Tasya memandang langit. Warna biru yang tadi mengelayut mulai berganti dengan abu gelap. Suasana sekitar mulai terlihat gelap dan suram. Sesekali matanya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
Diam-diam Tasya mulai dirambati
kecemasan. Dia terlalu asyik
diperpustakaan sehingga lupa kalau hari semakin sore. Padahal tidak mudah
mencari bis yang lewat di depan kampus pada sore hari. Mata Tasya terpaku pada atap halte yang koyak di sana sini. Tidak mungkin menanti hujan reda di halte yang kondisinya
tidak bagus seperti ini, sesal Tasya. Tidak banyak yang memanfaatkan halte di
depan kampus. Banyak mahasiswa yang tidak lagi mengunakan transportasi umum,
tetapi memilih mengunakan kendaraan pribadi. Barangkali hal itu yang
menyebabkan atap halte tidak segera diperbaiki.
Brrrr…Tasya bergidik merasakan angin
yang bertiup terasa dingin meresap kulitnya Tangannya bersedekap mengurangi rasa dingin. Angin bertiup semakin
kencang seakan menampar-nampar kulitnya.
Kecemasan semakin menjadi saat menatap kembali ke langit yang semakin
menghitam. Pandangan matanya terus bergerak mengikuti lalu lalang kendaraan
bermotor yang melaju degan cepat. Banyak yang tidak mau kehujanan di tengah
jalan, semua memacu kendaraan dengan cepat.
Tasya
memutuskan kembali ke kampus. Lebih baik
menunggu hujan reda di kampus daripada kehujanan di dalam halte. Sendirian
ditengah hujan membuatnya bergidik ngeri. Pasti di kampus masih ada mahasiswa
dan penjaga yang tersisa, batin Tasya
berlari menyeberangi jalan. Saat menganyunkan langkahnya, Tasya terdiam
beberapa detik. Kakinya terasa berat seperti ada yang menahannya. Dengan
mengerahkan tenaga, Tasya berhasil berlari. Tetapi lagi-lagi Tasya merasa
mukanya seperti ditampar sebuah tangan. Sebuah bisikan terdengar membuatnya bergidik, JANGAN PERGI! Kalimat itu begitu
dingin dan menusuk hati. Tasya sempat tertegun tetapi tidak menghiraukan
perintah itu. Benar saja, hujan tampak
turun seperti dimuntahkan dari langit. Tasya bernafas lega setelah
sampai di kampus meskipun beberapa tetes
air sempat membasahi tubuhnya. DASAR BODOH! Sebuah kalimat bernada
marah sempat terdengar di telingganya.
Tasya mencari-cari suara itu, tetapi tidak menemukan seorangpun. Apakah aku
bermimpi? Batinnya cemas. Dengan sedikit
takut Tasya berjalan ke lorong kampus berharap menemukan orang lain.
“Halo……Halo…..” Tasya berjalan mencari teman.
Tidak ada suara sama sekali, kampus sepi sekali.
Dalam hatinya diliputi kekhawatiran sekaligus keheranan dengan suasana
kampus yang sepi seperti kuburan. Tak biasa kampus sepi, biasanya pasti ada
orang-orang meskipun hari sudah menjelang petang. Sungguh kondisi yang tidak
mengenakan, sendirian dikampus saat hujan lebat. Tasya
memutuskan untuk duduk di depan.
Bangunan kampusnya terletak masuk ke dalam sehingga tidak kelihatan dari jalan
raya. Saat termangu-mangu, telingganya mendengar suara keributan. Semakin lama
semakin jelas, setidaknya ada dua orang laki-laki dan perempuan yang sedang
bertengkar. Tasya penasaran. Dengan
hati-hati Tasya mencari sumber suara tersebut. Langkah kakinya perlahan
menyusuri lorong sampai dia memastikan
sumber suara berasal dari lantai 3. Meskipun ragu-ragu, Tasya melangkahkan
kakinya menaiki tangga.
JANGAN NAIK! HENTIKAN!
“Siapa itu?” bergetar suara Tasya
sambil mencari sumber suara yang melarangnya pergi. Sepi dan hanya desiran
angin kencang yang menjawabnya. Tasya bergidik ngeri. Suara itu persis dengan
kedua suara yang tadi dia dengar. Keraguan kembali menghampirinya. Tetapi seperti
ditarik seseorang Tasya terus melangkah naik ke tangga.
DASAR BODOH! PEMBANGKANG!
Makian itu terdengar jelas dan
bernada geram. Lagi-lagi Tasya tidak
menemukan siapapun yang telah membentaknya. Kakinya terus melangkah sampai di
lantai tiga. Suara pertengkaran semakin jelas. Tasya lega, nyakin ada orang lain di kampus. Dia
tidak suka ikut campur dengan urusan orang. Tasya bertekad hanya memastikan
melihat mereka, setelah itu akan turun menunggu hujan reda di bawah.
“Diam kamu!PLAK!” terdengar bentakan
disusul pukulan.
“Ahhhhhh. Kamu Jahat” sedu sedan
perempuan diiringi pukulan bertubi –tubi
membuat Tasya tertegun. Rasa
solidaritasnya sebagai sesama perempuan membuat kemarahannya bangkit. Pasti ada yang tidak beres, batinnya dan
bergegas menghampiri mereka.
Tasya terpaku tak mampu mengerakkan
tubuhnya. Sesosok perempuan melayang jatuh
dari pojok belakang ruang kuliah
setelah tergelincir dari lantai yang basah dan licin karena
tampias hujan. Tangannya mengapai lantai berusaha untuk mengangkat badannya. Sosok laki-laki didepannya tidak berusaha menolong, justru menginjak tangan perempuan itu. Tubuh
yang bergelantungan itu meluncur turun dengan cepat dan tak lama terdengar
suara berderak kepala beradu dengan
aspal. Darah membanjiri tubuhnya. Tetapi, sosok perempuan itu lenyap tak
berbekas. Tiba-tiba sosoknya berdiri di depan Tasya. Tap! Tasya mengenalnya. Santi, kakak kelasnya yang meninggal secara
misterius. Tubuh Santi berlumuran darah
yang tidak berhenti menetas dari kepalanya yang pecah. Mukanya seram, menyeringai
dengan biji mata merah dan gigi seperti taring. Kuku tangannya panjang bersiap mencakar Tasya.
Saat itu, naluri Tasya
menyuruhnya untuk berlari. Tasya berlari cepat, menuruni tangga demi tangga.
Dibelakangnya Santi mengejar dengan ganas. Matanya memandang Tasya
tanpa berkedip di sela-sela rambutnya yang
terurai lebat menutupi wajahnya. Tasya berlari menembus hujan tanpa
berhenti***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar