Aku
tersenyum, mengambil tanganmu dan mencium perlahan. Ada getaran kurasakan saat
tangan halusmu kusentuh.
“Al
…please jangan pergi. Kali ini saja. ”
“Ta,
bukan kali ini saja aku pergi. Kenapa kamu setakut ini? Bukankah selama ini semua baik-baik saja?”
“Tapi,
Al?” katamu dengan nada merajuk. Kali ini tanpa ada kemanjaaan, tetapi
bertumpuk kekhawatiran. “Firasatku tidak
enak,” sambungnya lagi, lirih.
“Sayang,
pendakian ini sudah kami rencanakan.
Kamu juga tahu kalau aku harus berangkat. Anak-anak baru itu butuh pembimbing
dan ini sudah tanggungjawab kami,”
tegasku menyakinkan Tata yang terus membujukku untuk membatalkan pendakian.
Mata
bulat itu meredup, penuh rasa putus asa. Tata tahu tidak mungkin bisa mencegah
kepergianku kali ini. Hati-hati, aku menunggumu kembali,
akhirnya hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirnya saat aku berpamitan
pulang.
foto : gispalawordpress.com |
**
Bukan
kali ini saja aku pergi, sudah puluhan kali kakiku lincah menapaki jalanan
terjal gunung. Semua kulakukan dengan
rasa percaya diri dan kemantapan hati. Hobi yang kulakukan semenjak aku kuliah
semester satu ini memang menjadi tantangan tersendiri buatku. Meskipun awalnya
ibu melarang karena kebiasaanku itu membuatnya khawatir tetapi lambat laun
ijinnya keluar juga. Saat Tata menjadi
kekasihku ia juga awalnya keberatan dan merasa yakin mampu mengubah hobiku.
Tetapi aku selalu melaksanakan semua rencana pendakian dan akhirnya Tata juga
merelakan kepergianku. Toh selama lebih
dari tiga tahun ini, lebih dari sepuluh
pendakianku semua berjalan lancar dan aku pulang dengan selamat. Kali ini aku juga melakukan persiapan sampai matang seperti biasanya, sehingga aku
yakin semua akan berjalan dengan lancar. Seperti biasanya.
**
“Semua
sudah siap? Kali ini pendakian akan kita mulai. Jalur merapi butuh pendakian
ekstra hati-hati. Semua harus waspada.“ teriak Galang sambil memandang
rombongan pendakian kali ini. Galang sebagai pimpinan rombongan dan aku
membantu tugasnya mengawasi anak-anak semester awal yang kali ini ikut bersama
kami.
“SIAP!”
jawaban serentak itu membuat semangat kami bangkit.
Tak lama, kami
melangkah perlahan, mendaki jalan yang semakin lama semakin terjal dan
berbahaya. Sesekali aku membantu rombongan yang kesulitan untuk
melangkah.
Pendakian
semakin tinggi, jalanan semakin curam. Banyak jurang di kanan kiri jalan
setapak yang kami lalui. Rasa was-was dan waspada bercampur ,menjadi satu.
Tetapi kami cukup terhibur saat memandang pemandangan yang sangat elok. Sejauh
mata memandang hanya hamparan hijau segar dengan rindang pohon yang terlihat.
Semua menawarkan kesejukan dan kedamaian hati.
Kicau burung yang terdengar bersahut-sahutan mengalahkan musik yang
kudengar dari MP3 ku. Kalau sudah seperti ini, aku pasti melepas MP3 dan lebih memilih menikmati suara alam
yang tidak terkalahkan.
“Cukup,
kita istirahat dulu,” suara Galang membuat langkahku berhenti.
Semua
orang duduk, melemaskan otot kaki dan melepas penat.
Setelah
minum beberapa teguk air, aku melihat pemandangan yang tak pernah
membosankan panca indraku. Meskipun
sudah berkali-kali mendaki tetapi mataku selalu dahaga akan keindahan alam yang menawarkan berjuta-juta kesegaran.
Hidungku mengembang saat menghirup udara segar yang dengan cepat memenuhi
paru-paruku. Hanya di tempat seperti inilah, paru-paru dan seluruh organ tubuhku
mendapatkan kemanjaan setelah setiap hari terpaksa berkutat dengan udara yang
bercampur dengan asap knalpot, kepulan
asap pabrik, kepulan rokok dan polusi udara lainnya.
Kakiku
dengan lincah mendaki ke lereng bukit, semakin memanjakan matanya yang terus membujuk untuk mencari keindahan
lainnya.
Tanpa
sengaja aku melihat bunga edelweis
yang sedang mekar. Indahnya
kelompak bunga yang menjadi simbol kegagahan para pendaki itu membuatku
tertarik untuk mendekat. Entah mengapa nalarku terkalahkan dengan perasaanku
yang campur aduk. Selama ini belum pernah sekalipun saat pulang mendaki aku
membawakan edelweis untuk Tata. Berulangkali ia memintaku untuk mengambil bunga
itu, tetapi aku selalu memberikan pengertian kalau itu larangan bagi kami.
Biarkan bunga indah itu terus hidup dan berkembang dengan keindahnya. Kita tidak
berhak merusaknya, demikian aku selalu
memberikan alasan.
Selain
takut merusak keindahan bunga edelweis, dikalangan para pendaki sudah ada
kesepakatan tidak tertulis untuk tidak mengambilnya. Kami cukup menikmati
keindahannya di gunung dan mengabadikan
dengan jepretan kamera, bukan membawanya
pulang.
Tetapi
kali ini tanganku gatal ingin memberikan persembahan indah ini untuk Tataku.
Kakiku melangkah dengan ringan
mendekati bunga yang gagah berdiri di tepi sebuah tebing. Sejenak
aku berpikir akan kesulitan untuk memetiknya, tetapi setelah aku perhatian,
tidaklah terlalu sulit. Aku hanya perlu berdiri ditepi tebing dan tanganku
pasti mudah menjangkaunya.
“Al,
jangan lakukan itu,” suara keras Galang membuat kakiki berhenti melangkah.
Kulihat Galang memandangku dengan sorot
mata tajam, tidak suka dengan rencana yang sudah ada dikepalaku.
“Kenapa
kamu ini, Al? Heran, belum pernah kamu gegabah seperti ini.
Sejak kapan kamu berniat mengambil edelweis itu? “ tanyanya tajam.
Aku
hanya memandang Galang sejenak, termangu, tetapi cepat-cepat kualihkan
pandangan kembali ke bunga yang seakan menantangku untuk mengambilnya.
“Al!
Jangan bodoh. Kita tidak pernah mengambil bunga itu. Tidak sekalipun. Ingat
komitmen kita selama ini,” Galang mengingatku lagi.
“Selama
ini aku belum pernah mengambil bunga itu. Sekalipun belum pernah melanggar
kesepakatan kita. Tetapi kali lini aku ingin sekali. “ jawabku acuh tak acuh
tanpa memandang sahabatku ini.
“Tidak!
Sekali tidak, tetap tidak! Sekali kita membiarkan hati ini melanggarnya, pasti
akan ada yang kedua kali dan seterusnya. Jangan lakukan,” pinta Galang kali ini
tanpa kompromi.
“Itu
urusanku. “ degusku jengkel.
“Kalau
kamu lakukan itu, aku tidak mau mendaki lagi bersamamu,” lantang suara Galang
mencegahku.
“Bodo,”
teriakku tak kalah lantang. Kakiku terus melangkah setapak demi setapak
mendekati edelweis yang bergerak-gerak ditiup angin. “Mungkin ini pendakian
kita yang terakir kalinya,” sungutku marah.
Galang
gusar mendengar jawabaku, “Al. Ingat, tempat ini terlalu wingit. Kamu tahu tak boleh sembarangan mengambil bunga. Tebing itu
juga berbahaya.”
Aku
menutup telinggaku rapat-rapat, tak
memperdulikan peringatan Galang. Sejujurnya aku ingin sekali-kali mencoba
melanggar peringatan itu. Kabar yang
berenbus kalau gunung yang kudaki kali ini wingit, penuh dengan misteri dan ada
larangan keras merusak alam aku tahu sejak dulu. Tetapi aku setengah tidak
percaya kalau larangan dilanggar bisa berakibat fatal. Kali ini aku ingin
sekali mencobanya tanpa rasa takut.
Sekalian membawakan bunga yang belum pernah aku berikan kepada Tata.
“Ali,
STOP!” teriak Galang lagi, merangsek mencoba menahanku. Tetapi tidak berhasil
karena aku terus melangkah, kali ini sudah di pinggit tebing.
Tinggal
satu jangkauan lagi, tanganku terus terulur, mengukur kemampuan untuk
menjangkau bunga itu. Satu jejakan kaki lagi, batinku yakin. Aku menguatkan
hati untuk menjangkau bunga di tepi
tebing. Segalanya terasa begitu mudah. Ya, tinggal satu gerakan lagi, tanganku
akan menjangkaunya.
Tanah
dan batu-batu mulai bergerak, meluncur, longsor. Sempat membuatku bergidik.
Ketika sebongkah batu yang tepat di bawah kaki meluncur dengan cepat, aku baru
tersadar. Menatap ngeri jurang dibawah. Batu-batu tajam siap menampung tubunku
jika tergelincir. Mataku nanar dengan pemandaangan mengerikan di bawah. Tetapi
semua terlambat. Saat aku mencoba mengeser tubuh untuk membatalkan niatku,
tubuhku bergeser sedemikian cepat. Keseimbangan tubuhnya hilang dan semua
berjalan sangat cepat. Bagai angin, aku meluncur.
“ALI…..”
Masih kudengar
suara pilu Galang saat melihatku
terlepas dari pandangan matanya. Mataku terpejam erat, menantikan tubuh
disambut batu cadas. Satu hal yang kusesali,
melanggar larangan pendakian ini. Seandainya aku tidak berniat mengambil
edelweis itu….
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar