Senin, 01 Juni 2015

Teror Keluarga Genderuwo

Antara ada dan tiada..........
Antara percaya dan tidak percaya....
Tetapi  'mereka'  ada diantara kita.
Cerpen ini dimuat dalam buku kumcer 'Misteri Rumah Ibu Sri' , terbitan Grasindo, 2015.

“Hoi…siapa yang mengambil dokumenku?”
Teriakan Tiwik membuatku terlonjak kaget. Buru-buru aku berpaling dari laptop dan bergegas. Kulihat Tiwik berdiri dengan muka merah. Mejanya acak-acakan tak karuan. Kertas berserakan di bawah kursi. Tumpukan dokumen tebal berserakan. Kwitansi tercecer di sana sini. Beberapa teman mengerubungi bendahara kantorku ini.
“Ada apa, Wik?” tanyaku mencoba menyabarkan Tiwik.
“Dokumenku hilang, Mbak.” katanya gugup, setengah menangis. Kulihat mukanya berangsur-angsur pucat. Kekhawatiran jelas tidak bisa disembunyikan.
“Dokumen apa?” tanyaku lagi.
“Ini Mbak. Dokumen untuk menyusun laporan.“ jawabnya sambil menyebutkan sebuah lembaga funding yang selama ini menjadi donor lembaga kami.
“Hilang, Mbak? Padahal dua hari lagi deadline?” teriak Santi setengah tak percaya. Matanya terbelalak. Manager program di kantorku ini terlihat cukup shock. Bagaimana juga ia yang bertanggungjawab terhadap laporan yang harus dikirimkan lusa.
Aku tertegun. Tiba-tiba kepalaku pening. Kejadian ini bukan yang pertama kali. Sejak tiga minggu belakangan ini, sering terjadi hal-hal aneh di kantor.
Tiga minggu lalu, Rini, staf yang baru magang selama tiga bulan kehilangan laporan penelitian yang sudah di jilid. Padahal ia harus menbawa dokumen itu esok harinya ke sebuah acara di luar kota. Setelah mengaduk-aduk seluruh meja kerja, bahkan dengan kesal sampai mencarinya di gudang, dokumen itu tidak juga ditemukan. Akhirnya Rini terpaksa harus mencetak ulang dan mencari tempat jilid di malam hari. Anehnya tiga hari kemudian dokumen itu ada di antara tumpukan koran di ruang tamu.
Seminggu berikutnya sekretaris kantor, Latri, panik saat buku catatan telepon semua jaringan tidak ketahuan dimana rimbanya. Buku itu tiba-tiba ada diatas mejanya keesokan harinya. Tak ada yang mengaku mengambil atau memindahkan buku itu.
Dan empat hari lalu, tiba-tiba aku sendiri kehilangan file proposal yang mestinya bisa aku kirim hari ini. Sekarang? Keluhku dalam hati. Benar-benar kejadian aneh.
“Coba dicari dulu, Wik. Mungkin terselip,” saranku berusaha tenang. Aku tidak mungkin memperlihatkan kepanikan di depan stafku. Sebagai direktur, aku harus menjaga ketenangan seluruh staf dan memastikan semua baik-baik saja.
Tiwik mengelengkan kepala. Kali ini setitik air bening bergulir di sudut matanya. Ia terduduk lemas.
Aku bisa memaklumi kekecewaan dan keresahannya. Tiwik pasti sangat panik dan stress karena dokumen-dokumen itu sangat penting. Kalau sampai semuanya hilang, pasti Tiwik akan kesulitan untuk mencari gantinya. Bagaimana mungkin mencari kwitansi, nota-nota, bukti pembayaran selama setahun yang hilang? Butuh waktu lama dan juga sulit untuk mencarinya.
Kutepuk bahu Tiwik. Aku merasa prihatin melihatnya.
“Wik, sudah hampir jam lima. Sebaiknya kamu pulang dulu. Besok pagi kita cari lagi, ya. Kalau panik seperti ini kemungkinan dokumennya juga nggak ketemu. Siapa tahu besok saat kita mulai tenang, bisa menemukan dokumen itu.” Kataku menghiburnya.
“Tapi, Mbak?” protes Tiwik.
“Nggak apa-apa. Besok kita semua akan membantu mencarinya kembali.” kataku tegas.
Tiwik mengangguk pasrah. Ia memberesi meja kerjanya.
Teman-teman satu persatu beranjak meninggalkan ruangan Tiwik. Beberapa orang melanjutkan membicarakan kejadian aneh tadi sambil berjalan. Terdengar celutukan Erna tentang kemungkinan yang mengambil sesuatu yang tidak kasat mata.
Ku tarik tangan Santi dan mengajaknya masuk ke ruanganku.
“San. Kamu merasa aneh nggak tentang kejadian akhir-akhir ini?” tanyaku langsung ke pokok pembicaraan.
Santi menarik kursi dan menatapku dengan kening berkerut.
“Aku juga berpikir begitu, Mbak. Rasanya ada yang tidak beres di kantor. Masak selalu saja ada yang kehilangan barang penting. Dan anehnya disaat kita membutuhkan. Disaat mendekati hal penting. Aneh sekali,” gumam Santi.
“Iya, San. Rini kehilangan dokumen. Latri kehilangan buku. Aku juga mengalami hal yang sama. Dan sekarang Tiwik. Aku merasa ada yang tidak beres.“ Aku tidak habis pikir. Kami sudah menempati kantor ini lebih dari sepuluh tahun. Selama ini tidak pernah ada kejadian aneh. Baru belakangan ini terjadi. Kalau memang ada ‘penganggu’ kenapa baru saat ini?
“Mbak…”
Aku tergagap. Kupandangi Santi.
“Gimana kalau kita mencari orang pintar saja. Aku nyakin ada yang tidak beres. Kita harus minta bantuan orang pintar.” Kata Santi berapi-api.
Aku diam sejenak. Seumur-umur aku belum pernah berurusan hal seperti ini. Antara percaya tidak percaya, tetapi saat ini rasanya aku harus percaya dan mencari orang pintar yang bisa membantu kami.
“Boleh juga. Mungkin bisa membantu kita.” Ujarku ragu-ragu.
Santi mengangguk menyakinkanku. “Kita butuh bantuan, Mbak Ros.”
**
“Sebulan yang lalu pohon di depan kantor ditebang?” tanya Pak Surip, orang pintar yang kami minta membantu memecahkan misteri di kantor.
DEG. Aku dan Santi berpandang-pandangan. Tebakan Pak Surip tepat sekali. Lelaki yang belum terlalu tua ini penampilannya tidak seperti mbah-mbah orang pintar yang aku bayangkan. Tidak ada ikat kepala hitam, rambut panjang, muka seram dan dupa yang biasanya menjadi properti orang-orang pintar. Penampilannya sederhana, mengunakan kaos putih, sarung dan berpeci. Ia hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk berdoa. Tidak ada dupa yang mengebul.
“Iya, Pak. Sebulan yang lalu pohon di depan kantor kami tebang,” jawabku jujur. Kami segaja menebang pohon jambu di depan kantor untuk memperluas tempat parkir. Terkadang kalau ada kegiatan dan mengundang tamu, kami kekurangan tempat parkir.
“Pohon jambu itu sudah ada sejak kantor belum dibangun. Puluhan tahun yang lalu mereka sudah tinggal di pohon itu. Ketika ditebang, mereka marah,” tutur Pak Surip tanpa basa-basi. Matanya yang teduh menatap kami satu persatu.
“Hah?” Santi buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Ia tersadar tidak bisa mengendalikan emosi.
“Maksud Pak Surip. Mereka itu…?” Aku tidak sanggup meneruskan kalimatku. Terbayang dibenakku beberapa makhluk dari dunia lain itu marah saat rumah mereka hilang.
“Ya, Bu. Mereka satu keluarga. Bapak, ibu dan anak. Sebenarnya mereka pindahan dari tempat lain. Ada yang membuangnya. Dan mereka merasa cocok tinggal di pohon jambu itu. Barang-barang kantor yang menghilang memang dipindah. Mereka ingin memperingatkan. Protes karena tidak punya rumah lagi. Terpaksa mereka masuk ke kantor.” Jelas Pak Surip panjang lebar.
Kulitku merinding. Tanganku terasa dingin. Untung saja Mas Jono, suamiku meremas tanganku untuk memompa keberanianku.
“Apakah mereka bisa dipindah, Pak? Agar tidak menganggu lagi.” Kata Mas Jono.
“Sulit, Pak. Mereka sudah tinggal puluhan tahun. “
“Tapi Pak. Kami tidak mungkin bisa..” ujar Santi gemetar. Wajahnya menunjukkan ketakutan.
“Pak, terus gimana? Kami tidak bisa kalau terus diganggu.”ucapku.
Pak Surip bertafakur.
“Akan saya usahakan. Tetapi kemungkinan sulit untuk meminta mereka pindah. Saya akan coba. Beberapa hari lagi saya akan ke kantor.” Ucap Pak Surip menyejukkan hati kami.
                                                                                        **

“Siapa, ya?” tanya Sari sambil memandang sekelilingnya dengan curiga. Tak ada siapa –siapa. Maklum sebagian besar staf kantor sedang ke lapangan. Siang ini ia sendirian.
Bulu kuduk Sari merinding. Terdengar suara cekikikan yang terkadang jelas dan dekat, tetapi sesekali terlihat jauh dan samar.
“Halo? Siapa, ya? Mbah Marto?” teriak Sari mengatasi rasa takut yang menyergapnya. Meskipun ragu Mbah Marto, penjaga kantor sudah datang sesiang ini, tetapi Sari untung-untungan. Siapa tahu Mbah Marto sudah datang lebih cepat dari biasanya.
“Mbah? Mbah Marto?” suara Sari tertelan suara cekikikan yang terdengar di ruangan sebelah.
DEG. Sari cepat beranjak dari kursinya dan setengah berlari panik keluar dari ruangan. Firasatnya tidak enak.
OH…TIDAK…TOLONG……
Teriak Sari sambil berlari kencang keluar kantor. Ia harus jatuh bangun saat kakinya gemetaran dan menabrak kursi.
Wujud itu begitu mengerikan. Sari tidak akan sanggup melihatnya lagi.
Di ruang tengah, ia melihat seorang laki-laki hitam legam, tinggi besar, berwajah menakutkan dengan gigi-gigi besar. Sepanjang tubuhnya ditumbuhi bulu panjang dengan matanya merah melotot seakan siap keluar. Ia duduk dengan seorang perempuan dengan wajah dan tubuh sama persis dengan laki-laki disampingnya. Mereka menyaksikan seorang anak kecil bermain sambil tertawa-tawa. Mereka bertiga sama persis.
                                                                                  **

“Saya juga beberapakali melihat gendruwo itu, Mbak Ros,” kata Mbah Marto. Laki-laki tua itu sudah puluhan tahun menjadi penjaga kantor. Siang hari Mbah Marto bekerja sebagai penarik becak. Sore pulang ke kantor dan menjaga kantor sampai pagi hari.
Santi terbelalak kaget.
“Kok ngga pernah cerita, Mbah? Sejak kapan?”
“Dua hari setelah pohon jambu ditebang, ada suara-suara aneh di rumah. Selain perobotan terdengar digeser juga ada suara tertawa. Hampir setiap malam muncul. Hari berikutnya sesekali wujud gendruwo terlihat sekilas. Saya hanya bilang ke mereka agar tidak menganggu. Karena alam mereka dengan kita berbeda. Biar hidup sendiri-sendiri asal tidak saling menganggu.”
“Mbah Marto nggak takut? Kok nggak cerita ke kami?” protesku sambil memandang wajah letih Mbah Marto. Meskipun usianya sudah memasuki angka enampuluh tahun tetapi tubuhnya masih terlihat kuat. Tak heran, setiap hari mengayuh becak.
“Kalau saya cerita nanti Mbak Ros dan yang lain takut ke kantor. Makanya saya diam saja,” katanya membela diri.
Aku menghela nafas panjang. Tanpa minta persetujuan Santi, aku menghubungi Pak Surip.
                                                                                   ***

Pak Surip memandang pohon jambu tanpa berkedip. Matanya menatap serius tetapi penuh wibawa. Mulutnya komat kamit.
Kami duduk di ruang tamu memandang Pak Surip dari kaca jendela dengan rasa was-was. Entah apa yang terjadi. Apakah gendruwo itu sulit diajak kompromi?
Siang ini Pak Surip datang setelah aku menghubunginya. Sejak datang, Pak Surip lebih banyak diam. Tetapi matanya awas dan kelihatan siaga.
Sekitar sepuluh menit menyendiri, Pak Surip menghampiri kami dengan peluh bercucuran. Tenaganya seperti terkuras. Ia terlihat lelah.
“Mereka marah karena tempat tinggalnya hilang. Jadi mereka pindah ke dalam rumah. Persis seperti dugaan saya, karena sudah lama disini, mereka tidak mau pergi. “ kata Pak Surip setelah meneguk air putih yang dia minta.
“Kenapa mereka menganggu kami, Pak?” tanyaku cepat. Sulit membayangkan mereka tinggal bersama kami, sesekali menganggu tetapi tidak kelihatan. Tidak enak rasanya membayangkan setiap saat kami ‘diawasi’ penghuni lain kantor ini.
“Mereka tidak suka suasana berisik. Kalau tidak salah mereka menganggu hanya disaat-saat tertentu. “
Aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang sering terjadi di kantor.
“Ya, Mbak Ros. Mungkin benar. Semua kejadian yang kita alami pasti saat kita dikejar deadline laporan. Saat semua orang sibuk, berisik dan panik. Semua persis yang dikatakan Pak Surip.” Kata Santi mengingatkanku.
Aku mengangguk mengiyakan. Betul kata Santi. Penghuni rumah ini tidak suka saat rumah berisik dan ribut. Karena disaat-saat biasa tidak ada kejadian aneh.
“Nggak bisa dipindah keluar kantor, Pak?” tanya Mbah Marto.
“Iya, Pak. Saya ngeri kalau tahu mereka disini.” Kataku menambahkan usulan Mbah Marto.
“Saya akan mencobanya lagi. Tapi kemungkinan tidak terlalu jauh dari rumah ini,” ujar Pak Surip lagi. “Selama mereka belum pindah, pasti akan ada gangguan. Saran saya, Bu Ros dan yang lainnya bisa menjaga suasana kantor lebih tenang. Mungkin mereka tidak akan menampakkan diri.
“Tolong dimediasi, Pak. Paling tidak mereka tidak menampakkan diri lagi,” kataku diiringi rasa khawatir bercampur takut.
                                                                                       ***

Saat tiba di kantor, aku heran melihat becak Mbah Marto. Tak biasanya ia masih di kantor. Langkah kakiku berhenti saat Mbah Marto memberikan sebuah informasi penting.
“Gendruwo itu marah karena mau dipindah, Mbak. Semalam gendruwo itu mengajak teman-temannya datang ke sini. Mereka bikin pesta besar. Seisi rumah penuh keributan. Ada suara-suara gamelan dan tawa. Bahkan pimpinan mereka sempat menampakkan diri. Saya hanya bilang, silahkan berpesta tetapi jangan menganggu. Entah sampai jam berapa, saya tinggal tidur di teras. Paginya semua sudah sepi.” Tutur Mbah Marto panjang lebar.
Aku menggigil dalam diam. Tak bisa kubayangkan wajah penghuni rumah ini saat marah. Pikiranku kalut. Rasanya disekelilingku ada yang mengamati.
Aku melintasi ruang tengah, menyapa teman-teman yang mulai berdatangan. Melihat mereka biasa saja, membuatku lebih tenang. Paling tidak kerjaan teman-teman tidak terganggu.
Sambil menunggu file terbuka, kupejamkan mata. Aku berusaha menata hati. Cerita Mbah Marto masih tergiang ditelinggaku.
Kakiku mencari-cari sandal di bawah meja. Heran, biasanya sandal bisa kuraih dengan mudah. Sudah menjadi kebiasaanku, dikantor selalu mengganti sepatu dengan sandal jepit.
Tubuhku membungkuk, mataku bergerak dalam gelap. TAP. Mataku terpaku pada sosok menyeramkan dengan mata merah besar dan wajah penuh bulu. Persis seperti yang diceritakan Sari beberapa hari yang lalu. Giginya yang besar dan tajam menyeringai tepat didepan wajahku. Seketika aku menjerit ngeri. AARRRRGGGGGG……………………………………………
                                                                               ***

Dua bulan kemudian Pak Surip berhasil membuat perjanjian dengan penghuni lain di kantorku. Setelah bernegosiasi, mereka berjanji tidak akan menempakkan diri lagi dan tidak menganggu orang-orang kantor. Tetapi mereka minta syarat tidak mau dipindah jauh dari kantor. Akhirnya mereka sepakat pindah, tepatnya di pojok bagian timur tak jauh dari pohon jambu ‘rumah lama’ mereka.
Kantorku berangsur tenang kembali. Para penghuni lain telah menepati janji. Tidak sekalipun mereka menampakkan diri dan menganggu kegiatan kantor. Kami beraktivitasa dengan tenang, dan mereka mungkin juga melakukan hal yang sama.*****

Tidak ada komentar: