Udara panas menyengat, rasanya tidak ada angin yang bertiup.
Sungguh panas sekali. Gerah.
Debu-debu
tebal memenuhi jalanan. Daun-daun di pot
bunga yang tertata rapi di pinggir trotoar
tampak kotor berselimut debu. Sebagian besar debu dari letusan gunung
Kelud belum sepenuhnya hilang. Hujan
yang diharapkan datang sudah lama tidak turun. Sesekali Karyo dan tukang becak
lainnya harus membersihkan debu di jok becaknya dengan lap bekas kaos yang
sudah tidak terpakai lagi.
Karyo menghela nafas
panjang. Siang-siang seperti ini tidak
banyak orang yang membutuhkan jasa tukang becak seperti dirinya. Apalagi
semakin lama semakin sedikit orang yang mau naik becak. Terutama sejak
sepeda motor di jual dengan sangat mudah. Hanya dengan uang
muka limaratus ribu saja orang sudah bisa membawa motor pulang. Cicilan
perbulan juga bisa memilih sendiri, mau yang tigaratusribu, empatratusribu, sampai
yang sejuta. Tergantung kemampuan. Yang jelas mempunyai sepeda motor sangatlah
mudah. Pilihan membeli sepeda motor
selain lebih hemat juga lebih menghemat waktu. Daripada untuk membayar upah
naik becak , lebih baik untuk membeli bensin. Lebih irit. Itulah mengapa
akhir-akhir ini bekerja sebagai pengayuh becak sudah tidak mampu untuk menutupi
kebutuhan sehari-hari. Karyo masih tetap
bertahan karena dia tidak mempunyai kemampuan selain mengayuh becak yang sudah
ditekuni sejak limabelas tahun silam.
Karyo mengubah
posisi duduknya sambil mengipasi badannya dengan selembar kardus
kumal yang biasa membantu mengurangi hawa panas saat tidak membawa
penumpang seperti saat ini. Pandangan
matanya tertuju kepada Slamet, temannya
yang duduk diatas becak sambil membaca
koran .Beberapa teman yang lain ada yang tidur-tiduran diatas becak, ada pula
yang duduk di kursi kayu dibawah pohon sambil gobrol . Semua
bertujuan sama, mengisi kejenuhan
sambil menunggu calon penumpang. Pangkalan becak yang terletak di seberang hotel berbintang
tiga ini memang cukup strategis.
Terletak di pojok sebuah pusat grosir terbesar di kota Solo, depan jalan utama
dan persis di pinggir perempatan jalan. Tak heran sampai saat ini masih ada sepuluh tukang becak yang masih
bertahan di pangkalan. Meskipun jauh berkurang karena lima tahun yang lalu
masih ada tigapuluh dua tukang becak
yang mengais rejeki .
“Wah, hebat.
Benar-benar hebat nich pak Gubernur . Ck…ck…ck….” Decakan kagum Slamet
mengusik lamunan Karyo . Beberapa kali
terdengar gumaman Slamet.
“Memang lagi baca
apa, Met?” tanya Karyo penasaran.
“Ini, pak Gubernur
DKI. Pak Jokowi semakin populer saja. Banyak survey yang menempatkan dirinya di
atas Prabowo. Hehehehe,” jawab Slamet tak lepas dari korannya.
“Ach, nggak usah
percaya dengan survey. Itu khan bisa dipesan. Huahahahahaha. “
“Maksudmu?” tanya
Slamet sambil mengeryitkan alisnya.
“Ya kalau yang survey
kubu Jokowi ya dia yang teratas. Tapi kalau yang pesen survey Prabowo , ya
pasti Prabowo yang diatas Jokowi,” jawab Karyo mantap. Meskipun hanya tukang
becak tetapi Karyo tidak ketinggalan untuk mengikuti perkembangan politik di
tanah air. Terutama saat ini menjelang pilihan presiden. Dimana-mana orang
memperbincangkan soal calon presiden Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Karyo tidak
pernah absen ikut mendengarkan obrolan tetangga di pos kamling saat malam hari
sambil melihat berita di televisi. Jadi Karyo sedikit banyak tahu informasi
seputar Pilpres.
“Memang kenyataannya
Jokowi lebih mumpuni dibanding
Prabowo. Selain punya pengalaman menjadi walikota dan gubernur juga lebih sederhana dan merakyat,” kata Slamet
tak bisa menutupi kebanggaan terhadap calon presiden yang dia dukung.
“Hahahahahahahaha. Mumpuni gimana? Jelas lebih mumpuni Prabowo dong. Tegas, disiplin!
Pasti mampu memimpin bangsa Indonesia ke depan.”
Slamet meradang.
Koran dibanting dengan keras.
“Lihat rekam
jejaknya dong. Prabowo itu masih diragukan soal kewarganegaraan, soal
pelanggaran HAM. Itu yang akan kamu dukung jadi presiden?” ejek Slamet . Tanggannya menunjuk kea rah Slamet dengan
kesal.
“Heh, itu semua
belum tentu benar. Fitnah tau. Pokoknya
Prabowo saja. Hidup Prabowo-Hatta!”seru Karyo
keras.
“Sekali Jokowi tetap Jokowi! Jokowi- JK adalah kita !” mantap suara Slamet menirukan tagline
pasangan Jokowi-Jusuf Kalla sambil
mengepalkan tangan kanannya.
“Nggak bisa. Jokowi
itu lembek,nggak tegas. Lain dengan Prabowo, dong. Tegas, disiplin, orator yang
baik. Dialah calon presiden Indonesia.
Pokoknya Prabowo-Hatta. Titik!” balas Karyo berapi-api.
“Apa? “ Slamet melompat dari becak. Tangannya mengepal
dengan keras. Wajahnya merah tak bisa
lagi menyembunyikan kemarahan.
“Dasar geblek. Pilih pemimpin kok gak lihat
rekam jejaknya.Pelanggar HAM.” Teriak Slamet marah.
Karyo bangun dari
duduknya, berjalan menghampiri Slamet dengan kemarahan yang tidak bisa di
tahan.
“Jangan asal
ngomong. Dasar kamu yang bebal! Kenthir!
“
Tanpa bisa dicegah
Slamet dan Karyo sudah berhadap-hadapan
dan saling mencacimaki. Tangan mereka
berkacakpinggang, sesekali saling
tuding . Banyak kata-kata tak pantas keluar dari mulut mereka, saling
membanggakan capresnya , saling mengejek capres lawan . Suasana memanas. BAK..BUK…BAK..BUK… entah
siapa yang memulai tahu-tahu tangan mereka sudah saling pukul dan hantam. Jeritan mbak Sumi pedangan wedangan yang baru datang dengan sepedha onthelnya membuat
para tukang becak lain terkejut dan berlarian mendatangi Karyo dan Slamet. Perkelahian Karyo juga membangunkan tidur
tukang becak yang lain. Segera saja mereka melerai Karyo dan Slamet sambil
melihat mereka berdua dengan pandangan penuh tanda tanya. Butuh empat orang untuk memegang Karyo dan
Slamet agar tidak meneruskan bakuhantam. Meskipun sempat di cegah, tetapi adu
mulut masih terdengar jelas. Makian kasar tidak juga berhenti. Beberapa
pengendara sepeda motor menjadi tertarik dan berhenti melihat keributan yang
terjadi.
“Sudah, CUKUP! “
bentak mbah Atmo, tukang becak tertua yang juga ditunjuk sebagai sesepuh tukang
becak di pangkalan. Mata tuanya menatap
Karyo dan Slamet bergantian dengan kesal. Seketika suasana hening. Karyo dan
Slamet diam membisu, tidak berani lagi angkat bicara. Meskipun mbah Atmo sudah
tua tetapi badannya kekar dan kuat karena sudah puluhan tahun mengayuh becak.
Tutur katanya tegas dan bisa ngemong
tukang becak yang lain. Selama ini mbah Karyo menjadi panutan Karyo dan
teman-temannya.
“Kalian ini seperti
anak kecil saja. Ora isin, ora pekewuh. Udur-uduran barang sing
ra ngenah.” Mbak Atmo bisa menangkap
bahan pertengkaran Karyo dan Slamet. “ Kalau suka dan mendukung capres itu boleh saja, tapi mbokyao yang masuk akal. Jangan turuti emosi. Jangan membiarkan soal dukungan menjadi bahan pertengkaran.”
Suara-suara
bersahut-sahutan terus terdengar bagai degungan lebah. Sebagian geleng-geleng
kepala, ada yang bilang ya ampun, juga
ada yang komentar ada-ada saja. Tanpa di komando banyak nasehat yang bermunculan dari tukang becak. Sebagian
menyesalkan pertengkaran yang terjadi
dan sebagian lagi minta Karyo dan Slamet untuk menahan diri. Bahkan ada diskusi
mendadak yang membicarakan soa kedua
capres.
“SUDAH!” bentak mbak
Atmo kesal. “Kalian malah memperburuk keadaan. Nggak usah bikin panas. Tidak
ada gunanya kalian membela mati-matian capres kita. Memangnya kalau yang jadi
presiden Jokowi Indonesia akan hancur? Kiamat? Memangnya kalau yang terpilih
Prabowo kita akan hancur juga? Wealah, semua sama-sama berpeluang menjadi
presiden. Biarkan saja , tunggu tanggal 9 nanti. Kita tidak usah terlalu ngoyo mendukung dan saling menjelekkan.
Mau milik no 1 atau 2 ya monggo saja.
Itu hak kalian. Tetapi ya harus menghormati hak orang lain juga. “ kata mbah
Atmo panjang lebar.
Karyo menundukkan
muka sambil mengusap wajahnya yang terasa perih. Pukulan Slamet mendarat mulus
di mukanya lebih dari satukali. Ada rasa sesal dan malu tidak mampu
mengontrol emosinya. Padahal Slamet
adalah sahabatnya sejak lama. Kenapa hanya karena pilihan yang berbeda dia
menjadi emosi dan kalap? Karyo meringis sambil mendengarkan nasehat mbah Atmo .
Sementara Slamet
masih berdiri di sebelah kiri mbah Atmo dengan sesekali meringis memegangi
perutnya. Beberapa tendangan kaki Karyo tepat mengenai perutnya. Rasanya
melilit sekaligus nyeri. Hatinya diliputi perasaan penyesalan telah membuat
Karyo marah dan mereka berkelahi. Selama bertahun-tahun bersahabat mereka
berdua selalu rukun bahkan sesekali mereka saling membantu. Saat Karyo sedang
membutuhkan uang banyak untuk keperluan tertentu, Slamet dengan ikhlas
membiarkan rejekinya untuk Karyo. Demikian juga sebaliknya. Sungguh persahabatan
yang baik diantara mereka. Slamet tidak rela jika persabahatan mereka selama
ini hancur hanya karena masing-masing mempunyai pilihan yang berbeda.
“Nah, lebih baik
kalian segera berbaikan. Tidak baik
memelihara permusuhan. Kita ini sama-sama orang kecil. Kalau tidak
kompak, gimana mau cari rejeki buat anak istri? Ayo, salaman!” kata mbah Atmo
dengan nada memerintah.
Karyo dan
Slamet tanpa disegaja saling pandang
dalam waktu yang bersamaan. Ada
keraguan di mata Slamet, tetapi segera terhapus ketika melihat senyum Karyo.
Reflek mereka saling berpelukan dan tanpa menunggu lama kemarahan segera
mencair. Tak ada lagi permusuhan dan dendam yang memenuhi hati mereka. Pelukan
Slamet mengendor saat Karyo menjerit
kesakitan karena tanpa segaja Slamet
telah memegang pipi Karyo yang biru
menghitam. Mereka berdua tertawa bersama-sama menyadari wajah dan badan berantakan. Mau nomer satu atau dua yang terpilih, yang
penting rakyat kecil sejahtera, batin Karyo lega. ***