Rabu, 04 November 2015

Seputar Rica-Rica Guk-Guk di Solo

Kira-kira lima tahunan ini, sate jamu atau rica-rica atau sate guk-guk marak di Kota Solo. Sebelum tahun 2010, penjual sate jamu ini terkesan masih ‘malu-malu’, menjualnya tidak terbuka, di lapak-lapak pedagang kaki lima yang hanya menuliskan sate jamu saja, tanpa embel-embel tulisan anjing/guk-guk apalagi gambar anjing. Mengapa? Sepertinya karena pedagang sungkan/tidak enak hati menjual anjing sebagai makanan yang bagi umat muslim adalah haram.

Mereka tidak fulgar menjualnya, dan biasanya hanya orang tertentu dan pelanggan yang tahu sate jamu. Tak heran kalau ada saja warga yang belum paham dan bahkan tidak menduga sama sekali kalau sate jamu itu adalah sate anjing. Saat itu, karena banyak warga yang kecele, maka pemerintah kota Solo memberikan himbauan agar pedagang sate jamu menuliskan secara jelas bahwa sate jamu itu adalah sate guk-guk.

Nah sejak saat itulah, semua pedagang sudah terbuka, terus teras dan tak malu lagi menuliskan Sate Guk-Guk atau Rica Guk-guk, dengan gambar anjing besar. Segaja, agar orang-orang tahu bahwa mereka menjual sate anjing.
Kenapa disebut sate jamu? Konon, menurut orang-orang (yang percaya) mengkonsumsi sate guk-guk bisa menambah vitalitas dan menaikkan kejantanan. Itulah kenapa disebut sate jamu, karena bisa untuk jamu atau obat. Saya tidak tahu pasti, benar atau tidak, yang jelas kalau diamati memang banyak yang suka mengkonsumsinya jika dilihat dari warung-warung sate guk-guk yang ramai dengan pembeli. Bahkan pedagang juga pintar membuat beragam masakan dari daging anjing, seperti rica basah, rica kering dan sate.



Kalau anda ke Kota Solo, gampang sekali menemukan penjual rica Guk-guk. Di pinggir jalan besar, lapak rica guk-guk banyak betebaran. Siang maupun malam, dengan mudah ditemukan.
Saking ramainya pengemar sate jamu guk-guk, menurut data Provinsi Jateng, di Solo dalam sehari konsumsi anjing mencapai 63 ekor. Wow, jumlah yang besar. Rekor konsumsi anjing di kota Solo menjadi yang terbesar di seantero Jawa Tengah(dari total 223 ekor perhari), disusul Klaten dengan 25 ekor/hari dan Semarang dengan 22 ekor setiap harinya.

Tak heran jika para pengemar anjing di Solo menjadi risau dan semakin was-was dengan jumlah konsumsi yang besar tersebut. Bagi pengemar anjing, menkonsumsi daging anjing tidaklah manusiawi karena anjing menjadi binatang peliharaan yang mampu menjaga rumah dan disayang-sayang keluarga.  Dengan kebutuhan anjing yang sedemikian besar, bukan tidak mungkin keberadaan anjing akan mudah terkikis dan habis. Apalagi cukup miris, saat mendengar saat membunuh (maaf) anjing dengan cara yang sadis yaitu di tenggelamkan baru kemudian di sayat dagingnya. Cara tersebut diyakini membuat daging anjing lebih enak, karena darahnya masih ada di tubuh anjing , tak ada yang tercecer.

Terlepas dari enak atau enggak, buat jamu/obat atau enggak, saya setuju dengan rencana Pemkot Solo yang berinisiatif untuk membuat rancangan peraturan daerah tentang pembatasan dan kemungkinan pelarangan konsumsi daging anjing. Raperda tersebut penting mengingat pemkot Solo harus memastikan produk pangan yang dikonsumsi warganya terjamin kesehatannya. Karena sangat mungkin daging anjing yang di buat sate jamu guk-guk itu berasal dari anjing liar yang bisa jadi tertular rabies. Gak ada yang bisa menjamin mereka mengunakan anjing sehat bukan?

Nah, bagi pecinta sate jamu guk-guk, agaknya perlu berpikir ulang untuk meneruskan kebiasaan mengkonsumsi guk-guk. Jangan sampai niat untuk menambah vitalitas, menjaga kebugaran malah berakibat sebaliknya. Kenapa nggak beralih saja ke sate kambing atau sate ayam, rica ayam saja?

_Solo, 28 Oktober 2015_

Tidak ada komentar: