Selasa, 19 Januari 2016

Rewangan, Meringankan Beban Tetangga

"Ke mana, Mbah Ti?" tanya Saya kepada ibu, saat melihat ibu kleuar rumah sambil membawa pisau dan telenan. Saya membiasakan memanggil ibu dengan panggilan Mbah Ti (Simbah Putri) karena membiasakan anak-anak.
"Ke rumah Mbokde Wito, Nduk. Rewang," jawab Ibu.
"Ada hajatan apa Mbah?"
"Mau Mantu" (menikahkan anaknya). Tiga hari lagi, mantu anaknya yang bungsu," jelas Ibu ,sambil menceritakan kalau putri bungsu tetangga kami, Mbokde Wiro akan dipinang laki-laki dari Kabupetan tetangga, teman kerjanya di sebuah perusahaan di Kota Sukoharjo.
Tak lama Ibu segera beranjak ke rumah tetangga yang jaraknya hanya selemparan batu.





Rewang atau membantu menyiapkan segala sesuatu untuk persiapan pernikahan atau hajatan lainnya masih banyak dilakukan di desa-desa. Rewang hal sederhana yang banyak menfaatnya, banyak membantu pihak lain. Tak hanya membantu tenaga mempercepat urusan memasak, tetapi rewangan juga menjadi suport untuk keluarga yang punya hajatan sehingga lebih siap dan mantap saat Hari H tiba. Tanpa diminta, biasanya para tetangga akan berdatangan saat ada tetangga yang mempunyai hajatan. Serba gratis, tenaga yang disumbangkan tidak membutuhkan imbalan jasa uang, hanya cukup dengan hantaran makanan. Karena biasanya para ibu yang rewang dari pagi sampai malam berlangsung berhari-hari dan tidak sempat memasak di rumah sehingga oleh yang punya hajatan di kirimkan makanan untuk keluarga di rumah. Memang ada yang diminta secara khusus untuk membantu misalnya ada yang mempunyai keahlian memasak nasi dalam jumlah besar atau adhang sego.


Karena membutuhakan tenaga ekstra dan tidak semua ibu bisa memasak nasai dengan tanak(matang dan enak), biaanya ada orang khusus yang diminta bantuan dan di bayar jasanya. Yang seperti ini memang layak dibayar karena biasanya butuh waktu berhari-hari untuk menyiapkan nasi dalam jumlah besar.

Yang terlibat dalam rewangan tidak hanya ibu tetapi juga bapak-bapak, tetapi lebih lama(bisa berhari-hari) adalah para ibu. Di desa saat mempunyai hajatan terutama pernikahan, minimal seminggu sebelumnya tuan rumah sudah mulai memasak. Karena tuan rumah sudah mulai memberikan hantaran makanan lengkap(wewehan) kepada pihak-pihak yang diundang. Jadi tidak hanya tamu yang diundang tidak hanya diberikan undangan saja, tetapi juga disusuli hantaran makanan yang terdiri dari nasi, dengan lauk pauk dan sayur seperti ayam, telur, tempe goreng, bergedel, sayur lombok, mie, gorengan krupuk atau peyek kacang disertai beragam panganan/makanan ringan seperti wajik, jadah, lemper, jenang, cucur, ungkusan dll.

Wewehan atau hantaran makanan, tidak hanya diperuntukkan untuk tetangga terdekat, satu desa saja, tetapi seringkali undangan di lain kecamatan juga di beri wewehan. Tak jarang sampai jarak sampai 20 km saja mereka biasa tetap mengantarkan wewehan tersebut. Bisa dibayangkan dengan sekian ratus undangan, tentunya butuh memasak dalam waktu yang lama dan membutuhkan banyak tenaga yang membantu. Para ibu biasanya membantu memasak, dan beberapa yang muda mengantarkan wewehan.

Sementara para bapak biasanya membantu rewangan saat mendekati Hari H, misalnya dua hari sebelumnya untuk tarub atau menyiapkan tempat dan dekorasi pelaminan. Dari urusan bersih-bersih rumah dan halaman sampai membantu memasangkan kajang/tenda, menata kursi dan meja menjadi bagian tugas para bapak. Rewangan merupakan kearifan lokal yang masih terpelihara sampai saat ini. Meskipun ada sebagian warga di desa yang lebih memilih praktis misalnya pesan katering saat mempunyai hajatan, tetapi sebagian besar masih tetap dengan tradisi lokal mereka.

Kegotongroyongan, kerukunan, kekeluargaan, kekompokan terasa kental sekali dengan kebiasaan rewangan. Para tetangga merasa ikut serta mempunyai hajatan dengan keterlibatan dalam rewangan tersebut. Hingga tak terasa pekerjaan cepat selesai.

Tidak ada komentar: