Aku melangkah dengan rasa percaya diri, meskipun itu sudah usaha maksimalku. Berusaha gagah, mencoba bersikap biasa, agar tidak terkesan belum pernah bepergian sendiri.
Pesan
Pakde Dadi terekam kuat dibenakku. “Kamu harus tenang, seolah sudah
biasa pergi. Kalau kelihatan gugup bisa menjadi incaran orang. Ingat di
jalan banyak orang yang berniat tidakbaik.”
Simbok kelihatan bertambah panik waktu mendengar pesan Pakde Dadi.
“Nduk, jaga diri baik-baik, yo. Jangan percaya sama orang yang nggak kamu kenal. Jangan ngelamun,bahaya bisa digendam.”
Aku
mangut-mangut, menyakinkan Simbok kalau aku selalu mengingat pesannya
dan berusaha bersikap tenang agar Simbok tidak mengkhawatirkanku.
Padahal, sumpah hatiku kebat-kebit. Antara berani dan nekat, itu yang
kurasakan.
Tetapi apa aku salah kalau mencari peruntungan
diantara jutaan orang yang mengentungkan hidupnya di belantara ibu kota?
Rasanya aku sama seperti yang lainnya,tidak ada yang salah saat aku
memutuskan untuk pergi.
Terminal semakin ramai,lalulalang orang semakin banyak. Kepalaku sempat berkedut saat panas matahari terasa menyengat.
Ku
seka peluhku yang terus keluar di dahi,sementra punggungku semakin
lembab. Panas dan gerah bercampur menjadi satu. Beda jauh dengan desaku
yang selalu sejuk terembus angin disela-sela dedauanan yang meliuk-liuk
dengan cepat.
“Jakarta…Jakarta….Bandung…Bandung….”
Teriakan kernet terdengar bersahutan. Riuh, rusuh membuat irama berganti-ganti dengan cepat.
Aku menatap nanar dan binggung.
Aku
ingat betul tak sampai genap limakali menginjak terminal. Dulu ikut
mengantar Fitri waktu mau jadi TKW ke Arab, menjemput Pakde Dadi, dan
tiga lainnya aku lupa. Seingatku saat aku masih kecil, tidak terlalu
kuingat.
“Mbak, Jakarta?”
“Bandung?”
“Ayo Mbak, mumpung masih ada kursi.Bentar lagi berangkat.”
“Yuk…Yuk…Jakarta..Bandung…Surabaya…Cirebon….”
Aku
menepis dengan halus saat tangan seorang laki-laki berusaha menarikku.
Dengan percaya diri berjalan menuju bis yang ada di jalur Jakarta,
seperti yang tertulis di papan petunjuk.
“Ke Jakarta, Pak?” tanyaku
“Iya Mbak. Ayo masuk, masih ada kursi.”
“Bisnya yang mana?”
“Ini Mbak. BIs lain berangkat setelah ini.”
“Berangkatnya masih lama?” tanyaku lagi.
“Bentar lagi,Mbak. Ayo naik saja. Nanti nggak kebagian kursi.”
Aku mengangguk. Berpegangan pada gerendel di pintu bis, dan naik.
Betul, masih ada separo kursi yang kosong. Aku cukup beruntung,bisa memilih kursi lebih leluasa.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar