Matahari belum juga muncul, gelap masih
menyelimuti dukuh yang terletak persis di sebelah barat, ujung Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo Solo Jawa Tengah. Dukuh Jengglong
masuk dalam wilayah dusun Tunggulrejo, Desa Plesungan Kecamatan
Gondangrejo Kabupaten Karanganyar memang terletak di sebelah TPA Putri
Cempo Mojosongo. Akses jalan raya dari Balai Desa Plesungan masuk ke
timur kemudian masuk ke gang dusun. Jika dari TPA Putri Cempo, terletak
persis di ujung lahan TPA tersebut. Hanya dibatasi jembatan kecil yang
menghubungkan dukuh dengan TPA.
Beberapa warga sudah terbangun sejak Subuh, melakukan aktivitas rumah tangga , kemudian bersiap untuk bekerja. Demikian juga dengan sebut saja Bu Gino, usai menyelesaikan urusan memasak dan menyiapkan anaknya sekolah, ia tidak lantas berleha. Bu Gino harus bergegas untuk ke tempat kerjanya, di lahan TPA yang berusia puluhan tahun. Ia berganti kostum kerjanya, pakaian sederhana yang terdiri dari baju lengan panjang dan celana panjang yang sudah ratusan kali ia gunakan untuk ‘menyambung hidup’ keluarganya. Sebuah topi lebar dari bambu atau biasa di sebut caping menjadi salah satu ‘properti’ yang ia gunakan. Tak lupa sepatu boot plastik yang sudah mulai usang dan kaos tangan yang usianya sudah lebih dari tiga tahun melengkapi pakaian kerjanya. Keranjang besar yang teranyam dari bambu dan pengait dari besi menjadi alat utama yang harus di bawa. Seperti warga lainnya yang bekerja seperti dia, menjadi pemulung, kebanyakan mengunakan kain kecil sebagai masker yang akan melindunginya dari bau yang sangat menyengat.
Bu Gino menjadi pemulung barang bekas seperti tas kresek/platik bekas yang ia pungut dari TPA Putri Cempo. Ia tidak sendiri, puluhan tetangganya bekerja seperti dirinya Pun dari dukuh tetangga juga bekerja sepertinya.
Ia dan para pemulung sudah terbiasa menapaki TPA yang luas wilayahnya 17 hektare. Tidak semua lahan digunakan sebagi tempat pembuangan sampah. Lahan seluas itu dipergunakan untuk berbagai sarana dan prasarana TPA, seperti bangunan kantor dan parkir Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) seluas 1 hektare; IPLT (instalansi Pengolahan Lumpur dan Tinja) yang dikelola oleh PDAM namun lama mangkrak, seluas 2 hektare; dan petilasan Putri Cempo 1 hektare. Sisanya seluas 13 hektare dipergunakan untuk tempat pembuangan sampah.
Ibu yang sudah tidak muda lagi itu, tak kenal lelah, biasa bekerja dari jam 07.30 sampai sore hari sekitar jam 17.00. Ia berangkat pagi sebelum truk DKP yang membawa muatan sampah datang. Sekitar jam 08.00 puluhan truk membawa sampah hilir mudik dan menurunkan di lahan TPA. Kalau tidak datang lebih awal, ia dipastikan kesulitan mendapatkan sampah yang berarti tidak akan banyak rupiah yang ia bawa pulang. Bukan karena berebut dengan para pemulung saja, tetapi sapi-sapi juga berebut merangsek ingin mencari sampah yang masih bisa dimakan. Gerak sapi inilah yang terkadang membuatnya kurang cepat karena terhalang puluhan sapi yang menanti sampah datang seperti dirinya.
Meski rata-rata hanya Rp 30.000/hari ia dapatkan dari penjualan sampah, tetapi ia selalu bersyukur karena masih diberikan kemurahan rejeki dari Tuhan. Ia tak pantang menyerah, terus dengan sabar dan telaten memilah sampah yang masih layak jual. Hidungnya sudah terlalu kebal dengan bau, meski tanpa masker saat memilah sampah, tak mengapa.
Saat senja mulai turun, perlahan ia melangkah terseok, membawa sisa sampah yang akan dipilah di rumah . Sebagian besar sampah sudah di beli para pengepul, sementara yang tidak laku dijual akan dipilah, dicuci dan dikeringkan. Sisa itulah akan berganti menjadi rejeki untuk keluarganya. Tak ada keluh kesah, kakinya melangkah ringan menuju tempat istirahatnya, esok ia akan kembali ke tempat yang sama , mengais rejeki bersama pemulung lainnya.
_Solo, 31 Oktober 2015_
Beberapa warga sudah terbangun sejak Subuh, melakukan aktivitas rumah tangga , kemudian bersiap untuk bekerja. Demikian juga dengan sebut saja Bu Gino, usai menyelesaikan urusan memasak dan menyiapkan anaknya sekolah, ia tidak lantas berleha. Bu Gino harus bergegas untuk ke tempat kerjanya, di lahan TPA yang berusia puluhan tahun. Ia berganti kostum kerjanya, pakaian sederhana yang terdiri dari baju lengan panjang dan celana panjang yang sudah ratusan kali ia gunakan untuk ‘menyambung hidup’ keluarganya. Sebuah topi lebar dari bambu atau biasa di sebut caping menjadi salah satu ‘properti’ yang ia gunakan. Tak lupa sepatu boot plastik yang sudah mulai usang dan kaos tangan yang usianya sudah lebih dari tiga tahun melengkapi pakaian kerjanya. Keranjang besar yang teranyam dari bambu dan pengait dari besi menjadi alat utama yang harus di bawa. Seperti warga lainnya yang bekerja seperti dia, menjadi pemulung, kebanyakan mengunakan kain kecil sebagai masker yang akan melindunginya dari bau yang sangat menyengat.
Bu Gino menjadi pemulung barang bekas seperti tas kresek/platik bekas yang ia pungut dari TPA Putri Cempo. Ia tidak sendiri, puluhan tetangganya bekerja seperti dirinya Pun dari dukuh tetangga juga bekerja sepertinya.
Ia dan para pemulung sudah terbiasa menapaki TPA yang luas wilayahnya 17 hektare. Tidak semua lahan digunakan sebagi tempat pembuangan sampah. Lahan seluas itu dipergunakan untuk berbagai sarana dan prasarana TPA, seperti bangunan kantor dan parkir Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) seluas 1 hektare; IPLT (instalansi Pengolahan Lumpur dan Tinja) yang dikelola oleh PDAM namun lama mangkrak, seluas 2 hektare; dan petilasan Putri Cempo 1 hektare. Sisanya seluas 13 hektare dipergunakan untuk tempat pembuangan sampah.
Ibu yang sudah tidak muda lagi itu, tak kenal lelah, biasa bekerja dari jam 07.30 sampai sore hari sekitar jam 17.00. Ia berangkat pagi sebelum truk DKP yang membawa muatan sampah datang. Sekitar jam 08.00 puluhan truk membawa sampah hilir mudik dan menurunkan di lahan TPA. Kalau tidak datang lebih awal, ia dipastikan kesulitan mendapatkan sampah yang berarti tidak akan banyak rupiah yang ia bawa pulang. Bukan karena berebut dengan para pemulung saja, tetapi sapi-sapi juga berebut merangsek ingin mencari sampah yang masih bisa dimakan. Gerak sapi inilah yang terkadang membuatnya kurang cepat karena terhalang puluhan sapi yang menanti sampah datang seperti dirinya.
Meski rata-rata hanya Rp 30.000/hari ia dapatkan dari penjualan sampah, tetapi ia selalu bersyukur karena masih diberikan kemurahan rejeki dari Tuhan. Ia tak pantang menyerah, terus dengan sabar dan telaten memilah sampah yang masih layak jual. Hidungnya sudah terlalu kebal dengan bau, meski tanpa masker saat memilah sampah, tak mengapa.
Saat senja mulai turun, perlahan ia melangkah terseok, membawa sisa sampah yang akan dipilah di rumah . Sebagian besar sampah sudah di beli para pengepul, sementara yang tidak laku dijual akan dipilah, dicuci dan dikeringkan. Sisa itulah akan berganti menjadi rejeki untuk keluarganya. Tak ada keluh kesah, kakinya melangkah ringan menuju tempat istirahatnya, esok ia akan kembali ke tempat yang sama , mengais rejeki bersama pemulung lainnya.
_Solo, 31 Oktober 2015_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar