Simbok.....Simbok.....
"Hati-hati, Nduk. Jangan lupa kabari bapakmu kamu sudah sampai," ujar Simbok mengingatkanku.
Aku
hanya mengangguk, membungkuk dan mencium punggung tangan Simbok dan
sekali lagi pamit. Anggukan kepala Simbok membuatku segera bergegas,
naik ke boncengan motor Lik Paidi, tetanggaku yang pagi ini
mengantarkan aku ke terminal.
"Hati-hati, Lik. Jangan ngebut,"
pesan Simbok menatap khawatir orang yang akan membawaku meninggalkan
Simbok dan desa yang selama ini aku tinggali.
Lik Paidi
mengangguk, menjura takzim dan menstarter motornya. Meskipun motor lama,
tahun 70-an, bebek plethok ini mesinnya masih lumayan bagus. Tidak
perlu berkali-kali di starter, mesinnya langsung mengerung.
"Assalamu'alaikum,"
pamitku yang terakhir kalinya saat bebek Lik Paidi melesat perlahan
meninggalkan kepul asap. Aku memalingkan wajah tak kuasa melihat wajah
Simbok.
Angin pagi yang berbalut embun terus menarpaku, membelai
seluruh wajahku. Pagi masih terbungkus kabut, bebek Lik Paidi terus
membelahnya, melaju perlahan.
**
Aku
tidak habis pikir kenapa Simbok masih terus percaya, setia dan hormat
kepada bapak. Aku saja sebagai anaknya yang mestinya harus selalu
menaruh hormat seumur hidupku mulai males dan setengah hati respek.
Kenapa Simbok yang sudah bertahun-tahun di sakiti hatinya terus berbaik
hati menerima bapak apa adanya? Sungguh membuatku tidak habis pikir.
Bapak meninggalkan Simbok dan aku saat aku masih berumur lima tahun.
Kepencut dengan perempuan lain, kata Lik Paidi. Pergi dengan gendhakane, ujar Pak Tuo, bapaknya Simbok. Rabi sama lonthe-ne, tambah Pakde Jarwo, saudara jauh Simbok.
Sudah
jangan banyak tanya, kata Simbok saat aku terus mendesaknya, kala itu
aku sudah kelas enam. Sudah mulai ingin tahu kebenaran yang telah banyak
diungkap saudara dan tetangga di desa. Bapak lagi kena cobaan, tambah
Simbok kalau aku tidak puas dengan jawabannya.
Aku hanya mengkeret
saat Simbok memandangku tajam tak suka mendengar rengekanku. Biasanya
aku terus terdiam, menatap Simbok yang kelihatan berusaha memandang
enteng masalah yang kutanyakan. Padahal seiring beranjaknya umurku, aku
tahu masalah itu tidak sederhana. Sungguh itu masalah berat yang dialami
Simbokku.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar