Minggu, 07 Juni 2015

Rahasia Simbok #2

(bagian 2)

Simbok sepertinya menutup rapat-rapat segala urusan dengan bapak, tentu saja urusan yang jelek dan menyakitkan. Giliran yang baik-baik, Simbok dengan antusias menceritakan padaku. semua serba manis, serba enak di dengar. Seolah-olah bapak itu manusia terbaik di dunia ini, bapak yang sangat sayang anaknya, suami yang mencintai istrinya dan rela berkorban buat istrinya.
"Bapak itu baaaikkkk banget. Sayang sama Simbok, sama kamu. Nggak ada bapak yang sayangnya kayak bapak kamu," kata Simbpk sambil menerawang jauh seolah membayangkan bapak ada di sana.
Tingkahku yang seolah tidak nyaman duduk, bergerak kesana kemari, berdecap sebal tidak dihiraukannya.  Bahkan Simbok seolah-olah tidak mendengar keberatanku.
Kalau sudah begitu aku pura-pura menguap dan berulangkali mengucek mata. Meskipun mataku belum memerah, Simbok segera memintaku untuk berangkat tidur. Sungguh hanya itulah satu-satunya caraku menghindar dari cerita soal bapak.
Kalau pertanyaan soal bapak yang tidak bertanggungjawab karena meninggalkan kami semua, mana Simbok peduli dan mau mendengar pertanyaanku? Simbok selalu menghindar, kalau aku terus mendesak, hardikannya keluar dari bibirnya.
Kalau sudah seperti itu, mana berani aku meneruskan pertanyaan. Apapun yang dimaui Simbok, aku selalu menurut, selalu mengikuti perintah Simbok.  Dulu, sakarang dan saat ini aku bertekad mengikuti kemauannya. Sampai kapanpun, aku akan selalu patuh padanya.
                                                                                            ***
Motor Lik Paidi perlahan melambat. Terminal sudah didepan mataku. Lalu lalang orang-orang yang sibuk seolah dikejar waktu terlihat jelas. Semua serba cepat, panik, terburu-buru dan rusuh. Semua seakan orang-orang yang sibuk. Beberapa pedagang asongan ikut wira wiri naik turun bus, menawarkan dagangan. Suaranya melengking, membujuk, berharap rupiah berpindah tangan ke kantongnya. Setipa penumpang ditawari.
Aku menyalami tangan Lik Paidi dan mengambil tas ransel yang tadi ditaruh di depan motor, dijepit kaki Lik Paidi. Cukup berat, punggungku lumayan tidak membawa beban selama hampir satu  jam. Kakiku kuluruskan sebentar menghilangkan pegal dan kaku. Maklum tidak terbiasa naik motor. hampir tiap hari aku naik sepeda ke sawah selain ke sekolah tentu saja. Kakiku lebih nyaman dan bergerak terus sehingga tidak kaku seperti kalau naik motor.
Mataku memandang kebisingan terminal dengan sedikit menyipit. Kesibukan mereka membuatku sedikit pusing. Tidak biasa melihat orang sebanyak itu, lalu lalang.(bersambung)

Tidak ada komentar: