Jumat, 13 November 2015

Tip Bagi Jomblo Saat ditanya "Kapan Menikah?"

Saat usia sudah berjalan di angka tiga puluh, biasanya hati seorang perempuan lajang sudah mulai dag dig dug. Berdebaran tak karuan. Dag dig dug terus terusan sementara kepala mulai berdenyut dan hati merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat usia terbilang sudah matang tersebut belum juga ada pendamping hidup alias masih melajang. 

Meskipun saat ini bukan jaman nenek moyang kita, atau bukan jaman ayah dan ibu kita dahulu yang menikah di usia yang sangat muda bahkan masih 'bau kencur' , tapi tetap saja nggak nyaman saat belum juga menikah.

 Jaman nenek saya, sudah biasa menikah di usia belasan tahun, dua belasan sampai tujuh belasan tahun. Anak perempuan yang belum menikah di atas usia 15 tahun dianggap aneh dan dipandang dengan banyak pertanyaan. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena toh nanti hanya ngurus kasur ( Melayani suami) , sumur (mencuci, membersihkan/mengurus rumah), dapur (memasak) dan pupur (merias diri untuk menyenangkan suami). 

Di masa ibu saya (usia sekarang 75 th), pemikiran agak maju. Anak perempuan boleh menempuh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Rakyat (SR) setara dengan SD sekarang, biasa sudah dinikahkan usia limabelas sampai duapuluh tahun, kebetulan ibu saya menikah di usia 19 tahun dan mempunyai anak 10 orang. 

Sekali lagi, meskipun sekarang kita hidup bukan di masa nenek dan ibu kita dahulu, tetapi rasanya perempuan tetap was-was bila usia menapaki angka 3 dan belum ada tanda-tanda mempunyai pasangan. 

Kebetulan teman-teman saya, satu tinggal di Jakarta, satu di kota Jogjakarta dan satu di luar negeri, sama -sama perempuan, dua sudah lebih dari 35 tahun dan satunya sudah lebih dari 40 tahun sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan. Betapa galau hati mereka, bahkan saat kegaluan itu datang saat usia mereka memasuki angka 3. Berbagai curhatan mereka ceritakan, baik dalam bahasa candaan maupun secara serius. Dua teman perempuan saya tersebut dulu sempat satu kantor dengan saya. Disaat luang tak ada cerita atau keluhan lain selain betapa hati mereka galau saat tak juga ada pasangan yang siap menikah dengannya. Meskipun mereka sama-sama pernah berpacaran tetapi tidak sampai ke jenjang pernikahan alias gagal. 

Mereka mengaku merasa sedih saat seharusnya senang dengan acara kumpul keluarga terutama saat lebaran, selain sedih saat melihat teman, tetangga atau seorang perempuan dengan pasangannya. "Kapan aku seperti mereka ya?" "Senangnya punya suami," katanya sambil memandang pasangan yang sedang berduaan dengan tatapan tertarik. Tetap melajang saat usia 30 ke atas terkadang tidak terlalu masalah bagi yang bersangkutan, tetapi terkadang bagi orang lain terutama keluarga, teman, tetangga membuat galau dan cemas. Bagi keluarga, itu hal yang wajar karena pandangan masyarakat terkadang kurang positif terhadap perempuan matang yang belum juga mempunyai pasangan. Masyarakat mungkin berpikir, karena terlalu pilih-pilih, banyak pertimbangan atau tidak laku (maaf). 

Dari pengalaman teman-teman saya, meskipun galau tingkat tinggi tetapi sampai saat ini mereka bisa menjawab saat ditanya keluarga, tetangga atau orang terdekat dengan wajah menebarkan senyum (meskipun dengan hati menangis). 

Menurut mereka jawaban inilah yang membuat mereka 'diselamatkan' oleh belum ketemunya pasangan hidup,

 Saat ditanya "Sudah menikah belum?" , jawabnya adalah "sedang siap-siap " (ini bukan jawaban bohong karena memang mereka pada dasarnya sudah siap menikah sejak bertahun-tahun lalu tapi memang belum ada pasangannya saja)

 Saat ada pertanyaan " Kapan menikah?" , jawabannya adalah "Dalam waktu dekat" (jawaban yang tepat bukan? karena dalam waktu yang dekat entah kapan dia akan menikah kok) 

Saat ada yang tanya lagi, " Kok lama menikahnya, nunggu apa sih?" , jangan di jawab "nunggu suamimu menjadi duda atau nunggu kamu ceraikan istrimu" ya, tapi jawab saja, "Nggak lama nunggu kok, bagi saya waktu bukan ukuran tetapi jodoh yang tepat yang saya cari."

 "Kamu sudah mapan, nyari yang bagaimana lagi?" , jawaban simpelnya " Nggak nyari-nyari lagi kok, saya malah duduk manis nunggu saja".

 "Ku tunggu undangannya ya," , jawab saja ," Oke, pasti ku kirimkan segera dengan kilat khusus." 

"Anaknya berapa? " wah nyindir ya, nikah saja belum. Eh tapi jangan di jawab seperti itu, jawab saja, " Ada, rencana dua." (sambil membayangakan punya anak-anak manis dan imut).

Kira-kira itu seputaran pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan lajang, matang yang belum menikah. Meskipun sedih tetapi jangan sampai kesedihan itu diperlihatkan secara langsung apalagi sampai marah. Biarkan saja, toh bagi mereka yang bertanya itu dianggap hal yang biasa. Dan anggap saja itu pertanyaan pertanda rasa sayang dan perhatian mereka kepada anda. Jadi jawab dengan senyum mengembang dan jawaban biasa saja seperti jawaban biasa lainnya (bukan soal jodoh). 

Tetaplah berusaha, jangan menyerah dan jangan putus asa. Percayalah jodoh, kematian, kelahiran, rejeki itu ditangan Tuhan. Asal tetap berusaha, insya allah suatu saat jodoh akan datang. Setiap orang dilahirkan dengan pasangannya masing-masing, hanya mungkin soal waktu saja. Teruslah tersenyum wahai teman perempuan lajang.***

Saat usia sudah berjalan di angka tiga puluh, biasanya hati seorang perempuan lajang sudah mulai dag dig dug. Berdebaran tak karuan. Dag dig dug terus terusan sementara kepala mulai berdenyut dan hati merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat usia terbilang sudah matang tersebut belum juga ada pendamping hidup alias masih melajang. Meskipun saat ini bukan jaman nenek moyang kita, atau bukan jaman ayah dan ibu kita dahulu yang menikah di usia yang sangat muda bahkan masih 'bau kencur' , tapi tetap saja nggak nyaman saat belum juga menikah. Jaman nenek saya, sudah biasa menikah di usia belasan tahun, dua belasan sampai tujuh belasan tahun. Anak perempuan yang belum menikah di atas usia 15 tahun dianggap aneh dan dipandang dengan banyak pertanyaan. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena toh nanti hanya ngurus kasur ( Melayani suami) , sumur (mencuci, membersihkan/mengurus rumah), dapur (memasak) dan pupur (merias diri untuk menyenangkan suami). Di masa ibu saya (usia sekarang 75 th), pemikiran agak maju. Anak perempuan boleh menempuh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Rakyat (SR) setara dengan SD sekarang, biasa sudah dinikahkan usia limabelas sampai duapuluh tahun, kebetulan ibu saya menikah di usia 19 tahun dan mempunyai anak 10 orang. Sekali lagi, meskipun sekarang kita hidup bukan di masa nenek dan ibu kita dahulu, tetapi rasanya perempuan tetap was-was bila usia menapaki angka 3 dan belum ada tanda-tanda mempunyai pasangan. Kebetulan teman-teman saya, satu tinggal di Jakarta, satu di kota Jogjakarta dan satu di luar negeri, sama -sama perempuan, dua sudah lebih dari 35 tahun dan satunya sudah lebih dari 40 tahun sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan. Betapa galau hati mereka, bahkan saat kegaluan itu datang saat usia mereka memasuki angka 3. Berbagai curhatan mereka ceritakan, baik dalam bahasa candaan maupun secara serius. Dua teman perempuan saya tersebut dulu sempat satu kantor dengan saya. Disaat luang tak ada cerita atau keluhan lain selain betapa hati mereka galau saat tak juga ada pasangan yang siap menikah dengannya. Meskipun mereka sama-sama pernah berpacaran tetapi tidak sampai ke jenjang pernikahan alias gagal. Mereka mengaku merasa sedih saat seharusnya senang dengan acara kumpul keluarga terutama saat lebaran, selain sedih saat melihat teman, tetangga atau seorang perempuan dengan pasangannya. "Kapan aku seperti mereka ya?" "Senangnya punya suami," katanya sambil memandang pasangan yang sedang berduaan dengan tatapan tertarik. Tetap melajang saat usia 30 ke atas terkadang tidak terlalu masalah bagi yang bersangkutan, tetapi terkadang bagi orang lain terutama keluarga, teman, tetangga membuat galau dan cemas. Bagi keluarga, itu hal yang wajar karena pandangan masyarakat terkadang kurang positif terhadap perempuan matang yang belum juga mempunyai pasangan. Masyarakat mungkin berpikir, karena terlalu pilih-pilih, banyak pertimbangan atau tidak laku (maaf). Dari pengalaman teman-teman saya, meskipun galau tingkat tinggi tetapi sampai saat ini mereka bisa menjawab saat ditanya keluarga, tetangga atau orang terdekat dengan wajah menebarkan senyum (meskipun dengan hati menangis). Menurut mereka jawaban inilah yang membuat mereka 'diselamatkan' oleh belum ketemunya pasangan hidup, Saat ditanya "Sudah menikah belum?" , jawabnya adalah "sedang siap-siap " (ini bukan jawaban bohong karena memang mereka pada dasarnya sudah siap menikah sejak bertahun-tahun lalu tapi memang belum ada pasangannya saja) Saat ada pertanyaan " Kapan menikah?" , jawabannya adalah "Dalam waktu dekat" (jawaban yang tepat bukan? karena dalam waktu yang dekat entah kapan dia akan menikah kok) Saat ada yang tanya lagi, " Kok lama menikahnya, nunggu apa sih?" , jangan di jawab "nunggu suamimu menjadi duda atau nunggu kamu ceraikan istrimu" ya, tapi jawab saja, "Nggak lama nunggu kok, bagi saya waktu bukan ukuran tetapi jodoh yang tepat yang saya cari." "Kamu sudah mapan, nyari yang bagaimana lagi?" , jawaban simpelnya " Nggak nyari-nyari lagi kok, saya malah duduk manis nunggu saja". "Ku tunggu undangannya ya," , jawab saja ," Oke, pasti ku kirimkan segera dengan kilat khusus." "Anaknya berapa? " wah nyindir ya, nikah saja belum. Eh tapi jangan di jawab seperti itu, jawab saja, " Ada, rencana dua." Kira-kira itu seputaran pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan lajang, matang yang belum menikah. Meskipun sedih tetapi jangan sampai kesedihan itu diperlihatkan secara langsung apalagi sampai marah. Biarkan saja, toh bagi mereka yang bertanya itu dianggap hal yang biasa. Dan anggap saja itu pertanyaan pertanda rasa sayang dan perhatian mereka kepada anda. Jadi jawab dengan senyum mengembang dan jawaban biasa saja seperti jawaban biasa lainnya (bukan soal jodoh). Tetaplah berusaha, jangan menyerah dan jangan putus asa. Percayalah jodoh, kematian, kelahiran, rejeki itu ditangan Tuhan. Asal tetap berusaha, insya allah suatu saat jodoh akan datang. Setiap orang dilahirkan dengan pasangannya masing-masing, hanya mungkin soal waktu saja. Teruslah tersenyum wahai teman perempuan lajang.*** _Solo, 12 Agustus 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/galau-saat-ditanya-kapan-menikah_55cacb71f07a612705b91819
Saat usia sudah berjalan di angka tiga puluh, biasanya hati seorang perempuan lajang sudah mulai dag dig dug. Berdebaran tak karuan. Dag dig dug terus terusan sementara kepala mulai berdenyut dan hati merasa was-was. Bagaimana tidak, di saat usia terbilang sudah matang tersebut belum juga ada pendamping hidup alias masih melajang. Meskipun saat ini bukan jaman nenek moyang kita, atau bukan jaman ayah dan ibu kita dahulu yang menikah di usia yang sangat muda bahkan masih 'bau kencur' , tapi tetap saja nggak nyaman saat belum juga menikah. Jaman nenek saya, sudah biasa menikah di usia belasan tahun, dua belasan sampai tujuh belasan tahun. Anak perempuan yang belum menikah di atas usia 15 tahun dianggap aneh dan dipandang dengan banyak pertanyaan. Anak perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena toh nanti hanya ngurus kasur ( Melayani suami) , sumur (mencuci, membersihkan/mengurus rumah), dapur (memasak) dan pupur (merias diri untuk menyenangkan suami). Di masa ibu saya (usia sekarang 75 th), pemikiran agak maju. Anak perempuan boleh menempuh pendidikan paling tidak sampai Sekolah Rakyat (SR) setara dengan SD sekarang, biasa sudah dinikahkan usia limabelas sampai duapuluh tahun, kebetulan ibu saya menikah di usia 19 tahun dan mempunyai anak 10 orang. Sekali lagi, meskipun sekarang kita hidup bukan di masa nenek dan ibu kita dahulu, tetapi rasanya perempuan tetap was-was bila usia menapaki angka 3 dan belum ada tanda-tanda mempunyai pasangan. Kebetulan teman-teman saya, satu tinggal di Jakarta, satu di kota Jogjakarta dan satu di luar negeri, sama -sama perempuan, dua sudah lebih dari 35 tahun dan satunya sudah lebih dari 40 tahun sampai sekarang belum juga mempunyai pasangan. Betapa galau hati mereka, bahkan saat kegaluan itu datang saat usia mereka memasuki angka 3. Berbagai curhatan mereka ceritakan, baik dalam bahasa candaan maupun secara serius. Dua teman perempuan saya tersebut dulu sempat satu kantor dengan saya. Disaat luang tak ada cerita atau keluhan lain selain betapa hati mereka galau saat tak juga ada pasangan yang siap menikah dengannya. Meskipun mereka sama-sama pernah berpacaran tetapi tidak sampai ke jenjang pernikahan alias gagal. Mereka mengaku merasa sedih saat seharusnya senang dengan acara kumpul keluarga terutama saat lebaran, selain sedih saat melihat teman, tetangga atau seorang perempuan dengan pasangannya. "Kapan aku seperti mereka ya?" "Senangnya punya suami," katanya sambil memandang pasangan yang sedang berduaan dengan tatapan tertarik. Tetap melajang saat usia 30 ke atas terkadang tidak terlalu masalah bagi yang bersangkutan, tetapi terkadang bagi orang lain terutama keluarga, teman, tetangga membuat galau dan cemas. Bagi keluarga, itu hal yang wajar karena pandangan masyarakat terkadang kurang positif terhadap perempuan matang yang belum juga mempunyai pasangan. Masyarakat mungkin berpikir, karena terlalu pilih-pilih, banyak pertimbangan atau tidak laku (maaf). Dari pengalaman teman-teman saya, meskipun galau tingkat tinggi tetapi sampai saat ini mereka bisa menjawab saat ditanya keluarga, tetangga atau orang terdekat dengan wajah menebarkan senyum (meskipun dengan hati menangis). Menurut mereka jawaban inilah yang membuat mereka 'diselamatkan' oleh belum ketemunya pasangan hidup, Saat ditanya "Sudah menikah belum?" , jawabnya adalah "sedang siap-siap " (ini bukan jawaban bohong karena memang mereka pada dasarnya sudah siap menikah sejak bertahun-tahun lalu tapi memang belum ada pasangannya saja) Saat ada pertanyaan " Kapan menikah?" , jawabannya adalah "Dalam waktu dekat" (jawaban yang tepat bukan? karena dalam waktu yang dekat entah kapan dia akan menikah kok) Saat ada yang tanya lagi, " Kok lama menikahnya, nunggu apa sih?" , jangan di jawab "nunggu suamimu menjadi duda atau nunggu kamu ceraikan istrimu" ya, tapi jawab saja, "Nggak lama nunggu kok, bagi saya waktu bukan ukuran tetapi jodoh yang tepat yang saya cari." "Kamu sudah mapan, nyari yang bagaimana lagi?" , jawaban simpelnya " Nggak nyari-nyari lagi kok, saya malah duduk manis nunggu saja". "Ku tunggu undangannya ya," , jawab saja ," Oke, pasti ku kirimkan segera dengan kilat khusus." "Anaknya berapa? " wah nyindir ya, nikah saja belum. Eh tapi jangan di jawab seperti itu, jawab saja, " Ada, rencana dua." Kira-kira itu seputaran pertanyaan yang ditujukan kepada perempuan lajang, matang yang belum menikah. Meskipun sedih tetapi jangan sampai kesedihan itu diperlihatkan secara langsung apalagi sampai marah. Biarkan saja, toh bagi mereka yang bertanya itu dianggap hal yang biasa. Dan anggap saja itu pertanyaan pertanda rasa sayang dan perhatian mereka kepada anda. Jadi jawab dengan senyum mengembang dan jawaban biasa saja seperti jawaban biasa lainnya (bukan soal jodoh). Tetaplah berusaha, jangan menyerah dan jangan putus asa. Percayalah jodoh, kematian, kelahiran, rejeki itu ditangan Tuhan. Asal tetap berusaha, insya allah suatu saat jodoh akan datang. Setiap orang dilahirkan dengan pasangannya masing-masing, hanya mungkin soal waktu saja. Teruslah tersenyum wahai teman perempuan lajang.*** _Solo, 12 Agustus 2015_

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sucihistiraludin/galau-saat-ditanya-kapan-menikah_55cacb71f07a612705b91819

Tidak ada komentar: