,34% dan TPT Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 9,51%. Jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang, dengan TPT Februari 2012 sebesar 6,32% turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80%.
Berdasarkan data BPS pada Februari 2012, pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi yaitu sebesar 55,5 juta orang (49,21%), sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 3,1 juta orang (2,77%) dan pekerja dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,2 juta orang (6,43%).
Sementara data bulan  Februari 2011 pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah sebesar 55,1 juta orang (49,53%) dan SMP 21,22 juta orang (19,07%). Sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan Diploma hanya sebesar 3,3 juta orang (2,98%) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana sebesar 5,5 juta orang (4,98%).
Kalau membaca data BPS tersebut, masih banyak lulusan sarjana yang belum mendapatkan pekerjaan alias masih menganggur. Kemungkinan karena lulusan sarjana biasanya cenderung akan mencari pekerjaan yang ‘sebanding’ dengan gelar sarjana-nya. Tidak hanya pekerjaan yang asal-asalan saja. Sementara ketersediaan lapangan pekerjaan kurang memadai.

Meski begitu (pengangguran yang bergelar sarjana banyak) setahu saya banyak orang tetap ingin mengejar titel sarjana  dengan berbagai alasan. Makanya gelar menjadi begitu penting bagi sebagian masyarakat Indonesia.  Begitu pentingnya, kalau sampai orang-orang sudah mencari dan mencapai gelar tertentu dan mendapatkan gelar tersebut, tetapi kemudian di cabut, alangkah beratnya. Kemudian alangkah malunya kalau gelar yang sudah di publikasikan, terancam di copot.
Orang yang memiliki gelar, tentunya mempunyai tanggung jawab moral yang lebih besar , karena mereka dianggap orang yang pintar, cerdas sehingga mestinya  lebih tahu dan paham bagaimana menjaga sikap dan citra.
 
 Nah, dengan shock terapi pencabutan gelar bagi para koruptor, bisa menjadi langkah yang menarik untuk di wacanakan. Meskipun mekanismenya belum tentu mudah, tetapi pencabutan gelar bisa menjadi alternatif guna meminimalisir potensi hasrat untuk korupsi dari orang-oarng yang punya gelar. (10.5.12)

Tidak ada komentar: