Hari belum cukup siang , tetapi panas matahari sudah sangat
menyengat. Kulit saya terasa panas dan gerah. Saya melihat jam tangan
saya, baru pukul 10.30. Belum terlalu siang, kok sudah kelihatan siang
sekali dan panas, batin saya sambil menghindari panas dengan berteduh di
bawah pohon yang daunnya sudah hampir habis karena rontok akibat
kemarau panjang.
Saya, Selasa(4/11/2015) berada di Desa Heuknutu, Kecamatan
Takari, Kabupaten Kupang. Bagi saya desa ini cukup sepi. Jarak antar
rumah yang cukup jauh dengan pekarangan dan halaman rumah yang cukup
luas membuat desa cukup sepi. Tak banyak yang lalu lalang di jalan, kata
Mama Ribka(salah seorang warga) warga ada yang dikebun dan sebgaian
dirumah saja. Karena tidak banyak yang dilakukan di kebun/sawah, mereka
memilih di rumah saja.
Debu
dari jalan aspal yang di banyak tempat sudah rusak sesekali mengebul
membuat mata harus terpincing kalau tidak mau kemasukan debu. Di
mana-mana sejauh mata memandang hanya pemandangan panas, gersang yang
terlihat.
Repotnya, saat kemarau seperti saat ini, warga kekurangan
air bersih. Sumur tidak ada yang tersisa airnya, kering kerontang. Saya
sendiri melihat ke sumur warga dan tak setesepun air yang masih tersisa
di sumur yang kedalamannnya rata-rata diatas tujuh meter tersebut.
Kekurangan
air menjadi masalah yang dialami warga desa Huekutu sejak
bertahun-tahun yang lalu. Mereka harus berjalan ke sumber air sejauh 4
Km2 untuk mendapatkan air. Hanya satu dua sumur warga yang masih
menyisakan air , dan menjadi tumpuan warga desa lainnya. Susahnya air
membuat mereka harus berhemat air, hanya mengunakan air untuk hal yang
penting seperti memasak. Mencuci baju dan mandi mereka terpaksa ke
sumber air yang letaknya jauh.
Sekolah pun mengalami masalah
yang sama, tidak ada air sama sekali. Tak mau kekurangan akal, para guru
di SDN Hueknutu Kecamatan Takari meminta semua muridnya untuk membawa
air satu derigen saat masuk sekolah. Tak ayal lagi anak-anak selalu
mengambil air ke sumber air untuk dibawa ke sekolah. Menurut nona Grace,
salah satu murid kelas 5 saat saya tanya, air yang dibawa akan
dimasukkan ke bak mandi sekolah dan sebagian untuk menyiram bunga.
Mereka merasa tidak keberatan karena tahu tidak ada air di sekolah sama
seperti tidak air di rumah mereka.
Tapi tidak semua anak setiap
hari membawa air. Seperti pengakuan Thomas dan beberapa teman lainnya.
Ia mengaku lupa membawa air karena kesingan masuk sekolah sehingga
terburu-buru. Apakah murid yang lalai membawa air tidak dimarahi
gurunya? “Iya, beta di marahi guru,” jawabnya sambil menyeka keringat di dahinya.
Thomas, Grace dan murid lainnya sangat bersemangat ke sekolah. "Banyak belajar. Kalau sonde sekolah, beta sonde pintar,"
ucapnya penuh semangat. Meskipun harus membawa air tetapi toh mereka
senang saja. Jarak rumah dengan sekolah yang cukup jauh tetap dijalani
meski dengan berjalan kaki dibawah terik panas.
Biasanya
sepulang sekolah, mereka tidak langsung pulang, karena jarak rumah yang
cukup jauh mendorong mereka untuk berhenti istirahat duduk di tepi
jalan untuk melepas lelah. Sesekali mereka juga berhenti saat ada satu
dua mobil melintas. Derigen yang dipergunakan untuk membawa air
tergeletak di pinggir jalan, diambil. “Ada oto bagus,” bisik
salah seorang teman Grace sambil tersenyum malu-malu kepada kami. Pun
saat kami tawari untuk menumpang mengantar mereka pulang. Wajah letih
berganti menjadi senyum sumrigah dibalut malu-malu. Mereka tertib naik
ke mobil dan terus berbisik-bisik saat di dalam mobil. Tak kurang dari 3
Km2 satu persatu mereka turun setelah mengucapkan terimakasih sambil
menenteng derigen yang akan mereka gunakan membawa air esok dan esak
harinya lagi. “Sampai ketemu lagi, adik, nona.”
_Kupang, 4 November 2015_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar