Rasanya sulit menyembunyikan rasa
kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut
para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak
pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang
menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang,
sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun
indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain
yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian.
Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah
keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal
itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya
sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun.
Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur
tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan
sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar
menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang
indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa
tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak
orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten
Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja
yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti
kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD
ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di
kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan
sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus
ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak
pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya
sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan
alaminya tumbuh pesat.
Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari
12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya
dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan
mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus
bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang.
Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga
kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia
tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan
kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak
mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya,
sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual
sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya
bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian
menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah
selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus
bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat
benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain.
_Solo, 9
November 2015_
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak
sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota
Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan
untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan
mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina
mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi
sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat
dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya
tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00.
Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali
mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk
menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal
(terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat
menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat
tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain
menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan
sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia
tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini
hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp
25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb,
baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai
melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai
alat untuk merapatkan benang.
Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah
bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya
mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah
menjadi lembaran kain.
_Solo, 9 November 2015_
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak
sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota
Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan
untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan
mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina
mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi
sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat
dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya
tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00.
Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali
mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk
menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal
(terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat
menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat
tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain
menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan
sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia
tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini
hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp
25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb,
baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai
melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai
alat untuk merapatkan benang.
Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah
bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya
mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah
menjadi lembaran kain.
_Solo, 9 November 2015_
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak
sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota
Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan
untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan
mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina
mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi
sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat
dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya
tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00.
Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali
mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk
menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal
(terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat
menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat
tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain
menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan
sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia
tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini
hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp
25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb,
baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai
melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai
alat untuk merapatkan benang.
Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah
bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya
mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah
menjadi lembaran kain.
_Solo, 9 November 2015_
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak
sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota
Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan
untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan
mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina
mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi
sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat
dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya
tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00.
Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali
mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk
menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal
(terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat
menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat
tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain
menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan
sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia
tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini
hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp
25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb,
baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai
melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai
alat untuk merapatkan benang.
Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah
bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya
mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah
menjadi lembaran kain.
_Solo, 9 November 2015_
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak
sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota
Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan
untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan
mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina
mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi
sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat
dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya
tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00.
Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali
mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk
menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal
(terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat
menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat
tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain
menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan
sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia
tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini
hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp
25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb,
baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai
melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai
alat untuk merapatkan benang.
Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah
bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya
mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah
menjadi lembaran kain.
_Solo, 9 November 2015_
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit
menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun
lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses
menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para
mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain
yang bernilai seni dan berharga tinggi.
Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu
membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap
helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat
seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan
menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona
sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai
penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki.
Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan
menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial
telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona
bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona
tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi
masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang
indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut.
Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina.
Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang
banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di
Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak
mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat
dengan kain tenun.
Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak
sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota
Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan
untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan
mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina
mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi
sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat
dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya
tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap
merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk
menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00.
Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali
mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk
menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal
(terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat
menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat
tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain
menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual.
Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan
sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia
tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini
hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp
25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb,
baginya sudah cukup.
Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai
melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai
alat untuk merapatkan benang.
Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah
bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya
mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah
menjadi lembaran kain.
_Solo, 9 November 2015_
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Tidak ada komentar:
Posting Komentar