Kamis, 04 Juni 2015

Rahasia Simbok #1

Simbok.....Simbok.....

"Hati-hati, Nduk. Jangan lupa kabari bapakmu kamu sudah sampai," ujar Simbok mengingatkanku.
Aku hanya mengangguk, membungkuk dan mencium punggung tangan Simbok dan sekali lagi pamit. Anggukan kepala Simbok membuatku segera bergegas, naik ke boncengan motor  Lik Paidi, tetanggaku yang pagi ini mengantarkan aku ke terminal.
"Hati-hati, Lik. Jangan ngebut," pesan Simbok menatap khawatir orang yang akan membawaku meninggalkan Simbok dan desa yang selama ini aku tinggali.
Lik Paidi mengangguk, menjura takzim dan menstarter motornya. Meskipun motor lama, tahun 70-an, bebek plethok ini mesinnya masih lumayan bagus. Tidak perlu berkali-kali di starter, mesinnya langsung mengerung.
"Assalamu'alaikum," pamitku yang terakhir kalinya saat bebek Lik Paidi melesat perlahan meninggalkan kepul asap. Aku memalingkan wajah tak kuasa melihat wajah Simbok.
Angin pagi yang berbalut embun terus menarpaku, membelai seluruh wajahku. Pagi masih terbungkus kabut, bebek Lik Paidi terus membelahnya, melaju perlahan.
                                                                                                      **

Aku tidak habis pikir kenapa Simbok masih terus percaya, setia dan hormat kepada bapak. Aku saja sebagai anaknya yang mestinya harus selalu menaruh hormat seumur hidupku mulai males dan setengah hati respek. Kenapa Simbok yang sudah bertahun-tahun di sakiti hatinya terus berbaik hati menerima bapak apa adanya? Sungguh membuatku tidak habis pikir. Bapak meninggalkan Simbok dan aku saat aku masih berumur lima tahun. Kepencut dengan perempuan lain, kata Lik Paidi. Pergi dengan gendhakane, ujar Pak Tuo, bapaknya Simbok. Rabi sama lonthe-ne, tambah Pakde Jarwo, saudara jauh Simbok.
Sudah jangan banyak tanya, kata Simbok saat aku terus mendesaknya, kala itu aku sudah kelas enam. Sudah mulai ingin tahu kebenaran yang telah banyak diungkap saudara dan tetangga di desa. Bapak lagi kena cobaan, tambah Simbok kalau aku tidak puas dengan jawabannya.
Aku hanya mengkeret saat Simbok memandangku tajam tak suka mendengar rengekanku. Biasanya aku terus terdiam, menatap Simbok yang kelihatan berusaha memandang enteng masalah yang kutanyakan. Padahal seiring beranjaknya umurku, aku tahu masalah itu tidak sederhana. Sungguh itu masalah berat yang dialami Simbokku.
(bersambung)

Tidak ada komentar: