Minggu, 14 Juni 2015

Saat Hujan Di Sudut Kampus



              Tasya memandang langit. Warna biru yang tadi mengelayut mulai berganti dengan abu gelap. Suasana sekitar mulai terlihat gelap dan suram. Sesekali matanya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
             Diam-diam Tasya mulai dirambati kecemasan.  Dia terlalu asyik diperpustakaan sehingga lupa kalau hari semakin sore. Padahal tidak mudah mencari bis yang lewat di depan kampus pada sore hari.  Mata Tasya terpaku pada atap halte yang  koyak di sana sini. Tidak mungkin  menanti hujan reda di halte yang kondisinya tidak bagus seperti ini, sesal Tasya. Tidak banyak yang memanfaatkan halte di depan kampus. Banyak mahasiswa yang tidak lagi mengunakan transportasi umum, tetapi memilih mengunakan kendaraan pribadi. Barangkali hal itu yang menyebabkan atap halte tidak segera diperbaiki.

            Brrrr…Tasya bergidik merasakan angin yang bertiup terasa dingin meresap kulitnya Tangannya bersedekap  mengurangi rasa dingin. Angin bertiup semakin kencang  seakan menampar-nampar kulitnya. Kecemasan semakin menjadi saat menatap kembali ke langit yang semakin menghitam. Pandangan matanya terus bergerak mengikuti lalu lalang kendaraan bermotor yang melaju degan cepat. Banyak yang tidak mau kehujanan di tengah jalan, semua memacu kendaraan dengan cepat. 
Tasya memutuskan  kembali ke kampus. Lebih baik menunggu hujan reda di kampus daripada kehujanan di dalam halte. Sendirian ditengah hujan membuatnya bergidik ngeri. Pasti di kampus masih ada mahasiswa dan penjaga  yang tersisa, batin Tasya berlari menyeberangi jalan. Saat menganyunkan langkahnya, Tasya terdiam beberapa detik. Kakinya terasa berat seperti ada yang menahannya. Dengan mengerahkan tenaga, Tasya berhasil berlari. Tetapi lagi-lagi Tasya merasa mukanya seperti ditampar sebuah tangan. Sebuah bisikan terdengar membuatnya  bergidik, JANGAN PERGI! Kalimat itu begitu dingin dan menusuk hati. Tasya sempat tertegun tetapi tidak menghiraukan perintah itu. Benar saja, hujan tampak  turun seperti dimuntahkan dari langit. Tasya bernafas lega setelah sampai di kampus meskipun beberapa tetes  air sempat membasahi tubuhnya. DASAR BODOH! Sebuah kalimat bernada marah  sempat terdengar di telingganya. Tasya mencari-cari suara itu, tetapi  tidak menemukan seorangpun. Apakah aku bermimpi? Batinnya cemas.  Dengan sedikit takut Tasya berjalan ke lorong kampus berharap menemukan orang lain.
            “Halo……Halo…..” Tasya berjalan  mencari teman.
            Tidak ada suara sama sekali, kampus  sepi sekali.  Dalam hatinya diliputi kekhawatiran sekaligus keheranan dengan suasana kampus yang sepi seperti kuburan. Tak biasa kampus sepi, biasanya pasti ada orang-orang meskipun hari sudah menjelang petang. Sungguh kondisi yang tidak mengenakan, sendirian dikampus saat hujan lebat.  Tasya  memutuskan untuk  duduk di depan. Bangunan kampusnya terletak masuk ke dalam sehingga tidak kelihatan dari jalan raya. Saat termangu-mangu, telingganya mendengar suara keributan. Semakin lama semakin jelas, setidaknya ada dua orang laki-laki dan perempuan yang sedang bertengkar.  Tasya penasaran. Dengan hati-hati Tasya mencari sumber suara tersebut. Langkah kakinya perlahan menyusuri  lorong sampai dia memastikan sumber suara berasal dari lantai 3. Meskipun ragu-ragu, Tasya melangkahkan kakinya menaiki tangga.
            JANGAN NAIK! HENTIKAN!
            “Siapa itu?” bergetar suara Tasya sambil mencari sumber suara yang melarangnya pergi. Sepi dan hanya desiran angin kencang yang menjawabnya. Tasya bergidik ngeri. Suara itu persis dengan kedua suara yang tadi dia dengar. Keraguan kembali menghampirinya. Tetapi seperti ditarik seseorang Tasya terus melangkah naik ke tangga.
            DASAR BODOH! PEMBANGKANG!
            Makian itu terdengar jelas dan bernada geram.  Lagi-lagi Tasya tidak menemukan siapapun yang telah membentaknya. Kakinya terus melangkah sampai di lantai tiga. Suara pertengkaran semakin jelas. Tasya  lega, nyakin ada orang lain di kampus. Dia tidak suka ikut campur dengan urusan orang. Tasya bertekad hanya memastikan melihat mereka, setelah itu akan turun menunggu hujan reda di bawah.
            “Diam kamu!PLAK!” terdengar bentakan disusul pukulan.
            “Ahhhhhh. Kamu Jahat” sedu sedan perempuan diiringi  pukulan bertubi –tubi membuat Tasya tertegun.  Rasa solidaritasnya sebagai sesama perempuan membuat kemarahannya bangkit.  Pasti ada yang tidak beres, batinnya dan bergegas menghampiri mereka.
            Tasya terpaku tak mampu mengerakkan tubuhnya. Sesosok perempuan  melayang jatuh dari pojok belakang  ruang kuliah setelah  tergelincir  dari lantai yang basah dan licin karena tampias hujan. Tangannya  mengapai  lantai berusaha untuk mengangkat badannya.  Sosok laki-laki  didepannya tidak berusaha menolong,  justru menginjak tangan perempuan itu. Tubuh yang bergelantungan itu meluncur turun dengan cepat dan tak lama terdengar suara berderak kepala beradu dengan  aspal. Darah  membanjiri  tubuhnya.  Tetapi, sosok perempuan itu lenyap tak berbekas. Tiba-tiba sosoknya berdiri di depan Tasya. Tap! Tasya mengenalnya.  Santi, kakak kelasnya yang meninggal secara misterius.  Tubuh Santi berlumuran darah yang tidak berhenti menetas dari kepalanya yang pecah. Mukanya seram, menyeringai dengan biji mata merah dan gigi seperti taring. Kuku tangannya panjang  bersiap mencakar Tasya. 
                 Saat itu, naluri Tasya menyuruhnya untuk berlari. Tasya berlari cepat, menuruni tangga demi tangga. Dibelakangnya Santi   mengejar dengan ganas. Matanya memandang Tasya tanpa berkedip di sela-sela rambutnya yang  terurai lebat menutupi wajahnya. Tasya berlari menembus hujan tanpa berhenti***



Tidak ada komentar: