(bagian 2)
Simbok sepertinya menutup rapat-rapat segala urusan dengan bapak,
tentu saja urusan yang jelek dan menyakitkan. Giliran yang baik-baik,
Simbok dengan antusias menceritakan padaku. semua serba manis, serba
enak di dengar. Seolah-olah bapak itu manusia terbaik di dunia ini,
bapak yang sangat sayang anaknya, suami yang mencintai istrinya dan rela
berkorban buat istrinya.
"Bapak itu baaaikkkk banget. Sayang
sama Simbok, sama kamu. Nggak ada bapak yang sayangnya kayak bapak
kamu," kata Simbpk sambil menerawang jauh seolah membayangkan bapak ada
di sana.
Tingkahku yang seolah tidak nyaman duduk, bergerak
kesana kemari, berdecap sebal tidak dihiraukannya. Bahkan Simbok
seolah-olah tidak mendengar keberatanku.
Kalau sudah begitu aku
pura-pura menguap dan berulangkali mengucek mata. Meskipun mataku belum
memerah, Simbok segera memintaku untuk berangkat tidur. Sungguh hanya
itulah satu-satunya caraku menghindar dari cerita soal bapak.
Kalau
pertanyaan soal bapak yang tidak bertanggungjawab karena meninggalkan
kami semua, mana Simbok peduli dan mau mendengar pertanyaanku? Simbok
selalu menghindar, kalau aku terus mendesak, hardikannya keluar dari
bibirnya.
Kalau sudah seperti itu, mana berani aku meneruskan
pertanyaan. Apapun yang dimaui Simbok, aku selalu menurut, selalu
mengikuti perintah Simbok. Dulu, sakarang dan saat ini aku bertekad
mengikuti kemauannya. Sampai kapanpun, aku akan selalu patuh padanya.
***
Motor
Lik Paidi perlahan melambat. Terminal sudah didepan mataku. Lalu lalang
orang-orang yang sibuk seolah dikejar waktu terlihat jelas. Semua serba
cepat, panik, terburu-buru dan rusuh. Semua seakan orang-orang yang
sibuk. Beberapa pedagang asongan ikut wira wiri naik turun bus,
menawarkan dagangan. Suaranya melengking, membujuk, berharap rupiah
berpindah tangan ke kantongnya. Setipa penumpang ditawari.
Aku
menyalami tangan Lik Paidi dan mengambil tas ransel yang tadi ditaruh di
depan motor, dijepit kaki Lik Paidi. Cukup berat, punggungku lumayan
tidak membawa beban selama hampir satu jam. Kakiku kuluruskan sebentar
menghilangkan pegal dan kaku. Maklum tidak terbiasa naik motor. hampir
tiap hari aku naik sepeda ke sawah selain ke sekolah tentu saja. Kakiku
lebih nyaman dan bergerak terus sehingga tidak kaku seperti kalau naik
motor.
Mataku memandang kebisingan terminal dengan sedikit
menyipit. Kesibukan mereka membuatku sedikit pusing. Tidak biasa melihat
orang sebanyak itu, lalu lalang.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar