Jumat, 24 April 2015

Suami Pilihan

(Untuk suamiku)
           “Bunda, ayah mana? Kerja di mana? Dekat apa? Kapan ayah pulang? “  Masih banyak pertanyaan lain dari mulut mungil Rama. Mata beningnya menatapku penuh pertanyaan.
Tak mampu aku memberikan jawaban dari serangkaian pertanyaan yang terus di ulang-ulang , ku rengkuh badan anak bungsuku, kuciumi dengan  rasa bangga, tanpa terasa air mata yang tak mampu kubendung . Selalu saja pertanyaan polos dari Rama membuat hatiku bahagia.
Kecerdasan si bungsu ini sudah terlihat sejak kecil.  Bocah berusia 3 tahun ini hampir setiap saat menanyakan keberadaan ayahnya, meskipun sudah ku berikan penjelasan tentang ayahnya. Kerinduan kepada ayahnya sudah tak terbendung, membuatnya selalu  tak puas dengan jawabanku. Rama tak hanya bertanya padaku, tetapi juga kepada kedua kakaknya, Satrio dan Lintang.  Kalau kakaknya  terlihat bosan menjawab , seringkali dengan nada bercanda mengatakan ayahnya tak akan pulang, membuat Rama menjerit marah. Satrio  tertawa senang dengan kegusaran Rama. Lintang sesekali dengan sabar menjelaskan, tetapi karena Rama  terus bertanya, Lintang dengan kesal  menjawab  tanya bunda saja. Pada akhirnya aku yang harus menjelaskan.
            Sudah lima  bulan ini, mas Bayu terpaksa harus bekerja  di luar pulau untuk mengejar kebutuhan yang sangat penting bagi  kami.  Kenapa terpaksa? Karena sudah menjadi kesepakatan kami untuk bekerja di kota saja, kalaupun bekerja di luar kota yang bisa terjangkau dengan tempat tinggal kami. Setidaknya  bisa setiap hari pulang atau kalau terpaksa seminggu sekali masih bisa berkumpul dengan keluarga. Mas Bayu sangat memperhatikan perkembangan  dan pendidikan anak-anak, sehingga kami sepakat untuk  selalu bersama.
            Hanya saja, takdir berkehendak lain, sejak setengah tahun  yang lalu, kami mulai risau dengan rumah yang kami tempati. Sejak menikah 8 tahun lalu, kami hanya mampu  mengontrak rumah, penghasilan mas Bayu yang bekerja sendirian belum mampu untuk membeli  rumah. Dari tahun ke tahun  kami berpindah rumah kontrakan.  Kalau kami bernasib baik, ada uang ekstra dan pemilik rumah bersedia menyewakan rumahnya untuk dua atau tiga tahun, kami tidak terlalu repot setiap tahun pindah. Tetapi kalau kami tidak ada  uang dan terkadang pemilik rumah menaikkan uang sewa, terpaksa kami pindah mencari rumah yang harga sewanya lebih terjangkau kantong kami.
Sering pindah rumah membuat kami kurang nyaman. Hal ini merepotkan karena kami harus menambah pengeluaran untuk membayar ongkos mobil yang kami sewa membawa barang-barang. Selain itu, kalau rumahnya jauh dari sekolah anak-anak, kami harus menghabiskan waktu lebih lama di jalan. 
Meskipun mas Bayu bekerja membanting tulang dan mengambil  lemburan untuk mewujudkan impian kami, tetapi impian kami belum bisa tercapai. Tabungan yang disisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli rumah,  habis digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak-anak.
            Sebagai  istri, sudah berulang kali kutawarkan  untuk membantu bekerja. Tetapi mas Bayu belum mengijinkan, dengan alasan anak-anak butuh bimbingan langsung dari bundanya. Terpaksa aku hanya  membantu  dengan hasil yang tak seberapa, menjual makanan kecil yang ku titipkan di warung dan kantin.
            Enam  bulan yang lalu ada tawaran dari perusahaan yang sedang berkembang di luar pulau Jawa. Setelah  kami berunding, sekitar sebulan kemudian  dengan terpaksa mas Bayu  meninggalkan kami  dengan harapan akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar sehingga kami lebih cepat mempunyai rumah idaman.
            “Bunda, ayah mana? “ pertanyaan Rama memutus lamunanku. “Kok  nggak jawab? Ayah kerja di mana?”
            “Ayah kerja jauh di Papua sayang. “
            “Papua itu mana? “ tatapnya lagi sambil memainkan ujung bajuku.
            Dengan rasa sayang ku gandeng tangan mungil Rama menuju kamar Satrio. Buku atlas bersampul merah yang ku ambil dari meja belajar, ku buka lebar di lantai kamar.  Setelah kutemukan lembaran peta Papua, ku jelaskan secara perlahan ke Rama.
            “Ini pulau Papua, tempat ayah kerja ,” tanganku menunjukan gambar peta. Meskipun  Rama tak terlalu paham, tetapi dengan sabar aku menjelaskan letak kota tempat mas Bayu bekerja. Kemudian ku buka lembaran peta Indonesia, ku beritahukan letak pulau  Jawa dengan pulau Papua.
            “Khan deket tu, hanya segini. Kok ayah ngga pulang? Nih tinggal gini aja..” suara cadel Rama membuatku hampir tertawa. Rama tetap nyakin  kalau ayahnya hanya  kerja di dekat rumah saja. Tangan mungilnya menunjuk peta Jawa dan Papua  berulang  -ulang.” Nich, nik..inik..inik...dekat khan bun?”
            “Iya sayang, kalau di gambar ini memang dekat. Tapi jauh lho. Kalau ayah naik pesawat hampir seharian baru sampai. “
            “Naik pesawat? Ngeng...ngeng....ngeennnnnnnnnnn.....”Rama sudah lupa dengan ayahnya. Pensil yang ku pakai untuk menjelaskan pulau Papua sudah beralih fungsi menjadi pesawat. Sesaat kemudian anak bungsuku itu sudah asyik dengan permainannya.
                                                                                 **
             Setahun  berlalu, mas Bayu belum bisa pulang. Kontrak dengan perusahaan hanya memberikan kesempatan cuti sekali dalam setahun.  Selama ini komunikasi dengan mas Bayu ku lakukan melalui telpon, SMS, email dan chating. Untung saja jaman semakin maju, tehnologi semakin canggih. Meskipun tak bisa bertemu setiap hari, tetapi setiap hari rasanya sudah bertemu paling tidak lewat SMS. Tanpa absen, mas Bayu selalu menyapa anak-anak lewat telpon. Meskipun berjauhan, tugas sebagai seorang ayah dengan mengikuti perkembangan anak-anak tak pernah dilewatkan.
            Kerinduan sudah membuncah di dada, kami tak terbiasa berpisah jauh dan lama. Meskipun sudah setahun, mas Bayu belum pulang karena bulan depan sudah  bulan ramadhan.  Tanggung kalau harus pulang sekarang, karena biaya perjalanan mahal . Menunda pulang  2 bulan lagi akan lebih membahagiakan karena bisa berlebaran bersama. Kami sepakat  untuk menunda rasa kangen yang mendalam. Mas Bayu sebenarnya sudah tidak sabar lagi untuk bertemu denganku, terlebih dengan anak-anak, terutama dengan Rama. Setahun yang lalu, Rama  belum suka bermain bola, mas Bayu sering mengajari  bermain bola dengan tendangan dan sundulan. Dan sekarang Rama sudah pandai  menendang bola sambil  berlari  ke sana kemari.
            Anak-anak sudah ingin sekali bertemu dengan ayahnya, rupanya  kerinduan dengan sosok ayah yang selama ini menemani mereka tiap hari sudah sedemikian besar. Awalnya mereka protes keras, bahkan Lintang sempat ngambek ketika tahu ayahnya menunda kepulangan. Dia mengurung diri di kamar dan  mogok bicara dan makan. Setelah  mas Bayu ikut membujuk lewat telpon, barulah Lintang mau makan.
**
            Untuk kesekian kalinya aku tertawa mendengar celoteh dan candaan suamiku dengan anak-anak. Rasanya tak pernah bosan  Satrio, Lintang  dan Rama mengelitik ketiak ayahnya. Dengan cepat dan tangkas,  mas Bayu menangkap  dan mengunci tangan anak-anak. Kedua tangan Satrio di kunci dengan paha kanan, tangan Rama dengan paha kiri dan tangan Lintang  di pegang kuat . Ketiga anak-anak tak mampu lagi melepaskan diri, terlebih Satrio yang  terus tertawa terbahak-bahak sehingga rasanya  tenaga sudah terkuras habis. Jeritan  riuh  membuat rumah kami  ramai dan penuh kebahagiaan, setelah setahun belakangan sepi.
            Ku pandangi mereka berempat  dengan rasa haru yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Ingin rasanya menyaksikan kebersamaan mereka setiap hari. Sebuah keutuhan keluarga  yang  tak bisa di tukar dengan materi apapun.
            “Bunda, lagi  memikirkan apa? “ tanpa ku sadari mas Bayu sudah di dekatku. Anak-anak lagi asyik  mencoba tablet  7 inci yang dibelikan mas Bayu kemarin sebagai oleh-oleh.
            “Bunda senang melihat anak-anak bahagia. Rasanya lama sekali rumah ini sepi tanpa tawa lepas  mereka , Yah.” Kusandarkan kepalaku di dada mas Bayu. Tangan lembut mas Bayu membelai rambutku. Dengan rasa sayang kecupan hangat mendarat di pipiku.
            “ Ayah ingin selalu bersama Bun. Ayah harus menahan sepi, rindu dan rasa sakit mendalam karena selalu teringat kalian. Ingin rasanya meninggalkan pekerjaan dan kembali ke rumah. Tetapi kalau teringat setiap tahun kita harus membayar kontrakan dan terkadang  kesana kemari mencari rumah kontrakan, ayah mencoba bertahan. Sedih sekali Bun, kalau ingat kita harus pindah-pindah.”
            Ku genggam erat tangan suamiku, kupandangi matanya yang telah dialiri dua sungai bening.         “ Ayah, bunda juga merasa berat. Amanah mendidik anak-anak juga sulit untuk dilakukan sendirian. Tetapi demi cita-cita kita ke depan, bunda harus ikhlas melepas ayah.”
            Mas Bayu mencium tanganku, membuatku semakin terharu. Betapa bahagianya mempunyai pahlawan keluarga yang pemurah, pengasih dan rela berkorban untuk keluarga. Betapa bersyukurnya diriku dikaruniai seorang imam keluarga yang luar biasa dan sholeh.
            Allohu Akbar...Allohu Akbar................................. terdengar  lantunan adzan magrib dari masjid dekat rumah. Alhamdulillah, puasa kami berakhir hari ini. Besok, kami  merayakan hari kemenangan bersama-sama.  Mas Bayu merangkul pundakku berjalan ke ruang makan, mengikuti  anak-anak yang berlarian dengan jeritan syukur mereka.
Bibirku membentuk senyuman,  aku nyakin ini senyum  paling manis dari senyumanku selama ini.
                                                                                      ***
(cerpen ini dimuat dalam 'Buku Fiksi Hari Pahlawan' Event Fiksiana Community, Penerbit Paramarta, Nov 2013)

Tidak ada komentar: