Solo,
22 Desember 2013
Teruntuk
ibunda tersayang
Di
tempat
Assalamu’alaikum
Ibu,
Saya
masih di sini, entah sudah berapa menit berlalu, tak puas memandang wajah lembut ibu di pigura foto yang memberikan senyuman teduh dan
penuh kasih. Rasa kangen sebenarnya tak bisa lagi dibendung, ingin rasanya
segera bertemu. Suara lembut ibu lewat telpon tak mampu menghapus rindu yang
membuncah di dada. Jarak yang cukup jauh memisahkan kita, membuat saya belum
bisa secepatnya berkunjung ke rumah ibu.
Apa
kabar ibu?
Saya
selalu berdoa agar ibu selalu sehat, segar dan pernah jauh dari kelembutan yang
selama ini mampu membuat ketenangan hati anakmu. Saya percaya ibu pasti sangat
sibuk dengan sawah, tegalan, pengajian, menenggok orang sakit dan kegiatan
social lainnya. Meskipun ibu sudah sepuh,
semangat ibu luar biasa untuk selalu mengisi hari tua dengan banyak hal yang
bermanfaat bagi orang lain.
Ibu
tercinta,
Banyak
kenangan manis yang pasti tak akan pernah saya lupakan. Sepanjang usia saya,
engkau telah mengukir hal-hal baik yang menjadi tonggak dalam kehidupan saya.
Bersikap baik, menghargai orang lain, ringan tangan, tidak gampang mengeluh dan
sabar dalam menghadapi hidup. Sebagai istri seorang guru yang tinggal di desa,
menjadi panutan orang lain tak membuat beban, justru ibu selalu berusaha
menunjukkan jiwa luhur. Selalu ibu ingatkan kepada anak-anakmu , “kudu biso mikul dhuwur mendhem jero “
(menjaga nama baik keluarga).
Ibu
sayang,
Ada
kenangan luar biasa yang sangat mendalam saya rasakan. Masihkan ibu mengingat saat ibu memeluk saya sambil
menangis tersedu-sedu saat bapak murka dan kehilangan kontrol terhadap
saya? Kenangan manis yang tak pernah
terlupakan sampai kini, terus tertanam rapi di hati. Betapa ibu dengan gagah
berani, melawan kemurkaan bapak , hanya demi membela anakmu ini.
Saat
itu idealisme begitu besar tertanam di
pikiran saya. Rasanya saya tak lagi memikirkan perasaan bapak, ibu dan
kakak-kakak. Kondisi masyarakat yang penuh tekanan dan hidup serba kekurangan
sementara pejabat tinggi negri ini bergelimang harta dengan korupsi, nepotisme
dan kolusi yang begitu kental dan menyolok mata. Saya seperti teman mahasiswa
lain, meski hanya segelintir mahasiswa ditengah ribuan mahasiswa terketuk hati
dan tak sampai hati hanya berdiam diri.
Ibu,
saya tahu perasaan ibu selalu was-was mendengar saya ikut turun ke jalan
berteriak memprotes ketidakadilan. Saya tahu, setiap saat ibu selalu ketakutan
luar biasa kalau sampai saya tertangkap dan dijebloskan ke hotel prodeo. Ibu
selalu gundah setiap melihat tayangan televisi yang mengabarkan berita
demontrasi. Ibu menyimpan ketakutan luar biasa kalau saya termasuk mahasiswa
yang tak akan pernah kembali karena berani menentang penguasa. Puluhan tahun
silam, siapa yang berani melawan pemerintah tanpa resiko?
Bukannya
saya tidak tahu, jika air mata ibu selalu tumpah disetiap
sholat untuk mendoakan keselamatan saya. Disetiap helaan nafas ibu,
hanya doa untuk kesehatan saya.
Betapa
saya rasanya tak tahu malu, hanya mengikuti kekerasan hati untuk memperjuangkan
apa yang saya nyakini benar, tanpa mempertimbangkan perasaan ibu yang setiap
saat tak pernah tenang. Saya hanya berkutat pada rasa egois yang tinggi untuk
ikut menentang ketidakadilan di negri
ini. Saya tak tahu terimakasih karena
tak cukup menghargai rupiah demi rupiah yang kau kumpulkan untuk membiayai
kuliah saya, karena saya lebih memilih menghabiskan waktu saya di jalan
daripada di kampus. Saya lebih memilih membaca buku-buku revolusioner daripada
membaca diktat kuliah. Kerinduan ibu yang tak tertahankan tak pernah saya
perhatikan, karena berbulan-bulan tak
bisa pulang ke rumah hanya dengan alasan tak ada waktu. Yang sebenarnya karena saya pengecut, tak berani bertemu
dengan bapak dan kakak yang pasti akan memaksa saya untuk meninggalkan dunia
yang penuh dengan resiko itu. Dan sebenarnya juga karena saya tak mungkin akan
tahan lama berhadapan dengan ibu yang takut kehilangan anaknya.
Ibu,
Kaulah
seorang ibu sejati yang penuh dengan kasih dan kesabaran tiada batas. Atas semua kekurangajaran saya, ibu tak pernah
terlihat marah. Betapa bijaksananya
engkau dengan menyembunyikan dan menutup rapat-rapat semua perasaan ibu. Dengan
kelembutan dan kasih sayangmu kau ceritakan keinginan bapak agar anakmu ini kembali ke bangku kuliah. Kau
ceritakan beberapa teman kecil saya sudah menyelesaikan kuliah dan menyandang
gelar sarjana. Bahkan ada beberapa yang sudah menikah. Ibu tahu persis
kekerasan hati saya, hingga tak sampai
hati untuk membujuk dan mengancam saya
untuk kembali kuliah. Engkau hanya
memberikan sinyal pesan ketidaksetujuan
dan kemarahan bapak dengan bahasa yang sangat halus dan tak mau menyakiti hati
saya.
Ibu,
engkau
malaikatku ,
Saat
kemarahan bapak tak lagi terbendung,
saat bapak murka dan tak lagi mampu mengontrol emosi, saat tangan bapak yang
seumur hidup saya tak pernah melintas di kulit saya, engkau pasang badan hanya
demi anakku yang tak tahu terimakasih ini. Dengan ketegaran luar biasa yang tak
pernah saya lihat sebelumnya, engkau
ikhlas menerima pukulan tangan bapak yang mestinya mendarat di tubuh
saya.
Ibu,
tahukah ibu kenapa anakmu ini menjadi penurut dan mendengarkan keinginanmu?
Tahulah
sejak peristiwa itu saya menghilang cukup lama tanpa kabar secuilpun?
Ibu,
sesungguhnya sejak saat itu, saya tak pernah turun ke jalan lagi bersama
teman-teman, saya tak kemana-mana. Ketabahan, kerelaan dan
ketidakberdayaan yang ibu perlihatkan saat menerima pukulan bapak
membuat saya termenung, terpekur dan lama merenungkan kejadian itu. Betapa saya telah terlalu lama
membangkang dan menyakiti ibu. Tanpa tersadari sudah terlalu jauh saya menjauh
dari keluarga dan dari kasih sayang ibu. Betapa saya terlalu egois dan tak mau
tahu penderitaan ibu yang selalu ibu
hadapi dengan tabah. Sekian tahun ibu meredam kemurkaan bapak, hanya demi
menjaga perasaan saya. Ibu rela menanggung beban dan penderitaan yang luar
biasa berat. Sebutan anak durhaka,
kuliah tak kunjung selesai, perawan tua,
itu pasti tak mudah ibu hadapi. Gunjingan tetangga pasti menyakitkan bagi
perasaan halus ibu. Dan tatapan menyalahkan dari bapak yang setiap hari ibu
terima pastilah selalu menguji kesabaran dan ketabahan ibu. Kasih ibu tetap
sepanjang masa tak berubah sedikitpun.
Bukan
kemarahan bapak yang membuat saya tersadar, tetapi air mata dan keikhlasan
ibu-lah yang membuat saya tak berdaya
lagi untuk melanjutkan idealisme saya. Ternyata saya harus mengakui kalau saya
tak berdaya melihat ketegaran ibu dibalut air mata penuh kasih seorang ibu. Banyak
jalan untuk menyalurkan idealisme tanpa harus menyakiti hati ibu dan bapak. Ada
harapan tinggi dari ibu dan bapak untuk
melihat anaknya berhasil menyelesaikan kuliah, bekerja dan berumah tangga.
Ya, saya telah luruh dalam air mata tanpa batas kasih sayang
dari ibu.
Ibu………………,
Saya
baru benar-benar merasakan betapa senang dan was-wasnya menjadi seorang ibu.
Kecintaan dan kasih sayang tak bisa
diukur dengan apapun untuk darah daging kita sendiri. Saya rasakan perasaan ibu
pasti sama persis dengan perasaan saya
ketika anak sakit, tak menurut kata orang tua dan menjauh dari rengkuhan kita. Saya resapi nikmat dan sakitnya saat
mengandung , membawa anak ke manapun kita pergi dan saat berjuang antara hidup
dan mati saat melahirkan. Oh, betapa memalukan saya selama ini tak pernah
menyadari betapa beratnya tugas sebagai ibu.
Saya
bersyukur meskipun terlamabat menyadari
semua ini ibu,
Bertahun-tahun
telah terlalui, rasa syukur tak terhingga karena kedekatan saya sebagai
anak kembali seperti sedia kala. Saya kembali bisa
bermanja-manja dan berkeluh kesah di pangkuan ibu, sementara ibu tertawa saat
menceritakan hal-hal yang engkau temui setiap hari yang penuh semangat untuk mengulurkan tangan saat menceritakan kehidupan tetangga di desa
yang dilanda paceklik. Meskipun bapak masih terasa kaku dengan sikap saya,
tetapi sesungguhnya saya sangat sayang bapak. Dan saya tahu sesungguhnya di
dalam hati yang terdalam bapak juga
sangat sayang dengan saya, menantunya dan
cucu-cucnya. Bapak juga pasti
bangga dengan kami semua.
Tahukah
Ibu,
Ketika petang itu ibu tiba ke rumah kami, dengan wajah sumrigah
dan berseri-seri saat kami semua mencium tangan ibu, betapa bahagianya
saya. Keletihan yang tergurat di wajah sepuh ibu, nampak tersamar rasa bahagia,
ketika
ibu mendengarkan coloteh anak-anak kami. Saya sepenuhnya kembali
tersadar betapa langkah yang saya putuskan
atas kesadaran dari air mata ibu, itu tidak salah. Kebahagiaan telah
terengkuh di tangan saya dengan keluarga kecil kami . Rasanya inilah akhir dari
jawaban air mata ibu selama
bertahun-tahun yang lalu.
Terimakasih
ibu untuk hal luar biasa yang engkau berikan selama ini kepada saya.
Semoga
Alloh SWT senantiasa menjaga kesehatan, memberikan usia panjang, memelihara
kelembutan dan kasih sayang serta selalu menyirami kearifan ibu. Semoga semua kebaikan ibu bisa menurun ke saya,
meneruskan siraman kasih sayang untuk cucu ibu. Amin.
Wasalam
Sungkem
dari ananda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar