Selasa, 10 November 2015

Keindahan Tenun NTT, Ada Tangan Licah Si Nona Manis

Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. 


Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. 

Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. 

Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. 


Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. 

Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. 

Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. 


_Solo, 9 November 2015_


Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554
Rasanya sulit menyembunyikan rasa kagum dan bangga melihat kain tenun asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Betapa tidak terkesima, puluhan motif tenun lahir dari tangan-tangan lembut para mama. Kerumitan dan lamanya proses menenun tak pernah dirasakan, pun tak pernah dikeluhkan. Tangan para mama dengan lincah menjalin satu persatu benang menjadi lembaran kain yang bernilai seni dan berharga tinggi. Di Kupang, sebagian besar para mama terlahir dengan bakat alami, mampu membuat kain tenun indah. Alam mengajarkan mereka mampu merajut setiap helai benang menjadi kain yang biasa mereka gunakan untuk upacara adat seperti pernikahan dan kematian. Bahkan sejak mereka kecil, kebisaan menenun sudah ada. Bahkan menjadi sebuah keharusan, seorang nona sebelum menikah harus bisa menenun terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai penanda Si Nona sudah siap dipersunting laki-laki. Hanya sayang, sekarang ini tidak semua nona-nona mempunyai kemampuan menenun. Kebiasaan baik yang puluhan tahun sudah menjadi tatanan sosial telah mengabur tergerus jaman. Tidak mudah menemukan remaja/nona-nona bisa menenun. Kesibukan sekolah dan kegiatan lainnya membuat para nona tak lagi tertarik belajar menenun. Para nona rasanya lebih suka mengisi masa remajanya untuk hal-hal yang indah. Masa remaja adalah masa yang indah, rasanya mereka lebih menikmati masa tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk nona manis satu ini, Nona Lina. Orang bilang masa remaja, masa yang indah. Rasanya apa yang dibilang banyak orang tak bisa dinikmati nona yang satu ini. Nona Lina, lahir di Kabupaten Sabu, salah satu kabupaten di provinsi NTT, nyaris tak mengenal masa remaja yang indah karena sejak kecil ia sudah berkutat dengan kain tenun. Mengerti kondisi orang tuanya yang mempunyai banyak anak, Nona yang tak sampai lulus SD ini, memilih ikut tinggal bersama tantenya di kota Kupang, tepatnya di kelurahan Manutapen, kecamatan Alak. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya. tinggal bersama tantenya akan mengurangi beban hidup yang harus ditanggung orangtuanya. Nona Lina mengisi hari-harinya dengan menenun. Ia tak pernah sekolah tenun, tetapi sejak kecil sudah bisa menenun. Melihat mamanya sehari-hari berkutat dengan tenun, membuatnya bisa dengan sendirinya. Kemampuan alaminya tumbuh pesat. Saat ini , tak tanggung-tanggung, ia mulai siap merentangkan kakinya dan menopang kayu yang digunakan sebagai alat untuk menenun dari pagi sekitar jam 09.00 sampai malam sekitar jam 22.00. Lebih dari 12 jam ia bekerja keras, hanya diselingi makan dan sesekali mengistirahatkan punggungnya dengan merentangkan badan. Tak mudah untuk menenun dengan alat tenun bukan mesin, selain cukup capek dan pegal (terutama kaki dan punggung) ia juga harus bertenaga kuat saat menghentakkan kayu sebagai alat untuk merapatkan benang. Kurang kuat tangannya bekerja,kain akan lentur, benang tidak rapat sehingga kain menjadi tidak bernilai tinggi saat dijual. Selembar kain yang biasa ia tenun bermotif sabu itu biasanya ia kerjakan sekitar dua bulan, itupun dengan kerja keras, bukan kerja santai. Ia tidak pernah hitung-hitungan, tidak mengkomersilkan jasanya. Selama ini hidupnya ditanggung keluarga tantenya, sehingga uang jajan sekitar Rp 25 ribu untuk selembar kain tenun yang dijual sekitar Rp 400 rb, baginya sudah cukup. Tak..tak..sret..berulangkali tangannya bergerak lincah, kuat dan gemulai melempar benang yang diikat kemudian menghentakkan kayu panjang sebagai alat untuk merapatkan benang. Senyum ramah selalu menghiasi nona yang berusia 19 tahun ini. Tak pernah bosan untuk terus bekerja menciptakan karya seni yang indah. Matanya mengerjap bahagia saat benang yang dipintal sedikit demi sedikit sudah menjadi lembaran kain. _Solo, 9 November 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/tangan-lincah-si-nona-dibalik-kain-tenun-ntt_5640a8b2d47e615a0625d554

Tidak ada komentar: