Pagi sudah menyapa, meninggalkan malam,
semilir angin menerobos di sela-sela dinding kayu. Suara ayam berkotek
dan gonggongan anjing membuat riuh pagi di desa Rambai. Saya tidak lagi
menarik selimut tebal yang beberapa malam mampu menghangatkan badan dari
dinginnya malam.
Jendela kayu berderak saat di buka. Beratnya kayu membuat kaca jendela bersuara kala terbuka. Gelap, itulah kesan pertama saya. Saat saya melihat jam sudah pukul 05.30, saya cukup terkejut. Sudah pagi, tetapi hari masih cukup gelap.
Saat saya keluar dan melihat ke atas, ternyata kabut asap menyelimuti desa Rambai. Ya, pagi itu seperti beberapa hari sebelumnya, Palembang masih pekat dengan kabut asapnya.
Saya sudah tiga hari berada di desa Rambai, kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Sejak menginjakkan kaki di Palembang, Minggu (16/9/2015), kabut masih terlihat cukup pekat. Ternyata sampai hari Rabu, saya masih melihat kabut , bahkan saya lihat lebih pekat.
Selama di desa Ramabai, saat siangpun matahari seperti enggan menampakkan diri, tertutup kabut asap. Udara terasa panas, tetapi terlihat mendung.
Kemarin siang, kami menunggu kelengkapan warga peserta Sekolah Desa untuk hadir sambil berbincang dengan ibu-ibu.
“Ya, halo, maaf Mas, nggak biso gabung. Masih nunggu api di ladang,” terdengar suara warga di telepon teman saya.
Beberapa warga yang mestinya mengikuti acara Sekolah Desa, terpaksa terlambat datang bahkan ada yang tidak bisa hadir karena siaga, menunggu ladang gambut dan sebgaian lagi memadamkan api di ladang mereka.
Sejak Selasa (15/9/2015) di wilayah Kabupaten OKI terjadi kebakaran lahan. Tidak ada yang tahu persis penyebabnya, di duga kuat karena sejak Senin panas menyengat. Hal itu menyebabkan kebakaran lahan gambut lebih mudah.
Menurut informasi yang beredar, titik panas yang tersebar di Palembang paling banyak terdeteksi di Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin. Tak tanggung-tanggung, dari 50 titik panas menjadi 100 titik panas.
Saya sendiri yang berada di lokasi tak jauh dari titik api (menurut warga, titik api juga berada di lahan warga Desa Rambai) merasakan kabut asap yang tebal dan bau asapnya. Entah karena tidak terbiasa, mata juga merasa pedih meskipun saya tidak sempat batuk-batuk.
Yang jelas, kabut asap hari ini, Rabu (16/9/2015) menyebabkan sejumlah penerbangan di Palembang delay. Anak-anak sekolah di sejumlah tempat diliburkan.
Sampai sore hari, sejumlah warga selalu waspada dan bergantian menunggu lahan untuk memadamkan api dan memastikan api tidak menyebar ke mana-mana. Kewaspadaan selalu dijaga karena api dalam lahan gambut tidak mudah padam. Meskipun api kelihatan padam(dipermukaan) tetapi api di dalam masih tetap berkobar. Hal inilah yang membuat titik api seringkali cepat meluas dan tidak terdeteksi.
Warga tanpa lelah terus bersatupadu untuk menjaga api tidak bertamabah besar sehingga kabut asap tidak semakin banyak. Ratusan anggota Brimob datang ke Palembang untuk membantu memadamkan api.
_Palembang, 16 September 2015_
Jendela kayu berderak saat di buka. Beratnya kayu membuat kaca jendela bersuara kala terbuka. Gelap, itulah kesan pertama saya. Saat saya melihat jam sudah pukul 05.30, saya cukup terkejut. Sudah pagi, tetapi hari masih cukup gelap.
Saat saya keluar dan melihat ke atas, ternyata kabut asap menyelimuti desa Rambai. Ya, pagi itu seperti beberapa hari sebelumnya, Palembang masih pekat dengan kabut asapnya.
Saya sudah tiga hari berada di desa Rambai, kecamatan Pangkalan Lampam, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
Sejak menginjakkan kaki di Palembang, Minggu (16/9/2015), kabut masih terlihat cukup pekat. Ternyata sampai hari Rabu, saya masih melihat kabut , bahkan saya lihat lebih pekat.
Selama di desa Ramabai, saat siangpun matahari seperti enggan menampakkan diri, tertutup kabut asap. Udara terasa panas, tetapi terlihat mendung.
Kemarin siang, kami menunggu kelengkapan warga peserta Sekolah Desa untuk hadir sambil berbincang dengan ibu-ibu.
“Ya, halo, maaf Mas, nggak biso gabung. Masih nunggu api di ladang,” terdengar suara warga di telepon teman saya.
Beberapa warga yang mestinya mengikuti acara Sekolah Desa, terpaksa terlambat datang bahkan ada yang tidak bisa hadir karena siaga, menunggu ladang gambut dan sebgaian lagi memadamkan api di ladang mereka.
Sejak Selasa (15/9/2015) di wilayah Kabupaten OKI terjadi kebakaran lahan. Tidak ada yang tahu persis penyebabnya, di duga kuat karena sejak Senin panas menyengat. Hal itu menyebabkan kebakaran lahan gambut lebih mudah.
Menurut informasi yang beredar, titik panas yang tersebar di Palembang paling banyak terdeteksi di Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin. Tak tanggung-tanggung, dari 50 titik panas menjadi 100 titik panas.
Saya sendiri yang berada di lokasi tak jauh dari titik api (menurut warga, titik api juga berada di lahan warga Desa Rambai) merasakan kabut asap yang tebal dan bau asapnya. Entah karena tidak terbiasa, mata juga merasa pedih meskipun saya tidak sempat batuk-batuk.
Yang jelas, kabut asap hari ini, Rabu (16/9/2015) menyebabkan sejumlah penerbangan di Palembang delay. Anak-anak sekolah di sejumlah tempat diliburkan.
Sampai sore hari, sejumlah warga selalu waspada dan bergantian menunggu lahan untuk memadamkan api dan memastikan api tidak menyebar ke mana-mana. Kewaspadaan selalu dijaga karena api dalam lahan gambut tidak mudah padam. Meskipun api kelihatan padam(dipermukaan) tetapi api di dalam masih tetap berkobar. Hal inilah yang membuat titik api seringkali cepat meluas dan tidak terdeteksi.
Warga tanpa lelah terus bersatupadu untuk menjaga api tidak bertamabah besar sehingga kabut asap tidak semakin banyak. Ratusan anggota Brimob datang ke Palembang untuk membantu memadamkan api.
_Palembang, 16 September 2015_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar