Minggu, 14 Juni 2015

Senja Di Kotaku

                   Aku termenung, mengumpulkan keberanian. Kembali ke kota ini, hanya kepedihan yang kurasakan. Kilasan kejadian dua tahun silam seakan baru saja terjadi kemarin. Semua masih sempurna. Masih pekat dipelupuk mata.


                 Aku berdiri  termangu di sebuah mall. Mencari titipan ibu disini. Kulihat jam tanganku, senja telah datang mengantikan siang, aku baru baru menyadari terlalu lama di mall.
                 Langkah  tergesaku terpaksa berhenti saat hujan turun dengan lebatnya. Tumpahan air hujan seakan ingin membasahi seluruh bumi, memberikan kesejukan kepada seluruh makluk setelah seharian panas terasa  membakar  dunia seisinya. Percuma kalau berjalan ke halte. Aku lupa tidak membawa payung, sesalku dalam hati.
            Aku tertegun, mendesah. Banyak yang bernasib sama sepertiku, terpaksa menunggu hujan. Kulihat langit berwarna abu-abu gelap  pertanda hujan belum akan reda dalam hitungan menit. Beberapa orang duduk-duduk sambil memainkan ponsel membunuh waktu. Ada juga yang termangu sambil menatap  rinai hujan. Mereka sendirian sepertiku. 

            Sekitar seperempat jam kemudian aku memutuskan untuk duduk menunggu hujan reda di food court yang tidak jauh dari pintu  keluar. Perutku kebetulan sudah melilit. Segelas teh panas dan sepiring nasi goreng pasti lebih dari cukup membuat perutku  tak lagi berdendang.
            Aku diam membatu.  Mataku  terpaku kepada sosok laki-laki yang sangat ku kenal. Aku tidak mungkin salah lihat. Dia  selalu menemani hari-hariku, membuat hidupku riang, menghapus duka yang kadang singgah.  Laki-laki itu jelas kukenali meskipun dari jarak 10 meter. Kamu duduk berhadapan dengan seorang perempuan. Tidak, tidak mungkin kalian seperti aku  terjebak hujan dan  menunggu reda sambil minum dan gobrol. Tidak mungkin juga kalian hanya berteman. Kamu begitu akrab,  sangat perhatian dan bahkan sesekali tanganmu  mengusap lembut rambutnya. Kenapa kamu melakukan ini semua?
            “Maaf aku tidak bisa mengantarmu. Aku masih harus lembur,” katamu di telepon. “ Sekar, kamu tidak marah, khan? Maaf sekali soalnya bahan lemburan buat rapat besok pagi.” Sambungmu lagi menyakinkanku.
            Aku tersenyum dan mencoba bersikap biasa saja. “Oke, tak mengapa. Aku bisa jalan sendiri. Jangan lupa kamu nanti makan ya. Jangan kemalaman,” ucapku  tegar. Toh kamu melakukan ini semua demi rencana masa depan kami. Kamu sangat rajin bekerja dan mengambil lemburan semata demi mengumpulkan pundi-pundi uang sebagai bekal rumah tangga kita kelak.
            Lembur? Bisikku sendu. Kenapa di sini? Tetesaan air mata mulai membasahi pipiku. Hubungan kami sudah memasuki tahun ketiga. Dan enam bulan lagi kami merencanakan pernikahan. Kenapa ada pengkhianatan sementara masa depan yang kamu janjikan sudah membentang didepan mataku?
            Kenapa aku sampai  salah menilaimu selama ini? Waktu dua tahun lebih belumlah cukup untuk memahami dirimu. Hari ini kamu telah menikamkan belati di hatiku. Aku menyesal karena tidak peka akan perubahan sikapmu akhir-akhir ini. Beberapa kali kamu tidak  bisa mengantarku pergi dengan berbagai alasan. Bahkan kamu juga tidak bisa menjemputku dan membiarkan aku pulang kerja berdesakan dengan penumpang lainnya. Kenapa aku tidak menaruh curiga sedikitpun?
            Setelah mengeringkan air mata, kupaksakan diri melangkah mendekatimu. Aku berusaha tegar dan berdiri tegak di depan kalian.
            “Halo,” sapaku dengan bibir bergetar.  “Sekarang lemburnya pindah disini?” lanjutku lagi sambil menyunggingkan senyum getir.
            Kamu  tergagap, melepaskan tangan  perempuan itu dan menatapku dengan muka pucat, tidak pernah menyangka melihatku di tempat yang sama.
            “Sekar? Kau…” katanya terbata.
            Aku melangkah pergi dengan hati hancur.
            “Sekar tunggu. Sekar….”
            Tak kuhiraukan lagi panggilanmu.  Aku terus melangkah tak memperdulikanmu juga semua orang yang melihat kita. Kupercepat langkah kakiku sampai di depan mall. Senja telah berganti malam, hujan masih turun satu dua.
            “Sekar, tunggu dulu.” Katamu sambil memandangku dengan tatapan menghiba. Mata sendumu kali ini tidak mampu menahanku lebih lama.
            Aku hanya menatapmu dengan mata terluka dan bergegas menerabas rintik hujan, berlari ke pangkalan taksi. Mataku kabur sesaat masih melihatmu berdiri termangu menatap kepergianku. Di belakangmu perempuan itu meremas pundakmu.

**
            “Sekar, maafkan aku. Aku sama sekali tidak bermaksud melukai hatimu,” katamu lirih tanpa berani memandangku.
            Setelah berkali-kali aku menolakmu, hari ini aku tidak bisa menghindar darimu lagi.
            “Aku memang bersalah. Aku tidak  mampu menjaga janji suci kita. Aku mudah terbujuk. Tetapi asal kamu tahu, sampai detik ini aku hanya sayang dan cinta kamu. Sungguh Sekar. Aku terpaksa melakukan ini semua. Sita terlalu lemah. Dia sangat mencintaku bahkan telah banyak berkorban untuk mendapatkan cintaku.” Ujarmu masih terbata.
            Sangat mencintaimu? Lalu bagaimana denganku, bukankah aku juga sangat mencintaimu? Bukankah selama ini aku juga banyak berkorban demi cinta kita? Apakah ini tidak cukup bagimu? Batinku kesal.
            “Sekar, tolong jangan diam saja. Aku benar-benar menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi aku juga tidak bisa menghindar dari semua ini.”
            “Apa yang kamu inginkan?”tanyaku dingin.
            “Maafkan aku Sekar. Aku sulit untuk memilih. Sita benar-benar butuh perhatianku. Dia sakit dan butuh perhatian dari orang yang dicintainya. Dokter memperkirakan umurnya tidak akan lebih dari setahun lagi.” Lanjutmu dengan bibir bergetar.
            “Oya? Lalu kamu kira aku tidak butuh perhatianmu? Lalu kamu anggap hubungan kita selama ini hanya sesederhana ini? Bukankah mati dan hidup itu hanya Tuhan yang tahu? Kamu terlalu lancang.” kataku tajam.
            “Sekar…” bisikmu lemah saat melihatku meninggalkanmu sendirian.
Hatiku menjerit dengan tidakadilan ini. Bahkan kamu tidak pernah mengejarku untuk sedikit menyakinkan bahwa cintamu masih besar untukku. Untuk memberiku sisa harapan yang mungkin akan menemani hari-hariku tanpa dirimu. Mataku luruh. Aku nyaris  tidak mengenalmu lagi.

**
Aku duduk, menatap kosong cangkir berisi kopi hangat yang belum kusentuh sama sekali. Kulihat dari dinding kaca, senja mulai turun.  Temaram warna merah kuning  jingga memenuhi langit senja, membiaskan sinarnya yang redup. Mentari sudah hampir tidak kelihatan,  perlahan malu-malu pulang ke peraduan.
            Kenapa aku di sini? Di tempat yang sama dua tahun yang lalu. Membiarkan hatiku tercabik-cabik sembilu dan nyeri sepanjang hidupku.  Entahlah, saat aku pulang ke kota ini, kakiku melangkah ringan dan duduk di tempat yang sama aku melihat kamu bersama perempuan itu. Itulah hari terakhir jalinan cinta kita. Aku memutuskan mengakhiri semua yang telah kita mulai bersama. Bagiku apa yang telah kita rajut sudah tercerai berai dengan semua yang telah kamu lakukan. Aku memilih berlari menjauh dari semua kenangan kita, dari masa depan indah yang telah kamu janjikan. Aku tidak pernah bisa menerima kenyataan pahit ini.
            Dan hari ini, masa lalu kembali hadir. Ragaku telah menjauh darimu tetapi ternyata jiwaku sulit melupakan kenangan itu.  Semua masih terasa sama.
            TAP. Tanpa segaja mataku terpaku kepada sosokmu. Kali ini kamu tidak hanya berdua. Ada sosok anak kecil berumur setahun yang duduk diantara kalian berdua. Perempuan itu, perempuan yang sama  kulihat bersamamu saat itu. Kalian duduk sambil mengoda anak kecil itu. Rambut, mata, wajahnya persis denganmu. Itu pasti putrimu, semua mirip denganmu. Kalian tampak bahagia menikmati senja  sambil bercanda ria.
**
           
Aku bergegas meninggalkan kalian. Waktu dua tahun tidak merubah perasaanku padamu. Kali ini tidak ada harapan lagi. Semua telah musnah. Betapa aku telah menyia-nyiakan waktu panjangku. Tidak ada lagi yang tersisa di kotaku ini.
            “Sekar….” Sebuah suara lembut yang sangat kukenal tepat dibelakangku.
            Aku menatap tidak percaya. Kamu persis dibelakangku dengan selarik senyum yang selama dua tahun ini selalu mengantarkan tidurku.
            “Kapan kamu kembali?” tanyamu lagi. Kali ini sambil mengulurkan tangan.
            Aku berdiri, terpaku, tak percaya, seakan bermimpi.  Saat tanganmu meremasku lembut, aku tersadar semua bukan mimpi.
            “Ma’afkan aku. Kamu benar, mati dan hidup ditangan Tuhan. Aku terlalu lancang percaya dengan perkiraan manusia. Ternyata Sita sehat-sehat saja bahkan sampai saat ini. Dia telah membohongi aku. Semua sudah terlambat saat aku mengetahuinya. Saat ini aku sedang mengurus proses perceraian.”
Kulihat manik mata sendumu menyiratkan duka. Ya  aku tidak  melihat kebahagiaan di dalamnya. Sesaat kemudian kulihat matamu memandangku penuh harapan dan menawarkan impian. Dua tahun ini tidak mampu membuatmu berubah. Aku menemukan hatimu yang lalu. Yang telah lama kukenal.
“Aku masih dan terlalu mencintamu. Aku selalu berusaha mencarimu tetapi semua keluargamu sepakat menutup informasi keberadaanmu. Rasanya mulai gila saat sulit menemukanmu. Tetapi aku tetap bertekad untuk mengakhiri semua ini dan kembali kepadamu. Apakah kamu masih sendiri? Masih adakah sisa cintamu untukku?” tanyamu  sambil mengenggam tanganku dengan sudut mata basah. Mata sendumu yang selama ini selalu mampu merontokkan hatiku kembali membuatku tenggelam.
Bukankan ini yang kutunggu? Semua sudah didepan mata. Impian, harapan dan cinta. Tetapi apakah aku nyakin bisa menjalani semua ini? Apakah aku tega membiarkan anak kecil itu berpisah dan kehilangan ayahnya? Tidak, tidak. Meskipun aku sangat mencintamu, tetapi aku tidak mungkin setega itu.
“Ma’afkan aku. Semua sudah berlalu. Kamu sekarang milik anak dan istrimu. Kembalilah kepada mereka.” ucapku sekuat tenaga menahan air mataku tumpah. Kulepaskan genggaman tanganmu.
Kamu memandangku terluka.  Tidak terima.
Aku mengeleng kuat-kuat. Melempar senyum untuk yang terakhir kalinya dan melangkah pergi.
“Sekar….” Panggilmu pilu.
Aku terus melangkah. Membawa pergi kepingan hati yang kembali terluka. Kali ini aku tidak menoleh lagi. Ku tatap senja yang membisu,  telah benar-benar hilang. Selamat tinggal cintaku. *****


Tidak ada komentar: