Jumat, 24 April 2015

Surat Buat Ibu

(Surat buat ibu)

Solo, 22 Desember 2013
Teruntuk ibunda tersayang
Di tempat
Assalamu’alaikum
Ibu,
Saya masih di sini, entah sudah berapa menit berlalu, tak puas  memandang wajah lembut  ibu di  pigura foto yang memberikan senyuman teduh dan penuh kasih. Rasa kangen sebenarnya tak bisa lagi dibendung, ingin rasanya segera bertemu. Suara lembut ibu lewat telpon tak mampu menghapus rindu yang membuncah di dada. Jarak yang cukup jauh memisahkan kita, membuat saya belum bisa secepatnya berkunjung ke rumah ibu.
Apa kabar ibu?
Saya selalu berdoa agar ibu selalu sehat, segar dan pernah jauh dari kelembutan yang selama ini mampu membuat ketenangan hati anakmu. Saya percaya ibu pasti sangat sibuk dengan sawah, tegalan, pengajian, menenggok orang sakit dan kegiatan social lainnya. Meskipun ibu sudah sepuh, semangat ibu luar biasa untuk selalu mengisi hari tua dengan banyak hal yang bermanfaat bagi orang lain.
Ibu tercinta,
Banyak kenangan manis yang pasti tak akan pernah saya lupakan. Sepanjang usia saya, engkau telah mengukir hal-hal baik yang menjadi tonggak dalam kehidupan saya. Bersikap baik, menghargai orang lain, ringan tangan, tidak gampang mengeluh dan sabar dalam menghadapi hidup. Sebagai istri seorang guru yang tinggal di desa, menjadi panutan orang lain tak membuat beban, justru ibu selalu berusaha menunjukkan jiwa luhur. Selalu ibu ingatkan kepada anak-anakmu , “kudu biso mikul dhuwur mendhem jero “ (menjaga nama baik keluarga).
  
Ibu sayang,
Ada kenangan luar biasa yang sangat mendalam saya rasakan. Masihkan  ibu mengingat saat ibu memeluk saya sambil menangis tersedu-sedu saat  bapak  murka dan kehilangan kontrol terhadap saya?  Kenangan manis yang tak pernah terlupakan sampai kini, terus tertanam rapi di hati. Betapa ibu dengan gagah berani, melawan kemurkaan bapak , hanya demi membela anakmu ini.
Saat itu idealisme begitu besar  tertanam di pikiran saya. Rasanya saya tak lagi memikirkan perasaan bapak, ibu dan kakak-kakak. Kondisi masyarakat yang penuh tekanan dan hidup serba kekurangan sementara pejabat tinggi negri ini bergelimang harta dengan korupsi, nepotisme dan kolusi yang begitu kental dan menyolok mata. Saya seperti teman mahasiswa lain, meski hanya segelintir mahasiswa ditengah ribuan mahasiswa terketuk hati dan tak sampai hati hanya berdiam diri.
 
 
Ibu, saya tahu perasaan ibu selalu was-was mendengar saya ikut turun ke jalan berteriak memprotes ketidakadilan. Saya tahu, setiap saat ibu selalu ketakutan luar biasa kalau sampai saya tertangkap dan dijebloskan ke hotel prodeo. Ibu selalu gundah setiap melihat tayangan televisi yang mengabarkan berita demontrasi. Ibu menyimpan ketakutan luar biasa kalau saya termasuk mahasiswa yang tak akan pernah kembali karena berani menentang penguasa. Puluhan tahun silam, siapa yang berani melawan pemerintah tanpa resiko?
Bukannya saya tidak tahu, jika air mata ibu selalu tumpah  disetiap  sholat untuk mendoakan keselamatan saya. Disetiap helaan nafas ibu, hanya doa untuk kesehatan saya.
Betapa saya rasanya tak tahu malu, hanya mengikuti kekerasan hati untuk memperjuangkan apa yang saya nyakini benar, tanpa mempertimbangkan perasaan ibu yang setiap saat tak pernah tenang. Saya hanya berkutat pada rasa egois yang tinggi untuk ikut  menentang ketidakadilan di negri ini.  Saya tak tahu terimakasih karena tak cukup menghargai rupiah demi rupiah yang kau kumpulkan untuk membiayai kuliah saya, karena saya lebih memilih menghabiskan waktu saya di jalan daripada di kampus. Saya lebih memilih membaca buku-buku revolusioner daripada membaca diktat kuliah. Kerinduan ibu yang tak tertahankan tak pernah saya perhatikan,  karena berbulan-bulan tak bisa pulang ke rumah hanya dengan alasan tak ada waktu. Yang sebenarnya  karena saya pengecut, tak berani bertemu dengan bapak dan kakak yang pasti akan memaksa saya untuk meninggalkan dunia yang penuh dengan resiko itu. Dan sebenarnya juga karena saya tak mungkin akan tahan lama berhadapan dengan ibu yang takut kehilangan anaknya.
Ibu, 
 
Kaulah seorang ibu sejati yang penuh dengan kasih dan kesabaran tiada batas. Atas  semua kekurangajaran saya, ibu tak pernah terlihat marah. Betapa  bijaksananya engkau dengan menyembunyikan dan menutup rapat-rapat semua perasaan ibu. Dengan kelembutan dan kasih sayangmu kau ceritakan keinginan bapak agar  anakmu ini kembali ke bangku kuliah. Kau ceritakan beberapa teman kecil saya sudah menyelesaikan kuliah dan menyandang gelar sarjana. Bahkan ada beberapa yang sudah menikah. Ibu tahu persis kekerasan  hati saya, hingga tak sampai hati untuk membujuk  dan mengancam saya untuk  kembali kuliah. Engkau hanya memberikan sinyal pesan  ketidaksetujuan dan kemarahan bapak dengan bahasa yang sangat halus dan tak mau menyakiti hati saya.
Ibu,  engkau  malaikatku ,
Saat kemarahan  bapak tak lagi terbendung, saat bapak murka dan tak lagi mampu mengontrol emosi, saat tangan bapak yang seumur hidup saya tak pernah melintas di kulit saya, engkau pasang badan hanya demi anakku yang tak tahu terimakasih ini. Dengan ketegaran luar biasa yang tak pernah saya lihat sebelumnya, engkau  ikhlas menerima pukulan tangan bapak yang mestinya mendarat di tubuh saya.
Ibu, tahukah ibu kenapa anakmu ini menjadi penurut dan mendengarkan  keinginanmu?
Tahulah sejak peristiwa itu saya menghilang cukup lama tanpa kabar secuilpun? 
 
Ibu, sesungguhnya sejak saat itu, saya tak pernah turun ke jalan lagi bersama teman-teman, saya tak kemana-mana. Ketabahan, kerelaan dan ketidakberdayaan  yang ibu  perlihatkan saat menerima pukulan bapak membuat saya termenung, terpekur dan lama merenungkan  kejadian itu. Betapa saya telah terlalu lama membangkang dan menyakiti ibu. Tanpa tersadari sudah terlalu jauh saya menjauh dari keluarga dan dari kasih sayang ibu. Betapa saya terlalu egois dan tak mau tahu  penderitaan ibu yang selalu ibu hadapi dengan tabah. Sekian tahun ibu meredam kemurkaan bapak, hanya demi menjaga perasaan saya. Ibu rela menanggung beban dan penderitaan yang luar biasa berat.  Sebutan anak durhaka, kuliah tak  kunjung selesai, perawan tua, itu pasti tak mudah ibu hadapi. Gunjingan tetangga pasti menyakitkan bagi perasaan halus ibu. Dan tatapan menyalahkan dari bapak yang setiap hari ibu terima pastilah selalu menguji kesabaran dan ketabahan ibu. Kasih ibu tetap sepanjang masa tak berubah sedikitpun.
Bukan kemarahan bapak yang membuat saya tersadar, tetapi air mata dan keikhlasan ibu-lah  yang membuat saya tak berdaya lagi untuk melanjutkan idealisme saya. Ternyata saya harus mengakui kalau saya tak berdaya melihat ketegaran ibu dibalut air mata penuh kasih seorang ibu. Banyak jalan untuk menyalurkan idealisme tanpa harus menyakiti hati ibu dan bapak. Ada harapan  tinggi dari ibu dan bapak untuk melihat anaknya berhasil menyelesaikan kuliah, bekerja dan berumah tangga. Ya,  saya telah  luruh dalam air mata tanpa batas kasih sayang dari ibu.
Ibu………………,
 
Saya baru benar-benar merasakan betapa senang dan was-wasnya menjadi seorang ibu. Kecintaan dan kasih sayang  tak bisa diukur dengan apapun untuk darah daging kita sendiri. Saya rasakan perasaan ibu pasti  sama persis dengan perasaan saya ketika anak sakit, tak menurut kata orang tua dan  menjauh dari rengkuhan kita.  Saya resapi nikmat dan sakitnya saat mengandung , membawa anak ke manapun kita pergi dan saat berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan. Oh, betapa memalukan saya selama ini tak pernah menyadari betapa beratnya tugas sebagai ibu.
Saya bersyukur meskipun terlamabat menyadari  semua ini ibu,
Bertahun-tahun telah terlalui, rasa syukur tak terhingga karena kedekatan saya sebagai anak   kembali seperti sedia kala. Saya kembali bisa bermanja-manja dan berkeluh kesah di pangkuan ibu, sementara ibu tertawa saat menceritakan hal-hal yang engkau temui setiap hari yang  penuh semangat untuk mengulurkan tangan  saat menceritakan kehidupan tetangga di desa yang dilanda paceklik. Meskipun bapak masih terasa kaku dengan sikap saya, tetapi sesungguhnya saya sangat sayang bapak. Dan saya tahu sesungguhnya di dalam  hati yang terdalam bapak juga sangat sayang dengan saya, menantunya dan  cucu-cucnya.  Bapak juga pasti bangga dengan kami semua.
Tahukah Ibu,
 
Ketika  petang itu ibu tiba ke rumah kami,  dengan wajah  sumrigah  dan berseri-seri saat kami semua mencium tangan ibu, betapa bahagianya saya. Keletihan yang tergurat di wajah sepuh ibu, nampak tersamar rasa bahagia,  ketika  ibu mendengarkan coloteh  anak-anak kami. Saya sepenuhnya kembali tersadar betapa langkah yang saya putuskan  atas kesadaran dari air mata ibu, itu tidak salah. Kebahagiaan telah terengkuh di tangan saya dengan keluarga kecil kami . Rasanya inilah akhir dari jawaban  air mata ibu selama bertahun-tahun yang lalu.
Terimakasih ibu untuk hal luar biasa yang engkau berikan selama ini kepada saya.
Semoga Alloh SWT senantiasa menjaga kesehatan, memberikan usia panjang, memelihara kelembutan dan kasih sayang serta selalu menyirami kearifan ibu. Semoga  semua kebaikan ibu bisa menurun ke saya, meneruskan siraman kasih sayang untuk cucu ibu. Amin.
Wasalam
Sungkem dari ananda
 

Tidak ada komentar: