Kami ... |
Di satu sisi ada orang yang ‘malas’ dan pelit untuk mengucapkan kata maaf, karena menganggap itu nggak penting, merasa tidak melakukan kesalahan fatal sehingga tidak perlu minta maaf.
Sementara di sisi lain
ada orang-orang yang dengan mudah menghamburkan kata ma’af tanpa
dirasakan kedalaman makna dari maaf itu sendiri, sehingga kesannya hanya kata
saja yang terlontar di bibir, terasa ringan , mudah diucapkan dan merasa sudah
selesai , sudah plong saat sudah ada kata maaf. Sehingga kesannya maaf hanya
sekedar formalitas saja. Meskipun pasti
banyak juga orang yang mengatakan kata maaf dengan ketulusan hati dan niat
sungguh-sungguh disertai hati yang jernih dan dada lapang.
Mungkin kita dengan mudah meminta maaf kepada orang lain,
tanpa beban dan tulus. Bahkan merasa sudah sewajarnya minta maaf kepada orang
lain , entah itu saudara, teman, tetangga, kenalan dll.
Tetapi adakah yang ‘lupa’ untuk meminta maaf kepada pasangan? Meski terkesan sepele, terkadang kita
melupakan bahwa jika ada suatu kesalahan/ hal yang kurang berkenan di hati
pasangan kita (terutama suami/istri) kita seharusnya juga minta maaf.
Dari beberapa obrolan ringan dengan beberapa teman/
tetangga/saudara, sebagian besar mereka
merasa tidak perlu minta maaf kepada pasangan masing-masing. Jawaban
yang mencegangkan adalah karena mereka merasa sudah ‘bukan orang lain lagi’ , ‘sudah keluarga
sendiri’, ‘ pasangan sudah menjadi bagian dari kita’ sehingga merasa sah dan wajar saja jika tidak
perlu minta maaf pada pasangan.
Dan yang lebih membuat saya terkejut saat ada yang bahkan
saat hari raya idul fitri (bagi yang muslim) pun mereka tidak minta maaf kepada
pasangan. Padahal mereka minta maaf kepada orangtua, sauadara, tetangga, teman,
dlll lho. Sementara kepada pasangan mereka bisa’lupa’?
Alasan yang disampaikan, bagi suami menganggap seharusnya
istrilah yang minta maaf terlebih dahulu, baru suami yang minta maaf. Sementara
bagi istri merasa ya sudah nggak perlulah, lha wong setiap hari ketemu dan
merasa suami sudah bukan orang lain lagi. What? Justru karena setiap hari
ketemu itu memungkinkan banyak kesalahan dan khilaf tho (batin saya).
Saya pernah mendengar
cerita sebuah keluarga saat mereka berantem hebat dan diambang
perpisahan. Suami dengan kata-kata kasar mengungkit kepada istrinya kalau
selama mereka menikah puluhan tahun, tidak pernah sekalipun istrinya minta maaf
bahkan tidak juga di hari idul fitri. Suami merasa tidak diperlakukan sebagai
seorang suami, tidak di uwongke, tidak
di hargai sebagaimana mestinya. Wah ini
gawat.
Bagi saya, permintaan maaf kepada pasangan itu sangat..sangat penting. Bahkan
penting sekali.
Pertama, Meskipun sudah menjadi bagian dari diri kita,
tetapi pasangan tetap orang lain yang mempunyai perasaan halus dan pasti ingin
dihargai selayaknya orang lain. Jangan menganggap itu tidak penting. Maka
tetaplah minta maaf kalau ada khilaf.
Kedua, suami istri biasanya setiap hari bertemu, berkumpul.
Bisa dipastikan ada hal-hal yang kurang berkenan di hati masing-masing. Apa
salahnya memulai terlebih dahulu ntuk minta ma’af, toh itu juga tidak akan menurunkan
harga diri kita. Buat apa gengsi? Justru dengan legowo/lapang dada untuk minta
ma’af terlebih dahulu itu adalah sikap mulia.
Ketiga, dengan ringannnya hati, pikiran dan bibir kita
berucap ma’af, akan menambah keharmonisan dalam rumah tangga. Rasanya
suami/istri tidak akan tega marah, mendiamkan, berbuat kasar kepada pasangannya
ketika sudah ada permintaan ma’af. Tentunya dengan hati tulus ikhlas dan
benar-benar berusaha untuk tidak berbuat khilaf lagi.
Ma’af, seuntai kata
sederhana yang ringan, mudah diucapkan. Tetapi bisa menjadi pedang tajam
yang siap mencabi-cabik dan meruntuhkan rumah tangga kokoh yang terbina lama. Untuk itu sebaiknya
jangan berat bibir untuk mengucapkan kata sederhana itu. Plus di sertai dengan
kesungguhan hati, insyaallah bisa menghindarkan dari hal-hal yang tidak kita
inginkan.***
_Solo, 19 Agustus 2015_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar