Aku berdiri termangu di sebuah mall. Mencari titipan ibu disini. Kulihat jam tanganku, senja telah datang mengantikan siang, aku baru baru menyadari terlalu lama di mall.
Langkah tergesaku terpaksa berhenti saat hujan turun dengan lebatnya. Tumpahan air hujan seakan ingin membasahi seluruh bumi, memberikan kesejukan kepada seluruh makluk setelah seharian panas terasa membakar dunia seisinya. Percuma kalau berjalan ke halte. Aku lupa tidak membawa payung, sesalku dalam hati.
Aku
tertegun, mendesah. Banyak yang bernasib sama sepertiku, terpaksa menunggu
hujan. Kulihat langit berwarna abu-abu gelap
pertanda hujan belum akan reda dalam hitungan menit. Beberapa orang
duduk-duduk sambil memainkan ponsel membunuh waktu. Ada juga yang termangu
sambil menatap rinai hujan. Mereka
sendirian sepertiku.
Sekitar
seperempat jam kemudian aku memutuskan untuk duduk menunggu hujan reda di food court yang tidak jauh dari
pintu keluar. Perutku kebetulan sudah
melilit. Segelas teh panas dan sepiring nasi goreng pasti lebih dari cukup
membuat perutku tak lagi berdendang.
Aku
diam membatu. Mataku terpaku kepada sosok laki-laki yang sangat ku
kenal. Aku tidak mungkin salah lihat. Dia
selalu menemani hari-hariku, membuat hidupku riang, menghapus duka yang
kadang singgah. Laki-laki itu jelas
kukenali meskipun dari jarak 10 meter. Kamu duduk berhadapan dengan seorang
perempuan. Tidak, tidak mungkin kalian seperti aku terjebak hujan dan menunggu reda sambil minum dan gobrol. Tidak
mungkin juga kalian hanya berteman. Kamu begitu akrab, sangat perhatian dan bahkan sesekali tanganmu mengusap lembut rambutnya. Kenapa kamu
melakukan ini semua?
“Maaf
aku tidak bisa mengantarmu. Aku masih harus lembur,” katamu di telepon. “
Sekar, kamu tidak marah, khan? Maaf sekali soalnya bahan lemburan buat rapat
besok pagi.” Sambungmu lagi menyakinkanku.
Aku
tersenyum dan mencoba bersikap biasa saja. “Oke, tak mengapa. Aku bisa jalan
sendiri. Jangan lupa kamu nanti makan ya. Jangan kemalaman,” ucapku tegar. Toh kamu melakukan ini semua demi
rencana masa depan kami. Kamu sangat rajin bekerja dan mengambil lemburan
semata demi mengumpulkan pundi-pundi uang sebagai bekal rumah tangga kita
kelak.
Lembur?
Bisikku sendu. Kenapa di sini? Tetesaan air mata mulai membasahi pipiku.
Hubungan kami sudah memasuki tahun ketiga. Dan enam bulan lagi kami
merencanakan pernikahan. Kenapa ada pengkhianatan sementara masa depan yang
kamu janjikan sudah membentang didepan mataku?
Kenapa
aku sampai salah menilaimu selama ini?
Waktu dua tahun lebih belumlah cukup untuk memahami dirimu. Hari ini kamu telah
menikamkan belati di hatiku. Aku menyesal karena tidak peka akan perubahan
sikapmu akhir-akhir ini. Beberapa kali kamu tidak bisa mengantarku pergi dengan berbagai
alasan. Bahkan kamu juga tidak bisa menjemputku dan membiarkan aku pulang kerja
berdesakan dengan penumpang lainnya. Kenapa aku tidak menaruh curiga
sedikitpun?
Setelah
mengeringkan air mata, kupaksakan diri melangkah mendekatimu. Aku berusaha
tegar dan berdiri tegak di depan kalian.
“Halo,”
sapaku dengan bibir bergetar. “Sekarang
lemburnya pindah disini?” lanjutku lagi sambil menyunggingkan senyum getir.
Kamu tergagap, melepaskan tangan perempuan itu dan menatapku dengan muka pucat,
tidak pernah menyangka melihatku di tempat yang sama.
“Sekar?
Kau…” katanya terbata.
Aku
melangkah pergi dengan hati hancur.
“Sekar
tunggu. Sekar….”
Tak
kuhiraukan lagi panggilanmu. Aku terus
melangkah tak memperdulikanmu juga semua orang yang melihat kita. Kupercepat
langkah kakiku sampai di depan mall. Senja telah berganti malam, hujan masih
turun satu dua.
“Sekar,
tunggu dulu.” Katamu sambil memandangku dengan tatapan menghiba. Mata sendumu
kali ini tidak mampu menahanku lebih lama.
Aku
hanya menatapmu dengan mata terluka dan bergegas menerabas rintik hujan,
berlari ke pangkalan taksi. Mataku kabur sesaat masih melihatmu berdiri
termangu menatap kepergianku. Di belakangmu perempuan itu meremas pundakmu.
**
“Sekar,
maafkan aku. Aku sama sekali tidak bermaksud melukai hatimu,” katamu lirih
tanpa berani memandangku.
Setelah
berkali-kali aku menolakmu, hari ini aku tidak bisa menghindar darimu lagi.
“Aku
memang bersalah. Aku tidak mampu menjaga
janji suci kita. Aku mudah terbujuk. Tetapi asal kamu tahu, sampai detik ini
aku hanya sayang dan cinta kamu. Sungguh Sekar. Aku terpaksa melakukan ini
semua. Sita terlalu lemah. Dia sangat mencintaku bahkan telah banyak berkorban
untuk mendapatkan cintaku.” Ujarmu masih terbata.
Sangat
mencintaimu? Lalu bagaimana denganku, bukankah aku juga sangat mencintaimu?
Bukankah selama ini aku juga banyak berkorban demi cinta kita? Apakah ini tidak
cukup bagimu? Batinku kesal.
“Sekar,
tolong jangan diam saja. Aku benar-benar menyesali apa yang telah terjadi.
Tetapi aku juga tidak bisa menghindar dari semua ini.”
“Apa
yang kamu inginkan?”tanyaku dingin.
“Maafkan
aku Sekar. Aku sulit untuk memilih. Sita benar-benar butuh perhatianku. Dia
sakit dan butuh perhatian dari orang yang dicintainya. Dokter memperkirakan
umurnya tidak akan lebih dari setahun lagi.” Lanjutmu dengan bibir bergetar.
“Oya?
Lalu kamu kira aku tidak butuh perhatianmu? Lalu kamu anggap hubungan kita
selama ini hanya sesederhana ini? Bukankah mati dan hidup itu hanya Tuhan yang
tahu? Kamu terlalu lancang.” kataku tajam.
“Sekar…”
bisikmu lemah saat melihatku meninggalkanmu sendirian.
Hatiku menjerit dengan
tidakadilan ini. Bahkan kamu tidak pernah mengejarku untuk sedikit menyakinkan
bahwa cintamu masih besar untukku. Untuk memberiku sisa harapan yang mungkin
akan menemani hari-hariku tanpa dirimu. Mataku luruh. Aku nyaris tidak mengenalmu lagi.
**
Aku duduk, menatap
kosong cangkir berisi kopi hangat yang belum kusentuh sama sekali. Kulihat dari
dinding kaca, senja mulai turun. Temaram
warna merah kuning jingga memenuhi
langit senja, membiaskan sinarnya yang redup. Mentari sudah hampir tidak
kelihatan, perlahan malu-malu pulang ke
peraduan.
Kenapa
aku di sini? Di tempat yang sama dua tahun yang lalu. Membiarkan hatiku
tercabik-cabik sembilu dan nyeri sepanjang hidupku. Entahlah, saat aku pulang ke kota ini, kakiku
melangkah ringan dan duduk di tempat yang sama aku melihat kamu bersama
perempuan itu. Itulah hari terakhir jalinan cinta kita. Aku memutuskan
mengakhiri semua yang telah kita mulai bersama. Bagiku apa yang telah kita
rajut sudah tercerai berai dengan semua yang telah kamu lakukan. Aku memilih
berlari menjauh dari semua kenangan kita, dari masa depan indah yang telah kamu
janjikan. Aku tidak pernah bisa menerima kenyataan pahit ini.
Dan
hari ini, masa lalu kembali hadir. Ragaku telah menjauh darimu tetapi ternyata
jiwaku sulit melupakan kenangan itu.
Semua masih terasa sama.
TAP.
Tanpa segaja mataku terpaku kepada sosokmu. Kali ini kamu tidak hanya berdua.
Ada sosok anak kecil berumur setahun yang duduk diantara kalian berdua.
Perempuan itu, perempuan yang sama
kulihat bersamamu saat itu. Kalian duduk sambil mengoda anak kecil itu.
Rambut, mata, wajahnya persis denganmu. Itu pasti putrimu, semua mirip
denganmu. Kalian tampak bahagia menikmati senja
sambil bercanda ria.
**
Aku bergegas
meninggalkan kalian. Waktu dua tahun tidak merubah perasaanku padamu. Kali ini
tidak ada harapan lagi. Semua telah musnah. Betapa aku telah menyia-nyiakan
waktu panjangku. Tidak ada lagi yang tersisa di kotaku ini.
“Sekar….”
Sebuah suara lembut yang sangat kukenal tepat dibelakangku.
Aku
menatap tidak percaya. Kamu persis dibelakangku dengan selarik senyum yang
selama dua tahun ini selalu mengantarkan tidurku.
“Kapan
kamu kembali?” tanyamu lagi. Kali ini sambil mengulurkan tangan.
Aku
berdiri, terpaku, tak percaya, seakan bermimpi. Saat tanganmu meremasku lembut, aku tersadar
semua bukan mimpi.
“Ma’afkan
aku. Kamu benar, mati dan hidup ditangan Tuhan. Aku terlalu lancang percaya
dengan perkiraan manusia. Ternyata Sita sehat-sehat saja bahkan sampai saat
ini. Dia telah membohongi aku. Semua sudah terlambat saat aku mengetahuinya.
Saat ini aku sedang mengurus proses perceraian.”
Kulihat manik mata
sendumu menyiratkan duka. Ya aku
tidak melihat kebahagiaan di dalamnya.
Sesaat kemudian kulihat matamu memandangku penuh harapan dan menawarkan impian.
Dua tahun ini tidak mampu membuatmu berubah. Aku menemukan hatimu yang lalu.
Yang telah lama kukenal.
“Aku masih dan terlalu
mencintamu. Aku selalu berusaha mencarimu tetapi semua keluargamu sepakat
menutup informasi keberadaanmu. Rasanya mulai gila saat sulit menemukanmu.
Tetapi aku tetap bertekad untuk mengakhiri semua ini dan kembali kepadamu.
Apakah kamu masih sendiri? Masih adakah sisa cintamu untukku?” tanyamu sambil mengenggam tanganku dengan sudut mata
basah. Mata sendumu yang selama ini selalu mampu merontokkan hatiku kembali
membuatku tenggelam.
Bukankan ini yang
kutunggu? Semua sudah didepan mata. Impian, harapan dan cinta. Tetapi apakah
aku nyakin bisa menjalani semua ini? Apakah aku tega membiarkan anak kecil itu
berpisah dan kehilangan ayahnya? Tidak, tidak. Meskipun aku sangat mencintamu,
tetapi aku tidak mungkin setega itu.
“Ma’afkan aku. Semua
sudah berlalu. Kamu sekarang milik anak dan istrimu. Kembalilah kepada mereka.”
ucapku sekuat tenaga menahan air mataku tumpah. Kulepaskan genggaman tanganmu.
Kamu memandangku
terluka. Tidak terima.
Aku mengeleng
kuat-kuat. Melempar senyum untuk yang terakhir kalinya dan melangkah pergi.
“Sekar….” Panggilmu
pilu.
Aku terus melangkah.
Membawa pergi kepingan hati yang kembali terluka. Kali ini aku tidak menoleh
lagi. Ku tatap senja yang membisu, telah
benar-benar hilang. Selamat tinggal cintaku. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar