Ada kalanya kita dipaksa untuk mengerti apa yang dilakukannya,
Meski kita tak bisa menerima,
Meski tak bisa mengerti,
Terkadang harus memaksa diri sendiri untuk mau mengerti.
“Please, ma’afkan aku,” katamu tersendat. Derai air mata semakin rapat. Kali ini kamu benar-benar tak bisa menahan tangis. Sempurna pipimu menganak sungai.
Aku hanya mampu termangu, tak sanggup menjawab. Berjuta perasaan bercampur aduk. Dadaku sesak menahan marah. Mataku panas sekuat tenaga menahan tangis. Tidak, aku tidak mau menangis di depan sahabatku. Ya sahabatku yang sudah sepuluh tahun ini menjadi teman yang setia dan sangat kusayangi. Sahabat, desisku kecut.
“Za, aku benar-benar minta ma’af. Sama sekali aku tidak bermaksud berbohong apalagi menyakitimu,” untuk sekian kalinya kata-kata ma’af begitu licin keluar dari mulut manismu. Wajahmu kuyu, memandangku dengan sorot mata memelas. Andai saja keadaan tidak seperti ini, pastilah aku akan tertawa terbahak-bahak melihatmu seperti ini. Aku jarang melihatmu bersedih. Hanya sekali saat ayahmu berpulang. Selebihnya kamu selalu periang, suka bercanda, bahagia dan memandang kehidupan begitu sederhana dan tidak ada masalah yang berarti. Dan kali ini aku melihatmu bersedih. Amboi, masalah kami mampu membuatmu meneteskan air mata.
“Za….”
“Kamu benar-benar kejam!” desisku parau. Suaraku terhenti ditenggorokan menahan tangis. Dadaku hampir meledak.
“Za, aku…aku…”
“Pergi! Tinggalkan aku!” kataku ketus.”Dasar perempuan berwajah dua!”
“Za…aku…tolong dengarkan penjelasanku,” katamu panik. Kamu memandangku dengan jerih melihat wajahku mengeras. Kamu jelas tahu kalau aku berusaha menahan kemarahan yang amat sangat.
“PERGI!” usirku tegas.
“Za….” katamu semakin melemah. Suaramu hampir tidak terdengar lagi. Dengan berurai air mata kamu berlari meninggalkan aku yang tak sudi melihatmu sekejappun.
Air mata yang kutahan akhirnya keluar juga, tak terbendung lagi. Hatiku terasa teriris pedih. Bagaimana mungkin sahabat dekatku tega mengkhianati aku. Vivi, teman yang sudah kuanggap sebagai sahabat beraninya menikamku dari belakang. Teganya amenyakiti hatiku, ibuku dan keluargaku. Bagaimana mungkin ia menjadi perempuan kedua bagi ayahku?
Rasa sayang dan kesetiaanku sebagai sahabat dekat menguar sudah berganti menjadi amarah, dendam dan rasa benci yang luar biasa. Kalau memang ayahku telah menghkianati ibuku kenapa harus Vivi yang menjadi duri di dalam keluargaku?
Kenyataan pahit itu tak segaja aku ketahui ketika aku pulang kuliah mampir ke mall untuk mencari sesuatu dan melihat Vivi bersama ayah di sebuah mall. Mereka berdua terlalu mesra dan layaknya sepasang kekasih. Aku masih bisa menahan diri untuk tidak melabrak mereka berdua hanya mengambil foto dan mengirimkannya kepada Vivi. Keinginanku untuk belanja hilang sudah dan aku pulang ke kost. Tak lama Vivi sudah menyusulku dan berusaha memberikan penjelasan.
“Vivi….aku tidak akan mema’afkanmu!” jeritku marah sambil merobek foto kami berdua yang selama ini ada di meja belajarku.
***
“Za..Zaza….ini tante. Vivi…,” suara itu terdengar lemah bercampur tangis.
Aku tidak lupa, suara tante Mira, mamanya Vivi.
“Ada apa Tante?” tanyaku berusaha menahan kebencian yang terus bertambah mendengar kata Vivi.
“Vivi…Za, Vivi… dia..”
“Ma’af Tante. Saya tidak mau mendengar kata Vivi lagi,” ucapku ketus. Kali ini aku tidak bisa berpura-pura lagi.
“Tolong, Za. Tante mengerti perasaanmu. Vivi sempat cerita ke Tante. Ia sangat menyesal telah mengambil jalan yang salah. Tapi Vivi hanya bremaksud membantu Tante saja,” isak tangis Tante MIra terdengar semakin keras.
“Tidak, Tante…”
“Tolong, Za. Mungkin ini yang terakhir kalinya. Tolonglah ke sini. Vivi kecelakaan dan sekarang kondisinya kritis.”
Aku terlonjak kaget. Kebencian dan rasa sayangku beradu mempengaruhi pikiranku. Meskipun aku benci setengah mati dengannya , toh akhirnya aku segera berangkat ke rumah sakit yang disebutkan Tante Mira.
***
Bau obat menyengat hidungku, menyeruak diantara kerumunan orang-orang yang lalulalang di rumah sakit. Berbagai wajah kutemui di sini. Wajah putus asa, lelah, duka, menyerah, pengharapan, kesedihan bercampur menjadi satu, membuatku bergidik. Sejak dulu aku tidak suka dengan rumah sakit.
“Vivi..Vivi, Za. ” Tante Mira memandangku dengan wajah tertutup aliran air bening. Matanya sembab terlalu lama bersimbah duka.
“Vivi kenapa Tante?” aku memandang Vivi dari jendela di luar ICU. Tubuhnya penuh dengan kabel, kepalanya terbungkus perban yang bersimbah darah. Matanya terpejam erat. Detak jantungnya terlihat lemah dari layar monitor. Hatiku mencelos melihat semua itu. Vivi yang beberapa jam lalu masih di kostku dan aku usir dengan kasar sekarang terbaring lemah tak berdaya.
“Ia kecelakaan setelah dari kostmu. Ia sempat pulang dan menceritakan semuanya. Vivi teramat menyesal telah menyakiti hatimu apalagi melihat tante marah besar saat tahu ia telah berhubungan lama dengan papamu. Vivi mengaku melakukan semua itu untuk membantu tante. Kamu tahu, selama bertahun-tahun tante harus cuci darah seminggu sekali. Padahal uang pensiun almarhum ayah Vivi tidak seberapa. Vivi berbuat itu untuk tante dan adiknya..” Tante Mira tidak sanggup lagi meneruskan ceritanya. Isak yang ditahan mampu membuatnya tak bisa bercerita lagi.
“Jadi.. jadi…” aku langsung mencerna cerita Tante Mira. Semua menjadi terang benderang. Selama ini Vivi memang menceritakan kalau ibunya harus berobat rutin. Tetapi ia tidak pernah cerita kalau kesulitan keuangan. Vivi terlalu pandai menyembunyikan masalahnya. Semua dipendam sendiri.
***
Ku pandangi wajah cantik Vivi yang sekarang terbaring pucat, kaku dan dingin. Senyum tersunging dbibirnya membuatnya tampak sedang tidur. Berkali-kali aku menyesali kepergian Vivi yang terlalu cepat. Ia telah pergi meninggalkan semua orang yang menyayanginya. Diantara do’a, kuselipkan kata ma’af yang tulus dari hatiku. Aku mengerti semua yang dilakukannya. Aku tidak menyalahkannya lagi. Smoga ia tenang di sana. Slamat jalan sahabat. ***
_Solo, 30 Mei 2015_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar