Antara percaya dan tidak percaya....
Tetapi 'mereka' ada diantara kita.
Cerpen ini dimuat dalam buku kumcer 'Misteri Rumah Ibu Sri' , terbitan Grasindo, 2015.
“Hoi…siapa yang mengambil dokumenku?”
Teriakan
Tiwik membuatku terlonjak kaget. Buru-buru aku berpaling dari laptop
dan bergegas. Kulihat Tiwik berdiri dengan muka merah. Mejanya
acak-acakan tak karuan. Kertas berserakan di bawah kursi. Tumpukan
dokumen tebal berserakan. Kwitansi tercecer di sana sini. Beberapa teman
mengerubungi bendahara kantorku ini.
“Ada apa, Wik?” tanyaku mencoba menyabarkan Tiwik.
“Dokumenku
hilang, Mbak.” katanya gugup, setengah menangis. Kulihat mukanya
berangsur-angsur pucat. Kekhawatiran jelas tidak bisa disembunyikan.
“Dokumen apa?” tanyaku lagi.
“Ini
Mbak. Dokumen untuk menyusun laporan.“ jawabnya sambil menyebutkan
sebuah lembaga funding yang selama ini menjadi donor lembaga kami.
“Hilang,
Mbak? Padahal dua hari lagi deadline?” teriak Santi setengah tak
percaya. Matanya terbelalak. Manager program di kantorku ini terlihat
cukup shock. Bagaimana juga ia yang bertanggungjawab terhadap laporan
yang harus dikirimkan lusa.
Aku
tertegun. Tiba-tiba kepalaku pening. Kejadian ini bukan yang pertama
kali. Sejak tiga minggu belakangan ini, sering terjadi hal-hal aneh di
kantor.
Tiga
minggu lalu, Rini, staf yang baru magang selama tiga bulan kehilangan
laporan penelitian yang sudah di jilid. Padahal ia harus menbawa dokumen
itu esok harinya ke sebuah acara di luar kota. Setelah mengaduk-aduk
seluruh meja kerja, bahkan dengan kesal sampai mencarinya di gudang, dokumen itu tidak juga ditemukan. Akhirnya
Rini terpaksa harus mencetak ulang dan mencari tempat jilid di malam
hari. Anehnya tiga hari kemudian dokumen itu ada di antara tumpukan koran di ruang tamu.
Seminggu berikutnya sekretaris kantor,
Latri, panik saat buku catatan telepon semua jaringan tidak ketahuan
dimana rimbanya. Buku itu tiba-tiba ada diatas mejanya keesokan harinya.
Tak ada yang mengaku mengambil atau memindahkan buku itu.
Dan
empat hari lalu, tiba-tiba aku sendiri kehilangan file proposal yang
mestinya bisa aku kirim hari ini. Sekarang? Keluhku dalam hati.
Benar-benar kejadian aneh.
“Coba dicari dulu, Wik. Mungkin terselip,”
saranku berusaha tenang. Aku tidak mungkin memperlihatkan kepanikan di
depan stafku. Sebagai direktur, aku harus menjaga ketenangan seluruh
staf dan memastikan semua baik-baik saja.
Tiwik mengelengkan kepala. Kali ini setitik air bening bergulir di sudut matanya. Ia terduduk lemas.
Aku
bisa memaklumi kekecewaan dan keresahannya. Tiwik pasti sangat panik
dan stress karena dokumen-dokumen itu sangat penting. Kalau sampai
semuanya hilang, pasti Tiwik akan kesulitan untuk mencari gantinya.
Bagaimana mungkin mencari kwitansi, nota-nota, bukti pembayaran selama
setahun yang hilang? Butuh waktu lama dan juga sulit untuk mencarinya.
Kutepuk bahu Tiwik. Aku merasa prihatin melihatnya.
“Wik,
sudah hampir jam lima. Sebaiknya kamu pulang dulu. Besok pagi kita cari
lagi, ya. Kalau panik seperti ini kemungkinan dokumennya juga nggak
ketemu. Siapa tahu besok saat kita mulai tenang, bisa menemukan dokumen
itu.” Kataku menghiburnya.
“Tapi, Mbak?” protes Tiwik.
“Nggak apa-apa. Besok kita semua akan membantu mencarinya kembali.” kataku tegas.
Tiwik mengangguk pasrah. Ia memberesi meja kerjanya.
Teman-teman satu persatu beranjak meninggalkan ruangan Tiwik. Beberapa orang melanjutkan membicarakan kejadian aneh tadi sambil berjalan. Terdengar celutukan Erna tentang kemungkinan yang mengambil sesuatu yang tidak kasat mata.
Ku tarik tangan Santi dan mengajaknya masuk ke ruanganku.
“San. Kamu merasa aneh nggak tentang kejadian akhir-akhir ini?” tanyaku langsung ke pokok pembicaraan.
Santi menarik kursi dan menatapku dengan kening berkerut.
“Aku
juga berpikir begitu, Mbak. Rasanya ada yang tidak beres di kantor.
Masak selalu saja ada yang kehilangan barang penting. Dan anehnya disaat
kita membutuhkan. Disaat mendekati hal penting. Aneh sekali,” gumam
Santi.
“Iya, San. Rini
kehilangan dokumen. Latri kehilangan buku. Aku juga mengalami hal yang
sama. Dan sekarang Tiwik. Aku merasa ada yang tidak beres.“ Aku
tidak habis pikir. Kami sudah menempati kantor ini lebih dari sepuluh
tahun. Selama ini tidak pernah ada kejadian aneh. Baru belakangan ini
terjadi. Kalau memang ada ‘penganggu’ kenapa baru saat ini?
“Mbak…”
Aku tergagap. Kupandangi Santi.
“Gimana
kalau kita mencari orang pintar saja. Aku nyakin ada yang tidak beres.
Kita harus minta bantuan orang pintar.” Kata Santi berapi-api.
Aku diam sejenak. Seumur-umur
aku belum pernah berurusan hal seperti ini. Antara percaya tidak
percaya, tetapi saat ini rasanya aku harus percaya dan mencari orang
pintar yang bisa membantu kami.
“Boleh juga. Mungkin bisa membantu kita.” Ujarku ragu-ragu.
Santi mengangguk menyakinkanku. “Kita butuh bantuan, Mbak Ros.”
**
“Sebulan
yang lalu pohon di depan kantor ditebang?” tanya Pak Surip, orang
pintar yang kami minta membantu memecahkan misteri di kantor.
DEG.
Aku dan Santi berpandang-pandangan. Tebakan Pak Surip tepat sekali.
Lelaki yang belum terlalu tua ini penampilannya tidak seperti mbah-mbah orang pintar yang aku bayangkan. Tidak ada ikat kepala hitam, rambut panjang, muka seram dan dupa yang biasanya
menjadi properti orang-orang pintar. Penampilannya sederhana,
mengunakan kaos putih, sarung dan berpeci. Ia hanya membutuhkan waktu
beberapa menit untuk berdoa. Tidak ada dupa yang mengebul.
“Iya,
Pak. Sebulan yang lalu pohon di depan kantor kami tebang,” jawabku
jujur. Kami segaja menebang pohon jambu di depan kantor untuk memperluas tempat parkir. Terkadang kalau ada kegiatan dan mengundang tamu, kami kekurangan tempat parkir.
“Pohon
jambu itu sudah ada sejak kantor belum dibangun. Puluhan tahun yang
lalu mereka sudah tinggal di pohon itu. Ketika ditebang, mereka marah,”
tutur Pak Surip tanpa basa-basi. Matanya yang teduh menatap kami satu
persatu.
“Hah?” Santi buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Ia tersadar tidak bisa mengendalikan emosi.
“Maksud
Pak Surip. Mereka itu…?” Aku tidak sanggup meneruskan kalimatku.
Terbayang dibenakku beberapa makhluk dari dunia lain itu marah saat
rumah mereka hilang.
“Ya,
Bu. Mereka satu keluarga. Bapak, ibu dan anak. Sebenarnya mereka
pindahan dari tempat lain. Ada yang membuangnya. Dan mereka merasa cocok
tinggal di pohon jambu itu. Barang-barang kantor yang menghilang memang
dipindah. Mereka ingin memperingatkan. Protes karena tidak punya rumah
lagi. Terpaksa mereka masuk ke kantor.” Jelas Pak Surip panjang lebar.
Kulitku merinding. Tanganku terasa dingin. Untung saja Mas Jono, suamiku meremas tanganku untuk memompa keberanianku.
“Apakah mereka bisa dipindah, Pak? Agar tidak menganggu lagi.” Kata Mas Jono.
“Sulit, Pak. Mereka sudah tinggal puluhan tahun. “
“Tapi Pak. Kami tidak mungkin bisa..” ujar Santi gemetar. Wajahnya menunjukkan ketakutan.
“Pak, terus gimana? Kami tidak bisa kalau terus diganggu.”ucapku.
Pak Surip bertafakur.
“Akan
saya usahakan. Tetapi kemungkinan sulit untuk meminta mereka pindah.
Saya akan coba. Beberapa hari lagi saya akan ke kantor.” Ucap Pak Surip
menyejukkan hati kami.
**
“Siapa, ya?” tanya Sari sambil
memandang sekelilingnya dengan curiga. Tak ada siapa –siapa. Maklum
sebagian besar staf kantor sedang ke lapangan. Siang ini ia sendirian.
Bulu kuduk Sari merinding. Terdengar suara cekikikan yang terkadang jelas dan dekat, tetapi sesekali terlihat jauh dan samar.
“Halo? Siapa, ya? Mbah Marto?” teriak Sari mengatasi rasa takut yang menyergapnya. Meskipun ragu Mbah Marto, penjaga kantor sudah datang sesiang ini, tetapi Sari untung-untungan. Siapa tahu Mbah Marto sudah datang lebih cepat dari biasanya.
“Mbah? Mbah Marto?” suara Sari tertelan suara cekikikan yang terdengar di ruangan sebelah.
DEG. Sari cepat beranjak dari kursinya dan setengah berlari panik keluar dari ruangan. Firasatnya tidak enak.
OH…TIDAK…TOLONG……
Teriak Sari sambil berlari kencang keluar kantor. Ia harus jatuh bangun saat kakinya gemetaran dan menabrak kursi.
Wujud itu begitu mengerikan. Sari tidak akan sanggup melihatnya lagi.
Di ruang tengah, ia melihat seorang laki-laki hitam
legam, tinggi besar, berwajah menakutkan dengan gigi-gigi besar.
Sepanjang tubuhnya ditumbuhi bulu panjang dengan matanya merah melotot
seakan siap keluar. Ia duduk dengan seorang perempuan dengan wajah dan tubuh sama persis dengan laki-laki disampingnya. Mereka menyaksikan seorang anak kecil bermain sambil tertawa-tawa. Mereka bertiga sama persis.
**
“Saya
juga beberapakali melihat gendruwo itu, Mbak Ros,” kata Mbah Marto.
Laki-laki tua itu sudah puluhan tahun menjadi penjaga kantor. Siang hari
Mbah Marto bekerja sebagai penarik becak. Sore pulang ke kantor dan
menjaga kantor sampai pagi hari.
Santi terbelalak kaget.
“Kok ngga pernah cerita, Mbah? Sejak kapan?”
“Dua
hari setelah pohon jambu ditebang, ada suara-suara aneh di rumah.
Selain perobotan terdengar digeser juga ada suara tertawa. Hampir setiap
malam muncul. Hari berikutnya sesekali wujud gendruwo terlihat sekilas.
Saya hanya bilang ke mereka agar tidak menganggu. Karena alam mereka
dengan kita berbeda. Biar hidup sendiri-sendiri asal tidak saling
menganggu.”
“Mbah
Marto nggak takut? Kok nggak cerita ke kami?” protesku sambil memandang
wajah letih Mbah Marto. Meskipun usianya sudah memasuki angka enampuluh
tahun tetapi tubuhnya masih terlihat kuat. Tak heran, setiap hari
mengayuh becak.
“Kalau saya cerita nanti Mbak Ros dan yang lain takut ke kantor. Makanya saya diam saja,” katanya membela diri.
Aku menghela nafas panjang. Tanpa minta persetujuan Santi, aku menghubungi Pak Surip.
***
Pak Surip memandang pohon jambu tanpa berkedip. Matanya menatap serius tetapi penuh wibawa. Mulutnya komat kamit.
Kami duduk di ruang tamu memandang Pak Surip dari kaca jendela dengan rasa was-was. Entah apa yang terjadi. Apakah gendruwo itu sulit diajak kompromi?
Siang
ini Pak Surip datang setelah aku menghubunginya. Sejak datang, Pak
Surip lebih banyak diam. Tetapi matanya awas dan kelihatan siaga.
Sekitar
sepuluh menit menyendiri, Pak Surip menghampiri kami dengan peluh
bercucuran. Tenaganya seperti terkuras. Ia terlihat lelah.
“Mereka
marah karena tempat tinggalnya hilang. Jadi mereka pindah ke dalam
rumah. Persis seperti dugaan saya, karena sudah lama disini, mereka
tidak mau pergi. “ kata Pak Surip setelah meneguk air putih yang dia
minta.
“Kenapa
mereka menganggu kami, Pak?” tanyaku cepat. Sulit membayangkan mereka
tinggal bersama kami, sesekali menganggu tetapi tidak kelihatan. Tidak
enak rasanya membayangkan setiap saat kami ‘diawasi’ penghuni lain
kantor ini.
“Mereka tidak suka suasana berisik. Kalau tidak salah mereka menganggu hanya disaat-saat tertentu. “
Aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang sering terjadi di kantor.
“Ya, Mbak Ros. Mungkin benar. Semua kejadian yang kita alami pasti saat kita dikejar deadline laporan. Saat semua orang sibuk, berisik dan panik. Semua persis yang dikatakan Pak Surip.” Kata Santi mengingatkanku.
Aku
mengangguk mengiyakan. Betul kata Santi. Penghuni rumah ini tidak suka
saat rumah berisik dan ribut. Karena disaat-saat biasa tidak ada
kejadian aneh.
“Nggak bisa dipindah keluar kantor, Pak?” tanya Mbah Marto.
“Iya, Pak. Saya ngeri kalau tahu mereka disini.” Kataku menambahkan usulan Mbah Marto.
“Saya
akan mencobanya lagi. Tapi kemungkinan tidak terlalu jauh dari rumah
ini,” ujar Pak Surip lagi. “Selama mereka belum pindah, pasti akan ada
gangguan. Saran saya, Bu Ros dan yang lainnya bisa menjaga suasana
kantor lebih tenang. Mungkin mereka tidak akan menampakkan diri.
“Tolong dimediasi, Pak. Paling tidak mereka tidak menampakkan diri lagi,” kataku diiringi rasa khawatir bercampur takut.
***
Saat tiba di kantor, aku heran melihat becak Mbah Marto. Tak biasanya ia masih di kantor. Langkah kakiku berhenti saat Mbah Marto memberikan sebuah informasi penting.
“Gendruwo itu marah karena mau dipindah, Mbak. Semalam gendruwo itu mengajak
teman-temannya datang ke sini. Mereka bikin pesta besar. Seisi rumah
penuh keributan. Ada suara-suara gamelan dan tawa. Bahkan pimpinan
mereka sempat menampakkan diri. Saya hanya bilang, silahkan berpesta
tetapi jangan menganggu. Entah sampai jam berapa, saya tinggal tidur di
teras. Paginya semua sudah sepi.” Tutur Mbah Marto panjang lebar.
Aku
menggigil dalam diam. Tak bisa kubayangkan wajah penghuni rumah ini
saat marah. Pikiranku kalut. Rasanya disekelilingku ada yang mengamati.
Aku melintasi ruang tengah, menyapa teman-teman yang mulai berdatangan. Melihat mereka biasa saja, membuatku lebih tenang. Paling tidak kerjaan teman-teman tidak terganggu.
Sambil menunggu file terbuka, kupejamkan mata. Aku berusaha menata hati. Cerita Mbah Marto masih tergiang ditelinggaku.
Kakiku
mencari-cari sandal di bawah meja. Heran, biasanya sandal bisa kuraih
dengan mudah. Sudah menjadi kebiasaanku, dikantor selalu mengganti
sepatu dengan sandal jepit.
Tubuhku membungkuk, mataku bergerak dalam gelap. TAP. Mataku terpaku pada sosok menyeramkan
dengan mata merah besar dan wajah penuh bulu. Persis seperti yang
diceritakan Sari beberapa hari yang lalu. Giginya yang besar dan tajam
menyeringai tepat didepan wajahku. Seketika aku menjerit ngeri. AARRRRGGGGGG……………………………………………
***
Dua
bulan kemudian Pak Surip berhasil membuat perjanjian dengan penghuni
lain di kantorku. Setelah bernegosiasi, mereka berjanji tidak akan
menempakkan diri lagi dan tidak menganggu orang-orang kantor. Tetapi
mereka minta syarat tidak mau dipindah jauh dari kantor. Akhirnya mereka sepakat pindah, tepatnya di pojok bagian timur tak jauh dari pohon jambu ‘rumah lama’ mereka.
Kantorku
berangsur tenang kembali. Para penghuni lain telah menepati janji.
Tidak sekalipun mereka menampakkan diri dan menganggu kegiatan kantor.
Kami beraktivitasa dengan tenang, dan mereka mungkin juga melakukan hal
yang sama.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar