Sabtu, 14 November 2015

Pendakian Terakhir

          “Kamu jadi berangkat besok?” tanyamu sambil memandangku penuh kekhawatiran. Matamu yang bulat indah dan biasanya bersinar terang, kali ini terlihat redup menyiratkan ketidakikhalsan melepasku pergi.
            Aku tersenyum, mengambil tanganmu dan mencium perlahan. Ada getaran kurasakan saat tangan halusmu kusentuh.
            “Al …please jangan pergi. Kali ini saja. ”
            “Ta, bukan kali ini saja aku pergi. Kenapa kamu setakut ini? Bukankah  selama ini semua baik-baik saja?”
            “Tapi, Al?” katamu dengan nada merajuk. Kali ini tanpa ada kemanjaaan, tetapi bertumpuk kekhawatiran.  “Firasatku tidak enak,” sambungnya lagi, lirih.
            “Sayang, pendakian ini sudah kami  rencanakan. Kamu juga tahu kalau aku harus berangkat. Anak-anak baru itu butuh pembimbing dan  ini sudah tanggungjawab kami,” tegasku menyakinkan Tata yang terus membujukku untuk membatalkan pendakian.
            Mata bulat itu meredup, penuh rasa putus asa. Tata tahu tidak mungkin bisa mencegah kepergianku kali ini.  Hati-hati, aku menunggumu kembali, akhirnya hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirnya saat aku berpamitan pulang.



foto : gispalawordpress.com




**
            Bukan kali ini saja aku pergi, sudah puluhan kali kakiku lincah menapaki jalanan terjal  gunung. Semua kulakukan dengan rasa percaya diri dan kemantapan hati. Hobi yang kulakukan semenjak aku kuliah semester satu ini memang menjadi tantangan tersendiri buatku. Meskipun awalnya ibu melarang karena kebiasaanku itu membuatnya khawatir tetapi lambat laun ijinnya keluar juga.  Saat Tata menjadi kekasihku ia juga awalnya keberatan dan merasa yakin mampu mengubah hobiku. Tetapi aku selalu melaksanakan semua rencana pendakian dan akhirnya Tata juga merelakan  kepergianku. Toh selama lebih dari tiga tahun ini, lebih dari sepuluh   pendakianku semua berjalan lancar dan aku pulang dengan selamat.  Kali ini aku juga melakukan persiapan  sampai matang seperti biasanya, sehingga aku yakin semua akan berjalan dengan lancar. Seperti biasanya.

**
            “Semua sudah siap? Kali ini pendakian akan kita mulai. Jalur merapi butuh pendakian ekstra hati-hati. Semua harus waspada.“ teriak Galang sambil memandang rombongan pendakian kali ini. Galang sebagai pimpinan rombongan dan aku membantu tugasnya mengawasi anak-anak semester awal yang kali ini ikut bersama kami.
            “SIAP!” jawaban serentak itu membuat semangat kami bangkit.
Tak lama, kami melangkah perlahan, mendaki jalan yang semakin lama semakin terjal dan berbahaya.  Sesekali  aku membantu rombongan yang kesulitan untuk melangkah. 
            Pendakian semakin tinggi, jalanan semakin curam. Banyak jurang di kanan kiri jalan setapak yang kami lalui. Rasa was-was dan waspada bercampur ,menjadi satu. Tetapi kami cukup terhibur saat memandang pemandangan yang sangat elok. Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau segar dengan rindang pohon yang terlihat. Semua menawarkan kesejukan dan kedamaian hati.  Kicau burung yang terdengar bersahut-sahutan mengalahkan musik yang kudengar dari MP3 ku. Kalau sudah seperti ini, aku pasti melepas  MP3 dan lebih memilih menikmati suara alam yang tidak terkalahkan.
            “Cukup, kita istirahat dulu,” suara Galang membuat langkahku berhenti.
            Semua orang duduk, melemaskan otot kaki dan melepas penat.
            Setelah minum beberapa teguk air, aku melihat pemandangan yang tak pernah membosankan  panca indraku. Meskipun sudah berkali-kali mendaki tetapi mataku selalu dahaga akan keindahan  alam yang menawarkan berjuta-juta kesegaran. Hidungku mengembang saat menghirup udara segar yang dengan cepat memenuhi paru-paruku. Hanya di tempat seperti inilah, paru-paru dan seluruh organ tubuhku mendapatkan kemanjaan setelah setiap hari terpaksa berkutat dengan udara yang bercampur dengan  asap knalpot, kepulan asap pabrik, kepulan rokok dan polusi udara lainnya.
            Kakiku  dengan lincah mendaki ke  lereng bukit, semakin memanjakan matanya yang  terus membujuk untuk mencari keindahan lainnya.
            Tanpa sengaja aku melihat bunga edelweis  yang  sedang mekar. Indahnya kelompak bunga yang menjadi simbol kegagahan para pendaki itu membuatku tertarik untuk mendekat. Entah mengapa nalarku terkalahkan dengan perasaanku yang campur aduk. Selama ini belum pernah sekalipun saat pulang mendaki aku membawakan edelweis untuk Tata. Berulangkali ia memintaku untuk mengambil bunga itu, tetapi aku selalu memberikan pengertian kalau itu larangan bagi kami. Biarkan bunga indah itu terus hidup dan berkembang dengan keindahnya. Kita tidak  berhak merusaknya, demikian aku selalu memberikan  alasan.
            Selain takut merusak keindahan bunga edelweis, dikalangan para pendaki sudah ada kesepakatan tidak tertulis untuk tidak mengambilnya. Kami cukup menikmati keindahannya di gunung  dan mengabadikan dengan  jepretan kamera, bukan membawanya pulang.
            Tetapi kali ini tanganku gatal ingin memberikan persembahan indah ini untuk Tataku. Kakiku melangkah dengan  ringan mendekati  bunga yang  gagah berdiri di tepi sebuah tebing. Sejenak aku berpikir akan kesulitan untuk memetiknya, tetapi setelah aku perhatian, tidaklah terlalu sulit. Aku hanya perlu berdiri ditepi tebing dan tanganku pasti mudah menjangkaunya.
            “Al, jangan lakukan itu,” suara keras Galang membuat kakiki berhenti melangkah.
Kulihat Galang memandangku dengan sorot mata tajam, tidak suka dengan rencana yang sudah ada dikepalaku.
            “Kenapa kamu  ini, Al?  Heran, belum pernah kamu gegabah seperti ini. Sejak kapan kamu berniat mengambil edelweis itu? “ tanyanya tajam.
            Aku hanya memandang Galang sejenak, termangu, tetapi cepat-cepat kualihkan pandangan kembali ke bunga yang seakan menantangku untuk mengambilnya.
            “Al! Jangan bodoh. Kita tidak pernah mengambil bunga itu. Tidak sekalipun. Ingat komitmen kita selama ini,” Galang mengingatku lagi.
            “Selama ini aku belum pernah mengambil bunga itu. Sekalipun belum pernah melanggar kesepakatan kita. Tetapi kali lini aku ingin sekali. “ jawabku acuh tak acuh tanpa memandang sahabatku ini.
            “Tidak! Sekali tidak, tetap tidak! Sekali kita membiarkan hati ini melanggarnya, pasti akan ada yang kedua kali dan seterusnya. Jangan lakukan,” pinta Galang kali ini tanpa kompromi.
            “Itu urusanku. “ degusku jengkel.
            “Kalau kamu lakukan itu, aku tidak mau mendaki lagi bersamamu,” lantang suara Galang mencegahku.
            “Bodo,” teriakku tak kalah lantang. Kakiku terus melangkah setapak demi setapak mendekati edelweis yang bergerak-gerak ditiup angin. “Mungkin ini pendakian kita yang terakir kalinya,” sungutku marah.
            Galang gusar mendengar jawabaku, “Al. Ingat, tempat ini terlalu wingit. Kamu tahu tak boleh sembarangan mengambil bunga. Tebing itu juga berbahaya.”
            Aku menutup telinggaku  rapat-rapat, tak memperdulikan peringatan Galang. Sejujurnya aku ingin sekali-kali mencoba melanggar peringatan  itu. Kabar yang berenbus kalau gunung yang kudaki kali ini wingit, penuh dengan misteri dan ada larangan keras merusak alam aku tahu sejak dulu. Tetapi aku setengah tidak percaya kalau larangan dilanggar bisa berakibat fatal. Kali ini aku ingin sekali mencobanya tanpa rasa takut.  Sekalian membawakan bunga yang belum pernah aku berikan kepada Tata.
            “Ali, STOP!” teriak Galang lagi, merangsek mencoba menahanku. Tetapi tidak berhasil karena aku terus melangkah, kali ini sudah di pinggit tebing.
            Tinggal satu jangkauan lagi, tanganku terus terulur, mengukur kemampuan untuk menjangkau bunga itu. Satu jejakan kaki lagi, batinku yakin. Aku menguatkan hati  untuk menjangkau bunga di tepi tebing. Segalanya terasa begitu mudah. Ya, tinggal satu gerakan lagi, tanganku akan menjangkaunya.
            Tanah dan batu-batu mulai bergerak, meluncur, longsor. Sempat membuatku bergidik. Ketika sebongkah batu yang tepat di bawah kaki meluncur dengan cepat, aku baru tersadar. Menatap ngeri jurang dibawah. Batu-batu tajam siap menampung tubunku jika tergelincir. Mataku nanar dengan pemandaangan mengerikan di bawah. Tetapi semua terlambat. Saat aku mencoba mengeser tubuh untuk membatalkan niatku, tubuhku bergeser sedemikian cepat. Keseimbangan tubuhnya hilang dan semua berjalan sangat cepat. Bagai angin, aku meluncur.
            “ALI…..”
Masih kudengar suara  pilu Galang saat melihatku terlepas dari pandangan matanya. Mataku terpejam erat, menantikan tubuh disambut batu cadas. Satu hal yang kusesali,  melanggar larangan pendakian ini. Seandainya aku tidak berniat mengambil edelweis itu….

                                                          *****




Tidak ada komentar: