Rabu, 02 September 2015

Singkong, Dari Desa Masuk Meja Pejabat

Benar kata simbah simbah dulu, jaman bisa kewalik-walik, kebalik-balik. Wolak walikin jaman. Apa yang dulu pernah terjadi, suatu saat tidak ada dan kembali ada.
Itu bisa terjadi pada banyak hal, pakaian yang dulu pernah digemari suatu saat hilang dan muncul kembali modelnya. Rambut juga sama. Demikian juga dengan makanan.


Makanan rakyat seperti kacang rebus, pisang rebus,  gethuk, cenil, sawut, dll yang terbuat dari singkong dan ubi jalar, mulai melambung dan banyak diburu sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengeluarkan   Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara.  SE Menteri tersebut  memberikan instruksi kepada  instansi  agar menyajikan menu makanan tradisional yang sehat dan buah-buahan produksi dalam negeri pada setiap penyelenggaraan pertemuan atau rapat.

Instruksi dalam surat edaran itu juga bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri dan kedaulatan pangan dan  menindaklanjuti perintah Presiden pada sidang kabinet kedua tanggal 3/11/14,  yang menegaskan pelaksanaan gerakan penghematan nasional dan mendorong peningkatan efektivitas serta efisiensi kerja aparatur negara.
Tak pelak lagi, makanan tradisional yang bertahun-tahun sebelumnya ‘ tersingkirkan’ karena sebagian masyarakat lebih memilih makanan ‘modern’ , kini kembali moncer. Mungkin anak-anak kita , generasi tahun  80-an sampai  generasi sekarang  sudah jarang mengenal makanan berbahan baku singkong, ubi, talas, jagung, garut,  sagu dan dll. Mereka lebih menyukai makanan cepat saji, kue, biskuit yang bukan berbahan baku singkong. Selera mereka berbeda dengan selera simbah-simbah dan leluhurnya.


Saya, generasi  tahun 70-an , berasal dari desa dan Alhamdulillah meskipun lama tinggal di Solo tetapi masih sangat menyukai makanan yang berbahan baku singkong, jagung, ubi, dll. Saat banyak yang kurang suka memasak singkong dan menjadikannya camilan, saya sih masih rutin hampir  setiap pagi merebus singkong  atu membeli gethuk, lemet (semua berbahan baku singkong) sebagai salah satu camilan. Murah meriah, enak, dan baru-baru ini ada informasi baik untuk kesehatan.

Di Jawa Tengah, singkong biasa di baut berbagai menu makanan, baik untuk makanan pokok penganti nasi  maupun untuk makanan ringan(camilan). Sebagai makanan penganti nasi, singkong bisa diolah menjadi thiwul. Memang cukup rumit dan memakan waktu lama, dari menyiapkan singkong menjadi tepung dan di kukus menjadi nasi thiwul.  Saat saya kecilpun tidak banyak yang membuatnya, biasanya hanya ibu-ibu dari  Kabupaten Gunungkidul, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Wonogiri yang tinggal di daerah pegunungan yang membuatnya. Mereka menanam singkong sendiri dan mengolahnya menjadi gaplek .  Kemudian gaplek inilah yang dijual.  Nah, saat saya kecil sesekali ibu memasak nasi thiwul yang gapleknya di beli dari sejumlah pedagang  di Kabupaten Gunungkidul yang lebih dekat dengan tempat tinggal kami. 

Sebagai makanan camilan, singkong bisa direbus saja atau di bakar dan langsung di makan (lebih nikmat saat singkong rebus masih panas),  dibuat gethuk, lemet, sawut. Untuk makanan ringan yang kering bisa dibuat mangleng (semacam keripik singkong yang diiris tebal), keripik singkong juga lamting.
Saat ini makanan berbahan baku singkong  sudah diolah menjadi makanan ringan dengan berbagai variasi rasa dan warna.  Dari sajian dan rasa tak kalah menarik dan nikmat dengan makanan manca yang kesohor  dan banyak digandrungi anak-anak muda jaman sekarang.

Tak salah jika saya menyebutnya singkong naik kelas. Singkong  yang semula selera kelas bawah  sekarang menjadi selera  kelas menengah ke atas,  menjadi menu pilihan untuk berbagai acara, masuk hotel, menjadi sajian bagi pejabat baik di tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat.***


Tidak ada komentar: