Rabu, 11 Juni 2014

Demam Capres

              Udara panas menyengat, rasanya tidak ada angin yang bertiup.

Sungguh panas sekali.  Gerah.
Debu-debu  tebal memenuhi jalanan. Daun-daun   di pot bunga yang tertata rapi di pinggir trotoar  tampak kotor berselimut debu. Sebagian besar debu dari letusan gunung Kelud belum sepenuhnya hilang.  Hujan yang diharapkan datang sudah lama tidak turun. Sesekali Karyo dan tukang becak lainnya harus membersihkan debu di jok becaknya dengan lap bekas kaos yang sudah tidak terpakai lagi.
                Karyo menghela nafas panjang.  Siang-siang seperti ini tidak banyak orang yang membutuhkan jasa tukang becak seperti dirinya. Apalagi semakin lama semakin sedikit orang yang mau naik becak.  Terutama sejak  sepeda  motor  di jual dengan sangat mudah. Hanya dengan uang muka limaratus ribu saja orang sudah bisa membawa motor pulang. Cicilan perbulan juga bisa memilih sendiri, mau yang tigaratusribu, empatratusribu, sampai yang sejuta. Tergantung kemampuan. Yang jelas mempunyai sepeda motor sangatlah mudah.  Pilihan membeli sepeda motor selain lebih hemat juga lebih menghemat waktu. Daripada untuk membayar upah naik becak , lebih baik untuk membeli bensin. Lebih irit. Itulah mengapa akhir-akhir ini bekerja sebagai pengayuh becak sudah tidak mampu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.  Karyo masih tetap bertahan karena dia tidak mempunyai kemampuan selain mengayuh becak yang sudah ditekuni sejak limabelas tahun silam.
                Karyo mengubah posisi duduknya sambil mengipasi badannya dengan selembar  kardus  kumal yang biasa membantu mengurangi hawa panas saat tidak membawa penumpang seperti saat ini.  Pandangan matanya  tertuju kepada Slamet, temannya yang duduk diatas becak  sambil membaca koran .Beberapa teman yang lain ada yang tidur-tiduran diatas becak, ada pula yang duduk di kursi kayu dibawah pohon sambil gobrol .  Semua  bertujuan sama, mengisi kejenuhan  sambil menunggu calon penumpang. Pangkalan becak  yang terletak di seberang hotel berbintang tiga ini memang  cukup strategis. Terletak di pojok sebuah pusat grosir terbesar di kota Solo, depan jalan utama dan persis di pinggir perempatan jalan. Tak heran  sampai saat ini  masih ada sepuluh tukang becak yang masih bertahan di pangkalan. Meskipun jauh berkurang karena lima tahun yang lalu masih ada tigapuluh dua   tukang becak yang mengais rejeki .
                “Wah, hebat. Benar-benar hebat nich pak Gubernur . Ck…ck…ck….” Decakan kagum Slamet mengusik  lamunan Karyo . Beberapa kali terdengar  gumaman Slamet.
                “Memang lagi baca apa, Met?” tanya Karyo penasaran.
                “Ini, pak Gubernur DKI. Pak Jokowi semakin populer saja. Banyak survey yang menempatkan dirinya di atas Prabowo. Hehehehe,” jawab Slamet tak lepas dari korannya.
                “Ach, nggak usah percaya dengan survey. Itu khan bisa dipesan. Huahahahahaha. “
                “Maksudmu?” tanya Slamet sambil mengeryitkan alisnya.
                “Ya kalau yang survey kubu Jokowi ya dia yang teratas. Tapi kalau yang pesen survey Prabowo , ya pasti Prabowo yang diatas Jokowi,” jawab Karyo mantap. Meskipun hanya tukang becak tetapi Karyo tidak ketinggalan untuk mengikuti perkembangan politik di tanah air. Terutama saat ini menjelang pilihan presiden. Dimana-mana orang memperbincangkan soal calon presiden Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Karyo tidak pernah absen ikut mendengarkan obrolan tetangga di pos kamling saat malam hari sambil melihat berita di televisi. Jadi Karyo sedikit banyak tahu informasi seputar Pilpres.
                “Memang kenyataannya Jokowi lebih mumpuni dibanding Prabowo. Selain punya pengalaman menjadi walikota dan gubernur juga  lebih sederhana dan merakyat,” kata Slamet tak bisa menutupi kebanggaan terhadap calon presiden yang dia dukung.
                “Hahahahahahahaha. Mumpuni gimana? Jelas lebih mumpuni Prabowo dong. Tegas, disiplin! Pasti mampu memimpin bangsa Indonesia ke depan.”
                Slamet meradang. Koran dibanting dengan keras.
                “Lihat rekam jejaknya dong. Prabowo itu masih diragukan soal kewarganegaraan, soal pelanggaran HAM. Itu yang akan kamu dukung jadi presiden?” ejek Slamet  . Tanggannya menunjuk kea rah Slamet dengan kesal.
                “Heh, itu semua belum tentu benar. Fitnah tau.  Pokoknya Prabowo saja. Hidup Prabowo-Hatta!”seru Karyo  keras.
“Sekali Jokowi tetap Jokowi! Jokowi- JK  adalah kita !” mantap suara Slamet  menirukan tagline pasangan Jokowi-Jusuf Kalla  sambil mengepalkan tangan kanannya.
                “Nggak bisa. Jokowi itu lembek,nggak tegas. Lain dengan Prabowo, dong. Tegas, disiplin, orator yang baik. Dialah calon presiden Indonesia.  Pokoknya Prabowo-Hatta. Titik!” balas Karyo berapi-api.
                “Apa? “ Slamet  melompat dari becak. Tangannya mengepal dengan  keras. Wajahnya merah tak bisa lagi menyembunyikan kemarahan.
                “Dasar geblek. Pilih pemimpin kok gak lihat rekam jejaknya.Pelanggar HAM.” Teriak Slamet marah.
                Karyo bangun dari duduknya, berjalan menghampiri Slamet dengan kemarahan yang tidak bisa di tahan.
                “Jangan asal ngomong. Dasar kamu yang bebal! Kenthir! “
                Tanpa bisa dicegah Slamet dan Karyo sudah  berhadap-hadapan dan saling mencacimaki.  Tangan mereka berkacakpinggang, sesekali   saling tuding . Banyak kata-kata tak pantas keluar dari mulut mereka, saling membanggakan capresnya , saling mengejek capres lawan .  Suasana memanas. BAK..BUK…BAK..BUK… entah siapa yang memulai tahu-tahu tangan mereka sudah  saling pukul dan hantam.  Jeritan mbak Sumi pedangan wedangan yang  baru datang dengan sepedha onthelnya membuat para tukang becak lain terkejut dan berlarian mendatangi Karyo dan Slamet.  Perkelahian Karyo juga membangunkan tidur tukang becak yang lain. Segera saja mereka melerai Karyo dan Slamet sambil melihat mereka berdua dengan pandangan penuh tanda tanya.  Butuh empat orang untuk memegang Karyo dan Slamet agar tidak meneruskan bakuhantam. Meskipun sempat di cegah, tetapi adu mulut masih terdengar jelas. Makian kasar tidak juga berhenti. Beberapa pengendara sepeda motor menjadi tertarik dan berhenti melihat keributan yang terjadi.
                “Sudah, CUKUP! “ bentak mbah Atmo, tukang becak tertua yang juga ditunjuk sebagai sesepuh tukang becak di pangkalan.  Mata tuanya menatap Karyo dan Slamet bergantian dengan kesal. Seketika suasana hening. Karyo dan Slamet diam membisu, tidak berani lagi angkat bicara. Meskipun mbah Atmo sudah tua tetapi badannya kekar dan kuat karena sudah puluhan tahun mengayuh becak. Tutur katanya tegas dan bisa ngemong tukang becak yang lain. Selama ini mbah Karyo menjadi panutan Karyo dan teman-temannya.
                “Kalian ini seperti anak kecil saja. Ora isin, ora pekewuh. Udur-uduran barang sing ra ngenah.” Mbak Atmo  bisa menangkap bahan pertengkaran Karyo dan Slamet. “ Kalau suka dan mendukung capres  itu boleh saja, tapi mbokyao yang masuk akal. Jangan turuti  emosi. Jangan membiarkan  soal dukungan menjadi bahan pertengkaran.”
                Suara-suara bersahut-sahutan terus terdengar bagai degungan lebah. Sebagian geleng-geleng kepala,  ada yang bilang ya ampun, juga ada yang komentar ada-ada saja. Tanpa di komando banyak nasehat  yang bermunculan dari tukang becak. Sebagian menyesalkan  pertengkaran yang terjadi dan sebagian lagi minta Karyo dan Slamet untuk menahan diri. Bahkan ada diskusi mendadak yang membicarakan soa  kedua capres.
                “SUDAH!” bentak mbak Atmo kesal. “Kalian malah memperburuk keadaan. Nggak usah bikin panas. Tidak ada gunanya kalian membela mati-matian capres kita. Memangnya kalau yang jadi presiden Jokowi Indonesia akan hancur? Kiamat? Memangnya kalau yang terpilih Prabowo kita akan hancur juga? Wealah, semua sama-sama berpeluang menjadi presiden. Biarkan saja , tunggu tanggal 9 nanti. Kita tidak usah terlalu ngoyo mendukung dan saling menjelekkan. Mau milik no 1 atau 2 ya monggo saja. Itu hak kalian. Tetapi ya harus menghormati hak orang lain juga. “ kata mbah Atmo panjang lebar.
                Karyo menundukkan muka sambil mengusap wajahnya yang terasa perih. Pukulan Slamet mendarat mulus di mukanya  lebih dari satukali.  Ada rasa sesal dan malu tidak mampu mengontrol emosinya.  Padahal Slamet adalah sahabatnya sejak lama. Kenapa hanya karena pilihan yang berbeda dia menjadi emosi dan kalap? Karyo meringis sambil mendengarkan nasehat mbah Atmo .
                Sementara Slamet masih berdiri di sebelah kiri mbah Atmo dengan sesekali meringis memegangi perutnya. Beberapa tendangan kaki Karyo tepat mengenai perutnya. Rasanya melilit sekaligus nyeri. Hatinya diliputi perasaan penyesalan telah membuat Karyo marah dan mereka berkelahi. Selama bertahun-tahun bersahabat mereka berdua selalu rukun bahkan sesekali mereka saling membantu. Saat Karyo sedang membutuhkan uang banyak untuk keperluan tertentu, Slamet dengan ikhlas membiarkan rejekinya untuk Karyo.  Demikian juga sebaliknya. Sungguh persahabatan yang baik diantara mereka. Slamet tidak rela jika persabahatan mereka selama ini hancur hanya karena masing-masing mempunyai pilihan yang berbeda.
                “Nah, lebih baik kalian segera berbaikan. Tidak baik  memelihara permusuhan. Kita ini sama-sama orang kecil. Kalau tidak kompak, gimana mau cari rejeki buat anak istri? Ayo, salaman!” kata mbah Atmo dengan nada memerintah.
                Karyo  dan   Slamet tanpa disegaja saling pandang  dalam waktu yang bersamaan.  Ada keraguan di mata Slamet, tetapi segera terhapus ketika melihat senyum Karyo. Reflek mereka saling berpelukan dan tanpa menunggu lama kemarahan segera mencair. Tak ada lagi permusuhan dan dendam yang memenuhi hati mereka. Pelukan Slamet  mengendor saat Karyo menjerit kesakitan karena tanpa segaja  Slamet telah memegang pipi Karyo yang  biru menghitam. Mereka berdua tertawa bersama-sama menyadari wajah dan badan berantakan.  Mau nomer satu atau dua yang terpilih, yang penting rakyat kecil sejahtera, batin Karyo lega. ***















Tidak ada komentar: